Jumat, 19 Juni 2015

Puasa: Ibadah Kemakhlukan

Puasa (shoum) dalam ajaran Islam berarti menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan. Puasa merupakan usaha sungguh-sungguh  untuk menahan diri dari syahwat lahiriah, makan, minum, hubungan seksual, sekalipun suami istri dan sesuatu yang bersifat indrawi dan dari syahwat yang bersifat rohaniah. Dengan demikian puasa adalah  suatu kegiatan untuk menahan lapar, haus dan syahwat dari fajar hingga magrib. Inti puasa adalah pengingkaran jasmani dan rohani secara sukarela dari sebagian kebutuhan yang menyenangan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.
Puasa tidak hanya dimonopoli umat manusia. Beberapa makhluk hidup lainnya dalam fase tertentu kehidupannya dijalani dengan puasa. Ada yang dilakukan secara terpaksa karena kekurangan makanan, atau kerasnya habitat hidup seperti musim panas dan musim dingin yang terlalu. Sebut saja, unta, ular, beruang kutub, ikan, jenis burung tertentu, serta beberapa hewan pengerat. Namun ada pula hewan berpuasa karena pilihan sendiri bukan terpaksa, mereka berpuasa dalam fase-fase tertentu, seperti serangga ketika berada dalam kepompong pada masa tertentu sampai fase baru dalam hidupnya selesai. Usai puasa, serangga memiliki kemampuan lebih dalam beradaptasi dengan habitatnya. Mari kita lihat beberapa contoh makhluk yang dekat dengan keseharian kita yang juga melakukan ibadah puasa:
Pertama, puasa Ular. Semua ular, ketika telah tiba saatnya, maka ia harus berpuasa karena dirinya sangat membutuhkannya untuk kelanjutan dan kelangsungan hidupnya. Kisaran waktu puasa mereka beraneka ragam. Sebagian ular puasa hingga 2 bulan dan sebagian yang lain bahkan ada yang hingga 3 bulan. Sesudah puasa, ular tetaplah ular, dengan sikap dan karakter yang tetap sama seperti sebelum puasa. tetap menjadi binatang buas yang ditakuti. tetap licin dan berbahaya. yang berubah hanyalah kulitnya yang baru. mungkin nampak lebih muda, dan gagah perkasa. Bagi ular, berpuasa semata-mata untuk menjaga struktur kulitnya agar tetap keras terlindung dari sengatan matahari dan duri-duri hingga ia tetap mampu melata di bumi. Ketika berpuasa ular tak punya nafsu makan, meskipun dihadapannya berbagai jenis makanan. Ular tidak tergoda untuk memakannya meskipun pada saat itu sedang dalam puncak kelaparan yang sangat luar biasa. Tetapi waspadalah setelah usai berpuasa, ular akan terlihat jahat dan buas. Bagi ular sendiri puasa itu adalah suatu yang positif karena akan membuatnya semakin ganas dan liar
Kedua, adalah puasanya ayam; ayam ketika mengerami telurnya, maka induk ayam berpuasa hingga sekitar 6-8 minggu, dia akan turun 1 kali dalam waktu 3 hari 3 malam untuk mendapatkan makanan ala-kadarnya. manfaatnya adalah agar telurnya menetas menjadi anak ayam. hikmah yang bisa kita ambil, puasanya ayam bermanfaat bagi diri dan keluarganya. Ketiga, adalah puasanya ulat. Ketika masih menjadi ulat, ia begitu dibenci oleh siapapun yang melihatnya karena tampilannya yang menjijikkan. keberadaannya adalah musibah bagi sekitarnya. ketika ia hinggap di daun, maka daun akan menjadi rusak. ketika ia di batang/ buah, maka batang/ buah pun akan menjadi rusak. di mana-mana ia selalu merusak.
namun setelah berpuasa dengan menjadi kepompong dan kemudian berubah menjadi kupu-kupu, subhanallaah, ia tidak lagi diperlakukan seperti ulat. tampilannya yang indah membuatnya begitu di suka oleh semua. keberadaanya tidak lagi menjadi musibah bahkan berbalik menjadi hikmah dan manfaah bagi yang lain. ketika hinggap di daun, ia membantu proses pembuahan pada tanaman.
Keempat, puasa Pohon dengan menggugurkan daun, setiap musim dalam satu tahun, pepohonan akan melakukan masa puasa, dan karena asupan gizi berkurang, maka dia menggugurkan daunnya. Tetapi setelah itu, kuncupnya akan tumbuk kembali, lalu mengeluarkan daun-daun yang hijau dan segar, yang pada akhirnya akan diikuti oleh bunga, sebagai cikal-bakal buah.
Selain binatang contoh di atas, binatang lain yang menjelankan ritual puasa, seperti ikan mujair, yang melakukan puasa untuk melindungi anaknya. Ketika sedang berpuasa, meskipun didepan mulutnya ada makanan, dia tahan seleranya. Jenis binatang lain yang suka berpuasa adalah burung, ada burung yang tetap tinggal disarangnya berhari-hari, malah berbulan-bulan tidak bergerak dan tidak makan. Ada pula burung yang tetap tinggal di sarangnya pada musim-musim tertentu setiap tahun, seperti burung elang sewaktu bertelur, mengerami telur dikala menjaga anaknya.
Demikian halnya dengan Beruang, Kelelawar, tikus, landak, katak, kadal, lalat, tawon, buaya, kepiting, siput, capung, ikan paus, ikan salmon, piquin, anjing laut, laba-laba. Kuda, sapi, anjing, kucing, gajah, biasanya berpuasa saat terserang suatu penyakit, hingga mereka sembuh. dan sebagainya.
Jika kita mencoba menelisik alasan makhluk-makhluk bumi tersebut berpuasa, maka ada beberapa alasan utama yang dapat disebutkan:
v  Melakukan efektifitas dan efisiensi kegiatan karena kelangkaan sumber makanan
v  berjuang menuju tempat yang tersedia sumber makanan
v  Meningkatkan kualitas sperma dan sel telur untuk menghasilkan generasi dan kehidupan yang lebih baik.
v  Menyempurnakan proses adaptasi terhadap dunia baru
v  Merefresh kembali kekuatan diri, agar menjadi makhluk baru
v  Keluar dari kondisi yang tidak baik, tidak sehat, menjadi makhluk yang lebih baik dan sehat.
Kalau dikaitkan dengan manusia sebagai bagian dari makhluk bumi di atas, maka ritual puasa yang dilakukan, tentu maknanya jauh lebih tinggi dari sekedar puasa yang diperoleh oleh makhluk-makhluk lain. Puasa hendaknya dijadikan media “Reformasi” diri dari hal-hal yang negatif kepada sesuatu yang lebih positif. Ada beberapa sasaran reformasi dari adanya puasa bagi manusia, diantaranya adalah:
Reformasi Spiritual kita mengalami peningkatan yang lebih baik dibanding sebelumnya. Dalam kontek reformasi spiritual ini pula kita semakin menyadari kehadiran Allah ditengah-tengah kita (Being Of God). Kemana-mana kita selalu dipantau oleh Allah, sehingga ketika hendak melakukan kejahatan kita urung untuk melakukannya.
Reformasi Emosional. Emosi kita yang suka marah-marah, cepat tersinggung, iri hati dan arogan semestinya bias kita kikis ketika puasa tiba. Kecerdasan emosional harus bisa kita tingkatkan. Tentunya, kecerdasan yang mengarah pada peningkatan energi emosi kita yang sangat positif. Pesimis, takut gagal, kurang percaya diri dan hal-hal negatif lainnya harus bisa kita tepis dengan adanya puasa ini.
Reformasi Intelektual. Tentu saja reformasi intelektual yang dimaksud adalah tidak hanya sebatas pada upaya yang sifatnya fisik seperti menambah supplemen kecerdasan otak dan lain sebagainya. Tapi juga aktivitas kita yang dapat menunjang pengetahuan kita bertambah itu harus ditingkatkan, seperti banyak membaca buku, melatih berfikir tentang kekuasaan Allah dan rajin belajar ilmu agama kepada ustadz atau kiayi. Ketiga reformasi itulah yang patut kita capai ketika datangnya puasa. Bila kita pahami lebih dalam tiga reformasi tadi, maka ada substansi yang bisa kita petik yaitu puasa harus bisa dijadikan reformasi kita menuju sesuatu yang lebih baik, menjadi makhluk yang berproses menuju insan yang bertaqwa (la allakum tattaqun).
Jika kita kembali mencoba belajar dari puasa ulat di atas, ulat melakukan puasa sebagai proses perubahan identitas, yaitu dari ulat menjadi kupu-kupu. Setelah berpuasa sekian lama, ulat berubah menjadi kepongpong dan lalu berubah lagi menjadi kupu-kupu yang indah. Ketika masih berwujud ulat, makannya hanya daun, sehingga merugikan orang lain karena dedaunan yang indah menjadi rusak akibat ulah ulat. Tetapi setelah menjadi kupu-kupu, makanannya berupa sari madu. Betapa puasa menahan lapar dan dahaga dapat mengubah seekor ulat yang lamban dan tidak disukai orang, akhirnya menjadi seekor kupu-kupu yang yang indah, lincah, terbang kian kemari mencari bunga-bunga yang berkembang dan banyak di gemari orang. Dengan kata lain , ulat melakukan puasa dengan tujuan yang sangat positif, meningkatkan kualitas diri dan semestinya memang seperti ini. Dari seekor binatang yang terliat jijik, gatal bila dipegang dan menggelikan bila di lihat tiba-tiba menjadi seekor binatang yang enak dipandang dan nyaman untuk dipegang. Ada tujuh kualitas yang dimiliki ulat setelah menjadi kupu-kupu:
1.    Beberapa pasang kaki yang dapat memegang sesuatu dengan kokoh dan trampil
2.    Mata faset yang melihat lebih jernih dan lebih luas
3.    Dua pasang sayap yang overlapping
4.    Sepasang antenna yang handal dan sensitif
5.    Keindahan warna yang beraneka
6.    Motif dan corak sayap yang unik
7.    Mulut dan bulu-bulu halus di perut yang dapat mengangkut benang sari
Beberapa kualitas diatas tidak akan ditemukan pada ulat. Ulat hanya bisa mendapatkan semua kualitas itu setelah menjadi kupu-kupu. Dan semua itu tidak akan terjadi jika binatang ini tidak melakukan ritual puasa.
Lulu kualitas apa yang kita peroleh dengan ibadah puasa yang kita lakukan...? jawabannya kembali kepada diri kita masing-masing.

Wallahu a’lam

Kamis, 18 Juni 2015

PUASA: HARMONI SPRITUALITAS DAN KEMANUSIAAN

Kehadiran bulan Ramadhan (puasa) selama sebulan dalam setiap tahun, merupakan wahana spiritual paling berharga bagi setiap Muslim untuk melakukan pembongkaran atas penjara-penjara hawa nafsu yang mengungkung dirinya, untuk menjadi manusia yang tercerahkan dalam kesejatian dirinya sebagai insan bertakwa (Q.S. al-Baqarah:183). Oleh karena itu, Allah telah menyatakan firma-Nya dalam salah satu Hadits Qudsi, “Setiap amal-kebajikan anak cucu Adam, adalah untuk dirinya, kecuali ibadah puasa, karena puasa itu untuk-Ku, dan hanya Aku yang bisa memberikan balasan yang sesuai”. 
Ibnu Al-Jauzi, menjelaskan makna hadits diatas, dengan menyebutkan bahwa “semua ibadah terlihat amalannya, dan sedikit sekali yang selamat dari godaan sikap riya’, hal ini berbeda dengan ibadah puasa, puasa pada hakikatnya merupakan amalan bathin yang hanya Allah mengetahui kadar dan kualitasnya, dan manjadi amalan yang rahasia Antara seorang hamba dengan Tuhannya.  Jika orang yang sedang berpuasa, janganlah berkata keji dan melakukan petengkaran. Kalau ada yang mencaci maki, atau mengajak berkelahi, katakanlah aku sedang berpuasa (inny shaaimun).  Oleh karena itu, makna puasa bukanlah sekedar meninggalkan makan, minum dan hal-hal fisikal yang membatalkan ibadah puasa, tetapi bersamaan dengan itu, haruslah didasari dengan keikhlasan semata-mata karena Allah, dan untuk hal aspek ini, tidak ada yang tahu kecuali hanya  Allah SWT., sehingga hanya Allah yang bisa memberi balasan sesuai kadar keikhlasan seseorang, tanpa ada batasannya.
Pertautan Antara amalan fisik ritual, dengan amalan bathin dalam pelaksanan ibadah puasa, menjadikan ibadah ini menjadi sesuatu yang sangat special, sehingga maknanya pun sangat tinggi, yang disatu sisi mesti mampu mengasah sifat dan kodrat kemanusiaan yang hakiki untuk membangun dan memperkuat harmoni insani (kemakhlukan) dan di sisi lain, mampu membangun relasi spritualitas dan “kemesraan” dengan Tuhan, semakin kuat.
Para ulama menyebutkan, ibadah Puasa (al-shawm) sebagai oleh jiwa tahunan (riyadhah al-sanawiyah). yakni proses didik diri untuk mengalahkan dominasi nafsu keduaniawian yang secara representative dilambangkang dalam pantangan  makan, minum, dan pemenuhan nafsu biologis. Suatu proses jihad akbar, yakni perjuangan besar seorang Muslim untuk memerangi hawa nafsu yang bercokol dalam dirinya. Rasulullah menyatakan, “bukanlah Puasa kalau sekedar berhenti dari makan, minum, dan memuaskan hawa nafsu seks. Puasa adalah menahan diri dari dusta dan parangai keji”. Puasa sekedar tidak makan,  minum dan memenuhi kebutuhan biologis, menurut sementara ahli sufi, adalah puasa orang awam, merupakan tingkatan paling rendah dari derajat orang berpuasa.
Entri point, dari pelaksanaan ibdah puasa ini, dari aspek ritual agama, orang yang berpuasa melakukan re-humanisasi dari diri seorang Muslim secara individual dan kolektif, sehingga terjadi proses transpormasi kesalehan dalam berbagai dimensi kehidupan, sebagai upaya dalam melakukan harmoni kemanusiaan. Pemaknaan puasa dalam proses re-humanisasi dan transpormasi kesalihan individual, dan keshalehan social sebagai wujud  dari harmoni kemanusiaan itu, tentu saja menuntut upaya reaktualisasi dari pandangan normative puasa sebagai ibadah mahda (ritual) kepada fungsionalisasi esensial yang bersifat objektif atas nilai-nilai ketakwaan dalam keseluruhan kehidupan kemanusiaan sebagaimana tujuan-tujuan utama Puasa.
Proses secara instrnsik ditandai oleh kesadaran internal setiap Muslim untuk melakukan pembongkaran (dekonstruksi) atas penjara-penjara (nafsu) dan ego kemanusiaan yang ada dalam dirinya, bahwa makna kesempurnaan sebagai ciptaan Tuhan yang paling mulia ketimbang makhluk lainnya dimuka bumi ini, hanya bernilai jika dirinya dapat menghargai peran kehambaan dirinya, dalam hubungannya dengan makhluk lain, serta mampu mengfungsikan dirinya sesuai kodrat penciptaannya. “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam penciptaan yang paling sempurna ciptaan. Lalu kami kembalikan dia pada posisi yang paling rendah. Kecuali mereka yang selalu beriman dan ber amal kebajikan” (Q.S. al-Thin: 4-6).
Sedangkan secara ekstrinsik, Puasa dijadikan wahana bagi usaha membangun solidaritas kemanusiaan yang harmoni dan damai, yang melintasi sekat-sekat yang dapat meruntuhkan persaudaraan kemanusiaan, menuju persaudaraan umat manusia sejagat sebagai insane mulia yang bermatabat sama dihadapan Tuhan.  Harmoni kemanusiaan, dapat ditranspormasikan atau diaktualisasikan oleh Muslim yang berpuasa, adalah terrujudnya kesalihan sosial dalam tata hubungan kemasyarakatan di berbagai segi kehidupan. Sikap toleran, welas asih, empatik, senasib sepenanggungan, memiliki kepekaan social yang tinggi, pemaaf, cinta pada kedamaian, dapat dikembangkan dari makna fungsional ibadah Puasa dalam kehidupan bermuamalah. Ssebaliknya sikap mudah memvonis, memojokan, menghina, menjatuhkan, berseteru, merasa benar sendiri, dan sikap-sikap kerdil lainnya terhadap sesama, jelas berlawanan dengan esensi dan makna fungsional dari nilai ibadah puasa.
Jika setiap destruktif yang naïf ini masih subur dalam diri  Muslim, baik secara individual maupun kolektif, padahal setiap tahunnya selama sebulan ia selalu ibadah puasa, maka puasa yang dilakukannya  itu tidak membuahkan apa-apa, selain rasa lapar dan dahaga. Dan itu berarti kekalahan dan kerugian yang didapatkan seorang Muslim, bukan kemenagan. Dalam kehidupan masyarakat yang kini lebih didominasi corak solidaritas organis (meminjam konsep Emile Durkheim), dimana hubgnan antara sesama lebih didasarkan pada serba kepentingan, merenggang, impersonal, dan berjarak, maka melalui ibadah puasa umat Isalam dapat menarik hubungan sosial yang kebablasan itu ke koridor yang harmoni dengan dasar persaudaraan kemanusiaan, kesamaan, dan keadilan.
Ketika kualitas kesenjagan sosial cendrung menguat antar lapisan sosial, dan orang-orang rentan terealinasi secara struktural dan kultural, umat Muslim melaui ibadah puasanya yang bersifat transpormatif dituntut mengembangkan kepedulian dan solidaritas sosial yang manusiawi sebagai implementasi pesan luhur Nabi “tidak beriman seseorang, jika tertidur nyenyak karena kekayaan, sementara tetangganya dibiarkan kelaparan.”

Wallahu a’lam…