Oleh: Saiful Jihad
Allah SWT. Mengukuhkan bahwa diturunkannya al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk dan rujukan bagi manusia serta pembeda antara yang hak dan yang bathil (Q.S. 2: 185). Dalam ayat lain dijelaskan, bahwa al-Qur’an adalah sumber penerangan hidup bagi seluruh umat manusia, petunjuk dan pelajaran bagi orang-orang bertaqwa kepada jalan yang lurus (Q.S. 3: 18 dan 17: 9). Muhammad Asad mengatakan, bahwa al-Qur’an berperan untuk memberikan bimbingan konprehensif ke arah tingka laku manusia, baik secara individual maupun kolektif dalam upaya menciptakan suatu pola kehidupan yang selaras dan seimbang di dunia ini dengan tujuan akhir kehidupan abadi di alam akhirat (1980: 1).
Ajaran al-Qur’an, menggambarkan konsep integral yang organik antara aqidah, peribadatan, hukum, akhlaq dan moral serta mu’amalah merupakan prinsip dasar yang mengatur prilaku sosial manusia. Prinsip dasar di bidang sosial ini, bertujuan unutk menegakkan suatu tatanan masyarakat yang etis dan egaliterian. Dan petunjuk al-Qur’an yang bertujuan untuk memanusiakan manusia sehingga terwujud suatu tatanan masyarakat etis dan egaliterian, pada hakekatnya menjadi doktrin tentang prinsip-prinsip hak dasar manusia, yang kemudian dikenal dengan istilah Hak Asasi Manusia (HAM).
Hak Asasi Manusia adalah adalah jaminan akan hak yang dimiliki oleh setiap individu bersamaan dengan keberadaannya dalam kehidupan berasyarakat tanpa membedakan ras, bangsa, suku, agama, jenis kelamin dan seterusnya (Budiardjo, 1989: 120). Sedangkan esensi dari hak asasi manusia tersebut, terletak pada asas persamaan manusia, bahwa setiap individu terlahir sama dan harus memperoleh kesempatan yang sama untuk berkembang, beramal dan berkarya, baik dalam hal politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Manusia dalam pandangan al-Qur’an adalah sama. Falsafah dasar persamaan ini merujuk pada penciptaan manusia dari sumber yang satu (Tuhan Yang Maha Esa) dan proses penciptaan yang sama (Q.S. 4: 1; 7: 189; 39: 6; 49: 13; 35: 11; 75: 37-39; 86: 5-7; 71: 14; 23: 12-14; 32: 9), yang berakar pada konsep iman dan tauhid.
Iman bermakna bahwa manusia yang beriman mempunyai sikap hidup yang memandang Tuhan sebagai Yang Maha Esa dan Maha Benar dalam hidupnya, dan mengabdi hanya kepada-Nya. Sementara tauhid bukan hanya berarti mengesakan Allah dalam segala aktivitas hidup, tetapi juga mengandung makna meyakini adanya kesatuan penciptaan (perikemakhlukan), kesatuan kemanusiaan, kesatuan tuntunan hidup dan kesatuan tujuan hidup (J.Suyuti Pulungan, 2002: 159).
Tegasnya, dalam konsep al-Qur’an, Islam sebagai agama tauhid terdapat ide perikemakhlukan dan ide perikemanusiaan. Ide perikemnusiaan timbul dari konsep kesatuan penciptaan dan kesatuan kemanusiaan. Demikian pula dalam konsep tauhid, terkandung ide persamaan (Nasution dan Efendi, 1987: vii) dan persaudaraan seluruh manusia yang berlandaskan pada sikap dan pandangan teosentris.
Dengan persamaan penciptaan ini, membawa doktrin tentang faham persamaan manusia (egalitarianisme). Walaupun dalam kenyataan antara sesama manusia terdapat perbedaan jenis kelamin, warna kulit, watak, pola pikir dan sejenisnya, tetapi dari segi kemanusiaan seluruh manusia berhak mendapat perlakuan yang sama. Perbedaan-perbedaan yang nyata itu bukan ukuran keutamaan seseorang melainkan pada ketaqwaannya. bahkan dengan perbedaan itu mengandung hikmah agar mereka saling mengenal (Q.S. 49: 13). Karena itu esensi penegasan paham persamaan (egalitarianisme) manusia mengisyaratkan bahwa setiap manusia selain mempunyai tanggungjawab pribadi sekaligus memiliki tanggungjawab sosial sehingga tidak muncul sikap dan tindakan otoriter dalam kehidupan sosial. Implikasi prinsip persamaan dalam perspektif al-Qur’an bertujuan agar setiap manusia menemukan harkat dan martabat kemanusiaannya dan dapat mengembangkan potensinya secara wajar dan layak.
Faham persamaan, menghendaki adanya hak kebebasan manusia. Dan kebebasan manusia adalah salah satu hak dasar hidup setiap manusia, serta merupakan pengakuan atas persamaan dan kemuliaan harkat kemanusiaan orang lain.
Kebebasan akan semakin dibutuhkan oleh setiap orang yang hidup dalam masyarakat yang plural. Bila kebebasan dibelenggu, maka akan terjadi penindasan satu kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat lainnya. Dengan kebebasan membuat setiap individu atau kelompok merasa terangkat eksistensinya dan dihargai harkat kemanusiaannya di dalam kemajemukan umat.
Karena itu, prinsip kebebasan mutlak perlu dikembangkan dan dijamin pelaksanaannya dalam kehidupamn bermasyarakat. Kebebasan yang diperlukan manusia menurut al-Qur’an adalah kebebasan beragama, kebebasan menyatakan berpendapat dan berbicara, kebebasan dari rasa takut dan kemiskinan, kebebasan dari penindasan dan eksploitasi, kebebasan berpartisipasi dalam wilayah publik, politik dan sebagainya. Kebebasan-kebebasan ini menimbulkan adanya hak-hak asasi manusia. Hak-hak yang dibutuhkan setiap manusia sebagai hak-hak personal dalam bingkai persamaan dan kebebasan adalah hak atas hidup dan keselamatan diri, hak atas kehidupan yang layak, hak pendidikan, hak pekerjaan, hak kebebasan dalam menyatakan pendapat, beragama dan berkeyakinan, dan lain-lain.
Pelaksanaan hak-hak asasi manusia tersebut bertujuan untuk menumbuhkan keseimbangan dan keharmonisan pada perkembangan kehidupan dan penghidupan manusia. Dalam konteks ini, sesungguhnya al-Qur’an juga tidak menghendaki pengorbanan hak-hak individu untuk memenuhi kemashlahatan masyarakat tanpa diimbangi dengan hak lain, dan sebaliknya (Q.S. 2: 195). Faham hak asasi manusia dalam al-Qur’an adalah adanya keseimbangan antara hak-hak individu dan hak-hak sosial (kolektif). Falsafah yang mendasari faham hak asasi demikian adalah adanya sintesa antara hak dan kewajiban yang diperoleh dan dibebankan kepada manusia. Artinya, setiap hak yang dimiliki diikuti dengan adanya kewajiban. Hak atas hidup, misalnya, diikuti dengan kewajiban menghormati dan memelihara hak hidup orang lain dan tidak boleh melanggar haknya. Hak atas berusaha dan bekerja, disertai dengan kewajiban untuk tidak boleh menghalangi dan menyabotase usaha orang lain. Hak memiliki harta, disertai dengan kewajiban agar tidak memonopoli kemakmuran yang diperoleh dan tidak melakukan eksploitasi dalam bentuk apapun agar kemakmuran tidak hanya menjadi milik perorangan atau kelompok tertentu (Q.S. 95: 7). Pemilikan harta yang diperoleh secara tidak sah (seperti korupsi), berarti memperkosa dan menggerogoti hak orang lain (Q.S. 4: 29).
Demikian pula hak kebebasan individu tidak bersifat absolut, melainkan kebebasan individu --dalam konteks sosial— dibatasi oleh asas persamaan dan persaudaraan manusia. Seseorang dengan dalih demi hak kebebasan dan demokrasi tidak dibenarkan melakukan hak kebebasannya secara semena-mena dengan mengikuti kemauan sendiri, seperti mencela dan menghina pendapat, keyakinan dan pribadi orang lain, atau menggunakan kekuasaan secara bebas untuk tujuan kehidupan materialistik-hedonistik. Hak kebebasan yang bersifat absolut, dalam pandangan al-Farabi, berakibat pada timbulnya anarkisme (Sjadzali, 1990: 57).
Kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat misalnya, esensinya untuk mencari kebenaran, memberi nasehat dan saran kepada pemimpin dan masyarakat agar tidak terjerumus kepda perbuatan yang tidak baik. Kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat perspektif al-Qur’an dalam kerangka amar ma’ruf dan nahy munkar, dengan cara yang santun, arif, jujur dan adil (Q.S. 4: 158; 16: 125).
Walaupun manusia oleh Tuhan diberi hak bebas untuk memilih, bebas menyatakan pendapat dan melakukan sesuatu berdasarkan pilihan dan pendapatnya, namun harus diiringi dengan rambu-rambu (norma), tentang mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh. Dalam hal ini manusia diberi kesempatan untuk memilih alternatif-alternatif yang ada dalam merefleksikan kebebasan yang dimiliki (Q.S. 18: 29), tetapi masing-masing pilihan tersebut mempunyai konsekuensi yang jelas.
Demikianlah sebagian nilai-nilai universal yang diajarkan oleh al-Qur’an mengenai hak-hak asasi manusia, yang menmpatkan kepentingan hak asasi dan kebebasan individu dengan kemaslahatan umum secara seimbang. Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar