Kamis, 27 September 2007

Agama sebagai Sumber Nilai-nilai CSR

Oleh : Jalal

[www.kabarindonesia.com]
KabarIndonesia - Pembicaraan mengenai agama biasanya menjadi marak ketika ada peristiwa keagamaan tertentu diperingati. Karenanya, banyak orang di Indonesia kemudian juga bergiat membincangkan agama di bulan September-Oktober ini, tentu berkaitan dengan datangnya Ramadan buat umat Islam. Semoga saja ini bukan merupakan bukti kesalehan temporal belaka.

Kebetulan pula, di Bulan September ini jurnal terkemuka dalam bidang CSR Business and Sociaty Vol. 46/3 mengeluarkan sebuah artikel yang sangat menarik dari Graafland, dkk. berjudul "Conceptions of God, Normative Convictions and Socially Responsible Business Conduct." Kalau biasanya CSR (Corporate Social Responsibility = Tanggung jawab sosial perusahaan) dilihat dari sudut pandang ekonomi dan etika serta dianalisa dalam satuan organisasi, artikel ini hendak melihat bagaimana pengaruh kepercayaan religius terhadap tindakan para eksekutif dalam berbisnis.

Hasilnya sangat menarik. Ternyata para eksekutif yang berasal dari tradisi agama-agama monoteistik Ibrahimi (Yahudi-Kristen-Islam) memiliki perilaku bisnis yang paling berorientasi tanggung jawab sosial, relatif jauh meninggalkan mereka yang ateistik serta panteistik. Ini merupakan bukti terbaru bahwa kepercayaan atas religi tertentu memang memiliki pengaruh atas perilaku bisnis. Kalau banyak pihak berpendapat bahwa ketika sudah terjun ke bisnis agama setiap orang adalah sama, yaitu penghambaan terhadap uang, ternyata anggapan itu harus direvisi. Agama memiliki pengaruh dalam cara orang berbisnis, tegas Graafland, dkk.

Namun demikian, ada banyak studi sebelumnya yang mendapatkan hasil yang berbeda. Ada yang mendapatkan bukti bahwa religiusitas tidaklah menjamin perilaku bisnis yang lebih bertanggung jawab sosial, malahan -ini menyedihkan- ada yang mendapat bukti bahwa religiusitas dan tanggung jawab sosial bisa berbanding terbalik. Studi Pava (2003) mengungkapkan bahwa kepercayaan tertentu bisa membuat orang bersikap pasif, radikal dan koersif, dan ini bisa tercermin pula dalam sikap mereka ketika berbisnis. Tentu saja, ketiga kesimpulan mengenai hubungan itu (positif, netral dan negatif) mungkin saja ditemukan pada masyarakat-masyarakat yang menjadi sampel penelitian. Sudah banyak penelitian dilakukan, namun sebagian besar ternyata hanya terkait dengan perilaku eksekutif di Amerika Serikat yang tentu saja tidak bisa mewakili warga dunia lainnya.

Menurut Parvez dan Ahmed (2004), pengaruh nilai-nilai positif agama kini sedang mengalami pengikisan yang luar biasa hebat karena cara pandang atas dunia yang materialistik-sekular. Karenanya, menjadi tidak begitu mengherankan ketika mereka menemukan bahwa di negara-negara Muslim, CSR malahan terlihat sangat lemah. Hal ini karena Muslim tidak lagi memegang Islam sebagai sumber-sumber nilai yang dianut mereka, terutama ketika sedang menjalankan bisnis. Keadaan ini sungguh menyedihkan, karena tidak saja menerpa Islam, melainkan juga agama-agama Ibrahimi lainnya. Schwartz, Tamari dan Schwab (2007) menyatakan bahwa tidak jelas benar berapa proporsi investor Yahudi yang bersedia untuk memikirkan apakah investasinya sesuai dengan nilai-nilai Yahudi, namun kemungkinan angkanya di bawah investor Kristen dan Muslim.

Kalau pertanyaan penting "apakah agama memang memiliki pesan yang sejalan dengan CSR?" diajukan, maka hasilnya agak mudah ditebak. Ambil contoh Islam. Kamla, Gallhofer dan Haslam (2006) menyimpulkan bahwa "Islamic principles constitute a love of nature, and of people: the self and others, and an awareness of the importance of balance and the need to take reasoned actions to preserve this balance." Kesimpulan ini ditarik dari puluhan ayat Quran, teks Hadith dan pendapat-pendapat ulama tradisional dan modern. Kalau keseimbangan adalah salah satu nilai paling penting dalam Islam, maka kesimbangan tujuan ekonomi-sosial-lingkungan dalam berbisnis seharusnya bukanlah hal yang asing bagi umat Islam. Dengan studi literatur yang komprehensif, Zinkin dan Williams (2006) lagi-lagi sampai pada kesimpulan yang kurang lebih sama: Islam bukan saja cocok dengan prinsip-prinsip dalam UN Global Compact, melainkan jauh melampauinya. Cukuplah bukti bahwa CSR adalah cara berbisnis yang islami. Sayangnya, perusahaan yang memiliki kinerja CSR yang tinggi, termasuk yang mengikatkan diri dalam Global Compact, bisa dihitung dengan jari.

Indonesia adalah negara yang penduduknya majoritas Muslim, dan kondisi yang sama juga terjadi di sini. Sebagian besar perusahaan masih beroperasi dalam tatacara yang menafikan keseimbangan, keadilan dan kelestarian lingkungan dan sosial. Hal tersebut harus diubah dengan sungguh-sungguh, atau kita akan menciptakan neraka kita sendiri. Pendapat yang menyatakan bahwa "perusahaan tidak perlu masuk surga" adalah benar, namun bukankah para pemodal dan eksekutifnya akan menghadiri persidangan akuntabilitas dengan transparansi maksimum di akhirat kelak?

Setiap kita pasti menginginkan surga di dunia dan akhirat. Buat para pemodal dan eksekutif, hanya dengan menjalankan bisnis yang bertanggung jawab sosial saja maka timbangan amal akan memberat. Kalau tanggung jawab itu diabaikan, timbangan dosalah yang akan memberat.

Tidak ada komentar: