Senin, 13 Mei 2013

Diskusi dengan Kakanda Helmi Ali Yafie-2

Nasihat Kakanda Helmi Ali kepada generasi muda:
Ketiga: Tawaran Model Suksesi di Ormas NU-DDI

Sistem domokrasi yang saat ini menuju kepada kepemimpinan prifat dan kolektifitas akan didorong pada persaingan individual yang tajam dimana kekuatan persaingan cukup kental yaitu pendekatan :
1. Keluarga, kelompok ataupun grup.
2. Modal atau keuangan pribadi pemimpin.
3. Konsepsi kepemimpinan dan ideology kepemimpinan.
Mau tidak mau suka ataupun tidak suka pemimpin Indonesia mendatang harus memiliki tiga kepeloporan hal tersebu, karena money politik bukan jaminan untuk memenangkan kompetisi, Ikatan kekeluargaan yang kuat pun tidak menjamin, apalagi hanya sekedar tawaran konsepsual.
Karena masyarakat dan pemerintah dalam stakeholder pemerintahan harus menghadapi transisi dari demokrasi continental adopsi pemerintahn belanda yang multi partai dan proporsional menuju system perorangan yang bersifat distrik menuju bipartai model Anglo sactions model Amerika Serikat.
Kondisi perkembangan demokrasi dalam praktek perpolitikan seperti ini, ternyata juga sdh masuk kedalam system suksesi (pergantian kepemimpinan) dalam tubuh Organisasi Sosial, Organisasi Keagamaan dan Kemasyarakatan di negeri ini. Kita tidak bisa menutup manat terhadap perhelatan Kongres, Muktamar, Konfrensi, atau apapun namanya, persaingan individu yang tajam untuk menduduki posisi tertentu menjadi hal yang tidak bisa disangkal, dan kadang (tidak sedikit), persaingan tajam tersebut, berakhir dengan perpecahan organisasi.
Muktamar NU 29 di Cipasung, tahun 1995, yang memperhadapkan antara kubu Gus Dur dan Kubu Abu Hasan, kemudian berakhir dengan kekalahan Abu Hasan… tetapi ceritanya tidak sampai disitu, Abu Hasan lalu membentuk NU tandingan, dengan berbagai alasan dan pembenaran.
Di DDI pun, peristiwa itu terjadi, ketidak puasan terhadap figure yang terpilih, dengan berbagai alasan dan pembenaran, akhirnya melahirkan kubu DDI Muiz Kabri dan DDI Faried Wajdi.
Kita tidak ingin dan akan membahas tentang siapa benar dan salah, karena masing-masing punya alasan pembenaran, yang kita ingin coba ketengahkan, adalah, sudah tepatkan untuk Ormas Keagamaan atau ormas sosial kemasyarakat lain dalam konteks masyarakat kita saat ini untuk melakukan suksesi dengan model vote (one delegation one vote), mengapa tidak digagas model musyawarah-mumafakat, yang kemungkinan untuk tidak saling mencinderai dalam system suksesinya ?
Bukankah model itu juga diakui sebagai bentuk demokrasi yang diwariskan oleh budaya dan para pendahulu kita ?
Mungkinkah ini bisa digunakan dalam Muswil NU Sulsel di Padang Lampe Pangkep, atau pada Muktamar DDI tahun 2014 mendatang ?
Tentu jawabannya membutuhkan diskusi yang lebih intens, membutuhkan kajian system dan mekanisme yang lebih rapi,
Tetapi prinsipnya, kita menginginkan suksesi yang terjadi, tidak saling mencinderai, tidak saling menegasikan, tetap memelihara fatsun dan etika keagamaan (tidak ada politik uang, dst…) Karena sebenarnya, itu adalah bentuk investasi terhadap keruntuhan organisasi…
Kak Helmi, mohon dikoreksi dan disempurnakan..



Helmi Ali ya, saya risau melihat perkembangan ormas2 yg ada, terutama dlm ormas dimana saya dibesarkan; ada kecenderungan meninggalkan esensinya (rohnya) sebagai organiasi sosial keagamaan atau organisasi pendidikan dan da'wah .. beberapa prinsip (saling mendahulukan, penghargaan kepada guru, rendah hati, ikhlas, dsb, mengabdi untuk kepentingan umat/jama'ah) tampaknya ditinggalkan dan dg alasan modernisasi.. nilai2 baru diadopsi, termasuk demokrasi, yg ternyata, lebih menonjolkan prosedur, mementingkan kecepatan (mengambilkan keputusan) ketimbang mempertimbangak aspirasi .. pokoknya karak terorganisasi berubah .. cara bekerjanya kurang lebih sama dengan parpol; itu paling tampaknya nyata dalam konfrensi atau muktamar; yg lebih mementingkan membicarakan soal siapa yg akan memimpin; dg kwalifikasi utama hubungan dengan kekuasaan, bukan krn kapasitasnya sebagai pemimpinan/guru umat; dan proses pemilihannya, ya dengan cara demokrasi, yg ternyata rawan banget dengan manipulasi. Dari sini saja sudah keliahatan betapa sebenarnya nilai dasar organisasi sdh ditinggalkan. Oleh karena itu, saya kemudian berpikirknp kita tidak mencoba kembali ke nilai2 dasar itu .. kenapa tdk mencoba melihat kembali esensi dan karakter organisasi itu (organisasi sosial keagamaan atau organisasi pendidikan dan da'wah) .. kenapa tidak mencoba kembali ke cara2 musyawarah .. ketika membicarakan sesuatu yg menyangkut kepentingan bersama, teramsuk dlm memilih pemimpin .. dengan merunjuk kpd nilai2 dasar itu .. atau kalau nilai2 dasar itu .. roh itu .. sudah dianggap tdk lagi memadai .. untuk menjadi landasan dan motor penggerak organisasi, tentu boleh diganti, konsekwensi organisasi hrs berganti nama, tampil sebagai organiasi baru .. yg boleh jadi tidak memiliki lagi ikatan (sejarah) dg yg lama (krn barangkali memang tdk ada ketersambungan ... hehe2 .. sori kepanjangan; oh, soal penyebabnya keadaan organisasi berkembang seperti sekarang, kita bisa lihat pada point ketiga ..

Tidak ada komentar: