Senin, 09 Juni 2008

ASWAJA: FAHAM DAN PANDANGAN KEAGAMAAN DDI

Oleh : Saiful Jihad

Bagian I

A. PENDAHULUAN: Sebuah penjelasan
Dalam Anggaran Dasar (AD) DDI, pasal 3 ditegaskan, bahwa organisasi DDI adalah organisasi yang beraqidah Islam, yang berhaluan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah (aswaja). Ketentuan ini menjadikan dasar pentingnya upaya pemahaman dan pengkajian terhadap konsep dan pandangan keagamaan )Islam) dalam bingkai pemikiran Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Bagi organisasi DDI, rumusan yang secara khusus menjelaskan tentang pandangan aswaja yang difahami, dianut dan diamalkan oleh warga DDI merupakan persoalan yang semestinya menjadi perhatian dasar. Pertanyaan yang mungkin muncul dalam kaitan ini adalah, bolehkah DDI merumuskan konsep Aswaja menurut versi DDI sendiri? Menurut kami, jawabannya bukan saja boleh, tetapi semstinya menjadi suatu keharusan. Sebagai organisasi yang telah menegaskan sejak awal sebagai penganut faham Aswaja, DDI harus dapat merumuskan konsep dan pandamngan Aswaja, yang dianutnya.
Hal lain yang menjadi pertimbangan pentingnya rumusan tersebut adalah semakin banyaknya beredar buku-buku, baik terjemahan ataupun ulasan tentang Aswaja, tetapi sebagian (besar) tidap pas (cocok) dengan visi dan versi DDI itu sendiri. Kemestian hadirnya buku atau tulisan tentang pandangan Aswaja tersebut, dimaksudkan untuk memberikan tuntunan bahwa Aswaja dalam pandangan DDI mungkin tidak selalu sama dengan buku-buku atau tulisan “aswaja” yang benyak beredar.
Hanya saja, perlu di kajian dan telaah lebih mendalam atas persoalan ini, sehingga dalam rumusan yang dibuat tersebut selalu berdasar pada prinsip dasar dari faham dan pandangan keagamaan DDI yang “tawassuth wa al-i’tidal”, tidak “tatharruf” atau memusihi salah satu aliran/faham tertentu.
Kalau DDI mempunyai visi tersendiri tentang Aswaja, tidaklah berarti bahwa pihak-pihak yang tidak sama fisinya dengan DDI, lalu kita vonis sebagai kelompok bukan Aswaja. Faham Aswaja bukanlah organisasi, bukan jam’iyah, tetapi merupakan faham dan pandangan keagamaan. Siapapun bisa menjadi Sunni (ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah), meskipun tidak masuk atau bukan warga DDI, selama visi tersebut tidak keluar dari bingkai Aswaja secara umum. Namun di sisi lain, semua fihak perlu menghargai visi DDI tentang Aswaja.
Berangkat dari dasar pandangan semacam ini, penulis dengan segala keterbatsan yang dimiliki, mencoba mengetengahkan kepada pembaca tentang rumusan sederhana mengenai faham Aswaja yang menjadi bingkai pemikiran keagamaan bagi warga DDI.
Rumusan dan tulisan ini, tentu sangat jauh dari kesempurnaan, sangat dangkal dalam kajian dan analisis, sehingga kritik, saran dan tanggapan dari semua fihak, menjadi hal yang sangat dibutuhkan untuk penyempurnaannya. Penulis juga berharap tulisan ini menjadi forum awal untuk mendialogkan konsep Aswaja versi DDI, untuk mendapatkan rumusan yang lebih pas dan sesuai.

B. AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMA’AH (ASWAJA) SEBAGAI ACUAN
PANDANGAN KEAGAMAAN

Sebagaimana yang disebutkan di atas, pandangan (faham) keagaman yang dianut oleh DDI, didasarkan pasal 3 Anggaran dasar DDI, yang berbunyi : “Organisasi ini beraqidah Islamiyah, berhaluan Ahlu al Sunnah wa al-Jama’ah”. Pasal ini memberikan penegasan dan penggarisan, bahwa dalam hal faham dan pandangan keagamaan yang dianut oleh Darud Da’wah wal Irsyad adalah pandangan dan faham keagamaan dalam bingkai dan kerangka berfikir Ahlu al Sunnah wa al-Jama’ah.
Istilah Ahlu al-sunnah wa al-jama’ah (Selanjutnya disebut Aswaja), secara etimologi terdiri dari tiga kata, yaitu :
1. Ahlu ( اهــل ), yang berarti kelompok, golongan atau keluarga
2. Sunnah ( ســنـــة ) yang berarti ajaran Nabi, meliputi : ucapan/sabda ( أقـوال ), perbuatan ( أفـعـال ), dan ketetapan ( تقرير ).
3. Al-jama’ah ( الـجـمـاعـة ), yang berarti golongan mayoritas.
Sedangkan menurut istilah (terminologi), Aswaja, didefinisikan dengan “ma ana ‘alaihi wa ashhaby “ ( مـاأنـا عليه واصـحابى ). Sebagaimana yang disebutkan dalam salah satu Sunnah yang diriwayatkan oleh al-Turmudzi :
إن بنى اسـرائـيل تفرقت على ثنتين وسبـعين ملـة, وتفترق امـتى على ثلاث وسـبعين مـلـة, كـلـهـم فى النـار الا ملـة واحـدة, قـالوا : ومـاهي يارسـول الله, قـال : مـاأنا عليه و اصـحـابى ( رواه الترمـذي )
“Berpecah-belah Yahudi menjadi 71 atau 72 golongan. Dan Nasrani demikian juga. Berpecah-belah Ummatku nanti menjadi 73 golongan. Semuanya masuk ke neraka kecuali satu, sahabat-sahabat bertanya, siapakah golongan itu ya Rasulullah? Jawab Nabi itulah golongan yang tetap mengikuti ajaranku dan ajaran yang dianut sahabat-sahabatku”. (Sunan Turmudzi: Juz V, hl. 25-26)

Berangkat dari pengertian di atas, maka pandangan serta faham keagamaan Aswaja yang menjadi bingkai pandangan dan pemahaman keagamaan yang dianut DDI, mengacu pada pemahaman ajaran Islam yang dianut oleh Rasulullah dan sahabat-sahabatnya (ma ana ‘alaihi wa ashhaby) yang berpegang teguh pada :
1. Kitabullah (al-Qur’an) dan al Sunnah (al sunnah) Rasulullah saw.
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا (الحشـر : 7)
“Apa yang disampaikan oleh rasul kepadamu hendaklah kamu ambil dan apa yang rasul melarangmu hendaklah kamu hindari”
تركت فيكم امـرين لن تضـلـوا مـاإن تمـسـكتم بـهمـا كـتاب الله وسـنـة نبيـه ( رواه ابن عبـد البر )
“Aku tinggalkan dua perkara bagimu yang apabila kamu berpegang pada keduanya tak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah nabi-Nya” (H.R.Ibnu Abdil Barr)

2. Sunnah para Sahabat
Sunnah para sahabat, terutama khulafa rasyidun dalam mengkaji dan mengamalkan ajaran Islam. Aswaja selalu berpegang teguh pada sunnah atau atsar para sahabat rasul, dengan pertimbangan :
a. Para sahabat adalah generasi yang hidup sezaman dengan Rasulullah. Mereka mendengar langsung sabda rasul, melihat perbuatan rasul dan menghayati sikap ketetapan Rasulullah saw.
b. Para sahabat adalah orang-orang yang menerima agama Islam langsung dari Nabi. Mereka sering berdialog untuk memahami ajaran Islam secara mendalam dan benar. Mereka adalah para pencatat dan juga penyusun wahyu sehingga menjadi satu mushaf.
c. Banyak Sunnah Nabi yang menjlaskan kemampuan para sahabat dalam menghayati dan mengamalkan ajaran Islam secara murni. Bahkan Rasulullah saw sendiri menganjurkan kepada kaum muslimin untuk mengikuti jejak langkah para sahabatnya, seperti sabdanya :
عـليـكـم بسـنتى وسـنـة الـخـلـفاء الراشــديين ( رواه ابو داود و الترمـذي )
“Haruslah kamu sekalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khulafa al-rasyidun”.

3. Ijma’ (Kesepakatan) ulama
Ijma’ (kesepakatan) para ulama terutama dalam masalah khilafiyah, memilih pendapat al aswaad al a’dhzam dan mengikuti madzhab imam mujtahidin, terutama madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali). Dalam hal ini didasarkan pada firman Allah dalam Surat al-Nisaa, 115 :
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Barangsiapa menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk, sedanhgkan mereka mengikuti selain jalannya (mayoritas) kaum muslimin, maka kami palingkan dia dari jalan yang ia ikuti, dan akan Kami bakar dia ke dalam Neraka Jahannam dan Neraka Jahannam itu sejele-jeleknya tempat kembali”.

Anjuran mengikuti golongan mayoritas (al aswad al a’dhzam) dapat dirujuk pada salah satu Sunnah Rasulullah saw.
إن امـتى لا تجـتمـع على الـضـلا لـة ابـدا فإذا رأيـتـم اخـتـلا فـا فعليـكم بالسـواد الأعـظــم (رواه ابوداود)
“Sesungguhnya umatku tidak mungkin sepakat dalam kesesatan, apabila kamu menemukan perselisihan, maka ikutilah golongan mayoritas”. (H.R. Abu Dawud)

Namun perlu digaris bawahi disini, bahwa sikap untuk mengikuti Rasulullah saw. dan sabatnya serta para ulama mujtahid mencakup cara memahami (manhaj) dan pemahaman atau aktualisasi atas pemahaman ajaran Islam. Dengan demikian, pemaknaan aswaja dalam konteks ini adalah mengikuti Rasul, sahabat rasul dan para ulama mujtahid dalam hal cara (metode) memahami ajaran Islam, (aswaja sebagai manhaj). Serta mempraktekkan pendapat atau pandangan yang telah “dimapankan” sebagai hasil dari metode (manhaj) pemikiran yang dianut tersebut, (aswaja sebagai aqwali).
Dari pengertian di atas dapat pula difahami, bahwa aswaja sudah ada sejak masa Rasulullah saw. dan sahabat-sahabatnya, seperti yang dilukiskan dalam Sunnah di atas. Artinya, aswaja telah ada jauh sebelum tumbuh dan berkembangnya aswaja sebagai suatu “aliran” dan “gerakan”.
Aswaja sebagai suatu gerakan baru populer sekitar abad ke-3 Hijriah, dan ini memicu lahirnya aswaja sebagai suatu aliran dan gerakan tertentu dari komunitas umat Islam. Hal ini sebagai dampak dari adanya pertengkaran, penyelewengan atau penyimpangan yang serius di kalangan umat Islam, baik dalam lapangan aqidah (keimanan), syari’ah, maupun politik dan filsafat. Dalam konteks ini aswaja muncul sebagai suatu reaksi atas realitas di atas dengan tujuan untuk mengembalikan ajaran dan pemahaman atas ajaran Islam yang berdasarkan pada al-Qur’an dan al-Sunnah (sunnah) Rasulullah serta pemahaman para sahabatnya.
Jika mencermati sejarah perkembangan aliran-aliran dalam Islam, kelompok umat Islam yang senantiasa konsisten terhadap ajaran al-sunnah memang telah muncul jauh sebelum Abu Hasan al-Asy’ary (w.324 H/ 936 M) dan Abu Mansur al-Maturidy (w.944 M) lahir. Ketika terjadi pergolakan besar pada masa sepeninggal Rasulullah, sebuah pertikaian antara kaum muslimin yang menjadi titik sejarah munculnya kelompok (firqah) dikalangan umat Islam, dua orang sahabat Nabi, yakni Abullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar, mengungkapkan sikap tentang perlunya mengembangkan solidaritas dan persatuan umat.
Keduanya dengan serius mulai melakukan kajian-kajian terhadap al-sunnah sebagai jalan memahami ajaran agama dengan benar dan mendalam. Pandangan-pandangan kedua sahabat Nabi ini di kemudian hari menjadi corak pemikiran aswaja.
Di sisi lain, aswaja dengan pengertian ahl hadis juga telah muncul mendahului al-Asy’ari. Ahmad bin Hambal telah dikenal dan diberi gelar sebagai Imam atau pemimpin ahlu al-sunnah wa al-jama’ah. Ahmad bin Hambal muncul untuk meng-counter¬ ahl al-ra’y (rasionalis), baik dalam lapangan ilmu kalam maupun dalam fiqih. Bahkan, dalam catatan lain disebutkan bahwa ulama sebelumnya, seperti Hasan Bahry (110 H) Abu Hanifah (150 H) telah dijuluki sebagai imam aswaja.
Al-Asy’ari dan al-Maturidy yang muncul beberapa waktu kemudian, lalu mencoba menformulasikan konsep-konsep al-sunnah dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan teologis secara berbeda. Momen yang tepat, ketika umat Islam, khususnya kalangan awam merasa “bingung” dengan perdebatan dan polemik teologis yang rasionil pada waktu itu, membuat pikiran-pikiran Asy’ari-Maturidi berhasil menarik dan “memuaskan” ketika itu, dan sampai saat ini.
Paradigma dan pikiran-pikiran Asy’ari dan Maturidi oleh pengikutnya, kemudian diklaim sebagai ahlu al-sunnah dan dikonotasikan dengan apa yang disebutkan dalam hadis Nabi tadi. Pengklaiman para pengikut Asy’ari secara politis sangat berhasil. Aswaja akhirnya menjadi sebuah doktrin keagamaan yang secara vis a vis dengan kelompok-kelompok lain, seperti Syi’ah, Khawarij, Qadiriyah, Jabariyah dan terutama Mu’tazilah.
Pandangan dan pemikiran Asy’ari dan Maturidi (meskipun ada beberapa titik perbedaan antara keduanya), jika ditelaah secara saksama di dasarkan pada pandangan keagamaan yang didasarkan pada sikap : Al-Iqtashad (sederhana), tawassut (moderat), tasamuh (toleran pada pluralitas) dan tawazun (keseimbangan). Dan inilah kemudian menjadi ciri dari sikap dan pandangan keberagamaan aswaja.
Berangkat dari pandangan dan sikap keberagamaan yang dianut oleh aswaja di atas, berikut ini akan dirumuskan beberapa Prinsip-prinsip dasar pandangan aswaja dalam wilayah aqidah, Fiqih/Syariah, Tasawuf/Akhlaq, yang selanjutnya menjadi bingkai pemahaman dalam merespon berbagai persoalan umat, baik yang terkait langsung dengan persoalan keimanan (aqaid), persoalan fiqih dan akhlaq, maupun persoalan yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat secara umum.
(Bersambung…….)

2 komentar:

syarifsulaeman mengatakan...

jadi bisa disimpulkan kalau pedoman hidup warga DDI adalah ASWAJAH?

syarifsulaeman mengatakan...

jadi bisa disimpulkan kalau pedoman hidup warga DDI adalah ASWAJAH?