Senin, 09 Februari 2009

'Ashabiyah: Dari Filsafat Sejarah ke Filsafat Politik

(Telaah Atas Kitab Muqaddimah Ibn Khaldun)
Oleh : Saiful Jihad


I. Pendahuluan
Hingga akhir tahun 1970, menurut catatan A. Syafi’i Ma’arif, telah terbit lebih kurang 900 buah tulisan dari para sarjana Barat dan Timur tentang Ibn Khaldun dan pemikirannya, terutama yang tertuang dalam kitab al-Muqaddimah, sebuah karya klasik yang dinilai memiliki dimensi moderen dalam ilmu-ilmu social. Kitab tersebut telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Prancis, Turki, Perisa, Hindi, Portugal, Urdu dan lainnya. Dalam bahasa Indonesia sendiri, terjemahannya telah dilakukan, seperti yang diusahakan oleh Ahmadie Thoha, meskipun baru ukuran “memadai”, namun telah cukup membantu untuk pengkajian lebih lanjut kandungan kitab tersebut.
Pengkajian atas kitab ini memungkinkan dilihat dari berbagai sudut pandang, sesuai dengan spesifikasi dan kecenderungan keilmuan seseorang. Tulisan ini, diarahkan pada upaya untuk menyauk beberapa aspek yang terkandung dalam kitab tersebut, dilihat dari kajian politik.
Sebenarnya, telaah dari sisi ini telah banyak dijumpai dari tulisan dan buku-buku yang ada, bahkan secara khusus Mohammad Mahmud Rabi menulis teori-teori politik Ibn Khaldun dalam kitab al-Muqaddimah, dalam bukunya : The Political Theory of Ibnu Khaldun, demikian juga dengan tulisan-tulisan yang menyingung aspek tersebut, seperti yang ditulis oleh Dr.Zainab al-Khudairi, dalam Falsafah al-Tarikh ‘Inda Ibn Khaldun, Fuad Baali dan Ali Wardi dalam Ibn Khaldun and Islamic Thought Style, Oesman Raliby, dalam Ibnu Khaldun Tentang Negara dan Politik, J. Suyuti Palungan, dalam Fiqh Siyasah, Munawir Sadzali, dalam Islam dan tatanegara, dan masih banyak lagi tulisan yang menyangkut aspek ini.
Tulisan ini lebih diarahkan pada upaya memposisikan konsep ‘ashabiyah Ibn Khaldun sebagai sebuah analisah dan kajian sejarah yang memiliki konsekwensi pada ajaran dan falsafah politik. Dengan demikian pertanyaan yang akan menjadi titik sentral kajian ini adalah:
1. Bagaimana asal-usul dan pemaknaan konsep ‘ashabiyah Ibn Khaldun ?
2. Bagaimana Implikasi Konsep ‘Ashabiyah tersebut dalam wacana dan konsep Politik Ibn Khaldun ?
Dengan penjelasan singkat di atas, maka urgensi tulisan ini pada upaya telaah untuk melihat hubungan dan keterkaitan antara konsep ‘ashabiyah Ibn Khladun sebagai sebuah konsep dasar kajian sejarah dengan konsep dan filsafat politik. Oleh karena itu, tulisan ini tidak akan mengetengahkan tentang suatu kajian politik secara luas, tetapi lebih pada kajian atas konsep ‘ashabiyah dikaitkan dengan filsafat politik.

II. Riwayat Hidup Singkat Ibn Khaldun
Wali al-din Abu Zaid Abd rahman bin Muhammad bin Muhammad Ibn Khaldun al-Hadrami, yang lebih dikenal dengan Ibn Khaldun, lahir di Tunisia pada tanggal 27 Mei 1332 M, dan wafat di Kairo pada tanggal 17 Maret 1406 M. Nenek moyang Ibn Khaldun berasal dari Hadramaut yang kemudian pindah ke Seville (Spanyol) pada abad ke-8, setelah semenanjung tersebut dikuasai oleh Bani Umaiyah.
Selama berabad-abad keluarga Ibnu Khaldun menduduki posisi tinggi dan terhormat dalam pemerintahan Bani Umaiyah di Spanyol hingga mereka hijrah ke Afrika Utara beberapa tahun sebelum Seville jatuh ketangan penguasa Kristen tahun 1248, yang selanjutnya mereka menetap di Tunisia. Di kota ini keluarga Ibn Khaldun diperlakukan secara terhormat oleh pihak istanah, dan dalam lingkungan seperti inilah Ibn Khaldun lahir, berkembang dan memperoleh pendidikan. Kenyataan ini semua, tentunya memeberikan pengaruh dan corak bagi kehidupan dan karier Ibn Khaldun.
Dalam usia 20 tahun, Ibn Khaldun telah terlibat dalam berbagai intrik politik, persaingan yang keras antara penguasa yang saling berebut dan menghancurkan satu dengan yang lainnya. Semua itu bukan hanya disaksikan oleh Ibn Khaldun, tetapi dia sendiri mulai terlibat dalam intrik tersebut.
Mula-mula ia mengabdi pada Abu Muhammad Tafrakin, akan tetapi ketika Tafrakin ditaklukkan oleh Abu Zaid, Ibn Khaldun bergabung dengan Abu Inan. Namun karena ketidak puasa atas jabatan yang diberikan kepadanya, Ibn Khaldun kemudian bekerjasama dengan Amir Abu Abdullah Muhammad untuk menggulingkan sultan, namun belum berhasil, Abu Inan keburu mengetahui persekongkolan tersebut dan menyeretnya ke penjara (1357-1358). Keluar dari penjara, Ibn Khaldun mendukung Abu Muslim yang menjadi penguasa di Maroko pada waktu itu (1359). Oleh karena intrik politik pula, ia memutuskan untuk meninggalkan Maroko dan bergabung dengan pemerintahan Mohammad V di Granada. Kemudian ia menerima tawaran Abdullah Muhammad al-Hafsi yang berhasil merebut tahta Bijaya untuk menjadi Hijabah, jabatan yang sama dengan Perdana menteri.
Setelah pemerintahan Muhammad berakhir, dan direbut oleh Abul al-Abbas, Ibn Khaldun menerima Abul Abbas sebagai penguasa baru di Bijaya. Namun nampaknya penguasa baru Bijaya kurang respek pada Ibn Khaldun, yang dipandang berwatak aportunistik, yang berpaling dari tuannya karena tuannya tersebut mengalami kekalahan. Kekurang senangan Abul Abbas ini dirasakan sendiri oleh Ibn Khaldun, lalu ia memutuskan diri untuk melarikan diri ke Biskarah, menemui Ahmad bin Yusuf ibn Mazni, penguasa Biskara pada waktu itu. Di sini ia menetap lebih kurang enam tahun, selanjutnya ia ke Fez, lalu ke Granada menemui sultan Ibn Ahmar. Dari Granada ia kemudian kembali ke Tilimsan berkumpul kembali dengan keluarganya.
Nampaknya ia mulai merasa jenuh dan muak dengan kehidupan politik yang digeluti selama ini, ia merindukan kehidupan yang ebas dari keributan, kedamaian. Dan akhirnya ia memutuskan untuk hidup jauh dari intrik dan carut-marut dunia politik, dan memilih untuk lebih intens bergelut dengan dunia keilmuan, menulis dan menyusun karya-karyanya, diantaranya adalah kitab al-Ibar, dengan muqaddimah-nya itu di sebuah istanah Banu ‘Arif (1374-1378).
Oleh karena beberapa kebutuhan yang berkaitan dengan penelitiannya, serta kerinduan pada tanah kelahirannya, ia memohon kepada penguasa Tunisia untuk diperbolehkan kembali, namun keinginan untuk menikmati kebahagiaan di tanah kelahirannya tidaklah berlangsung lama. Karena itu, ia putuskan untuk meninggalkan Tunisia dengan alas an akan menunaikan ibadah haji, namun ternyata ia tidak langsung ke Makkah, terlebih dahulu Ibn Khaldun singgah ke Kairo, bahkan kemudian ia menetap di sana lebih kurang 20 tahun, hingga wafatnya. Di Kairo inilah dia secara khusus ia mengkonsentrasikan dirinya pada dunia keilmuan dan pendidikan.

III. Sekilas Tentang Kitab al-Muqaddimah
Kitab ini sebagaimana disebutkan oleh Syafi’i Ma’arif, merupakan suatu karya klasik yang mengandung dimensi modern dalam kajian ilmu-ilmu social. Ia merupakan puncak karya pemikiran kebudayaan Arab-Islam, pada masanya dari segi ketinggian pikirannya, kegamblangan uraiannya dan ketelitian hokum-hukumnya. Sebagai harta karun yang tidak habis-habisnya dan penuh dengan mutiara ilmu dan permata hikmah. Demikianlah beberapa komentar tentang “kebesaran” al-Muqaddimah, yang telah mengantar nama penulisnya menjadi sosok ilmuan yang mendahului masanya, dan pemikiran-pemikrannya tetap menarik untuk dikaji hingga saat ini.
Dalam kitab ini terkandung azaz-azaz teoritis-inovatif tentang filsafat sejarah, politik, ekonomi, ilmu pengetahuan dan agama. Kitab al-Muqaddimah ini terdiri dari :
Pertama : Kata pengantar yang menguraikan berbagai kelemahan yang terdapat pada karya-karya para sejarawan sebelumnya, dan uraian tentang metodenya yang inovatif serta bagian-bagian isi kitab al-Ibar.
Kedua : Muqaddimah, yang menguraikan tentang kelebihan ilmu sejarah, pengkajian atas aliran-alirannya, dan uraian tentang kekeliruan para sejarawan dan sebab-sebabnya.
Ketiga : Buku pertama, yang menguraikan tentang watak kebudayaan dan hal-hal yang berkenaan dengannya, seperti kaum nomadem (Badui), orang-orang kota, kekuasaan, penerimaan, penghidupan, industri, ilmu pengetahuan dan berbagai faktor yang menimbulkannya. Buku ini sebenarnya merupakan bagian pertama dari kitab al-Ibar, namun kemudian dipisahkan dari bagian lainnya dan disatukan dengan Muqaddimah buku ini, yang terdiri dari enam bab :
Bab Pertama, tentang kebudayaan umat manusia pada umummnya
Bab kedua, tentang kebudayaan masyarakat nomadem (Badui), bangsa-bangsa dan suku-suku yang beradab. Uraian tentang watak keprimitifan dan keberbudayaan serta perbedaan antara keduanya. Juga dibahas pada bagian ini prinsip-prinsip umum yang mengendalikan masyarakat, atau yang dikenal saat ini dengan sosiologi dan filsafat sejarah.
Bab Ketiga, menuraikan tentang negara-negara secara umum, kerajaan, khilafah dan jenjang-jenjang kekuasaan. Uraian tentang sebab yang menumbuhkan kekuasaan, cara mengukuhkannya dan sebab-sebab yang dapat membuatnya tetap tegak dan runtuhnya sebuah negara, atau yang dikenal dengan istilah sekarang ilmu politik praktis.
Bab Keempat, menguraikan tentang negeri-negeri, kota-kota dan segala aspek kebudayaan. Dalam bab ini Ibn Khaldun menguraikan system yang harus menjadi acuan dan hal-hal utama yang perlu diperhatikan, khususnya faktor meliter.
Bab Kelima, tentang penghidupan dan berbagai segi pendapatan serta kegiatan perekonomian. Penjelasan tentang bebagai bentuk perniagaan, perdagangan dan industri serta aneka kegiatan ekonomi dan profesi lainnya. Uraian ini dapat disebut sebagai uraian tentang ekonomi politik.
Bab Keenam, tentang jenis-jenis ilmu pengetahuan, system pengajaran dan metode-metodenya, serta seluruh aspek yang terkait dengannya. Uraian ini merupakan bagian dari sejarah kesusastraan Arab.
Dari bagian-bagian yang terkandung dalam al-Muqaddimah ini jelas terlihat bahwa karya ini mencoba membahas suatu pendekatan yang baru dalam kajian filsafat sejarah, ilmu politik dan sosiologi, yang secara khusus dapat disebut sebagai ilmu “umran” (kebudayaan manusia).
Pendekatan baru yang nampak dalam karya ini, jika dilihat dari karya-karya khazanah keilmuan yang ada pada waktu itu, menurut Gaston Bouthoul yang dikutip oleh Zainab al-Khudairi adalah :
1. Upaya di bidang kritik sejarah, seperti yang tyelah dipaparkan terdahulu.
2. Upaya untuk menginterpartisikan fenomena social secara umum.
3. Pengkajian hokum-hukum perkembangan social dan politik.
Kajian inilah yang menurutnya membuat Ibn Khaldun dapat dipandang sebagai penyeru pertama interpertasi materialistis dan dialektis dari sejarah.
Dan memang, inilah salah satu aspek yang memotivasi Ibn Khaldun menulis karya monumentalnya ini, di mana ia merasakan adanya kekurangan pada ilmu sejarah yang berkembang pada masanya, yang menurutnya lebih nampak menekankan pada pendeskripsian tentang peristiwa-peristiwa, nama-nama dan tahun-tahun. Ia berobsesi mendapatkan apa yang saat ini disebut dengan hokum-hukum sejarah, sehingga memungkinkan ia dapat menulis sejarh yang bebas dari khurafat, kekacauan dan kekeliruan.

IV. ‘Ashabiyah : Peralihan dari Filsafat Sejarah menjadi Filsafat Politik.
A. Asal-usul dan batasan pengertian ‘Ashabiyah
Kekhasan pemikiran Ibn Khaldun dari pemikir-pemikir lainnya adalah teori ‘ashabiyah-nya yang dikaitkan dengan negara dan agama. ‘Ashabiyah (perasaan satu kelompok, kekuatan kelompok atau solidaritas social), menurut Ibn Khaldun timbul secara lamiah dalam kehidupan manusia yang dikaitkan dengan adanya pertalian darah ataupun karena pertalian klan (kaum). Yang ia maksudkan dengan ‘ashabiyah adalah “rasa cinta” (nu’rat) setiap orang terhadap nasabnya atau golongannya yang diciptakan Allah di hati setiap hamba-hamba-Nya. Perasaan cinta kasih tersebut teraktualisasi dalam perasaan senasib dan sepenanggungan, harga diri, kesetiaan, kerjasama dan saling bantundiantara mereka dalam menghadapi berbagai ancaman terhadap mereka, ataupun musibah yang menimpanya. Pertalian yang demikian melahirkan persatuan dan pergaulan (al-ittihad wa al-iltiham). Namun pertalian semacam itu dapat juga timbul antara mawali dan maula, ataupun lahir dalam jalinan persekutuan-persekutuan. Menurut Abd. Raziq al-Makki, yang dikutip kembali oleh al-Khudairi, bahwa ada lima bentuk yang menjadi indikasi lahirnya ‘ashabiyah, yakni :
1. Kekerabatan datau keturunan (nasab);
2. Persekutuan yang terjadi karena keluarnya seseorang dari garis keturunannya ke garis keturunan yang lain;
3. Kesetiaan, karena peralihan dari satu keturunan ke keturunan lain karena kondisi social;
4. penggabungan, karena larinya seseorang dari stu kaum ke kaum lain;
5. karena adanya perbudakan.
`Dengan demikian, konsep ‘ashabiyah dalam pandangan Ibn Khaldun memiliki ruang lingkup pengertian yang sempit dan pengertian yang luas. Pengertian yang sempit terbatas pada suatu nasab yang ia sebut nasab khusus, karena mereka merupakan keluarga yang satu. Sedangkan pengetian luas adalah nasab-nasb lainnya yang disebut nasab umum, yang bergabung bersama nasab yang kuat sebagai suatu sekutu.
‘Ashabiyah berdasarkan perikatan keturunan, menurut Ibn Khaldun, adalah ‘ashabiyah yang sangat jelas dan nyata. Namun demikian kondisi ini tidaklah selamanya demikian, dapat saja anggota satu keturunan tidak lagi mengetahui asal-usul nasabnya, hanya tinggal dalam riwayat atau menjadi kajian ilmu pengetahuan. Maka ‘ashabiyah otomatis tidak efektif lagi.
Kondisi demikian dapat dan mudah terjadi di kota-kota dibandingkan di pedesaan. Telah menjadi watak manusia untuk senang bergaul dan berhubungan dengan sesamanya sekalipun teman bergaul tersebut berasal dari keturunan yang berbeda dengan asal keturunannya. Dan hal ini berkaitan pada terjadinya hubungan akrab, persekutuan dan perkawinan diantara mereka, yang pada akhirnya mereka juga membentuk kelompok-kelompok berdasarkan hubungan perorangan untuk mencapai tujuan bersama. Seperti pembauran antara orang-orang Arab dan Persia, Turki dan lainnya. Hal demikian menurut pengamatan Ibn Khaldun tidak nampak diwilayah pedesaan. Keturunan mereka, demikian pula struktur sosialnya masih murni, seperti yang terjadi pada kaum Badui di padang pasir.
Faktor lain yang menjadi indicator melemahnya ‘ashabiyah di perkotaan, adalah karena keterbuaian masyarakat kota pada limpahan kemewahan, kelezatan, kemudahan dan ketentraman hidup. Yang akibatnya, hilanglah kelugasan ala desa dan melemahlah ‘ashabiyah tersebut.

B. Peran Politik ‘Ashabiyah
Apresiasi Ibn Khaldun terhadap realitas umat islam yang ia saksikan pada zamannya, berkaitan dengan konsep pembauran dan integritas masyarakat multi-etnik dalam rangka menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa yang utuh. Jika proses tersebut berjalan secara efektif maka anggota masyarakat tidak lagi mempersoalkan asal-usul keturunannya. ‘Ashabiyah yang mereka kembangkan bukan lagi berdasarkan ikatan keturunan, akan tetapi lebih pada hubungan perdagangan, hubungan kerja dan usaha, profesi, idiologi serta faham.
Implikasi dari kesadaran ‘ashabiyah ini tentunya akan bermuara pada keharusan adanya suatu hirarki yang kuat, yang akan mengakomodir kepentingan-kepentingan kelompok ‘ashabiyah tersebut. Untuk itu secara kodratik manusia membutuhkan keberadaan pemimpin (wazir dan hakim) yang berperan menjaga dan mencegah terjadinya perpecahan atau permusuhan antara sesama kelompok. Oleh karena itu, pemimpin sebagai pemegang kekuasaan mesti memiliki superioritas (al-taghalluf) atas yang lain dalam hal ‘ashabiyah. Jika tidak, ia tidak akan dapat melaksanakan kekuasaannya secara efektif.
Superioritas di sini diartikan sebagai kedaulatan (al-mulk), yang melebihi cakupan pengertian kepemimpinan (al-riyasat). Al’Riyasat, adalah keadaan menjadi pemimpin atau kepala suku yang dipatuhi oleh sukunya, namun tidak ada kekuasaan untuk memaksa dalam memimpin mereka. Sementara al-mulk, adalah suatu superioritas yang memiliki kekuasaan untuk memaksa.
Dengan demikian, apabila salah seorang dari kalangan ikatan ‘ashabiyah telah memperoleh kepemimpinan suku dan baginya terbuka kesempatan menuju superioritas meski dengan jalan kekerasan, ia tidak akan menyia-nyiakannya. Oleh karenanya ia harus mendapat dukungan dari ikatan ‘ashabiyah-nya yang akan diikuti oleh lainnya.
Sebaliknya, jika salah seorang dari ikatan ‘ashabiyah telah memperoleh al-mulk tersebut, maka ia akan berupaya mengambil langkah-langkah untuk memelihara dan membentengi kekuasaannya dengan membatasi dan melemahkan ‘ashabiyah-’ashabiyah kelompok lainnya, sehingga mereka tidak lagi mempunyai kekuatan untuk merongrong kekuasaan si pemimpin yang memerintah. Dengan demikian, ia akan dapat menmenopoli seluruh kekuasaan tanpa memberikan peluang pada pihak lain.
Sebuah ikatan ‘ashabiyah yang kuat akan menguasai semua ikatan ‘ashabiyah yang ada dan membuatnya tunduk padanya, sehingga menjelma menjadi suatu koalisi ‘ashabiyah yang besar, memiliki superioritas atas rakyat golongannya, dan memungkinkan ia mencari superioritas atas rakyat dari ‘ashabiyah-‘ashabiyah lain yang tidak memiliki hubungan apa-apa dengannya. Sebaliknya, jika ‘ashabiyah yang satu sama kuatnya dengan ‘ashabiyah yang lain, maka masing-masing akan tetap menguasai daerah dan rakyartnya sendiri, sebagaimana halnya kabilah-kabilah dan bangsa – bangsa di seluruh dunia.
Akan tetapi, jika satu ‘ashabiyah menaklukkan ‘ashabiyah yang lainnya, dan diantara mereka terjalin hakrab, maka pihak yang menang akan memperoleh tambahan kekuatan dari pihak yang kalah. Namun sebaliknya pihak yang kalah pada suatu saat akan menuntut kekuasaan dan superrioritas yang lebih baik, sehingga kekuatannya akan dapat menyamai pihak yang menang dan berkuasa. Klimaksnya, jika ‘ashabiyah yang menang dan berkuasa sudah melemah, dan diantara mereka tidak ada yang mampu merekatkannya dan mempertahankan kekuasaan yang mereka raih, maka ‘ashabiyah yang baru akan muncul dan merebut kekuasaan. Disamping itu adapula kemungkinan ‘ashabiyah yang berkuasa merangkul ‘ashabiyah-‘ashabiyah yang lain yang memiliki kekuatan untuk mencapai tujuan politiknya.
Lalu bagaimana jika konsep ‘ashabiyah dikaitkan dengan agama ? menurut Ibn Khaldun, kekuatan suatu ‘ashabiyah tidak cukup hanya mengandalkan kekuatan fisik, ia juga harus memiliki kekuatan moral yang didasarkan pada agama dan akhlaq. Semangat keberagmaan merupakan sarana pemersatu dan peredam terjadinya pertentangan dan perpecahan internal suatu yang diikat oleh ‘ashabiyah. Karena itu suatu pemerintahan (daulat) akan dapat tegak dan menjadi besar karena ditopang oleh agama.
Al-mulk, tercapai karena superioritas; superioritas diperoleh karena ‘ashabiyah, serta bersatunya kehendak dan jiwa untuk mencapai tujuan; bersatunya kehendak dan jiwa karena tujuannya untuk menegakkan agama Allah. Demikianpula peranan da’wah dapat menambah kekuatan ‘ashabiyah yang menjadi dasar tegaknya daulah, sabab agama dapat mengendalikan persaingan dan permusuhan diantara pendukung ‘ashabiyah, dan membimbing mereka ke arah dan tujuan yang satu, sert menuntut persamaan diantara mereka. Sebaliknya, ‘ashabiyah pun dapat berperan untuk efektivitas da’wah agama, sehingga antara agama dan ‘ashabiyah sebagaimana keterangan dari Rasulullah, yang menyebutkan :

“ Allah tidak akan mengutus seorang nabi kecuali
mendapat dukungan dari kaummya”

Dengan demikian, jatuh bangunnya suatu daulah, dalam pemikiran Ibn Khaldun, sangat tergantung pada superioritas suatu ‘ashabiyah terhdap yang lainnya. Diantara ‘ashabiyah dan agama, keberadaannya saling mendukung dan membesarkan kedudukan dan peran masing-masing, keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu membimbing umat (rakyat) kepada kebenaran dan mewujudkan kemashlahatan bersama.
Demikianlah penjelasan singkat tentanmg konsep ‘ashabiyah yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun dalam kitab al-Muqaddimah. Sudah barang tentu, uraian singkat dan sederhana ini masih sangat jauh untuk dapat mengungkapkan kedalaman kandungan dan keluasan makna yang terkandung dalam konsep ‘ashabiyah itu sendiri yang difahami oleh Ibn Khaldun, namun kami yakin untuk menyauk lebih dalam makna tersebut, tidak akan terwujud jika kita tidak “memulai”, dan tulisan ini adalah upaya kearah tersebut.
Wallahu al-a’lam.

Tidak ada komentar: