Selasa, 09 Oktober 2007

Kesucian Sebagai Fithrah Kemanusiaan

Oleh : Saiful Jihad

“’Idul Fithri”, hari kembali kepada fitrah. Kata Fitrah dapat diartikan asal kejadian yang suci, juga berarti jati diri manusia. Dalam salah satu hadits Rasulullah saw., bersabda: “Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang membuatnya Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR. Bukhari)
Adanya fitrah, adalah sebagai kelanjutan dari perjanjian kita dengan Allah swt., ketika kita masih berada dalam alam ruhani, sebagaimana yang diberitakan oleh salah satu ayat al-Qur’an, bahwa kita sebelum lahir dipanggil oleh Allah secara bersama-sama menghadap dan diminta kesaksian, bahwa kita akan bertuhankan hanya Allah, Raab yang Maha Tinggi, Alah berfirman: “Bukankah Aku ini Tuhanmu ? (kita semua menjawab), Ya kami bersaksi, (kami akan lakukan semua itu)” (QS. 7 : 172)
Gambaran asal kejadian manusia yang fithrah tersebut di atas, mengandung pengertian, bahwa manusia hakekatnya berasal dari yang suci (bersih), yang dalam dirinya telah tertanam penyaksian dan pengakuan diri untuk hanya bertuhankan Allah, dan itu jugalah yang menjadi jati diri manusia. Dengan demikian, ungkapan kembali kepada fithrah (‘idul fitri) adalah pernyataan kita yang telah melaksanakan ibadah puasa, dengan dasar iman (percaya dan mempercayai) Allah, serta berusaha secara sungguh-sunggu untuk melaksanakan tuntunan syariat puasa dengan sebaik-baiknya (ihtisab).
Masa 30 hari dari pelaksanaan ibadah ramadhan yang diberikan Allah kepada kita, menjadi moment untuk berusaha mengembalikan makna dan hakekat kesucian dan jati diri kita, sehingga kita pantas untuk merayakannya pada hari ini.
Usaha untuk meraih kembali hakekat fithrah tersebut, tergambar dalam upaya kita untuk melakukan pensucian (tazkiyah) atas niyat (tazkiyatu al-niyat), jiwa (tazkiyatu al-nafs) dan harta (tazkiyatu al-maal).
Ibadah puasa yang kita lakukan, merupakan satu-satunya peribadatan yang diklaim oleh Tuhan sebagai milik-Nya dan hanya Dia yang berhak untuk menilainya, Allah berfirman dalam hadits Qudsi: “Semua amalan anak cucu Adam untuknya, kecuali ibadah puasa. Karena puasa itu untuk-Ku dan hanya Aku yang berhak memberikan membalasnya (memberikan penilaian)”
Hadits ini menggaris bawahi, bahwa ibadah puasa yang kita kerjakan merupakan suatau bentuk peribadatan khusus, yang hakekat serta nilai pelaksanaannya hanya Allah yang tahu. Oleh karena itu, dituntut ketulusan dan kesucian niyat (iman dan ihtisab) dari hamba yang melaksanakan ibadah puasa. Hal ini berbeda dengan amalan lain yang kita kerjakan, apakah itu ibadah mahdah lainnya, ataupun ibadah yang sifatnya umum, dimana seorang yang melakukan ibadah shalat misalnya, orang lain dapat menjadi saksi dan memberi nilai ibadahnya, meski tidak dapat mengetahui secara pasti hakekatnya.
Dengan demikian, pengihlasan dan pensucian niyat, merupakan dasar dari pelaksanaan ibadah puasa, karena puasa yang kita lakukan ditujukan hanya kepada Allah semata. Seorang tidak akan mungkin puasa jika hanya untuk dinilai orang atau masyarakat sebagai seorang yang berpuasa, yang alim, yang taat beragama, atau pujian lainnya, karena tanpa harus puasa pun dia dapat berpura-pura puasa. Seorang yang berpuasa sadar, bahwa ibadah yang dilakukan bukan sebuah kepura-puraan, dia berpuasa karena implementasi dari rasa keimanan dan ketaatan pada Tuhan yang Maha Melihat, Maha Mengetahui Maha Mengawasi segala perbuatan manusia, dia selalu menyadari dan meyakini kehadiran Tuhan setiap saat, dan ditempat manapun ia berada.
Kesadaran seperti ini lahir dari pengihlasan dan pensucian niyat yang dilakukan oleh para shaimin dan shaimat dalam bulan suci ramadhan. Modal tazkiyatu al-niyat yang kita peroleh tersebut akan menghindarkan kita dari sifat riya’ (ingin dinilai dan dipuji oleh orang lain). Dalam ibadah, kita hanya beribadah kepada dan untuk Allah, kita beramal karena Allah, bersedekah karena Allah, menyantuni faqir miskin dan anak yatim untuk meringankan beban dan menggembirakan mereka pada hari ini karena Allah, bukan karena yang lain, juga bukan memberi karena ingin dibalas, diperhatikan oleh orang lain, memberi dan membag-bagi hadiah, parcel, angpao dan semacamnya kepada mereka yang sebenarnya telah berkecukupan dari segi materi, dari pejabat kepada pejabat, atau dari pengusaha kepada pejabat, dan yang lainnya.
Ibadah puasa yang kita laksanakan, juga merupakan upaya kita untuk menjaga dan mengembalikan kesucian diri (nafs) kita (tazkiyatu al-nafsiah). Hakekat dan asal kejadian kita adalah suci, tanpa beban dosa, namun kemungkinan untuk melakukan dosa dan kesalahan telah ada dalam diri manusia, sebagaimana kemungkinan untuk melakukan ketaatan dan ketaqwaan. “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan jalan ketaqwaan, sesunguhnya beruntunglah orang yang mensuci-kan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (QS.
Keterlibatan dan interaksi manusia dalam menjalankan hidup dan kehidupannya di muka bumi tidak dapat lepas dari dua kecenderungan dasar di atas, yakni kecenderungan untuk berbuat dosa (fasiq) dan kecenderungan untuk taat (taqwa). Peluang ini dimanfaatkan oleh iblis dan syaethan untuk menggoda dan mempengaruhi manusia agar berbuat dosa (fasiq), serta jauh dari ketaatan (taqwa). Dengan demikian, kita semua tentu pernah melakukan dosa dan kesalahan, sehingga kesucian jiwa dan diri kita ternoda, namun kecenderungan untuk taat (taqwa) akan selalu menarik kita agar kembali kepada hakekat kesucian diri, bisikan penyesalan atas dosa yang dikerjakan serta dorongan untuk memohon ampunan Tuhan akan selalu hadir dalam diri manusia, Rasul bersabda: “Tiap-tiap anak cucu Adam pernah berbuat salah (dosa), dan sebaik-baik orang bersalah (berdosa) adalah mereka yang bertaubat”
Kehadiran bulan ramadhan, bulan tempat melebur dan membakar dosa, merupakan kesempatan bagi kita untuk menumbuh suburkan kecenderungan berbuat taat (taqwa), sehingga kita dapat kembali kepada hakekat asal kejadian kita, salah satu jaminan yang disampaikan oleh Rasul, terkait dengan pelaksanaan ibadah puasa yang dilaksanakan dengan penuh keyakinan (iman) dan kesungguhan (ihtisab), adalah ampunan dari Allah atas dosa dan kesalahan yang pernah kita kerjakan: “Barangsiapa yang melaksanakan ibadah puasa dengan penuh keyakinan dan kesungguhan, maka diampuni dosa dan kesalahannya di masa lalu”
Dalam hadits lain disebutkan:“Barangsiapa yang melaksanakan ibadah puasa dengan penuh keyakinan dan kesungguhan, maka ia keluar dari dosanya, ibarat bayi yang baru lahir dari rahim ibunya”
Kesucian diri dan jiwa dari dosa, sebagai salah satu hasil dari pelaksanaan puasa, berimplikasi pada kesadaran diri untuk selalu berusaha menjadi suci, dan berbuat suci.
Dalam ibadah puasa kita dididik untuk selalu menghindari perbuatan dan perkataan dosa, tindakan tercela dan sia-sia, karena dapat merusak dan menjadikan puasa kita tidak bermakna. Kita juga dididik untuk dapat mengendalikan hawa nafsu, dan keinginan-keinginan yang sifatnya duniawi. Hal ini merupakan perwujudan dari usaha kita untuk membersihkan dan memelihara kesucian diri (tazkiyatu al-nafsiyah).
Jika kebiasaan prilaku dalam berpuasa tersebut kita dapat pelihara, maka jiwa (nafs) kita akan merasakan indahnya hakekat kesucian, serta akan peka (sensitif) untuk menolak tindak perbuatan salah dan dosa yang kita lakukan. Sebaliknya, kebiasaan melakukan perbuatan dosa, kesalahan dan kesia-siaan, akan menjadikan jiwa kita tidak lagi dapat membedakan perbuatan dosa dan kesalahan, bahkan kadang perbuatan salah, justru dicarikan dalil pembenaran. Maka digantilah istilah sogokan sebagai ucapan terima kasih, parcel, hadiah dan sebagainya; memeras orang dengan alasan membantu, mengeksploitasi dengan dalih mencarikan pekerjaan dan semacamnya.
Upaya pensucian diri (tazkiyatu al-nafsiyah) yang dilakukan dalam bulan suci ramadhan, selain ibadah puasa itu sendiri, adalah penunaian ibadah zakat fitrah. Zakat fitrah itu sendiri dalam hadits Rasul saw., disebutkan sebagai media untuk mensucikan diri orang yang berpuasa, serta pembiasaan sikap menyantuni faqir-miskin “Zakat Fithrah adalah pembersih diri bagi orang yang berpuasa dan pemberian makan kepada orang miskin” (Al-Hadits)
Sifat murah-hati dan suka memberi, merupakan sifat Tuhan yang Maha Suci. Manusia yang suci dan cenderung berbuat suci, sebagai refleksi dari kesucian diri (nafs) akan selalu berusaha mencontoh sifat dan akhlak Tuhan: “Berakhlaqlah dengan Akhlaq Tuhan” kata Rasul.
Hal ini pun sangat terkait dengan posisi kita sebagai makhluk selalu merasa kurang dan tidak cukup, sehingga meminta dan memohon kepada Tuhan yang Maha Sempurna dan Maha Cukup. Ada sebuah hukum sosial yang lahir disini, bahwa jika seorang hamba meminta dan berharap Tuhan mengabulkan permintaannya, maka biasakanlah diri untuk mengabulkan permintaan mereka yang membutuhkan, dan jika berharap kebutuhan kita dapat dipenuhi oleh Allah, maka biasakanlah diri untuk memenuhi hajat mereka yang membutuhkan.
Zakat fithrah, salah satu dimensinya, adalah mengajarkan kita untuk terbiasa memberi, mencontoh sifat dan akhlaq Tuhan. Dan dari kebiasaan dan kesadaran mengeluarkan zakat fithrah, akan menuntun kita pada kesadaran untuk mengeluarkan zakat harta.
Zakat harta, disamping fungsi pensucian diri dengan mencontoh sifat dan akhlaq Tuhan, juga berfungsi untuk mensucikan harta (tazkiyatu al-maliyah), sehingga harta yang kita peroleh, dapat kita manfaatkan dalam keadaan yang bersih. Allah menegaskan: “Ambillah zakat harta mereka, untuk membersihkan mereka dan mensucikan harta mereka” (QS. )
Akhirnya, segala upaya dan usaha untuk mensucikan niyat (tazkiyatu al-niyat), mensucikan diri (tazkiyatu al-nafsi) dan mensucikan harta (tazkiyatu al-maliyah), yang kita lakukan selama 30 hari dalam bulan suci ramadhan yang baru saja meninggalkan kita merupakan aset yang sangat berharga untuk memasuki dan mengisi hari-hari kita yang akan datang. Kita tentu berharap, agar kebiasaan baik dan terpuji yang kita lakukan selama bulan ramadhan, seperti keihklasan dalam berbuat, jauh dari sifat riya’, takabbur dan ta’ajjub, menghindarkan diri dari perkataan dan perbuatan yang tercela, sia-sia dan dosa, mampu mengendalikan diri, tidak mempeturutkan keinginan hawa nafsu, tekun melaksanakan ibadah-ibadah ritual untuk mengasah dan membangun komunikasi yang harmoni dengan Tuhan, serta gemar melakukan ibadah-ibadah sosial, untuk merangkai jalinan yang harmoni dengan sesama makhluk dapat kita pelihara.
Selamat Hari raya Idul Fithri, hari kembalinya kita pada hakekat kesucian dan jati diri manusia, Selamat meraih kemenagan, karena puasa dan zakat dapat ditunaikan.
Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: