Senin, 09 Februari 2009

HUMAN TRAFFICKING DAN BURUH MIGRAN

(Refleksi Hari HAM se Dunia 10 Desember 2008)
Oleh: Saiful Jihad

Perdagangan orang (human trafficking), khususnya perempuan dan anak, merupakan permasalahan yang perlu mendapat perhatian semua pihak (komponen bangsa), disamping terkait dengan pencitraan bangsa Indonesia di mata dunia international, yang menurut data Dapartemen Luar Negeri Amarika Serikat, Indonesia adalah pemasok nomor tiga perdagangan perempuan dan anak di dunia. Juga berkenaan dengan kondisi korban human trafficking tersebut tidak mendapatkan jaminan perlindungan, sehingga mereka sangat rentan terhadap tindak kekerasan, penipuan, pelecehan, pemerkosaan, dan sebagainya.
Data dari kementrian Pemberdayaan Perempuan (Desember 2004), berkaitan dengan kasus pelecehan, penipuan, pemerkosaan dan kekerasan lainnya, di mana 1.079 TKI perempuan yang melarikan diri dari Singapura/melapor ke KBRI, 235 ksus bermasalah dari Arab Saudi, dan 219 kasus TKI yang dipulangkan karena tidak sesuai dengan prosudur yang berlaku dari Kuwait, Kuala Lumpur, Brunai, Jordania dan Kolumbia. Sementara itu data dari pemerintahan Malaysia menyebutkan, bahwa pada tahun 2001 sebanyak 4.268 perempuan dan anak yang dipekerjakan sebagai pekerja seks di wilayah Malaysia dan perbatasan Singapura (Kompas 10 Mei 2001), dan pada akhir tahun 2004, jumlahnya membengkak mencapai angka 30.000 orang (Fajar, 3 Desember 2004). Ini baru dari negeri jiran (tetangga) kita Malaysia, belum termasuk di negara lain.
Tidak dapat disangkal, mereka yang dipekerjakan sebagai pekerja seks tersebut, serta pekerjaan lain, adalah korban dari human trafficking, dengan berbagai modus operandinya. Dari data yang ada, rata-rata yang menjadi korban human trafficking adalah mereka yang ada di bawah garis kemiskinan, kemudian diiming-imingi dengan pekerjaan dan gaji yang besar, atau karena anak tersebut telah menjadi “agunan” orang tuanya untuk mendapatkan pinjaman atau “uang muka/jaminan” dari pihak-pihak yang memang terlibat dalam sindikat perdagangan orang.
Kasus semacam ini sudah menjadi rahasia umum, karena hampir terjadi diseluruh pelosok tanah air, namun susah terbongkar, karena orang tua korban takut melapor kepada pihak yang berwajib, pada hal dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah (banyak yang buta huruf), sudah dapat diterka bahwa pekerjaan yang mungkin mereka lakoni adalah menjadi budak seks, pembantu rumah tangga, bekerja di bar, restoran, pekerja perkebunan, bahkan tidak jarang dijadikan kurir pengedar narkotik. Dan ironisnya, mereka tidak memiliki posisi tawar untuk membela diri.
Meski secara difinisi human trafficking masih perlu kajian dan pemaknan yang lebih luas dan jelas, seperti yang dikemukakan oleh anggota Pansus Undang-undang Penanggulangan Tindak Perdagangan Orang beberapa hari yang lalu melalaui siaran Televisi, sehingga tidak hanya bermakna bahwa kasus human trafficking, terjadi seperti kasus yang disebutkan di atas, tetapi mungkin juga dapat mencakup tindakan pengiriman Tenaga Kerja yang tidak didukung oleh pemberian keterampilan kerja yang memadai, pengetahuan yang cukup tentang hak-hak mereka sebagai TKI, serta sistem perlindungan pada hak-hak tenaga kerja yang baik.
Disamping itu, kelahiran Undang-Undang tersebut (diharapkan rampung awal 2007), diharapkan dapat diikuti oleh sikap tegas dan langkah yang konkrit dari pemerintah untuk memberantas tindakan yang dikategorikan human trafficking. Sikap tegas dan langkah konkrit menjadi hal yang perlu digasibawahi, karena sebenarnya sudah banyak aturan perundang-undangan yang telah lahir, berkaitan dengan perlindungan dan jaminan hak bagi para pekerja, buruh, anak dan perempuan, tetapi berbagai tindakan yang mengarah pada tindak kekerasan, penipuan, pelecehan, pemerkosaan, gaji yang tidak dibayar, penetapan gaji dibawah upah minimun, pemerasan, tidak adanya jaminan sosial dan perlindungan asuransi dst., masih menjadi persoalan utama yang dihadapi oleh tenaga kerja kita, dan yang perlu digarisbawahi, bahwa hal ini bukan hanya dialami oleh mereka yang mengadu nasib dan bekerja atau dipekerjakan di luar negeri, tetapi juga banyak terjadi di sekitar kita.
Di daerah kita masing-masing, kami kira belum ada database tentang berapa jumlah perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, pelayan tokoh, restoran dan sektor pekerjaan lain; berapa jumlah anak-anak dibawah umur, yang dipekerjakan sebagai buruh bangunan, kuli, karnet mobil, dll. Dan merekapun belum mendapatkan jaminan perlindungan dan jaminan sosial seperti yang diamanatkan oleh undang-undang yang telah ada, sehingga kasus pemerkosaan dan kekerasaan lain terhadap pembantu rumah tangga, baru diketehui setelah korban telah meninggal.
Di sisi lain, Parepare sebagai salah satu gate out bagi human trafficking dan pengiriman Tenaga Kerja Indonesia ke negeri Tetangga (Malaysia), diharapkan menjadi garda terdepan dalam menanggulangi persoalan ini. Masyarakat kita dari Palopo, Enrekang, Sidrap, Polman, Pinrang, Barru, Soppeng dll. yang bermaksud mengadu nasib bekerja ke Malaysia, hampir pasti mereka tidak dilengkapi dengan bekal keterampilan kerja dan pengetahuan yang memadai, tentang perlindungan akan hak-hak mereka sebagai TKI. serta sistem perlindungan yang baik terhadap hak-hak mereka. Akibatnya, tindakan aksploitasi, pemerasan (termasuk yang dilakukan oknum imigrsi), penipuan (seperti yang dialami banyak TKI di ketika turun dari Kapal), kekerasan dan ketidak berdayaan untuk memperjuangkan hak-haknya menjadi hal yang sering terjadi.
Disamping problem-problem umum yang dihadapi oleh korban human trafficking dan para buruh migran, seperti yang telah dikemukakan di atas, persoalan lain yang hampir tidak (kurang) diperhatikan adalam masalah perlindungan terhadap penyakit seksual.
Dalam kaitan dengan atas perlindungan kesehatan bagi buruh migran, data menunjukkan terjadi peningkatan pelanggaran yang cukup signifikan, mulai dari pemberangkatan sampai kembali lagi ke daerah asal. Data yang ada di Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia (Kopbumi) tahun 2002 menunjukkan jumlah besar kasus pengabian perlindungan kesehatan bagi mereka, diantaranya 30 kasus pelecehan seksual, 27 kasus perkosaan 2.633 kasus prostitusi dan perdagangan perempuan, serta 2.478 kasus penelantaran.
Meski kasus-kasus ini tidak menunjukkan angka buruh migran yang terinfeksi penyakit seksual (HIV/AIDS dan yang lain), dan memang kita juga belum memiliki data tentang itu, tetapi dapat dipastikan bahwa kasus-kasus di atas memiliki hubungan erat dengan semakin tingginya resiko buruh migran terjangkit penyakit seksual.
Nampaknya, persoalan di atas baik terkait dengan human trafficking, maupun berkenaan dengan buruh migran (antar negara dan antar daerah) tersimpul pada persoalan kemiskinan, keterbatasan lapangan kerja, serta tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah dan kenyataan ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan usaha bisnis (keuntungan material) mereka, tanpa memperhatikan hak-hak kemanusiaan sebagai makhluk yang terhormat, yang mesti dilindungi. Hal ini diperparah oleh masih lemahnya sistem perlindungan dan kepedulian semua pihak untuk menjadikan masalah ini sebagai agenda yang mesti mendapat perhatian serius.
Untuk itu, upaya penanggulangan human trafficking dan perlindungan pada buruh migran (luar negeri ataupun dalam negeri) mesti menjadi perhatian dan agenda bersama. Pihak pemerintah diharapkan dapat memberikan jaminan hukum yang jelas dan tegas, serta diiringi dengan penataan mekanisme kerja yang tidak berbelit-belit dan pembinaan mentalitas aparat di lapangan perlu menjadi prioritas. Para lembaga Penyedia Jasa Tenaga Kerja (PJTK),diharapkan dapat membekali keterampilan kerja sesuai lowongan yang ada, dan pengetahuan yang cukup tentang perlindungan hak-hak dan jaminan sosial bagi tenaga kerja sebelum mereka diberangkatkan. Bersama dengan pemerintah, para stakcholder yang ada agar lebih intens mensosialisasikan hak-hak azasi manusia (HAM) dalam arti luas, dan lebih khusus terkait dengan masalah ketenaga kerjaan dan kasus human trafficking yng menjadi persoalan masyarakat bangsa secara bersama-sama.
Penghargaan patut kita berikan kepada pemerintah yang telah banyak mengusahakan aturan dan sistem perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia dalam berbagai produk aturan, khususnya terkait dengan ketenaga kerjaan dan penanggulangan human trafficking, tetapi --tanpa maksud mengecilkan usaha tersebut-- problematika di lapangan tidak dapat diselesaikan hanya dengan terbitnya undang-undang (aturan formal), tetapi aspek komitmen dan kesadaran untuk menempatkan masalah ini sebagai agenda utama oleh semua aparat dari tingkat pusat sampai ke daerah (petugas lapangan), dan kenyataannya, aspek ini yang masih dan sangat perlu diperhatikan.
Demikian juga dengan lembaga Penyedia Jasa Tenaga Kerja (PJTK), NGO, masyarakat, bahkan lembaga pendidikan dan keterampilan yang ada, bahwa disamping pemberian bekal keterampilan kerja kepada calon TKI, yang tidak kalah pentingnya adalah pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya perlindungan hak-hak dan jaminan sosial atas mereka. Hal ini perlu dikmpanyekan terus sebagai bagian dari upaya perlindungan terhadap hak-hak azasi manusia (HAM), yang sebagai bagian dari masyarakat dunia, hari ini kita peringati hari HAM se dunia, tangal 10 Desember 2006.
Upaya untuk mensosialisasikan dan mengkampanyekan hal-hal yang berkaitan dengan HAM tersebut, oleh masing-masing unsur dapat menggunakan medium dan bahasa yang dipandang tepat. Pendekatan dengan bahasa hukum formal mungkin tidak cukup, akan lebih baik jika pendekatan budaya dan agama terlibat serta dalam mensosialisasikan dan mengkampanyekan masalah HAM ini.
Masyarakat Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (komunitas suku Bugis, Mandar, Makassar dan Toraja), dengan budaya yang tumbuh dan berkembang di atas nilai-nilai religiusitas yang kuat, mestinya dapat menjdi medium yang efektif untuk agenda ini. Tidak satupun agama yang mentolerir sikap eksploitasi, pelecehan, kekerasan terhadap sesama manusia. Semua agama menempatkan manusia sebagai makhluk terhormat dan harus dihormati.
Dalam ajaran Islam, persoalan yang dikemukakan di atas, tidak hanya dilihat dari bagaimana pandangan Islam tentang hak-hak kaum pekerja (buruh), tetapi harus dilihat secara konprehensip. Mulai dari kedudukan manusia sebagai makhluk yang mulia dan dimuliakan (Q.S. 17:70; 95: 4), bahwa antara satu manusia dengan manusia lain memiliki kedudukan yang sama, harkat yang sama (Q.S. 49: 13; 46: 19), jaminan kebebasan dan kemerdekaan manusia (Q.S 17: 70; 4: 58, 105, 107, 135; dan 60: 8), penekanan pada hak untuk hidup bagi setiap individu dalam arti luas (QS. 5: 45; 17: 33), penegasan tentang hak setiap individu untuk memperoleh perlindungan (QS. 90: 12-17; dan 9: 6), pemeliharaan dan perlindungan atas kehormatan pribadi (QS. 9: 6), kesederajatan Pria dan Wanita (QS. 2: 228 dan 49: 13), berkenan dengan hak anak dari orang tua (QS. 2: 233; dan 17: 23-24), hak setiap manusia untuk memperoleh Pendidikan dan keterampilan (QS. 9: 122; dan 96: 1-5), kebebasan beragama dan berkeyakinan (QS. 2: 156; 18: 29; 109: 1-6), jaminan hak atas kebebasan bertindak dan mencari perlindungan (QS. 4: 97; 60: 9), hak untuk bekerja (QS. 9: 105; 2: 286; dan 67: 15), hak untuk memperoleh kesempatan yang sama (QS. 2: 275-278; 4: 161; dan 3: 130) terkait dengan hak milik pribadi yang mesti dihormati (QS. 2: 29; dan 4: 29), Hak Untuk Menikmti Hasil kerja (QS. 46: 19), serta Hak Tahanan dan Narapidana (QS. 60: 8).
Akhirnya, jika telah tumbuh kesadaran bersama untuk menanggulangi persoalan ini, maka agenda kita kedepan adalah bagaimana mensinkronkan gerakan yang kita lakukan dengan semua pihak yang mengusung agenda ini, meski dengan bahasa dan pendekatan yang berbeda. Semoga.

Tidak ada komentar: