Kamis, 30 Mei 2013

HIKAYAT AMBO DALLE "SANG ULAMA ASAL BUGIS"


@SUARA MEDIA
Kemunduran umat Islam Indonesia yang kita lihat dan alami saat ini tidak lain dan tidak bukan disebabkan oleh para pemimpin dan tokoh-tokoh Islam yang kurang memerhatikan metode pendidikan dan seni dakwah serta tidak menggunakan senjata berupa sumber daya manusia dan dakwah sebagaimana seharusnya. Dengan kata lain, umat membutuhkan keteladanan dan ulama serta pemimpin bangsa.

Dalam bukunya yang berjudul Anregurutta Ambo Dalle: Mahaguru dari Bumi Bugis, HM Nasruddin Anshoriy Ch mengungkapkan, sangat sedikit para pemimpin dan tokoh Islam saat ini yang mampu melakukan kerja keras di bidang pendidikan, menebarkan kasih sayang kepada segenap umat dengan jalan silaturahim, serta berjihad dengan indah melalui jalan dakwah untuk mengajak masyarakat ke jalan benar, lurus, dan lempang sebagaimana yang telah dilakukan sosok mahaguru dari bumi Bugis bernama Abdurrahman Ambo Dalle.

Keteladanan ini pula yang dilakukan Ambo Dalle dalam menebarkan Islam dan kasih sayang kepada umat Islam di Sulawesi Selatan dan murid-muridnya.

Penikmat novel trilogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata tentu masih ingat dengan apa yang dilakukan Lintang, seorang anak nelayan yang harus mengayuh sepeda sejauh 40 kilometer agar bisa menuntut ilmu di SMP Muhammadiyah, Belitong.

Seperti itulah yang dilakukan Ambo Dalle. Ulama asal Sulawesi Selatan ini mengayuh sepedanya sejauh 35 kilometer demi mengajar murid-muridnya dan menemui umatnya untuk berdakwah. Ambo Dalle menunjukkan keteladanan seorang pemimpin dalam mengayomi dan melayani umat. Masihkah ada pemimpin dan ulama seperti Ambo Dalle saat ini?

Anregurutta (guru--Red) Abdurrahman Ambo Dalle dilahirkan dari keluarga bangsawan, sekitar tahun 1900, di sebuah desa bernama Ujung yang berada di Kecamatan Tanasitolo, sekitar tujuh kilometer sebelah utara Sengkang yang merupakan ibu kota Kabupaten Wajo. Ayahnya bernama Puang Ngati Daeng Patobo dan ibunya bernama Puang Candara Dewi.

Kedua orang tuanya memberi nama Ambo Dalle yang berarti bapak yang memiliki banyak rezeki. Orang tuanya mengharapkan dirinya agar kelak hidup dengan limpahan rezeki yang cukup. Adapun nama Abdurrahman diberikan oleh seorang ulama setempat bernama KH Muhammad Ishak pada saat berusia 7 tahun dan sudah dapat menghafal Alquran.

Menuntut ilmu
Pada masa kecilnya, Ambo Dalle mempelajari ilmu agama dengan metode sorogan (sistem monolog), yaitu guru membacakan kitab, sementara murid mendengar dan menyimak pembicaraan guru. Pelajaran membaca dan menghafal Alquran ia peroleh dari bimbingan bibi serta kedua orang tuanya, terutama sang ibu. Agar lebih fasih membaca Alquran, Ambo Dalle belajar tajwid kepada kakeknya, Puang Caco, seorang imam masjid yang fasih membaca Alquran di Desa Ujung.

Selama menuntut ilmu, Ambo Dalle tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu Alquran, seperti tajwid, qiraat tujuh, nahwu, sharaf, tafsir, dan fikih saja, tapi ia juga mengikuti Sekolah Rakyat(Volk School) pada pagi hari serta kursus bahasa Belanda pada sore hari di HIS Sengkang dan belajar mengaji pada malam harinya.

Sementara itu, untuk memperluas cakrawala keilmuan, terutama wawasan modernitas, Ambo Dalle lalu berangkat meninggalkan Wajo menuju kota Makassar. Di kota ini, ia mendapatkan pelajaran tentang cara mengajar dengan metodologi baru melalui Sekolah Guru yang diselenggarakan Syarikat Islam (SI). Pada saat itu, SI yang dipimpin oleh HOS Cokroaminoto berada dalam masa kejayaan dan benar-benar membuka tabir kegelapan bagi wawasan sosial, politik, dan kebangsaan di seluruh Tanah Air.

Ketika mengikuti sekolah guru di Makassar inilah, ia menemukan kehidupan sosial yang lain dan jauh berbeda dari tanah Wajo yang masih sepi. Makassar, yang saat itu telah menjadi sebuah kota pelabuhan terpenting di kawasan Indonesia Timur, ramai disinggahi oleh kapal besar dan perahu dari berbagai penjuru yang memuat barang-barang dagangan. Beraneka ragam barang niaga, seperti beras, kelapa, hasil hutan, dan kain tenun sutera, ditawarkan orang-orang di pasar-pasar.

Ketika kembali ke Wajo, Ambo Dalle semakin matang secara keilmuan ataupun wawasan. Karena itu, ia bertekad untuk mencerdaskan putra-putri bangsa, khususnya di daerahnya sendiri. Selain kegiatan rohani dengan pendalaman spiritual yang menjadi gairah hidupnya sehari-hari, kegiatan fisik juga tidak diabaikannya. Misalnya, ia selalu aktif berolahraga. Olahraga yang paling digemarinya adalah sepak bola. Ambo Dalle terkenal sebagai seorang pemain bola yang andal. Karena keahliannya dalam menggiring dan mengolah si kulit bundar, rekan-rekannya menjuluki Ambo Dalle sebagai 'Si Rusa.'

Selain itu, Ambo Dalle terus menambah ilmunya, terutama dalam ilmu agama. Ia pun belajar kepada ulama-ulama asal Wajo yang merupakan alumni Makkah, seperti H Syamsudin dan Sayyid Ali al-Ahdal. Para ulama asal Wajo ini bermaksud membuka pengajian di kampung halaman mereka.

Merintis madrasah
Salah seorang guru Ambo Dalle, yakni Gurutta H As'ad, suatu ketika menguji secara lisan murid-muridnya, termasuk Ambo Dalle. Ternyata, jawaban Ambo Dalle dianggap yang paling tepat dan benar. Maka, sejak saat itu, ia diangkat menjadi asisten dan mulai meniti karier mengajar serta secara intens menekuni dunia pendidikan.

Berkat kerja sama antara Gurutta H As'ad dan Ambo Dalle, pengajian itu bertambah maju. Hal tersebut terdengar sampai ke telinga Raja Wajo saat itu, Arung Matoa Wajo. Arung Matoa Wajo pun memutuskan mengadakan peninjauan langsung ke tempat pengajian milik Gurutta H As'ad. Dalam kunjungannya, Raja Wajo ini meminta agar Gurutta H As'ad membuka sebuah madrasah yang seluruh biayanya ditanggung pemerintah setempat. Gayung bersambut. Maka, tak lama kemudian, dimulailah pembangunan madrasah.

Madrasah yang dibangun ini menyelenggarakan jenjang pendidikan awaliyah (setingkat taman kanak-kanak), ibtidaiyah (SD), dan tsanawiyah (SMP). Lembaga pendidikan itu diberi namaAl-Madrasah al-Arabiyah al-Islamiyah (disingkat MAI) Sengkang. Lambangnya diciptakan oleh Ambo Dalle dengan persetujuan Gurutta H As'ad bin Abdul Rasyid dan ulama lainnya. Dalam waktu singkat, popularitas MAI Sengkang dengan sistem pendidikannya yang modern (sistem madrasah) menarik perhatian masyarakat dari berbagai daerah.

Selanjutnya, atas izin sang guru, Ambo Dalle pindah dan mendirikan MAI di Mangkoso pada 29 Syawal 1356 H atau 21 Desember 1938. Mulai saat itulah, ia mendapat kehormatan penuh dari masyarakat dengan gelar Gurutta Ambo Dalle. MAI Mangkoso ini kelak menjadi cikal bakal kelahiran organisasi pendidikan keagamaan bernama Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI).

Sementara itu, sepeninggal Gurutta H As'ad, MAI Sengkang diubah namanya menjadi Madrasah As'adiyah. Perubahan nama tersebut sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasa Gurutta H As'ad.

Berkat dukungan dan simpati dari pemerintah dan masyarakat Mangkoso, pertumbuhan dan perkembangan madrasah yang dipimpin oleh Ambo Dalle ini sangat pesat. Hal ini terbukti dengan banyaknya permintaan dari luar daerah untuk membuka cabang MAI Mangkoso. Untuk merespons permintaan itu, dibukalah cabang MAI Mangkoso di berbagai daerah.

Zaman Jepang
Namun, masalah mulai mengintai ketika Jepang masuk dan menancapkan kuku-kuku imperialis di bumi Sulawesi Selatan. Proses belajar dan mengajar di madrasah ini mulai menghadapi kesulitan karena Pemerintah Jepang tidak mengizinkan pengajaran seperti yang dilakukan di madrasah.

Untuk mengatasi masalah ini, Ambo Dalle tidak kehilangan siasat. Ia pun mengambil inisiatif. Pelajaran yang sebelumnya dilakukan di dalam kelas dipindahkan ke masjid dan rumah-rumah guru. Kaca pada bagian pintu dan jendela masjid dicat hitam agar pada malam hari cahaya lampu tidak tembus ke luar. Setiap kelas dibagi dan diserahkan kepada seorang guru secara berkelompok dan mengambil tempat di mana saja asal dianggap aman dan bisa menampung semua anggota kelompok. Sewaktu-waktu, pada malam hari dilarang menggunakan lampu.

Bukannya sepi peminat, justru siasat yang dilakukan Ambo Dalle ini mengundang masyakarat sekitar untuk mendaftarkan anak-anak mereka belajar di madrasah milik Ambo Dalle. Bahkan, cara yang ditempuhnya ini membuat madrasah tersebut luput dari pengawasan Jepang. berbagai sumber ed:sya

Membangun Benteng Tauhid

Setelah beberapa tahun memimpin MAI Mangkoso, Anregurutta Abdurrahman Ambo Dalle dihadapkan pada kondisi bangsa Indonesia yang sedang dalam masa merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Gema perjuangan bergelora di seluruh pelosok Tanah Air.

Melihat kondisi ini, Ambo Dalle terpanggil untuk membenahi sistem pendidikan yang nyaris terbengkalai. Ia sadar, selain bertempur melawan penjajah dengan senjata, berperang melawan kebodohan pun sama pentingnya. Sebab, kebodohanlah salah satu yang menyebabkan Indonesia terbelenggu dalam kolonialisme selama berabad-abad.

Namun, usaha yang dirintis Ambo Dalle ini sempat mengalami kendala ketika terjadi Peristiwa Korban 40 Ribu Jiwa di Sulawesi Selatan. Tentara sekutu (NICA) di bawah komando Kapten Westerling mengadakan pembunuhan dan pembantaian terhadap rakyat Sulawesi Selatan yang dituduh sebagai ekstremis.

Peristiwa tersebut membawa dampak bagi kegiatan MAI Mangkoso. Banyak santri, yang ditugaskan oleh Ambo Dalle untuk mengajar di cabang-cabang MAI di berbagai daerah, menjadi korban keganasan Westerling. Namun, situasi itu tidak menyurutkan semangat beliau untuk mengembangkan MAI.

Bahkan, dalam situasi seperti itu, bersama beberapa ulama alumni MAI Sengkang, ia mengadakan pertemuan alim ulama se-Sulawesi Selatan di Watang Soppeng pada 16 Rabiul Awal 1366 H/7 Februari 1947. Pertemuan itu menyepakati pembentukan organisasi yang diberi nama Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI) yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah, dan sosial kemasyarakatan. Ambo Dalle kemudian ditunjuk sebagai ketua dan Anregurutta HM Abduh Pabbajah sebagai sekretaris organisasi.

Meski disibukkan memimpin organisasi dan madrasah, Ambo Dalle tidak melalaikan kewajibannya sebagai warga negara yang taat. Ia bersama KH Fakih Usman dari Departemen Agama (Depag) Pusat dipercayakan oleh Pemerintah RI untuk membenahi dan merealisasi pembentukan Departemen Agama wilayah Sulawesi. Tugas itu dapat dilaksanakannya dengan baik. Kepala Depag yang pertama diangkat adalah KH Syukri Gazali, sedangkan Ambo Dalle diangkat menjadi kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten Pare Pare pada 1954.

Menurut Prof KH Ali Yafie, salah seorang santri Ambo Dalle, apa yang telah dilakukan oleh gurunya itu selama berpuluh-puluh tahun di bumi Bugis pada khususnya dan bumi Sulawesi pada umumnya adalah sebuah gerakan pembaruan membangun benteng tauhid. Dengan kata lain, yang dikembangkan Ambo Dalle melalui program dakwah, pendidikan, sosial, dan kebudayaan tersebut sesungguhnya bagian dari jihad, ijtihad, dan mujahadah untuk membangun 'budaya tauhid'.

Keteguhan sikap Ambo Dalle tak lekang di setiap peristiwa dan pergolakan yang ia lalui dalam perjalanan hidupnya. Ketika terjadi pemberontakan G-30 S/PKI, Ambo Dalle yang ketika itu berdomisili di Pare Pare tak bergeming dan tetap kukuh dengan prinsip dan keyakinannya. Pada waktu itu, dia berpesan kepada santrinya agar tetap berpegang teguh pada akidah Islam yang benar, jangan terpengaruh dengan gejolak yang terjadi dalam masyarakat.

Kitab karyanya
Sebagai seorang ulama, Ambo Dalle banyak mengupas berbagai persoalan yang menyangkut hampir semua cabang ilmu agama dalam karya-karya tulisnya. Di antaranya adalah tasawuf, akidah, syariah, akhlak,balaghah, dan mantik. Semua itu tercermin lewat karangan-karangannya yang berjumlah 25 judul buku.

Salah satu karyanya yang dikenal luas adalah kitab Al-Qaulu as-Shadiq fi Ma'rifati al-Khalaqi yang memaparkan perkataan yang benar dalam mengenali Allah SWT dan tata cara pengabdian terhadap-Nya. Menurutnya, manusia hanya dapat mengenal hakikat pengadian kepada Allah jika mereka mengenal hakikat tentang dirinya.

Untuk mengagungkan Allah, tidak hanya berbekal akal logika, tapi juga dengan melakukan zikir yang benar sebagai perantara guna mencapai makrifat kepada Allah. Meskipun, harus diakui bahwa logika harus dipergunakan untuk memikirkan alam semesta sebagai ciptaan Allah SWT. Dalam berzikir, harus dilakukan sesuai dengan dalil-dalilnaqli (Alquran dan hadis). Yakni, dilakukan dengan hati, istikamah, dan tidak boleh goyah.

Pendirian dan sikap akidah tercermin dalam kitab Ar-Risalah Al-Bahiyyah fil Aqail Islamiyah yang terdiri atas tiga jilid. Keteguhan pendiriannya tentang sesuatu yang telah diyakini kebenarannya tergambar dalam kitabnya Maziyyah Ahlu as-Sunnah wa al-Jama'ah.

Yang membahas bahasa Arab dan ushul-ushul-nya tertulis dalam kitab Tanwiru at-Thalib, Tanwiru at-Thullab, dan Irsyadu at-Thullab. Ilmu balaghah (sastra dan paramasastra) dibahas dalam karyanya yang berjudul Ahsanu al-Uslubi wa-Siyaqah, Namuzajul Insya'i, yang menerangkan kosakata dan cara penyusunan kalimat bahasa Arab. Kitab Sullamu al-Lughah menerangkan kosakata, percakapan, dan bacaan.

Beliau juga mengarang pedoman berdiskusi dalam bahasa Arab, yakni kitab Miftahu al-Muzakarah dan tentang ilmu mantik (logika) dalam kitab Miftahu al-Fuhum fi al-Mi'yarif Ulum. (Republika)

Disadur ulang oleh: Fathoel Fatul 

Selasa, 21 Mei 2013

Diskusi dengan Kakanda Helmi Ali Yafie-3


Manusia adalah anak Jamannya

Adik-adik saya, Manusia dan atau generasi adalah produk dari zamannya, dengan demikian, untuk memahami karakter dan model kepemimpinan yang ditampilkan oleh sebuah generasi, tidak lepas dari bentukan peristiwa, system, kebijakan yang terjadi pada masa/fase “bentukan” generasi tersebut. Politik, system, kebijakan yang dilakukan pada masa orde baru, dimana semua aspek diharapkan menggunakan  dan melalui “satu” system yang direstui, sebagai contoh:
Agama  yang diakui hanya 5, selain yang 5 (lima), diangap agama yang tidak “legal”.
Kondisi yang multi partai, dimarger (fusi) menjadi tiga partai politik (Golkar, PPP dan PDI), selain itu tidak ada peluang untuk membentuk partai lain. Bahkan, cenderung, selain Golkar, diangap sesuatu yang tidak sejalan dengan pemerintah.
Ormas Kepemudaan disatukan dalam KNPI
Pemikiran para ulama, dibonsai dalam pandangan keagamaan yang dicetuskan oleh MUI, dst…
Kondisi ini melahirkan pandangan, bahwa yang benar itu adalah yang mendapat “restu”. Dengan demikian, mereka yang mungkin bisa besar dan menjadi tokoh pada sebuah komunitas atau kelompok, hanyalah mereka yang mendapat restu dan dukungan dari system yang ada.
Generasi yang lahir dari kondisi ini, melahirkan pandangan, bahwa hanya yang memiliki “cantolan” seseorang bisa menjadi besar.
Ketika kondisi sosial-politik berubah, dimana kran kebebasan mulai terbuka, dan setiap orang mulai “bisa” mengekspresikan keinginan dan kehendaknya, maka kesadaran generasipun mulai muncul, bahwa setiap orang bisa menjadi besar dan atau menjadi tokoh, tanpa harus menyandarkan pada “cantolan”, tetapi lebih pada kualitas, integritas, relasi dan kemampuan individu seseorang. 

Menyoal Tentang Perlunya Identitas ke-DDI-an



Pada dasarnya NU, Muhammadiyah, DDI, al-Washiliyah, Nahdhatul Wathan, al-Wahda al-Islamiyah, Hizb al-Tahrir dan seterusnya... adalah wadah berkumpul, wadah untuk mengembangkan aktifitas Da'wah, Pendidikan dan aktifitas sosial, wadah kaderisasi, dst...... Dalam perkembangannya -- dilihat dari aspek pemahaman keagamaan -- organisasi dan lembaga itu dikategorisasikan dalam beberapa pandangan, misalnya organisasi yang lebih banyak menggunakan pendekatan tekstual, ada yang benyak menggunakan tafsir rasional, atau yang mencoba mendialogkan teks-teks agama dengan budaya lokal, dst... 
Dari sisi pandang ini, DDI kadang dikategorikan memiliki cara pandang yang sama dengan cara pandang yang dianut oleh NU, Nahdhatul Wathan. Dan karena kesamaan pandangan inilah, kadang membuat anggapan bahwa DDI sama dengan NU.
Secara kelembagaan (organisatoris), DDI tidak ada kaitan dengan NU, Mungkin saja, karena banyak tokoh-tokoh kita yang aktif di NU, meski beliau juga adalah tokoh yang besar di DDI. 
Sekedar Contoh Gurutta KH. M. ALi al- Yafie, Beliau adalah Katib (I Wakil Sekjend) pertama DDI, dan beliaulah yang menerjemahkan ANggaran Dasar Pertama DDI dari Bahasa Arab yang dirulis oleh Gurutta KH. Muh. Abduh Pabbaja sebagai Katib (Sekjend) pertama DDI. Tetapi ketika beliau ke Jakarta, beliau banyak aktif di NU, dan sebagai tokoh Nasional, beliau lebih dikenal sebagai tokoh NU, ketimbang tokoh DDI. Demikian Juga dengan Gurutta KH. Muh. Amin Nashir. Dan di Sulsel, KH. Sanusi Baco, lebih dikenal sebagai ketua NU (representasi NU), ketimbang sebagai tokoh DDI, dst…
Di sisi lain, keberadaan bapak Prof. Muiz Kabry di Kepengurusan puncak DDI, yang secara formal, beliau mengenyam Pendidikan SMP DDI di Ujung Baru Parepare, Lalu masuk ke PGA ikatan dinas di Makassar, kemudian lanjut ke Pacet Jabar dan Malang Jatim..., beliau selama di Pacet dan Malang adalah tokoh yang aktif di PMII, bahkan termasuk penandatangan Deklarator Murnajati (Piagam Independensi PMII), sebuah organisasi kemahasiswaan yang lahir dari rahim IPNU (Banom NU), meski selama di Sulsel, tidak pernah aktif di Pengurus NU Sulsel, tetapi dia tidak bisa dipisahkan kedekatannya dengan tokoh-tokoh NU tingkat Nasional, bahkan sejak kepengurusan KH. Hasyim Muzadi, beliau dimasukkan sebagai bagian dari Pengurus PB NU. Demikian halnya dengan kita-kita generasi yang dibelakangpun, kemudian banyak ikut dan terlibat dalam organisasi diluar DDI yang memiliki hubungan historical dengan NU.
Sekedar “menengok kebelakang”, dalam Muktamar Tahun 1969 di Wt. Soppeng, Beberapa tokoh DDI sudah mulai terpolarisasi antara kelompok yang aktif di NU, dan mereka yang aktif di SI/PSII, dan dalam Muktamar tersebut, kelompok yang aktif di NU (Partai NU), berhasil menggolkan model lambang DDI, yang menggunakan Tali, mirip dengan tali di lambang NU.....
Fakta-fakta itulah yang mungkin mengaburkan pandangan orang antara NU dan DDI,  Bahkan DDI dianggap bagian dari NU, seperti pandangan orang terhadap Nahdhatul Wathan di NTB dengan NU.
Tetapi untuk tingkat Sulsel, yang harus kita fahami, bahwa NU masuk di Sulsel, ketika NU menjadi Parpol tahun 1955, dan itu berarti sebelum NU masuk DDI sudah ada dan berkembang, sehingga semestinyalah DDI lebih “kakak” dari NU …untuk konteks Sulsel...
Saya juga ingin mengatakan (mungkin debateble), tanpa maksud mengecilkan penghormatan dan penghargaan kita kepada guru-guru kita, bahwa mereka "lupa" melakukan interpertasi dan kontekstualisasi dari nilai-nilai yang difahami, dilakonkan oleh Gurutta... menjadi sebuah Nilai Dasar Perjuangan (NDP) DDI yang dikemas dalam teks yang memungkinkan dapat dipelajar, dibaca dan diterjemahkan oleh generasi yang datang kemudian (seperti kita-kita) dalam konteks kehidupan kita…. Harus Jujur diakui, konsep Tirologi DDI (Da'wah, Pendidikan dan Usaha Sosial), adalah satu-satunyanya konsep yang ada yang dibuat dan diinterpertasi oleh Prof. Muiz Kabry, sebagai pembacaan beliau terhadap nilai yang diajarkan oleh gurutta..., tetapi bagaimana wujud, arah, nilai, konsep, dari Triologi tersebut, kita tidak menemukannya.
Dalam Buku Ke DDI-an yang kami buat bersama Tim, Saya mencoba mengeksplorasi makna dari Triologi Tersebut…., tetapi harus saya akui itu sangat dangkal, dan membutuhkan kajian lebih mendalam dan lebih jauh... Tentang Apa itu Pendidikan, Dakwan dan Usaha Sosial... 
Jadi dari aspek Konsep sendiri kita belum selesai... Misalnya ketika bicara tentang pendidikan, pendidikan dalam bentuk apa, dan nilai apa yang mesti dikembangkan sebagai kerangka dasar semangat ke-DDI-an kita, demikian juga dalam hal Dakwah... Filosofi da'wah yang dianut, kan tidak pernah terbakukan, apa lagi ketika bicara usaha sosial... Apa sih yang dimaksud dengan usaha sosial dalam kontes DDI. Sekali lagi kita belum merumuskannya.
Akhirnya, kita lebih banyak membawa tafsir-tafsir tentang itu dari apa yang kita peroleh diluar organisasi DDI, dan yang memungkinkan untuk kita "modifikasi", adalah model yang ada di NU, sehingga diakui atau tidak, warna ke-DDI-an kita, adalah masih kelihatan “ke-NU-NU-an…
Ini belum kita bicara tentang DDI sebagai gerakan Sosial, DDI sebagai sebuah Organisasi, dst…

Saiful

Senin, 13 Mei 2013

Sekolah dan Kelas Unggulan....???

Dengan alasan untuk memberikan layanan yang maksimal kepada anak (siswa/murid) yang memiliki kemampuan di atas rata-rata siswa lainnya, maka diluncurkan model sekolah dan atau kelas unggul. Siswa yang dipandang pintar, ditempatkan dikelas unggulan, dengan menggunakan istlah kelas I-A, atau semcamnya.
Tetapi realitasnya, tindakan (program) ini, justru mengajarkan sebuah nilai yang ternyata tidak ramah bagi anak, bahkan bisa menjadi benih munculnya sikap sombong, angkuh, merasa lebih hebat dan baik dari teman-teman yang lain, dst.... 
Sebaliknya, anak yang duduk di kelas I-F, akan selalu merasa rendah, bodoh, tertinggal dari yang lain...
Hemat saya..., mungkin saatnya mengganti penggunaan nama kelas I-A.... I-F, dengan nama lain, seperti kelas I-al-Razi..., kelas I-Ibnu Rusydi (misalnya), dengan harapan, mereka tidak terkotak lagi pada istilah unggul, dan dari aspek lain dengan menggunakan nama ilmuan, mereka dapat lebih mengkaji dan menemukan nilai-nilai kebajikan dan kelebihan dari para ilmuan tersebut...

Diskusi dengan Kakanda Helmi Ali Yafie-2

Nasihat Kakanda Helmi Ali kepada generasi muda:
Ketiga: Tawaran Model Suksesi di Ormas NU-DDI

Sistem domokrasi yang saat ini menuju kepada kepemimpinan prifat dan kolektifitas akan didorong pada persaingan individual yang tajam dimana kekuatan persaingan cukup kental yaitu pendekatan :
1. Keluarga, kelompok ataupun grup.
2. Modal atau keuangan pribadi pemimpin.
3. Konsepsi kepemimpinan dan ideology kepemimpinan.
Mau tidak mau suka ataupun tidak suka pemimpin Indonesia mendatang harus memiliki tiga kepeloporan hal tersebu, karena money politik bukan jaminan untuk memenangkan kompetisi, Ikatan kekeluargaan yang kuat pun tidak menjamin, apalagi hanya sekedar tawaran konsepsual.
Karena masyarakat dan pemerintah dalam stakeholder pemerintahan harus menghadapi transisi dari demokrasi continental adopsi pemerintahn belanda yang multi partai dan proporsional menuju system perorangan yang bersifat distrik menuju bipartai model Anglo sactions model Amerika Serikat.
Kondisi perkembangan demokrasi dalam praktek perpolitikan seperti ini, ternyata juga sdh masuk kedalam system suksesi (pergantian kepemimpinan) dalam tubuh Organisasi Sosial, Organisasi Keagamaan dan Kemasyarakatan di negeri ini. Kita tidak bisa menutup manat terhadap perhelatan Kongres, Muktamar, Konfrensi, atau apapun namanya, persaingan individu yang tajam untuk menduduki posisi tertentu menjadi hal yang tidak bisa disangkal, dan kadang (tidak sedikit), persaingan tajam tersebut, berakhir dengan perpecahan organisasi.
Muktamar NU 29 di Cipasung, tahun 1995, yang memperhadapkan antara kubu Gus Dur dan Kubu Abu Hasan, kemudian berakhir dengan kekalahan Abu Hasan… tetapi ceritanya tidak sampai disitu, Abu Hasan lalu membentuk NU tandingan, dengan berbagai alasan dan pembenaran.
Di DDI pun, peristiwa itu terjadi, ketidak puasan terhadap figure yang terpilih, dengan berbagai alasan dan pembenaran, akhirnya melahirkan kubu DDI Muiz Kabri dan DDI Faried Wajdi.
Kita tidak ingin dan akan membahas tentang siapa benar dan salah, karena masing-masing punya alasan pembenaran, yang kita ingin coba ketengahkan, adalah, sudah tepatkan untuk Ormas Keagamaan atau ormas sosial kemasyarakat lain dalam konteks masyarakat kita saat ini untuk melakukan suksesi dengan model vote (one delegation one vote), mengapa tidak digagas model musyawarah-mumafakat, yang kemungkinan untuk tidak saling mencinderai dalam system suksesinya ?
Bukankah model itu juga diakui sebagai bentuk demokrasi yang diwariskan oleh budaya dan para pendahulu kita ?
Mungkinkah ini bisa digunakan dalam Muswil NU Sulsel di Padang Lampe Pangkep, atau pada Muktamar DDI tahun 2014 mendatang ?
Tentu jawabannya membutuhkan diskusi yang lebih intens, membutuhkan kajian system dan mekanisme yang lebih rapi,
Tetapi prinsipnya, kita menginginkan suksesi yang terjadi, tidak saling mencinderai, tidak saling menegasikan, tetap memelihara fatsun dan etika keagamaan (tidak ada politik uang, dst…) Karena sebenarnya, itu adalah bentuk investasi terhadap keruntuhan organisasi…
Kak Helmi, mohon dikoreksi dan disempurnakan..



Helmi Ali ya, saya risau melihat perkembangan ormas2 yg ada, terutama dlm ormas dimana saya dibesarkan; ada kecenderungan meninggalkan esensinya (rohnya) sebagai organiasi sosial keagamaan atau organisasi pendidikan dan da'wah .. beberapa prinsip (saling mendahulukan, penghargaan kepada guru, rendah hati, ikhlas, dsb, mengabdi untuk kepentingan umat/jama'ah) tampaknya ditinggalkan dan dg alasan modernisasi.. nilai2 baru diadopsi, termasuk demokrasi, yg ternyata, lebih menonjolkan prosedur, mementingkan kecepatan (mengambilkan keputusan) ketimbang mempertimbangak aspirasi .. pokoknya karak terorganisasi berubah .. cara bekerjanya kurang lebih sama dengan parpol; itu paling tampaknya nyata dalam konfrensi atau muktamar; yg lebih mementingkan membicarakan soal siapa yg akan memimpin; dg kwalifikasi utama hubungan dengan kekuasaan, bukan krn kapasitasnya sebagai pemimpinan/guru umat; dan proses pemilihannya, ya dengan cara demokrasi, yg ternyata rawan banget dengan manipulasi. Dari sini saja sudah keliahatan betapa sebenarnya nilai dasar organisasi sdh ditinggalkan. Oleh karena itu, saya kemudian berpikirknp kita tidak mencoba kembali ke nilai2 dasar itu .. kenapa tdk mencoba melihat kembali esensi dan karakter organisasi itu (organisasi sosial keagamaan atau organisasi pendidikan dan da'wah) .. kenapa tidak mencoba kembali ke cara2 musyawarah .. ketika membicarakan sesuatu yg menyangkut kepentingan bersama, teramsuk dlm memilih pemimpin .. dengan merunjuk kpd nilai2 dasar itu .. atau kalau nilai2 dasar itu .. roh itu .. sudah dianggap tdk lagi memadai .. untuk menjadi landasan dan motor penggerak organisasi, tentu boleh diganti, konsekwensi organisasi hrs berganti nama, tampil sebagai organiasi baru .. yg boleh jadi tidak memiliki lagi ikatan (sejarah) dg yg lama (krn barangkali memang tdk ada ketersambungan ... hehe2 .. sori kepanjangan; oh, soal penyebabnya keadaan organisasi berkembang seperti sekarang, kita bisa lihat pada point ketiga ..

Diskusi dengan Kakanda Helmi ALi Yafie-1

Pesan Kakanda Helmi Ali Yafie kepada Generasi Muda DDI;
Bagian Pertama: Belajar dan Kaji Sejarah
Kata sejarah berasal dari bahasa Arab yaitu Syajaratun yang artinya pohon. Menurut bahasa Arab, sejarah sama artinya dengan sebuah pohon yang terus berkembang dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih kompleks atau ke tingkat yang lebih maju dan maka dari itu sejarah di umpamakan menyerupai perkembangan sebuah pohon yang terus berkembang dari akar sampai ranting yang paling kecil yang kemudian bisa diartikan silsilah. Syajarah dalam arti silsilah berkaitan dengan babad, tarikh, mitos dan legenda. Dalam bahasa Inggris kata sejarah (history) berarti masa lampau umat manusia, dalam bahasa Jerman kata sejarah (geschichte) berarti sesuatu yang telah terjadi, sedangkan dalam bahasa Latin dan Yunani kata sejarah (histor atau istor) berarti orang pandai. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, pengertian sejarah pun mengalami perkembangan.
Dalam pemahaman dan pembacaan terhadap sejarah, kadang kita terjebak pada sisi peristiwa kronologis yang dilihat, disaksikan dan didengar, tetapi sangat sedikit yang mencoba mebaca peristiwa dan atau kejadian yang ada dibalik sebuah kronogis. Kita sering bercerita tentang kisah heroik seorang pahlawan, atau sejarah runtuhnya sebuah kekuasaan, tetapi mengapa ia menjadi heroik..., pengalaman batin apa yang mendorong dia untuk tampil sebagai seorang pahlawan yang dipuja, bagaimana potret lingkungan yang membentuk dia, dst.... Demikian juga dengan keruntuhan sebuah kekuasaan..., tentu banyak hal yang mesti dibaca dari setiap peristiwa yang mengitarinya.
Sebagai sebatang pohon (syajarah), kita akan menjadi bijak, jika faham kenapa dia tumbuh dengan subur, tetapi tidak berbuah, kenapa dia kurus, kenapa rasa buahnya beda dengan pohon yang sama ditempat lain, dst....
Demikian halnya dengan berbagai peristiwa yang kita dengar, kita baca, kita lihat dan kita rasaka... semua itu tidak terjadi begitu saja, berbagai kejadian dan peristiwa lain yang saling berkaitan... 
Untuk itu, adik-adik yang masih muda, coba baca dan belajar sejarah dengan baik, agar dapat lebih arif memahami setiap peristiwa yang terjadi, dibaloik setiap kejadian yang hebat ataupun yang tragis, ada rentetatn kejadian yang mesti ditelaah... Dengan demikian, kita tidak akan terjebak dalam penghakiman "sejarah" yang kering makna...
Helmi Ali ini hasil obrolan di pondok di Jampue ya, saya kira bagus sekali kebiasaan merekonstruksi hasil2 diskusi seperti ini; saya menganjurkan mempelajari sejarah .. sejarah organisasi .. supaya kita bisa memahami karakter organisasi kita itu .. organisasi tidak lahir begitu saja .. tetapi dia ada untuk menjawab persoalan tertentu, ada konsteks sosial (lokal, nasional dan global) yg mendorong organisasi itu lahir; dan terkait dengan nilai2; krn itu organisasi juga lahir dengan fondasi (berpijak pada) nilai2 tertentu; yg kemudian membentuk bangunan organisasi itu; tentu keadaan (tantangan dan persoalan) sekarang dan dulu (ketika organisasi itu berdiri) berbeda; dan kita tidak bisa kembali ke masa lalu; tetapi nejwab persoalan sekarang ini perlu mengacu kepada fondasi (nilai dan garis2 perjuangan) organisasi itu; bolah jadi bangunannya berbeda (sesuai dengan kebutuhan zaman), tetapi fondasinya (nilai2 dan garis2 perjungannya) tetap; kalau ada yg (nekat) merubah itu (fondasinya) maka pada dasarnya organisasi/institusi itu sudah mati, yang ada hanyalah namanya.

Pemimpin yang Amanah

Khalifah Umar bin Abdul Aziz, adalah seorang Khalifah Bani Umaiyah. Pada suatu malam tatkala baginda sedang tekun bekerja di bilik istananya, tiba-tiba seorang putranya masuk untuk membincangkan sesuatu hal yang berhubung dengan urusan keluarga. Tiba-tiba baginda memadamkan lampu yang terletak di mejanya yang digunakan untuk menerangi bilik kerjanya itu. Putranya merasa hairan melihat sikap ayahnya itu seraya bertanya: "Kenapa ayah padamkan lampu itu?" Maka jawab ayahnya: "Benar kata kau wahai anakku, tetapi kau harus ingat lampu yang sedang ayah gunakan untuk bekerja ini kepunyaan kerajaan. Minyak yang digunakan itu dibeli dengan menggunakan wang kerajaan, sedang perkara yang hendak anakkanda perbincangkan dengan ayahanda adalah perkara keluarga." 

Lantas baginda meminta pembantunya membawa lampu dari bilik dalam. Kemudian baginda pun berkata kepada putranya: "Sekarang lampu yang baru kita nyalakan ini adalah kepunyaan keluarga kita, minyak pun kita beli dengan wang kita sendiri. Sila kemukakan apa masalah yang anakanda perbincangkan dengan ayahanda." Demikianlah besarnya sifat amanah dari seorang pemimpin berkalibar selaku seorang raja yang berjiwa besar.

Mu'jizat Al-Qur'an


Ilmu pengetahuan modern kini membuktikan bhw air meliputi 71,111% wilayah bumi, dan daratan menutupi 28,8889%.
Dalam Qur'an disebutkan kata "DARAT" sebanyak 13 ayat, dan kata "LAUT" ialah 32 ayat.

Mari kita tengok baik baik:
Darat=13 ayat
Laut=32 ayat
Jumlah= 45 ayat

Percentage DARAT:
= 13/45
=28.888888889%

Percentage LAUT
= 32/45
=71.111111111%

Jadi
Pendapat Qur'an, Darat = 28.889%, Laut=71.111%
Bukti Ilmiah Nyata, Darat=28.889%, Laut=71.111%

Maka mengapa mereka tak juga beriman?
Mengapa mereka masih memfitnah Rasulullah Muhammad SAW yg mengarang Qur'anul Kariim ini??? Apakah mereka tidak memperhatikan?
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. QS. 4 An-Nisaa':82
Allah menyatakan jika bukti kebenaran Qur'an itu ada pada seluruh alam dan termasuk diri kita sendiri.
Qs. 41 Fushshilat:53. Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?

Sekarang, mari kita lihat lagi mukjizat lainnya masih soalan angka.
SHALAT, disebutkan 5 x
BULAN, disebutkan 12 x
HARI, disebutkan 365 x
Apakah ini kebetulan?

Bagaimana dengan keseimbangan jumlah kata dibawah ini:
1. Dunia disebutkan 115 kali. Akhirat disebutkan 115 kali.
2. Malaikat 88 kali, syaitan 88 kali.
3. Kehidupan 145 kali, kematian 145 kali.
4. Kebaikan/manfaat 50 kali, jahat 50 kali.
5. Orang2 50 kali, nabi 50 kali.
6. Iblis(raja syaitan) 11 kali, menyelamatkan diri dari iblis 11 kali.
7. Musibah (bencana) 75 kali, syukur 75 kali.
8. Shodaqoh 75 kali, kepuasan 75 kali.
9. Orang2 yg tersesat 17 kali, syuhada 17 kali.
10. Muslimin 41 kali, jihad 41 kali.
11. Emas 8 kali, kehidupan yg mudah 8 kali.
12. Sihir 60 kali, fitnah 60 kali.
13. Zakat 32 kali, barokah 32 kali.
14. Pikiran 39 kali, cahaya 39 kali.
15. Lidah 25 kali, khotbah 25 kali.
16. Harapan 8 kali, ketakutan/kecemasan 8 kali.
17. Berbicara di depan publik 18 kali, pempublikasian 18 kali.
18. Penderitaan 114 kali, kesabaran 114 kali.
19. Muhammad 4 kali, syari'ah (ajaran rasululloh saw) 4 kali.
20. Laki2 24 kali, wanita 24 kali.  

Catatan Pengumuman UN tahun 2011-2012


 di balik tingginya angka dan prosentase kelulusan hasil Ujian nasional,m baik tingkat SMA maupun SMP untuk Sulawesi Selatan, banyak catatan dan keluh kesah dari beberapa orang guru yang masih memelihara "idealisme" dan esensi dari kata Pendidikan. Diantara catatan keluhan tersebut, kami rangkum sebagai berikut:
1. ada seorang guru SMA yang menceritakan, bahwa dia sempat bersitegang dan bertengkar dengan kepala sekolahnya, karena ketika dia menyetor nilai hasil kerja siswa, dan hasil ulangan harian siswanya, kepala sekolah minta agar nilai-nilai tersebut segera dirobah dan "diperbaiki" (dikatrol) agar nilai sekolah yang merupakan 40 % dari nilai kelulusan siswa dapat menutupi kemungkinan rendahnya nilai hasil UN siswa mereka. sang guru tersebut menolak dengan pemikiran bahwa tindakan tersebut melanggar nilai-nilai kejujuran, keteladanan dan nilai-nilai pendidikan yang ditanamkan selama ini kepada anak didiknya. ia Khawatir, jika model seperti ini yang dilakukan sekolah, maka anak didik tidak termotivasi lagi untuk belajar dan mengerjakan tugas-tugas mereka, karena mereka yakin, pihak sekolah akan memperbaiki jika nilai mereka. Disisi lain, kepala sekolah berkilah, bahwa mereka ditarget untuk harus meluluskan semua siswanya oleh pihak dinas pendidikan, sebagai perpanjangan tangan pemerintah daerah....
2. Seorang Kepala sekolah SMP di satu daerah, meski sekolahnya telah berhasil meluluskan 100 % siswa, dan daerahnya termasuk rangking dalam nilai rata-rata di sulsel, menyatakan akan mengundurkan diri dari jabatan kepala sekolah, karena dia sdh tidak tahan melakukan "instruksi" yang tidak sesuai dengan nurani dia, berkaitan dengan pengkatrolan nilai sekolah untuk siswa-siswi dia agar dapat lulus dalam UN... serta berkaitan dengan kebijakan pengelolaan dana BOS dan dana Gratis...
pengalaman dan pengakuan seperti di atas, adalah pengakuan yang umumnya dapat didengarkan dari teman-teman guru baik di tingkat SMP maupun ditingkat SMA, setelah adanya kebijakan menjadikan nilai ujian sekolah sebagai 40 % dari penentuan kelulusan hasil ujian.Jadi sebenarnya bukan pada perubahan model penentuan kelulusan yang menjadi faktor utama untuk mengurangi pendidikan "kecurangan" yang secara sistematis dilakukan di sekolah, atas "instruksi" kebijakan di tingkat daerah, akan tetapi perubahan mentalitas pejabat serta kecenderungan pejabat menjadikan lembaga pendidikan sebagai media politik pencitraan....
dst......

Dimanakah Tuhan Berada....???


Salah satu pertanyaan khatib Jum'at tempat saya Jum'atan, adalah: Dimanakah Tuhan berada?
Meski dia sendiri mencoba menjawabnya, dalam prespektif teologi, bahwa Tuhan (Allah) tidak membutuhkan ruang dan waktu, dst.... dalam benak saya teringat salah satu hadit qudsi yang menjelaskan tentang pertanyaan Nabi Musa as. Suatu ketika Nabi Musa As. bertanya: “Ya Allah, dimana aku mencari-Mu?”. Allah menjawab: “Carilah Aku di tengah-tengah orang yang hatinya hancur”. Dalam sebuah hadits qudsi, diriwayatkan bahwa nanti pada hari qiyamat Allah mendakwa hamba-hamba-Nya: “Hai hamba-hamba-Ku, dahulu Aku lapar, kalian tidak memberi-Ku makanan. Dahulu Aku telanjang, kalian tidak memberi-Ku pakaian. Dahulu Aku sakit, kalian tidak memberi-Ku obat atau menjenguk-Ku”. Orang yang didakwa itu menjawab: “Ya Allah, bagaimana mungkin kami memberi-Mu makanan, pakaian, dan obat, padahal Engkau adalah Rabbul ‘Alamin, Tuhan semesta alam”. Lalu Allah menegaskan: “Dahulu ada hamba-Ku yang lapar, telanjang dan sakit. Sekiranya kamu mendatangi mereka, mengenyangkan perut mereka yang lapar, menutup tubuh mereka yang telanjang, mengobati mereka yang sakit, niscaya kamu akan mendapati Aku di situ”.
Banyak orang mendekatkan diri kepada Allah dengan mengisi masjid-masjid dengan berbagai kegiatan keagamaan. Ini tentu saja tidak keliru, tetapi Islam sesungguhnya juga menganjurkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan mengisi perut-perut yang kosong karena lapar, kepala yang kosong karena minimnya pendidikan, dan lain-lain.....

Islam (sunni) Makassar tidak menolak program Doktor KH. Jalaluddin Rahmat di UIN


Berkaitan dengan ketidak setujuan salah satu Lembaga (ormas) Islam di Makassar, terhadap studi doktor (S3) yang dilakukan oleh Prof.Dr.Jalaluddin Rahmat (Kang Jalal) di UIN Alauddin Makassar. Menurut Prof. Dr. Umar Syihab (Ketua MUI Pusat), yang hadir menutup Rakerda MUI Sulsel, bahwa MUI tidak memiliki kapasitas untuk mencampuri persoalan yang merupakan wilayah akademik. Boleh tidaknya Kang Jalal melakukan studi di UIN, tergantung syarat akademik yang menjadi acuan UIN itu sendiri.
Manurut Prof. Umar, yang sudah 5 kali mengunjungi Teheran dan pusat-pusat budaya dan keagaman di Iran, Islam dan al-Qur'an yang diyakini oleh kaum Syiah, sebenarnya tidak berbeda dengan apa yang diyakini dan diperpegangi kaum Sunni.
Oleh karena itu, tulisan atau pernyataan bahwa Syiah bertentangan dengan Sunni, adalah anggapan orang yang tidak memahami ajaran sunni dan syiah dengan baik, dan pernyataan ketidak setujuan umat Islam (sunni) atas studi doktor Prof. Dr. Jalaluddin Rahmat yang disuarakan oleh salah satu lembaga/ormas di Makassar, sama sekali tidak mewakili kelompok Sunni di Makassar.
Saiful Jihad
(Sekretaris Ansor-Sulsel)

Konsep Siri dalam Budaya Bugis-Makassar


Siri’ atau harga diri merupakan eksistensi diri masyarakat Bugis. Seseorang  yang tidak mempunyai Siri’ diumpamakan sebagai bangkai yang berjalan. Dalam ungkapan Bugis disebutkan: Siri' mi tumencaji tau(Hanya karena Siri’ lah kita dinamakan manusia). Dengan demikian, seorang Bugis-Makassar-Toraja-Mandar, diakui eksistensinya, jika tetap menjunjung tinggi dan memelihara nilai-nilai Siri' itu sendiri.
Siri’  merupakan konsep keperibadian yang menjadi falasafah hidup masyarakat Bugis.  Siri’  dijadikan hukum kehidupan.   Jika seseorang tidak lagi memiliki siri’  maka dapat dinilai indifidu itu tidak lagi memiliki kepribadian dan bermakna mati dalam aspek  psikologis.   Demikian seperti yang terdapat dalam ungkapan“siri’ mi tu narituo “ (karena malu kita hidup).   Malu menjadi miskin, malu menjadi seorang yang tidak taat pada sara’ (aturan agama).  “Masiri’ tuo mappale” (malu hidup menadahkan tangan) menjadi  falsafah hidup yang dipegang teguh oleh masyarakat Bugis.
Singkatnya, siri’ merupakan sebuah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat manusia atau rasa dendam dalam hal-hal yang berkaitan dengan kerangka kemulian dan pemulihan harga diri yang disesuaikan dengan norma-norma atau aturan adat dan sara’ (hukum Islam)  yang berlaku.   Seseorang akan merasa malu jika tidak dapat menempatkan diri dalam kondisi hidup yang layak.  Hidup layak dalam makna pengakuan terhadap eksistensi diri sebagai  pribadi yang bermartabat. Ketika seseorang bersilaturahmi kepada orang yang lain, ketika seorang bersalawat kepada Nabi atau ketika seseorang sedang melaksanakan shalat, demikian juga ketika seseorang sedang bekerja keras dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, maka orang tersebut sedang dalam proses menjaga interaksi atau siri’nya. Seseorang yang bermasalah dengan urusan silaturahminya, salawatnya atau shalatnya, dan pekerjaannya, tentulah merupakan orang-orang yang juga bermasalah dalam urusan rasa malu atau siri’nya.
Penjabaran falsafah siri’ pada kenyataannya sudah  mengalami degradasi.    Sehingga sering kali siri’dimaknai sebagai upaya balas dendam jika terdapat pihak tertentu yang dirasakan menyinggung perasaan.   Aksi seperti ini bisa saja disebut sebagai bentuk perwujudan rasa siri’   namun sayangnya tidak jarang rasa siri’ itu juga dipicu oleh pihak lain yang “de’ ga sirina”(tidak memiliki rasa malu).   Jika seseorang memiliki sesuatu niat atau tujuan yang tidak baik, maka dalam konteks siri’, orang tersebut sebenarnya sudah mati atau tetap hidup namun “tuo fappadai olo’ kolo’e” (hidup sama dengan binatang).

Kejujuran dan Kesucian Tindakan Dalam budaya Bugis-Makassar


Duami uala sappo; unganna panasae na belo kanukue
(Dua hal yang dijadikan pagar diri, bunga nangka (lampu) yang berarti kejujuran dan hiasan kuku (pacci = paccing) yang berarti kesucian.
Kejujuran dan kesucian merupakan modal hidup masyarakat Bugis yang mesti dipelihara, dalam dan pada posisi mana saja dia beralktifitas. Artinya, jika dua karakter tersebut hilang dari pribadi/individu masyarakat Bugis, maka berarti dia telah mengabaikan nilai-nilai yang diajarkan oleh leluhur mereka.

Penegakan Hukum Tanpa Pandang Bulu dalam Budaya Bugis-Makassar


Ini sebuah kisah lama dari negeri Sidenreng. La Pagala Nenek Mallomo, yang lahir di Panrenge sebelah Utara Amparita tahun 1546. Sebagai seorang hakim, Nenek Mallomo terpaksa menjatuhkan hukuman mati terhadap anaknya sendiri. Kok bisa?
Ketika itu sudah tiga tahun panen di Sidenreng selalu gagal. Orang lalu mencari-cari apa penyebab kegagalan itu. Pasti ada yang tidak beres.
Dalam kebingungan mencari akar penyebabnya, putra Nenek Mallomo kemudian buka kartu, mengaku pada ayahnya. Katanya, tiga tahun lalu pada waktu musim membajak sawah beberapa mata sisir salaga miliknya patah. Lalu dia mengambil sebatang kayu kepunyaan tetangganya tanpa izin untuk mengganti mata sisir alat bajaknya yang rusak itu.
Nenek Mallomo, lalu berkata "Anakku, engkaulah rupanya yang telah melanggar pemali sehingga Tuhan menurunkan peringatan yang menimpa rakyat dan bumi Sidenreng ini. Demi kejujuran, engkau harus menghadap Dewan Pemangku Adat."
Putusan yang dijatuhkan ternyata amat berat, hukuman mati. Mengetahui putusan itu, rakyat menemui Nenek Mallomo. Mereka "berdemo" menuding Nenek Mallomo sampai hati menilai nyawa putranya sendiri dengan sepotong kayu. Menghadapi protes itu dengan tegas Nenek Mallomo berkata "Ade’e temmakkeanak temmakke-eppo. Adat (hukum) tidak mengenal anak tidak mengenal cucu."
Inilah sikap dan karakter masyarakat Bugis dalam hal penegakan hukum, yang tidak memandang buku, tyidak tebang pilih...

Hukum Berbicara sebelum Mengucapkan Salam


Kadang kita mendengar seorang pejabat atau bahkan muballigh, saat memulai pidato atau ceramahnya, diawali dengan kalimat "basmalah" sebelum dia menyampaikan salam. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam kitab Al-Adzkar An-Nawawi, Hlm. 168, disebutkan:
(فَصْلٌ) السُّنَّةُ أَنَّ الْمُسْلِمَ يَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ قَبْلَ كُلِّ كَلاَمٍ ِلأَنَّهُ تَحِيَّةٌ يَبْدَأُ بِهِ فَيَفُوْتُ بِاْلإِفْتِتَاحِ بِالْكَلاَمِ كَتَحِيَّةِ الْمَسْجِدِ.
"(Fasal) yang sunah orang salam itu mulainya sebelum bicara apa-apa …s/d …. Salam adalah sebelum berbicara. Karena salam adalah penghormatan yang dibuat permulaan. Sunahnya tidak ada jika sudah dimulai dengan bicara dahulu. Seperti sunahnya tahuyatul masjid, sebelum melakukan apa-apa".
Penjelsan lain:
Hukum membaca bismillah sebelum salam adalah tidak sunah untuk dijawab, alasanya hukum sunahnya memulai sesuatu dengan mengucapkan bismillah sebagaimana dalam hadits كلّ أمر ذى بال إلخ itu berlaku kalau memang perkaranya bukan dzikir yang murni sebagaimana bacaan ayat al-Qur’an yang dibuat dzikir sehingga kalau nanti perkara itu adalah asalnya untuk dzikir maka tidak sunah memulainya dengan bacaan bismillah padahal mengucapkan salam itu asalnya memang untuk dzikir oleh karenanya kalau didahului dengan bacaan bismillah maka itu termasuk mendahului dengan kalam yang punya pengaruh hukum tidak sunah dijawab.

Dengan ibarot sebagai berikut :
ومنها أن يبدأ كل مسلم منهم بالسلام قبل الكلام ويصافحه عند السلام قال النبى من بدأ بالكلام قبل السلام فلا تجيبوه حتى يبدأ بالسلام .اهـ إحياء علوم الدين الجزء الثانى ص 200 باب حقوق المسلم

والمراد بالأمر ما يعم القول كالقرأة والفعل كالتأليف, ومعنى ذى بال أى صاحب حال بحيث يهتم به شرعا أى بأن لا يكون من سفاسف الأمور وليس محرما ولا مكروها. ويشترط أيضا أن لا يكون ذكرا محضا ولا جعل الشارع له مبدأ غير البسملة والحمدلة, وخرج ما جعل الشارع له مبدأ غير البسملة والحمدلة كالصلاة فلا يبدؤ بالبسملة ولا بالحمدلة بل بالتكبير مثلا.اهـ
تحفة المريد على جوهر التوحيد ص 3.

ويشترط ان لايكون ذلك الامر ذكرا محضا بان لم يكن ذكرا أصلا أو كان ذكرا غير محض كالقرآن فتسن التسمية فيه بخلاف الذكر المحض كلا إله إلا الله. وان لا يجعل له الشارع مبتدأ غير البسملة والحمدلة كالصلاة فإنه جعل لها مبتدئ غير البسملة والحمدلة وهو التكبير.اهـ
الباجورى الجزء الأول ص 11.

Jadi tidak ada perselisihan dikalangan ulama Sunni, tentang hukum mengucapkan basamalah sebelum salam....

Dengan ibarot sebagai berikut :ومنها أن يبدأ كل مسلم منهم بالسلام قبل الكلام ويصافحه عند السلام قال النبى من بدأ بالكلام قبل السلام فلا تجيبوه حتى يبدأ بالسلام .اهـ إحياء علوم الدين الجزء الثانى ص 200 باب حقوق المسلم
والمراد بالأمر ما يعم القول كالقرأة والفعل كالتأليف, ومعنى ذى بال أى صاحب حال بحيث يهتم به شرعا أى بأن لا يكون من سفاسف الأمور وليس محرما ولا مكروها. ويشترط أيضا أن لا يكون ذكرا محضا ولا جعل الشارع له مبدأ غير البسملة والحمدلة, وخرج ما جعل الشارع له مبدأ غير البسملة والحمدلة كالصلاة فلا يبدؤ بالبسملة ولا بالحمدلة بل بالتكبير مثلا.اهـتحفة المريد على جوهر التوحيد ص 3.
ويشترط ان لايكون ذلك الامر ذكرا محضا بان لم يكن ذكرا أصلا أو كان ذكرا غير محض كالقرآن فتسن التسمية فيه بخلاف الذكر المحض كلا إله إلا الله. وان لا يجعل له الشارع مبتدأ غير البسملة والحمدلة كالصلاة فإنه جعل لها مبتدئ غير البسملة والحمدلة وهو التكبير.اهـالباجورى الجزء الأول ص 11.
Jadi tidak ada perselisihan dikalangan ulama Sunni, tentang hukum mengucapkan basamalah sebelum salam....