Kamis, 27 September 2007

Sisa Soal Kriteria Hilal

Sidang Itsbat dengan Memperhatikan Layar Hasil Pengamatan Teleskop dari Beberapa Lokasi di Indonesia (Antara/Fouri Gesang Sholeh)Setelah kompak memutuskan awal Ramadan, Rabu pekan lalu, NU dan Muhammadiyah menggelar sepak bola ukhuwah di Jakarta. Wakil Presiden Jusuf Kalla menjadi wasit. "Jika baru rencana main bola, awal Ramadan sudah sama," kata Kalla. "Kalau sudah main bola, Idul Fitrinya juga sama."

Jusuf Kalla yang berayah NU dan ibu Muhammadiyah itu optimistis, "Bila skor bola bisa diatur, apalagi Idul Fitri." Spirit ukhuwah yang dirintis lewat sepak bola itu terkesan mengandung kesadaran bahwa penetapan awal bulan Hijriah adalah titik genting relasi NU dengan Muhammadiyah. Rencana sepak bola itu diumumkan Ketua Muhammadiyah, Din Syamsuddin, pada saat simposium internasional "Penyatuan Kalender Islam Internasional", pekan sebelumnya.

Sidang itsbat (penetapan) awal Ramadan, Selasa pekan lalu, diwarnai kegembiraan berbagai kalangan. Karena NU, Muhammadiyah, dan pemerintah satu sikap. Polemik luas biasa terjadi bila satu saja dari tiga simpul itu berbeda. Sidang itu juga disemarakkan penggunaan perangkat teknologi informasi, sehingga pantauan hilal di lima tempat bisa dimonitor secara langsung.

Namun sikap kompak itu bukan wujud kemajuan kompromi metodologis berbagai kubu atau hasil topangan teknologi informasi. Peneliti utama astronomi Lapan, Dr. T. Djamaluddin yang hadir dalam sidang itu mengingatkan, semua itu sekadar diuntungkan oleh posisi bulan yang masih di bawah ufuk. Sehingga semua pelaku rukyat gagal melihat bulan. Bahkan, bila ada yang mengaku melihat, dalam kondisi demikian, harus ditolak.

Djamaluddin menandaskan, masih ada pokok persoalan yang belum dituntaskan. Yakni penyepakatan kriteria hilal: posisi bulan yang diakui menjadi tanda awal penanggalan. Kalau tak segera diselesaikan, Idul Fitri tiga pekan lagi bisa mengulang nasib Idul Fitri tahun lalu yang dirayakan berbeda.

Posisi bulan pada hari ke-29 Ramadan nanti (11 Oktober 2007) di Indonesia Barat sudah di atas ufuk, tapi di bawah 2 derajat. Sementara di Indonesia Timur masih di bawah ufuk. Posisi ini rawan perbedaan.

Bagi Muhammadiyah yang menganut kriteria wujudul hilal (adanya hilal), bila sudah di atas ufuk, meski tak di seluruh wilayah Indonesia, berapa pun tingginya, bisa dilihat atau tidak, maka esoknya Idul Fitri. Tapi, bagi NU dan pemerintah yang menganut imkanur ru'yat (standar minimal bulan memungkinkan dilihat), esoknya bisa jadi belum Lebaran.

Perlu ketinggian minimal 2 derajat untuk bisa dilihat, baik dengan mata langsung maupun dengan alat paling canggih. Malah, menurut standar internasional, perlu tinggi minimal 4 derajat. Unsur "dapat dilihat" ini jadi tekanan, disesuaikan dengan hadis Nabi bahwa awal dan akhir puasa ditandai dengan dapat dilihatnya bulan.

Jadi, urusannya tidak segampang mengatur skor bola, seperti anggapan Wapres Jusuf Kalla. Djamaluddin menegaskan, ini bukan soal perbedaan antara pengguna metode hisab dan rukyat, melainkan perbedaan kriteria. Sesama "penghisab" dan perukyat bisa berbeda hasil bila kriterianya berbeda.

Misal, Muhammadiyah dan Persis (Persatuan Islam) sama-sama memakai hisab. Tapi Persis memasang kriteria berbeda bahwa wujud hilal harus menyeluruh di semua wilayah Indonesia. Akibatnya, untuk Idul Fitri tahun 2006, Persis dan Muhammadiyah berbeda.

Upaya penyatuan kriteria itu sudah beberapa kali dilakukan. Terakhir, hasil Rapat Badan Hisab Rukyat, Desember 2005, sudah mengerucut pada tiga opsi tawaran kriteria bersama (lihat: Tiga Opsi). Ketiganya diserahkan pada ormas-ormas Islam untuk dikaji dan dijajaki mana yang paling memungkinkan titik temu. Namun hingga kini belum tercapai kata sepakat di kalangan ormas Islam.

Simposium internasional Muhammadiyah sepekan sebelum Ramadan lalu belum spesifik mengupas tiga opsi itu. Begitu pula Silaturahmi Nasional Lajnah Falakiyah NU. Padahal, bila tiga opsi itu serius ditindaklanjuti, jawaban akhirnya segera jelas. Bisa jadi, akan tercapai kesepakatan dengan satu kriteria. Atau sebaliknya, sepakat untuk berbeda.

Sikap ormas Islam ini penting, karena pemerintah tidak bisa begitu saja memaksakan standar, sebagaimana di Malaysia, Brunei, atau negara-negara Timur Tengah. Ormas lebih dulu eksis, pemerintah mengakomodasi. Jumat sore pekan lalu, Menteri Agama Maftuh Basyuni memanggil Djamaluddin. Hadir pula Dirjen Bimas Islam, Nasaruddin Umar, dan Kepala Badan Hisab dan Rukyat, Muhtar Ilyas.

Pertemuan itu bermaksud serius mengupayakan penyatuan kriteria antar-ormas Islam. "Selasa depan (pekan ini) ditindaklanjuti dengan pertemuan antar-ormas Islam," kata Nasaruddin Umar. Wapres Jusuf Kalla akan membantu memfasilitasi. Karena itu, para pemegang kebijakan bisa hadir. Mengingat, temu ormas selama ini hanya dihadiri tim teknis.

Ketua Lajnah Falakiyah NU, KH Ghozalie Masroerie, terbuka atas usulan penyatuan kriteria itu. Malah dibandingkan dengan ormas lain, menurut Ghozalie, "NU sudah lari kencang meninggalkan start (menuju titik temu), sementara sahabat ormas lain masih jalan di tempat." Semula NU hanya berpegang pada rukyat murni. Hitungan ahli hisab pada saat itu hanya dijadikan acuan. Lalu bergeser ke kombinasi sejajar antara hisab dan rukyat.

Belakangan, NU menerima konsep imkanur ru'yat. Tawaran Lapan tentang tinggi hilal minimal 2 derajat, azimut 3 derajat, dan umur 8 jam juga ditanggapi secara terbuka. Bagi NU, kata Ghozalie, hisab dan rukyat itu memiliki hubungan timbal balik yang dinamis.

Ilmu hisab dikembangkan dari praktek observasi empirik (rukyat). Praktek rukyat dipandu ilmu hisab yang terus berkembang. Pertumbuhan hisab dikontrol balik dan diuji validitasnya lewat rukyat yang metode dan teknologinya juga berkembang. "Makanya, NU sangat terbuka. Pada sahabat ormas lain, mari sama-sama lari dari start, sehingga kita bisa saling bersalaman," serunya.

Ahli hisab dari Muhammadiyah, Susiknan Azhari, menyatakan bahwa dinamika di internal Muhammadiyah sebenarnya juga terbuka pada peluang penyatuan. Meski menggeser dari kriteria wujudul hilal ke imkanur ru'yat tidak mudah, Susiknan optimistis tetap ada peluang.

"Internal Muhammadiyah juga harus terbuka," kata Susiknan, yang juga Ketua Panitia Simposium Internasional Kalender Islam. Disertasi doktor Susiknan di UIN Yogyakarta menyebut opsi "nalar integrasi ilmiah" bisa menjadi titik temu jangka pendek.

Inti opsi itu adalah bila wujudul hilal terjadi di seluruh Indonesia. Ini sedikit bergeser dari kriteria Muhammadiyah pada saat ini bahwa wujudul hilal cukup di sebagian Indonesia. Dengan kriteria ini, bila di ujung timur Indonesia tinggi hilal masih di bawah 2 derajat, di ujung barat Indonesia diharapkan sudah di atas 2 derajat. Sehingga bisa menyatukan penganut wujudul hilal dan imkanur ru'yat.

Perubahan kriteria di Muhammadiyah bukan mustahil. Sebab, dalam sejarahnya, kata Susiknan, pernah dipakai berbagai metode. Pada fase awal, Muhammadiyah memakai rukyat dengan standar imkanur ru'yat 3 derajat. Lalu bergeser ke kriteria ijtima' qablal ghurub bahwa asal konjungsi (bumi-matahari-bulan dalam satu garis) terjadi sebelum magrib, maka malamnya sudah tanggal baru.

Setelah tahun 1938, Muhammadiyah baru memakai wujudul hilal. "Itu jalan tengah antara hisab murni dan rukyat murni," katanya. Bahwa Muhammadiyah belum juga menyikapi tiga opsi tentang peluang penyatuan kriteria, menurut Susiknan, itu hanya terkendala mekanisme organisasi. Karena perubahan demikian harus diputuskan lewat forum setingkat muktamar atau musyawarah nasional.

Rencana Jusuf Kalla memfasilitasi pertemuan ormas untuk mengantisipasi perbedaan Idul Fitri akan diuji. Betulkah semudah mengatur skor bola?

Asrori S. Karni
[Agama, Gatra Nomor 45 Beredar Kamis, 20 September 2007]

Tidak ada komentar: