di balik tingginya angka dan prosentase kelulusan hasil Ujian nasional,m baik tingkat SMA maupun SMP untuk Sulawesi Selatan, banyak catatan dan keluh kesah dari beberapa orang guru yang masih memelihara "idealisme" dan esensi dari kata Pendidikan. Diantara catatan keluhan tersebut, kami rangkum sebagai berikut:
1. ada seorang guru SMA yang menceritakan, bahwa dia sempat bersitegang dan bertengkar dengan kepala sekolahnya, karena ketika dia menyetor nilai hasil kerja siswa, dan hasil ulangan harian siswanya, kepala sekolah minta agar nilai-nilai tersebut segera dirobah dan "diperbaiki" (dikatrol) agar nilai sekolah yang merupakan 40 % dari nilai kelulusan siswa dapat menutupi kemungkinan rendahnya nilai hasil UN siswa mereka. sang guru tersebut menolak dengan pemikiran bahwa tindakan tersebut melanggar nilai-nilai kejujuran, keteladanan dan nilai-nilai pendidikan yang ditanamkan selama ini kepada anak didiknya. ia Khawatir, jika model seperti ini yang dilakukan sekolah, maka anak didik tidak termotivasi lagi untuk belajar dan mengerjakan tugas-tugas mereka, karena mereka yakin, pihak sekolah akan memperbaiki jika nilai mereka. Disisi lain, kepala sekolah berkilah, bahwa mereka ditarget untuk harus meluluskan semua siswanya oleh pihak dinas pendidikan, sebagai perpanjangan tangan pemerintah daerah....
2. Seorang Kepala sekolah SMP di satu daerah, meski sekolahnya telah berhasil meluluskan 100 % siswa, dan daerahnya termasuk rangking dalam nilai rata-rata di sulsel, menyatakan akan mengundurkan diri dari jabatan kepala sekolah, karena dia sdh tidak tahan melakukan "instruksi" yang tidak sesuai dengan nurani dia, berkaitan dengan pengkatrolan nilai sekolah untuk siswa-siswi dia agar dapat lulus dalam UN... serta berkaitan dengan kebijakan pengelolaan dana BOS dan dana Gratis...
pengalaman dan pengakuan seperti di atas, adalah pengakuan yang umumnya dapat didengarkan dari teman-teman guru baik di tingkat SMP maupun ditingkat SMA, setelah adanya kebijakan menjadikan nilai ujian sekolah sebagai 40 % dari penentuan kelulusan hasil ujian.Jadi sebenarnya bukan pada perubahan model penentuan kelulusan yang menjadi faktor utama untuk mengurangi pendidikan "kecurangan" yang secara sistematis dilakukan di sekolah, atas "instruksi" kebijakan di tingkat daerah, akan tetapi perubahan mentalitas pejabat serta kecenderungan pejabat menjadikan lembaga pendidikan sebagai media politik pencitraan....
dst......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar