Kamis, 27 September 2007

Agama sebagai Sumber Nilai-nilai CSR

Oleh : Jalal

[www.kabarindonesia.com]
KabarIndonesia - Pembicaraan mengenai agama biasanya menjadi marak ketika ada peristiwa keagamaan tertentu diperingati. Karenanya, banyak orang di Indonesia kemudian juga bergiat membincangkan agama di bulan September-Oktober ini, tentu berkaitan dengan datangnya Ramadan buat umat Islam. Semoga saja ini bukan merupakan bukti kesalehan temporal belaka.

Kebetulan pula, di Bulan September ini jurnal terkemuka dalam bidang CSR Business and Sociaty Vol. 46/3 mengeluarkan sebuah artikel yang sangat menarik dari Graafland, dkk. berjudul "Conceptions of God, Normative Convictions and Socially Responsible Business Conduct." Kalau biasanya CSR (Corporate Social Responsibility = Tanggung jawab sosial perusahaan) dilihat dari sudut pandang ekonomi dan etika serta dianalisa dalam satuan organisasi, artikel ini hendak melihat bagaimana pengaruh kepercayaan religius terhadap tindakan para eksekutif dalam berbisnis.

Hasilnya sangat menarik. Ternyata para eksekutif yang berasal dari tradisi agama-agama monoteistik Ibrahimi (Yahudi-Kristen-Islam) memiliki perilaku bisnis yang paling berorientasi tanggung jawab sosial, relatif jauh meninggalkan mereka yang ateistik serta panteistik. Ini merupakan bukti terbaru bahwa kepercayaan atas religi tertentu memang memiliki pengaruh atas perilaku bisnis. Kalau banyak pihak berpendapat bahwa ketika sudah terjun ke bisnis agama setiap orang adalah sama, yaitu penghambaan terhadap uang, ternyata anggapan itu harus direvisi. Agama memiliki pengaruh dalam cara orang berbisnis, tegas Graafland, dkk.

Namun demikian, ada banyak studi sebelumnya yang mendapatkan hasil yang berbeda. Ada yang mendapatkan bukti bahwa religiusitas tidaklah menjamin perilaku bisnis yang lebih bertanggung jawab sosial, malahan -ini menyedihkan- ada yang mendapat bukti bahwa religiusitas dan tanggung jawab sosial bisa berbanding terbalik. Studi Pava (2003) mengungkapkan bahwa kepercayaan tertentu bisa membuat orang bersikap pasif, radikal dan koersif, dan ini bisa tercermin pula dalam sikap mereka ketika berbisnis. Tentu saja, ketiga kesimpulan mengenai hubungan itu (positif, netral dan negatif) mungkin saja ditemukan pada masyarakat-masyarakat yang menjadi sampel penelitian. Sudah banyak penelitian dilakukan, namun sebagian besar ternyata hanya terkait dengan perilaku eksekutif di Amerika Serikat yang tentu saja tidak bisa mewakili warga dunia lainnya.

Menurut Parvez dan Ahmed (2004), pengaruh nilai-nilai positif agama kini sedang mengalami pengikisan yang luar biasa hebat karena cara pandang atas dunia yang materialistik-sekular. Karenanya, menjadi tidak begitu mengherankan ketika mereka menemukan bahwa di negara-negara Muslim, CSR malahan terlihat sangat lemah. Hal ini karena Muslim tidak lagi memegang Islam sebagai sumber-sumber nilai yang dianut mereka, terutama ketika sedang menjalankan bisnis. Keadaan ini sungguh menyedihkan, karena tidak saja menerpa Islam, melainkan juga agama-agama Ibrahimi lainnya. Schwartz, Tamari dan Schwab (2007) menyatakan bahwa tidak jelas benar berapa proporsi investor Yahudi yang bersedia untuk memikirkan apakah investasinya sesuai dengan nilai-nilai Yahudi, namun kemungkinan angkanya di bawah investor Kristen dan Muslim.

Kalau pertanyaan penting "apakah agama memang memiliki pesan yang sejalan dengan CSR?" diajukan, maka hasilnya agak mudah ditebak. Ambil contoh Islam. Kamla, Gallhofer dan Haslam (2006) menyimpulkan bahwa "Islamic principles constitute a love of nature, and of people: the self and others, and an awareness of the importance of balance and the need to take reasoned actions to preserve this balance." Kesimpulan ini ditarik dari puluhan ayat Quran, teks Hadith dan pendapat-pendapat ulama tradisional dan modern. Kalau keseimbangan adalah salah satu nilai paling penting dalam Islam, maka kesimbangan tujuan ekonomi-sosial-lingkungan dalam berbisnis seharusnya bukanlah hal yang asing bagi umat Islam. Dengan studi literatur yang komprehensif, Zinkin dan Williams (2006) lagi-lagi sampai pada kesimpulan yang kurang lebih sama: Islam bukan saja cocok dengan prinsip-prinsip dalam UN Global Compact, melainkan jauh melampauinya. Cukuplah bukti bahwa CSR adalah cara berbisnis yang islami. Sayangnya, perusahaan yang memiliki kinerja CSR yang tinggi, termasuk yang mengikatkan diri dalam Global Compact, bisa dihitung dengan jari.

Indonesia adalah negara yang penduduknya majoritas Muslim, dan kondisi yang sama juga terjadi di sini. Sebagian besar perusahaan masih beroperasi dalam tatacara yang menafikan keseimbangan, keadilan dan kelestarian lingkungan dan sosial. Hal tersebut harus diubah dengan sungguh-sungguh, atau kita akan menciptakan neraka kita sendiri. Pendapat yang menyatakan bahwa "perusahaan tidak perlu masuk surga" adalah benar, namun bukankah para pemodal dan eksekutifnya akan menghadiri persidangan akuntabilitas dengan transparansi maksimum di akhirat kelak?

Setiap kita pasti menginginkan surga di dunia dan akhirat. Buat para pemodal dan eksekutif, hanya dengan menjalankan bisnis yang bertanggung jawab sosial saja maka timbangan amal akan memberat. Kalau tanggung jawab itu diabaikan, timbangan dosalah yang akan memberat.

Negara, Demokrasi, dan Kaum Intelektual

Oleh : Jafar Fakhrurozi

www.kabarindonesia.com]
KabarIndonesia - Negara Indonesia diproklamasikan oleh kaum intelektual, itu pasti. Tapi apakah negara Indonesia dihancurkan oleh kaum intelektual pula? Begitu kiranya pertanyaan yang sering muncul ketika transisi demokrasi malah kembali menuju abad gelap orde baru yang menghalalkan kekerasan, terbukti dengan tragedi berdarah beberapa waktu yang lalu di Alas Tlogo, Pasuruan.

Fadjroel Rahman menyebutkan bahwa ada tiga jurus untuk mengembalikan Indonesia ke tangan rezim orba, yaitu dengan, menaikkan Gusdur, menurunkan Gusdur, dan menaikkan Megawati. Hasilnya, harga BBM naik, pendidikan mahal, kekerasan kembali menghantui rakyat. Negara telah dikuasai pemilik kapital, dan para pemilik kapital itu telah merepresentasi kepentingan mereka sendiri, langsung mengendalikan kebijakan negara melalui eksekutif/legislatif negara (Fadjroel Rachman, Bangkitnya Negara Dagang, 2005).

Begitu mudahnya negara diobok-obok dan dimainkan oleh segelintir kaum intelektual. eksekutif, parlemen, serta piranti negara lainnya seakan hanya jadi wayang yang dimainkan oleh dalang di belakang layar: kapitalisme. Kadang jadi astrajingga (cepot) yang ditertawai oleh penonton atau tiba-tiba jadi buto ijo yang dibenci.

Melihat praktik-praktik mereka seperti melihat sinetron murahan yang mengumbar kemolekan dan ketampanan si artis, lihat saja reshuffle Kabinet sebagai salah satu contohnya. Sebuah perubahan itu harus ada yang berkorban atau dikorbankan.

Para pemimpin Jepang dan China adalah orang-orang yang mempunyai tanggungjawab dan komitmen yang kuat terhadap negaranya. Jika mereka merasa gagal atau dianggap gagal, secara legowo mereka mundur bahkan mereka rela bunuh diri karena malu pada rakyat. Lihat kasus bunuh diri yang dilakukan oleh salah seorang dokter yang mengabdi pada pemerintahan China karena dianggap bersalah beberapa waktu yang lalu, atau para pemimpin kekaisaran Jepang dengan istilah harakiri-nya pada masa perang dunia ke-dua.

Sangat kontras dengan para pemimpin kita. Jangankan mau bunuh diri, ketahuan korupsi puluhan triliun pun masih saja dibiarkan dan diberi ruang untuk terus mengeruk harta rakyat. Moralitas bangsa hancur, masyarakat tak lagi fasih membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, itu karena keteladanan para pemimpin kita yang bermoral rendah. Pantas jika akhir-akhir ini Presiden selalu beryeru tentang moralitas dalam setiap pidatonya, tetapi kalau sudah jelas ketahuan siapa yang korup, mengapa tidak ditangkap saja, Pak?

Potret para pemimpin serta kaum intelektual (baca: elit) Indonesia di atas adalah simbol keterpurukan negara dan masyarakat Indonesia. Para elit jelas-jelas sudah tercerabut dari rakyat, mereka sudah menjadi satu kesatuan dalam lingkaran kelam kapitalisme.

Negara dan Demokrasi Tanpa Kaum Intelektual
Francis Fukuyama seorang sejarawan dan futurolog Jepang memaparkan tentang hubungan ekonomi dengan pelaksanaan demokrasi, menurutnya, kemajuan ekonomi suatu negara akan berpengaruh terhadap pelaksanaan demokrasi di negara itu. Ini akan terjadi jika pasar sebagai sentra ekonomi mampu dikendalikan negara dan mendorong kemajuan ekonomi negara. Bagaimana pasar Indonesia? Globalisasi telah membawa dampak begitu besar bagi kelangsungan sebuah negara dan kehidupan masyarakat.

Bagi negara, krisis legitimasi menjadi sangat memungkinkan terjadi. Kondisi hari ini menunjukkan bahwa negara gagal memenuhi kebutuhan rakyat karena orientasinya beralih pada mekanisme pasar. Orientasi itulah yang mengakibatkan krisis ekonomi pra reformasi 1998. Krisis itu hingga sekarang masih terasa dampaknya. Globalisasi sebagai ajaran global yang mengendarai pasar bebas, adalah aset kapitalisme yang telah merasuk dan menjarah ekonomi rakyat di dunia dan telah menjadi hantu yang menakutkan bagi Indonesia. Hal ini diakibatkan karena lemahnya kredibilitas negara sehingga tidak memiliki kemampuan dalam mengendalikan pasar, maka terbanglah sebagian besar ekonomi rakyat, dimiliki dan dikuasai pemodal.

Siapa yang menguasai ekonomi Indonesia? Merekalah para konglomerat yang juga duduk di kekuasaan, jutaan pejabat yang mengendarai negara, jutaan pejabat yang merampok kekayaan negara, mereka yang berinteraksi dan bergaul dengan para pemilik kapital dunia. Maka pantas jika sembilan tahun reformasi tidak mampu melahirkan transisi demokrasi yang sejati, mereka kaum intelektual telah tercerabut dari rakyat.

Jika demikian adanya, maka sudah saatnya mereka menyingkir atau disingkirkan, demokrasi tidak butuh kaum intelektual seperti itu. Demokrasi hanya membutuhkan kaum yang saling menghargai sesama, memuliakan sesama, dan tidak menindas antar sesamanya. Mari sama-sama kita tafsirkan siapakah kaum yang harus mengawal demokrasi.

Berbagai tafsiran telah muncul sejak dulu sampai kini. Founding Father Indonesia, Mohammad Hatta mengatakan, bahwa kaum intelektual Indonesia mempunyai tanggungjawab moril terhadap masyarakat. Demoralisasi yang menandai masyarakat Indonesia tidak bisa dibiarkan, melainkan harus diubah ke arah yang lebih baik. Pada posisi ini kaum intelegensia berperan dalam memberikan tauladan, mampu menimbang baik dan buruk, sehingga tidak membiarkan sesuatu yang salah terus berlangsung (Muhammad Hatta, Tanggungjawab Moral Kaum Intelegensi dalam Cendekiawan dan Politik, 1983) atau menggunakan terminologi Antonio Gramsci, yang memberi istilah organik kepada kaum intelektual yang mengartikulasikan pandangan dunia, kepentingan, tujuan, dan potensi yang ditentukan secara historis dari suatu kelas. Hasil artikualasi ini ideologi. Peran dan fungsi kaum intelektual adalah produksi ideologi kelas di mana mereka berada di mana kaum intelektual harus berpihak pada kelas tertindas.

Kaum intelektual Indonesia bertanggungjawab dalam penguatan ide-ide demokrasi serta meminimalisir dampak negatif kapitalisme pasar. Kaum intelektual bukanlah kaum yang tercerabut dari masyarakat, kesehariannya adalah garis massa-meminjam istilah Mao. Ekspansi pasar global telah membuat bangsa kita limbung. Jika negara tak mampu lagi melakukan pertahanan ekonomi mandiri, sepertinya kita tak lagi merasakan adanya negara bangsa (nation state), melainkan sudah berganti menjadi negara global (global state), maka jangan berharap Indonesia akan bertahan lama. Di sini, di pundak kaum intelektual yang sehat, Indonesia berharap, bukan pada kaum intelektual murtad.***

REKONSTRUKSI KESETARAAN JENDER DALAM AL-QUR'AN

Sulit menemukan tafsiran yang tidak bias jender dalam sekian banyak karya tafsir. Penafsiran al-Qur'an tentang masalah jender semestinya tidak diambil begitu saja, karena dunia sudah berubah jauh dari ruang dan waktu al-Qur'an diturunkan. Apalagi, proses intelektual mufassir tidak hadir dalam suasana yang kosong nilai. Al-Qur’an sedianya dipahami sebagai korpus terbuka yang siap untuk ditafsirkan ulang.

Problem kesetaraan jender dalam Islam sedianya dimulai dari kajian kritis-argumentatif atas ayat al-Qur'an yang berhubungan erat dengan isu kesetaraan jender. Sebagai sumber pertama dalam melakukan pengambilan hukum (isthinbât al-hukm), al-Qur'an menyimpan banyak nilai yang dapat dikaji ulang. Apakah penafsiran ulama terhadap ayat al-Qur'an mengandung bias jender? Faktor apakah yang mempengaruhi para mufassir? Dan, sejauhmana hal itu bersesuian dengan realitas sosial-budaya modern? Pertanyaan inilah yang hendak dijawab lewat tulisan singkat ini.

Elan vital rekonstruksi penafsiran al-Qur'an disandarkan pada premis awal tentang relevansi al-Qur'an yang tidak lekang karena denyut perubahan zaman (shâlih li kulli zamân wa al-makân). Universalitas Islam yang kerap ditawarkan akan terasa hambar kalau saja pandangan atas teks kitab suci (baca: penafsiran) terlampau disalahpahami. Ini akan membentuk konstruksi nilai yang terus melembaga bila tanpa upaya intelektual yang dinamis dan aktual. Yang perlu dilakukan adalah mendinamisir cara pandang atas teks suci sebagai penjagaan kesuciannya dan tidak dikotori oleh formalisasi tafsiran teks yang pada dasarnya bersifat sementara.

Paling tidak, kita mendapati anggapan miris atas urgensi kesetaraan dikuatkan dengan tafsiran atas teks al-Qur'an. Penolakan itu harus dijernihkan dengan menempatkan penafsiran sebagai upaya intelektual, meski terhadap kitab suci sekalipun. Sehingga, diskusi yang berjalan akan terlihat arahnya dan tidak terperangkap pada kekeliruan identifikasi antara penafsiran pada satu sisi dan teks al-Qur'an sebagai sentral nilai dalam Islam pada sisi lain. Klaim atas kesetaran jender sebagai turunan norma sosial-budaya Barat, tidak pula dijadikan alasan untuk membahasnya secara obyektif-ilmiah. Sehingga, kesan apologetis bisa dihindarkan semaksimal mungkin.

Dialektika al-Qur'an dan kesetaraan jender mengandaikan obyektivikasi atas sekian banyak penafsiran ayat al-Qur'an yang bermuara pada formulasi hukum Islam. Karena, penafsiran atas al-Qur'an mempunyai tingkat resistensi sosial-budaya dan penggunaan gaya bahasa para mufassir. Terbukti, hadir berbagai ragam dan corak penafsiran dalam sejarah pergumulan ilmu-ilmu al-Qur'an. Seolah "mengingatkan kembali", diferensiasi itu merefleksikan urgensi penafsiran ulang yang dibangun dengan analisa linguistik dan mempertimbangkan konteks sosial-budaya modern.

Faktor Berpengaruh
Upaya penelusuran yang dilakukan oleh Nasaruddin Umar dalam master peace-nya, Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif al-Qur'an (Paramadina, 2000), dapat dijadikan rujukan. Menurutnya, ditemukan peran sosial-budaya yang membentuk para mufassir dalam mengartikulasikan pesan kitab suci. Penjabaran yang ditelorkan ternyata digerakkan oleh struktur berfikir yang dibentuk oleh proses sosial-budaya pada waktu dulu. Disadari atau tidak, stereotipikal atas kesetaraan jender menjadi premis berfikir para mufassir dan pada tarikan nafas yang sama menghasilkan konklusi yang bias jender.

Karya-karya yang ditulis dalam kondisi sosial-budaya Arab yang patriarkhal, misalkan, telah melahirkan bias jender yang sangat tinggi. Budaya dagang, perang, suksesi kepala suku, dan kepemilikan harta-benda yang diadreskan hanya untuk kaum laki-laki, bisa membuktikan kecenderungan di atas. Corak penafsiran yang bias jender terlihat begitu dominan. Kemudian, dijadikan pintu awal untuk memahami makna-makna al-Qur'an.

Dalam proses selanjutnya, masih menurut Nasaruddin, penggunaan sistem bahasa, seperti tanda baca, cara baca, dan penafsiran kata dari teks al-Qur'an, mengandung bias jender. Selain itu, relasi kuasa (power relation) yang mengiringi pemaknaan kata, penggunaan kamus, dan cara pandang mufassir atas peran jender, berpengaruh banyak dalam melahirkan corak penafsiran ayat al-Qur'an. Sulit untuk menemukan tafsiran yang tidak bias jender dalam sekian banyak karya tafsir tersebut.

Titik fungsional dari konstruksi nilai tersebut menjalar pada cara berfikir para ulama yang menggeluti cabang ilmu pengetahuan Islam ketika meracik formulasi hukum. Dalam kitab-kitab fiqh, ketentuan tentang waris, perkawinan, persaksian, kepemilikan harta benda dan yang lainnya, mengesankan laki-laki begitu dominan. Kedudukan hukum perempuan kerap ditempatkan setengah dibandingkan laki-laki. Kitab Uqûd al-lujjain, karya Imam Nawawi al-Bantani, bisa dijadikan contoh yang otentik untuk membuktikan betapa subordinasi kaum hawa telah terjadi secara sistemik.

Problem internalisasi nilai tersebut sedianya diselesaikan dengan menempatkan penafsiran ayat al-Qur'an secara proporsional. Artinya, instrumentasi penafsiran teks yang dilembagakan dengan hadirnya karya-karya ulama klasik tidak menggeser titik sentral pesan universal al-Qur'an yang absah untuk dielaborasi berkaitan dengan pergumulan zaman. Otonomi teks dan pemahaman akan teks menjadi kunci untuk membedah kekeliruan identifikasi atas kedudukan al-Qur'an sebagai kitab suci yang bisa berdiri-sendiri tanpa tergantung pada penafsirannya.

Sepertinya, keengganan untuk menilik kenyataan ini lebih disebabkan oleh anggapan keliru atas status penafsiran terhadap ayat al-Qur'an. Pada dasarnya, penafsiran adalah upaya intelektual yang sungguh-sungguh dari seorang mufassir, baik yang menggunakan akal (tafsir bi ar-ra'yi) ataupun dengan bantuan teks hadits atau atsar ash-shahâbah (tafsir bi al-ma'tsur), yang mempunyai kutub salah-benar. Penafsiran adalah mata rantai dari realitas hasil ijtihad yang dipengaruhi oleh ruang dan waktu di mana para mufassir itu hidup. Proses intelektual mufassir tidak hadir dalam suasana yang kosong nilai.

Kembali Ke Dasar
Al-Qur'an sebagai kitab suci yang pada dasarnya memuat gugusan nilai yang bersifat universal meniscayakan cara pandang yang dinamis. Dalam proses turunya, kita menyaksikan betapa al-Qur'an didesain sesuai dengan gerak zaman pada setiap penerimaan pesannya. Separuh waktu diturunkan di Mekah dan separuh waktu lagi diturunkan di Madinah adalah gambaran sederhana betapa al-Qur'an harus dilihat sebagai teks berjalan (on going process), meski itu berasal dari sumber yang transenden.

Hemat saya, dengan meminjam bahasa dan sosio-kultural bangsa Arab, al-Qur’an sedianya dipahami sebagai korpus terbuka yang siap untuk ditafsirkan ulang. Pendek kata, penafsiran atas ayat al-Qur'an tentang kesetaraan jender yang sesuai dengan bahasa dan sosio-kultural bangsa Arab, semestinya tidak diambil begitu saja (taken for granted). Sekarang ini, al-Qur'an hadir dalam dunia yang sudah berubah begitu jauh dari ruang dan waktu di mana al-Qur'an pernah ditafsirkan oleh para ulama terdahulu.

Dengan demikian, penafsiran ayat al-Qur'an bersifat paralel dengan kondisi sosio-kultural mutakhir. Kualitas kemanusiaan perempuan dalam beberapa aspek ternyata lebih unggul dari laki-laki. Kenyataan ini harus disikapi secara obyektif dan tidak dieliminasi dengan legitimasi penafsiran ayat al-Qur'an yang sarat bias jender. Instrumentasi penafsiran tersebut seolah memutar jarum jam sejarah ke belakang dan memaksanya untuk menyesuaikan diri dengan kondisi sosio-kultural yang telah usai.

Terakhir, bukan pula dimaksudkan untuk menelan “pil pahit” apa yang kemudian dikatakan oleh sementara kalangan bahwa kesetaraan jender tak lebih dari konspirasi Barat. Ketegangan konseptual ini sedianya dikembalikan pada pesan al-Qur'an bahwa keutamaan manusia di hadapan Sang Khalik tidak ditentukan oleh jenis kelamin, tapi kualitas kesalehan individual dan sosial (ahsan at-taqwîm) bagi kemanusiaan yang universal (rahmatan li al-â’lamîn). Wallâhu 'alam bishshawwâb.
Ditulis oleh Muhtar Sadili, staf Pusat Studi Al-Qur'an (PSQ).

Sisa Soal Kriteria Hilal

Sidang Itsbat dengan Memperhatikan Layar Hasil Pengamatan Teleskop dari Beberapa Lokasi di Indonesia (Antara/Fouri Gesang Sholeh)Setelah kompak memutuskan awal Ramadan, Rabu pekan lalu, NU dan Muhammadiyah menggelar sepak bola ukhuwah di Jakarta. Wakil Presiden Jusuf Kalla menjadi wasit. "Jika baru rencana main bola, awal Ramadan sudah sama," kata Kalla. "Kalau sudah main bola, Idul Fitrinya juga sama."

Jusuf Kalla yang berayah NU dan ibu Muhammadiyah itu optimistis, "Bila skor bola bisa diatur, apalagi Idul Fitri." Spirit ukhuwah yang dirintis lewat sepak bola itu terkesan mengandung kesadaran bahwa penetapan awal bulan Hijriah adalah titik genting relasi NU dengan Muhammadiyah. Rencana sepak bola itu diumumkan Ketua Muhammadiyah, Din Syamsuddin, pada saat simposium internasional "Penyatuan Kalender Islam Internasional", pekan sebelumnya.

Sidang itsbat (penetapan) awal Ramadan, Selasa pekan lalu, diwarnai kegembiraan berbagai kalangan. Karena NU, Muhammadiyah, dan pemerintah satu sikap. Polemik luas biasa terjadi bila satu saja dari tiga simpul itu berbeda. Sidang itu juga disemarakkan penggunaan perangkat teknologi informasi, sehingga pantauan hilal di lima tempat bisa dimonitor secara langsung.

Namun sikap kompak itu bukan wujud kemajuan kompromi metodologis berbagai kubu atau hasil topangan teknologi informasi. Peneliti utama astronomi Lapan, Dr. T. Djamaluddin yang hadir dalam sidang itu mengingatkan, semua itu sekadar diuntungkan oleh posisi bulan yang masih di bawah ufuk. Sehingga semua pelaku rukyat gagal melihat bulan. Bahkan, bila ada yang mengaku melihat, dalam kondisi demikian, harus ditolak.

Djamaluddin menandaskan, masih ada pokok persoalan yang belum dituntaskan. Yakni penyepakatan kriteria hilal: posisi bulan yang diakui menjadi tanda awal penanggalan. Kalau tak segera diselesaikan, Idul Fitri tiga pekan lagi bisa mengulang nasib Idul Fitri tahun lalu yang dirayakan berbeda.

Posisi bulan pada hari ke-29 Ramadan nanti (11 Oktober 2007) di Indonesia Barat sudah di atas ufuk, tapi di bawah 2 derajat. Sementara di Indonesia Timur masih di bawah ufuk. Posisi ini rawan perbedaan.

Bagi Muhammadiyah yang menganut kriteria wujudul hilal (adanya hilal), bila sudah di atas ufuk, meski tak di seluruh wilayah Indonesia, berapa pun tingginya, bisa dilihat atau tidak, maka esoknya Idul Fitri. Tapi, bagi NU dan pemerintah yang menganut imkanur ru'yat (standar minimal bulan memungkinkan dilihat), esoknya bisa jadi belum Lebaran.

Perlu ketinggian minimal 2 derajat untuk bisa dilihat, baik dengan mata langsung maupun dengan alat paling canggih. Malah, menurut standar internasional, perlu tinggi minimal 4 derajat. Unsur "dapat dilihat" ini jadi tekanan, disesuaikan dengan hadis Nabi bahwa awal dan akhir puasa ditandai dengan dapat dilihatnya bulan.

Jadi, urusannya tidak segampang mengatur skor bola, seperti anggapan Wapres Jusuf Kalla. Djamaluddin menegaskan, ini bukan soal perbedaan antara pengguna metode hisab dan rukyat, melainkan perbedaan kriteria. Sesama "penghisab" dan perukyat bisa berbeda hasil bila kriterianya berbeda.

Misal, Muhammadiyah dan Persis (Persatuan Islam) sama-sama memakai hisab. Tapi Persis memasang kriteria berbeda bahwa wujud hilal harus menyeluruh di semua wilayah Indonesia. Akibatnya, untuk Idul Fitri tahun 2006, Persis dan Muhammadiyah berbeda.

Upaya penyatuan kriteria itu sudah beberapa kali dilakukan. Terakhir, hasil Rapat Badan Hisab Rukyat, Desember 2005, sudah mengerucut pada tiga opsi tawaran kriteria bersama (lihat: Tiga Opsi). Ketiganya diserahkan pada ormas-ormas Islam untuk dikaji dan dijajaki mana yang paling memungkinkan titik temu. Namun hingga kini belum tercapai kata sepakat di kalangan ormas Islam.

Simposium internasional Muhammadiyah sepekan sebelum Ramadan lalu belum spesifik mengupas tiga opsi itu. Begitu pula Silaturahmi Nasional Lajnah Falakiyah NU. Padahal, bila tiga opsi itu serius ditindaklanjuti, jawaban akhirnya segera jelas. Bisa jadi, akan tercapai kesepakatan dengan satu kriteria. Atau sebaliknya, sepakat untuk berbeda.

Sikap ormas Islam ini penting, karena pemerintah tidak bisa begitu saja memaksakan standar, sebagaimana di Malaysia, Brunei, atau negara-negara Timur Tengah. Ormas lebih dulu eksis, pemerintah mengakomodasi. Jumat sore pekan lalu, Menteri Agama Maftuh Basyuni memanggil Djamaluddin. Hadir pula Dirjen Bimas Islam, Nasaruddin Umar, dan Kepala Badan Hisab dan Rukyat, Muhtar Ilyas.

Pertemuan itu bermaksud serius mengupayakan penyatuan kriteria antar-ormas Islam. "Selasa depan (pekan ini) ditindaklanjuti dengan pertemuan antar-ormas Islam," kata Nasaruddin Umar. Wapres Jusuf Kalla akan membantu memfasilitasi. Karena itu, para pemegang kebijakan bisa hadir. Mengingat, temu ormas selama ini hanya dihadiri tim teknis.

Ketua Lajnah Falakiyah NU, KH Ghozalie Masroerie, terbuka atas usulan penyatuan kriteria itu. Malah dibandingkan dengan ormas lain, menurut Ghozalie, "NU sudah lari kencang meninggalkan start (menuju titik temu), sementara sahabat ormas lain masih jalan di tempat." Semula NU hanya berpegang pada rukyat murni. Hitungan ahli hisab pada saat itu hanya dijadikan acuan. Lalu bergeser ke kombinasi sejajar antara hisab dan rukyat.

Belakangan, NU menerima konsep imkanur ru'yat. Tawaran Lapan tentang tinggi hilal minimal 2 derajat, azimut 3 derajat, dan umur 8 jam juga ditanggapi secara terbuka. Bagi NU, kata Ghozalie, hisab dan rukyat itu memiliki hubungan timbal balik yang dinamis.

Ilmu hisab dikembangkan dari praktek observasi empirik (rukyat). Praktek rukyat dipandu ilmu hisab yang terus berkembang. Pertumbuhan hisab dikontrol balik dan diuji validitasnya lewat rukyat yang metode dan teknologinya juga berkembang. "Makanya, NU sangat terbuka. Pada sahabat ormas lain, mari sama-sama lari dari start, sehingga kita bisa saling bersalaman," serunya.

Ahli hisab dari Muhammadiyah, Susiknan Azhari, menyatakan bahwa dinamika di internal Muhammadiyah sebenarnya juga terbuka pada peluang penyatuan. Meski menggeser dari kriteria wujudul hilal ke imkanur ru'yat tidak mudah, Susiknan optimistis tetap ada peluang.

"Internal Muhammadiyah juga harus terbuka," kata Susiknan, yang juga Ketua Panitia Simposium Internasional Kalender Islam. Disertasi doktor Susiknan di UIN Yogyakarta menyebut opsi "nalar integrasi ilmiah" bisa menjadi titik temu jangka pendek.

Inti opsi itu adalah bila wujudul hilal terjadi di seluruh Indonesia. Ini sedikit bergeser dari kriteria Muhammadiyah pada saat ini bahwa wujudul hilal cukup di sebagian Indonesia. Dengan kriteria ini, bila di ujung timur Indonesia tinggi hilal masih di bawah 2 derajat, di ujung barat Indonesia diharapkan sudah di atas 2 derajat. Sehingga bisa menyatukan penganut wujudul hilal dan imkanur ru'yat.

Perubahan kriteria di Muhammadiyah bukan mustahil. Sebab, dalam sejarahnya, kata Susiknan, pernah dipakai berbagai metode. Pada fase awal, Muhammadiyah memakai rukyat dengan standar imkanur ru'yat 3 derajat. Lalu bergeser ke kriteria ijtima' qablal ghurub bahwa asal konjungsi (bumi-matahari-bulan dalam satu garis) terjadi sebelum magrib, maka malamnya sudah tanggal baru.

Setelah tahun 1938, Muhammadiyah baru memakai wujudul hilal. "Itu jalan tengah antara hisab murni dan rukyat murni," katanya. Bahwa Muhammadiyah belum juga menyikapi tiga opsi tentang peluang penyatuan kriteria, menurut Susiknan, itu hanya terkendala mekanisme organisasi. Karena perubahan demikian harus diputuskan lewat forum setingkat muktamar atau musyawarah nasional.

Rencana Jusuf Kalla memfasilitasi pertemuan ormas untuk mengantisipasi perbedaan Idul Fitri akan diuji. Betulkah semudah mengatur skor bola?

Asrori S. Karni
[Agama, Gatra Nomor 45 Beredar Kamis, 20 September 2007]

Rabu, 26 September 2007

Pendidikan dan Karakter Kebangsaan

Pendidikan dan Karakter Kebangsaan

Komaruddin Hidayat

Perayaan 62 tahun kemerdekaan bangsa Indonesia baru saja selesai kita peringati, tetapi bangunan bangsa kian rapuh sehingga mengakibatkan kemerosotan, terutama di dunia global. Sebabnya, lagi-lagi pendidikan yang terbengkalai. Padahal, di belahan dunia yang lebih maju, generasi muda bukan saja semakin berperan, tetapi juga semakin kaya dan berkuasa. Sebut saja Sergei Brin dan Larry Page, dua pemuda berumur 28 dan 30 tahun yang mendirikan Google kurang dari sepuluh tahun yang lalu dan saat ini berada di jajaran orang paling kaya di dunia. Demikian juga dengan Tom Anderson dan Chris deWafe yang mendirikan MySpace, situs social networking paling populer yang akhir tahun lalu dibeli oleh Intermic Media senilai 580 juta dollar AS hanya dalam waktu dua tahun sejak situs tersebut pertama kali diluncurkan. Sebut lagi Steve Chen (28), Chad Hurley (29), dan Jawed Karim (28), yang mendirikan Youtube, situs video networking dua tahun yang lalu. Ketiga pemuda itu baru-baru ini menjual Youtube senilai 1,65 miliar dollar AS atau sekitar Rp 10 triliun kepada pihak Google. Fenomena ini harusnya membuka mata kita bahwa dunia dan kehidupan tidak lagi berjalan, tumbuh, dan berkembang secara tradisional. Setiap hari harus ada inovasi baru yang diperkenalkan dan diterapkan yang pada akhirnya mengubah cara dan gaya hidup secara drastis. Agar kita bisa ikut tumbuh dan berkembang secara optimal, seorang manusia apalagi suatu bangsa membutuhkan kemauan dan kemampuan adaptasi yang tidak saja baik, tetapi juga kompetitif.

Budaya yang kuat

Bangsa yang maju memiliki budaya yang kuat atau bahkan ekspansif karena mampu menularkan budayanya kepada bangsa lain. Dengan kata lain, tanpa budaya yang kuat, suatu bangsa bisa jadi hilang ditelan, dipengaruhi, dikuasai, atau bahkan ditinggalkan oleh peradaban yang lebih besar dan lebih kuat. Dalam rangka perayaan 62 tahun kemerdekaan Indonesia dari belenggu penjajahan, mari kita bertanya, budaya Indonesia yang mana yang kita miliki dan perlu kita kembangkan untuk meningkatkan peran dan kontribusi Indonesia di peradaban Asia atau bahkan dunia saat ini? Susah menjawabnya. Mengapa karakter kebangsaan Indonesia semakin luntur atau setidaknya ’kabur’ sampai kita sendiri susah untuk mengenalinya? Itu tidak lain karena sistem pendidikan di Indonesia tidak dikemas dan ditujukan untuk membangun suatu karakter budaya yang kuat. Sistem pendidikan nasional masih berorientasi pada pembangunan fisik, bukan pembangunan jiwa dan karakter kebangsaan. Akibatnya, dana pendidikan belum dapat mengikuti amanah UUD 45 yang seyogianya mencapai 20 persen dari keseluruhan anggaran pembangunan nasional. Namun, demi kepentingan masa depan anak cucu bangsa dalam 30 tahun ke depan, Indonesia butuh solusi, yang pragmatis, kreatif, dan segera. Pragmatis dalam arti solusi tersebut harus betul-betul mengatasi masalah pembiayaan yang dibutuhkan sektor pendidikan nasional. Kreatif dalam arti solusi tersebut tidak boleh lagi-lagi membebani keuangan negara yang sudah hampir lumpuh dibebani utang. Segera dalam arti solusi tersebut ada di sekitar kita dan dapat segera diciptakan, diterapkan, dan disempurnakan terus- menerus.

Melibatkan pihak swasta

Caranya adalah dengan melibatkan dan mengarahkan pihak swasta. Perusahaan swasta, terutama multinasional, memiliki kemampuan dan kepentingan untuk membiayai peningkatan kualitas pendidikan anak bangsa. Selain itu, swasta justru lebih peka dan lebih cepat bertindak dibandingkan dengan pemerintah dalam hal mengenali dan mengatasi permasalahan sosial di sekitar wilayah usahanya. Terakhir, perusahaan swasta, baik lokal maupun multinasional, memiliki pengaruh profesionalisme, konsistensi, dan semangat bersaing yang sangat penting untuk ditularkan terhadap insan pendidikan di seluruh Tanah Air. Contohnya adalah kegiatan "Berbagi 1.000 Kebaikan" yang diadakan oleh PT Unilever Indonesia (ULI) melalui merek es krim Walls yang akan menyumbangkan Rp 1.000 dari setiap kotak es krim Viennetta Kurma dan varian lainnya terjual. Dana yang terkumpul dari konsumen Vienneta Kurma akan disumbangkan kepada anak-anak putus sekolah melalui Dompet Dhuafa. Unilever Indonesia, sebagai salah satu perusahaan multinasional terbesar, justru memilih cara yang sangat lokal untuk tetap memimpin di pasar global, yaitu dengan memilih kebutuhan lokal untuk dipenuhi dengan cara lokal pula. Kegiatan sosial yang telah dilakukan oleh Vienetta Kurma layak untuk dicontoh. Akan lebih baik lagi bila banyak perusahaan yang memiliki kepedulian yang sama sehingga dapat berbagi 1.000 kebaikan bagi pendidikan. Sementara itu, bila Walls fokus kepada perkembangan dan pertumbuhan anak-anak dalam pendidikan, barangkali dapat menjadi inspirasi bagi perusahaan lain untuk memikirkan guru-guru sebagai orang yang memiliki peran penting dalam mendidik generasi kita di masa mendatang. Guru juga perlu untuk diberikan pendidikan dan pelatihan agar mereka dapat meningkatkan kualitas dan motivasi mereka dalam mengajar. Hal ini penting karena nasib guru di Indonesia sangat menyedihkan, baik dari segi pendapatan maupun pelatihan. Akibatnya, banyak guru yang merasa minder dan tidak memiliki kepercayaan diri yang positif ketika menghadapi anak muridnya, terutama yang datang dari kalangan menengah atas. Oleh sebab itu, sistem pendidikan nasional tidak pernah berfungsi seperti filosofi "busur panah" yang diperkenalkan Kahlil Gibran. Artinya, sistem pendidikan seharusnya bisa menjadi busur yang membuat setiap anak panah melesat sejauh-jauhnya dan sedalam-dalamnya ke jantung tujuan. Ke depan, kepedulian dan komitmen terhadap peningkatan kualitas sistem pendidikan nasional harus menjadi ukuran keberhasilan dari setiap elemen masyarakat, baik tokoh agama, bisnis, politik, sosial, maupun pemerintahan. Selain itu, perusahaan lokal dan multinasional yang memang menunjukkan komitmen nyata, pragmatis, dan solution-oriented terhadap masalah pendidikan harus diberi beragam insentif. Suka atau tidak, pengertian kompetisi semakin bergeser ke arah penciptaan, perlindungan, dan penerapan kemampuan intelektual atau human capital di seluruh dunia. Siapkah Indonesia untuk itu? Jawabannya adalah, pemerintah bersama pihak swasta harus bersama-sama memprioritaskan pendidikan... pendidikan... pendidikan. Komaruddin Hidayat Rektor Universitas Islam Negeri, Syarif Hidayatullah Jakarta

Sumber : Kompas.co.id

Haruskah Ber-Idul Fitri Bareng?

http://www.suaramer deka.com/

Haruskah umat Islam Indonesia ber-Idul Fitri 1428 Hijriah secara bersamaan? Pertanyaan ini mungkin terasa naif di tengah upaya-upaya agar salah satu ormas keagamaan - Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah - tidak merayakan Idul Fitri tahun ini berbeda waktunya dengan penetapan pemerintah. Tahun lalu, juga dalam sejumlah Lebaran sebelumnya, perbedaan itu tak terhindarkan karena metodologi ijtihad menghasilkan produk berbeda. Tahun ini pun tanda-tanda ketidaksamaan muncul setelah Muhammadiyah mengumumkan 1 Syawal jatuh pada tanggal 12 September, sedangkan versi pemerintah kemungkinan 13 September.

Berlebaran secara bersama-sama bagi seluruh umat Islam tentu lebih nyaman. Perbedaan mengesankan bahwa suatu keyakinan syar'i tidak dapat dipertemukan. Namun pada sisi lain, teknologi hisab dan rukyatul-hilal yang dipakai, yang terkadang menghasilkan penetapan berbeda, hakikatnya juga menggambarkan kekayaan teknologi ijtihad. Dengan memilih salah satu, berarti kita meyakini produk dari proses penetapan tersebut. Dengan kata lain, kalau kita meyakini, secara syar'i juga akan mengikuti suatu "kebenaran fikih" karena memang demikianlah patokan yang dijadikan pemandu.

Pada tingkat grassroots, perbedaan Idul Fitri bisa dirasakan sangat tidak nyaman secara sosiologis-psikolog is. Pada masa lalu, perbedaan itu malah mudah menimbulkan gesekan-gesekan sikap. Mengikuti penetapan pemerintah atau tidak mengikuti sama-sama memunculkan opini, karena yang dijadikan patokan adalah apa kata ulama. Tetapi dalam perkembangannya, kondisi itu demikian lambat laun terkikis. Umat di lapis bawah cenderung makin terbuka dan terbiasa menerima perbedaan, serta menghormati saudara-saudaranya yang memilih untuk ber-Idul Fitri sesuai dengan keyakinan masing-masing.

Dengan peran media massa, kedekatan interaksi para pemimpin ormas, misalnya antara Hasyim Muzadi dengan Din Syamsuddin, secara mudah dapat diakses oleh berbagai lapisan umat, sehingga tidak sekadar menjadi wacana elite. Hal itu setidak-tidaknya menyiratkan "pesan", perbedaan yang muncul semata-mata karena perbedaan metodologi ijtihad, bukan karena motif politik tertentu. Pernyataan-pernyata an yang menyejukkan, dalam kondisi demikian sangat diperlukan, misalnya keinginan untuk berlebaran bersama-sama, walaupun nantinya dalam praktik bisa saja produk ijtihad meniscayakan suatu perbedaan.

Walaupun sebenarnya ada kesadaran mengenai keniscayaan terjadi perbedaan, tetap saja setiap menjelang Ramadan, Idul Fitri, atau Idul Adha perbincangan hangat selalu berkembang di seputar itu. Bagaimanapun, hal itu mengisyaratkan bahwa umat Islam sebenarnya lebih merasa nyaman jika dapat memulai puasa pada hari yang sama, lalu ber-Idul Fitri atau Idul Adha secara bersama-sama pula. Nilai ukhuwah memang tidak harus diimplementasikan dalam bentuk Lebaran bareng, melainkan bagaimana setiap orang yang berbeda saling memahami, menghormati, dan tidak membesar-besarkan perbedaan itu.

Upaya yang digalang NU, Muhammadiyah, dan Departemen Agama untuk menjembatani agar pada masa-masa mendatang bisa menekan terjadinya perbedaan, sangatlah mulia untuk membangun iktikad toleransi. Hanya memang, tidak mungkin dipaksakan karena realitas basis metodologinya. Apalagi, menurut hemat kita, syiar Islam tidaklah ditentukan berdasarkan "keramaian" kuantitatif, melainkan bagaimana nilai-nilai ajaran agama itu bisa mendapat tempat dalam keseharian umatnya. Termasuk, tentu saja, bagaimana kita menghargai perbedaan, menghormati hak orang lain, serta tidak merasa diri paling benar.