Senin, 13 Mei 2013

Konsep Siri dalam Budaya Bugis-Makassar


Siri’ atau harga diri merupakan eksistensi diri masyarakat Bugis. Seseorang  yang tidak mempunyai Siri’ diumpamakan sebagai bangkai yang berjalan. Dalam ungkapan Bugis disebutkan: Siri' mi tumencaji tau(Hanya karena Siri’ lah kita dinamakan manusia). Dengan demikian, seorang Bugis-Makassar-Toraja-Mandar, diakui eksistensinya, jika tetap menjunjung tinggi dan memelihara nilai-nilai Siri' itu sendiri.
Siri’  merupakan konsep keperibadian yang menjadi falasafah hidup masyarakat Bugis.  Siri’  dijadikan hukum kehidupan.   Jika seseorang tidak lagi memiliki siri’  maka dapat dinilai indifidu itu tidak lagi memiliki kepribadian dan bermakna mati dalam aspek  psikologis.   Demikian seperti yang terdapat dalam ungkapan“siri’ mi tu narituo “ (karena malu kita hidup).   Malu menjadi miskin, malu menjadi seorang yang tidak taat pada sara’ (aturan agama).  “Masiri’ tuo mappale” (malu hidup menadahkan tangan) menjadi  falsafah hidup yang dipegang teguh oleh masyarakat Bugis.
Singkatnya, siri’ merupakan sebuah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat manusia atau rasa dendam dalam hal-hal yang berkaitan dengan kerangka kemulian dan pemulihan harga diri yang disesuaikan dengan norma-norma atau aturan adat dan sara’ (hukum Islam)  yang berlaku.   Seseorang akan merasa malu jika tidak dapat menempatkan diri dalam kondisi hidup yang layak.  Hidup layak dalam makna pengakuan terhadap eksistensi diri sebagai  pribadi yang bermartabat. Ketika seseorang bersilaturahmi kepada orang yang lain, ketika seorang bersalawat kepada Nabi atau ketika seseorang sedang melaksanakan shalat, demikian juga ketika seseorang sedang bekerja keras dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, maka orang tersebut sedang dalam proses menjaga interaksi atau siri’nya. Seseorang yang bermasalah dengan urusan silaturahminya, salawatnya atau shalatnya, dan pekerjaannya, tentulah merupakan orang-orang yang juga bermasalah dalam urusan rasa malu atau siri’nya.
Penjabaran falsafah siri’ pada kenyataannya sudah  mengalami degradasi.    Sehingga sering kali siri’dimaknai sebagai upaya balas dendam jika terdapat pihak tertentu yang dirasakan menyinggung perasaan.   Aksi seperti ini bisa saja disebut sebagai bentuk perwujudan rasa siri’   namun sayangnya tidak jarang rasa siri’ itu juga dipicu oleh pihak lain yang “de’ ga sirina”(tidak memiliki rasa malu).   Jika seseorang memiliki sesuatu niat atau tujuan yang tidak baik, maka dalam konteks siri’, orang tersebut sebenarnya sudah mati atau tetap hidup namun “tuo fappadai olo’ kolo’e” (hidup sama dengan binatang).

Tidak ada komentar: