Oleh : Jafar Fakhrurozi
www.kabarindonesia.com]
KabarIndonesia - Negara Indonesia diproklamasikan oleh kaum intelektual, itu pasti. Tapi apakah negara Indonesia dihancurkan oleh kaum intelektual pula? Begitu kiranya pertanyaan yang sering muncul ketika transisi demokrasi malah kembali menuju abad gelap orde baru yang menghalalkan kekerasan, terbukti dengan tragedi berdarah beberapa waktu yang lalu di Alas Tlogo, Pasuruan.
Fadjroel Rahman menyebutkan bahwa ada tiga jurus untuk mengembalikan Indonesia ke tangan rezim orba, yaitu dengan, menaikkan Gusdur, menurunkan Gusdur, dan menaikkan Megawati. Hasilnya, harga BBM naik, pendidikan mahal, kekerasan kembali menghantui rakyat. Negara telah dikuasai pemilik kapital, dan para pemilik kapital itu telah merepresentasi kepentingan mereka sendiri, langsung mengendalikan kebijakan negara melalui eksekutif/legislatif negara (Fadjroel Rachman, Bangkitnya Negara Dagang, 2005).
Begitu mudahnya negara diobok-obok dan dimainkan oleh segelintir kaum intelektual. eksekutif, parlemen, serta piranti negara lainnya seakan hanya jadi wayang yang dimainkan oleh dalang di belakang layar: kapitalisme. Kadang jadi astrajingga (cepot) yang ditertawai oleh penonton atau tiba-tiba jadi buto ijo yang dibenci.
Melihat praktik-praktik mereka seperti melihat sinetron murahan yang mengumbar kemolekan dan ketampanan si artis, lihat saja reshuffle Kabinet sebagai salah satu contohnya. Sebuah perubahan itu harus ada yang berkorban atau dikorbankan.
Para pemimpin Jepang dan China adalah orang-orang yang mempunyai tanggungjawab dan komitmen yang kuat terhadap negaranya. Jika mereka merasa gagal atau dianggap gagal, secara legowo mereka mundur bahkan mereka rela bunuh diri karena malu pada rakyat. Lihat kasus bunuh diri yang dilakukan oleh salah seorang dokter yang mengabdi pada pemerintahan China karena dianggap bersalah beberapa waktu yang lalu, atau para pemimpin kekaisaran Jepang dengan istilah harakiri-nya pada masa perang dunia ke-dua.
Sangat kontras dengan para pemimpin kita. Jangankan mau bunuh diri, ketahuan korupsi puluhan triliun pun masih saja dibiarkan dan diberi ruang untuk terus mengeruk harta rakyat. Moralitas bangsa hancur, masyarakat tak lagi fasih membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, itu karena keteladanan para pemimpin kita yang bermoral rendah. Pantas jika akhir-akhir ini Presiden selalu beryeru tentang moralitas dalam setiap pidatonya, tetapi kalau sudah jelas ketahuan siapa yang korup, mengapa tidak ditangkap saja, Pak?
Potret para pemimpin serta kaum intelektual (baca: elit) Indonesia di atas adalah simbol keterpurukan negara dan masyarakat Indonesia. Para elit jelas-jelas sudah tercerabut dari rakyat, mereka sudah menjadi satu kesatuan dalam lingkaran kelam kapitalisme.
Negara dan Demokrasi Tanpa Kaum Intelektual
Francis Fukuyama seorang sejarawan dan futurolog Jepang memaparkan tentang hubungan ekonomi dengan pelaksanaan demokrasi, menurutnya, kemajuan ekonomi suatu negara akan berpengaruh terhadap pelaksanaan demokrasi di negara itu. Ini akan terjadi jika pasar sebagai sentra ekonomi mampu dikendalikan negara dan mendorong kemajuan ekonomi negara. Bagaimana pasar Indonesia? Globalisasi telah membawa dampak begitu besar bagi kelangsungan sebuah negara dan kehidupan masyarakat.
Bagi negara, krisis legitimasi menjadi sangat memungkinkan terjadi. Kondisi hari ini menunjukkan bahwa negara gagal memenuhi kebutuhan rakyat karena orientasinya beralih pada mekanisme pasar. Orientasi itulah yang mengakibatkan krisis ekonomi pra reformasi 1998. Krisis itu hingga sekarang masih terasa dampaknya. Globalisasi sebagai ajaran global yang mengendarai pasar bebas, adalah aset kapitalisme yang telah merasuk dan menjarah ekonomi rakyat di dunia dan telah menjadi hantu yang menakutkan bagi Indonesia. Hal ini diakibatkan karena lemahnya kredibilitas negara sehingga tidak memiliki kemampuan dalam mengendalikan pasar, maka terbanglah sebagian besar ekonomi rakyat, dimiliki dan dikuasai pemodal.
Siapa yang menguasai ekonomi Indonesia? Merekalah para konglomerat yang juga duduk di kekuasaan, jutaan pejabat yang mengendarai negara, jutaan pejabat yang merampok kekayaan negara, mereka yang berinteraksi dan bergaul dengan para pemilik kapital dunia. Maka pantas jika sembilan tahun reformasi tidak mampu melahirkan transisi demokrasi yang sejati, mereka kaum intelektual telah tercerabut dari rakyat.
Jika demikian adanya, maka sudah saatnya mereka menyingkir atau disingkirkan, demokrasi tidak butuh kaum intelektual seperti itu. Demokrasi hanya membutuhkan kaum yang saling menghargai sesama, memuliakan sesama, dan tidak menindas antar sesamanya. Mari sama-sama kita tafsirkan siapakah kaum yang harus mengawal demokrasi.
Berbagai tafsiran telah muncul sejak dulu sampai kini. Founding Father Indonesia, Mohammad Hatta mengatakan, bahwa kaum intelektual Indonesia mempunyai tanggungjawab moril terhadap masyarakat. Demoralisasi yang menandai masyarakat Indonesia tidak bisa dibiarkan, melainkan harus diubah ke arah yang lebih baik. Pada posisi ini kaum intelegensia berperan dalam memberikan tauladan, mampu menimbang baik dan buruk, sehingga tidak membiarkan sesuatu yang salah terus berlangsung (Muhammad Hatta, Tanggungjawab Moral Kaum Intelegensi dalam Cendekiawan dan Politik, 1983) atau menggunakan terminologi Antonio Gramsci, yang memberi istilah organik kepada kaum intelektual yang mengartikulasikan pandangan dunia, kepentingan, tujuan, dan potensi yang ditentukan secara historis dari suatu kelas. Hasil artikualasi ini ideologi. Peran dan fungsi kaum intelektual adalah produksi ideologi kelas di mana mereka berada di mana kaum intelektual harus berpihak pada kelas tertindas.
Kaum intelektual Indonesia bertanggungjawab dalam penguatan ide-ide demokrasi serta meminimalisir dampak negatif kapitalisme pasar. Kaum intelektual bukanlah kaum yang tercerabut dari masyarakat, kesehariannya adalah garis massa-meminjam istilah Mao. Ekspansi pasar global telah membuat bangsa kita limbung. Jika negara tak mampu lagi melakukan pertahanan ekonomi mandiri, sepertinya kita tak lagi merasakan adanya negara bangsa (nation state), melainkan sudah berganti menjadi negara global (global state), maka jangan berharap Indonesia akan bertahan lama. Di sini, di pundak kaum intelektual yang sehat, Indonesia berharap, bukan pada kaum intelektual murtad.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar