http://www.suaramer deka.com/
Haruskah umat Islam Indonesia ber-Idul Fitri 1428 Hijriah secara bersamaan? Pertanyaan ini mungkin terasa naif di tengah upaya-upaya agar salah satu ormas keagamaan - Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah - tidak merayakan Idul Fitri tahun ini berbeda waktunya dengan penetapan pemerintah. Tahun lalu, juga dalam sejumlah Lebaran sebelumnya, perbedaan itu tak terhindarkan karena metodologi ijtihad menghasilkan produk berbeda. Tahun ini pun tanda-tanda ketidaksamaan muncul setelah Muhammadiyah mengumumkan 1 Syawal jatuh pada tanggal 12 September, sedangkan versi pemerintah kemungkinan 13 September.
Berlebaran secara bersama-sama bagi seluruh umat Islam tentu lebih nyaman. Perbedaan mengesankan bahwa suatu keyakinan syar'i tidak dapat dipertemukan. Namun pada sisi lain, teknologi hisab dan rukyatul-hilal yang dipakai, yang terkadang menghasilkan penetapan berbeda, hakikatnya juga menggambarkan kekayaan teknologi ijtihad. Dengan memilih salah satu, berarti kita meyakini produk dari proses penetapan tersebut. Dengan kata lain, kalau kita meyakini, secara syar'i juga akan mengikuti suatu "kebenaran fikih" karena memang demikianlah patokan yang dijadikan pemandu.
Pada tingkat grassroots, perbedaan Idul Fitri bisa dirasakan sangat tidak nyaman secara sosiologis-psikolog is. Pada masa lalu, perbedaan itu malah mudah menimbulkan gesekan-gesekan sikap. Mengikuti penetapan pemerintah atau tidak mengikuti sama-sama memunculkan opini, karena yang dijadikan patokan adalah apa kata ulama. Tetapi dalam perkembangannya, kondisi itu demikian lambat laun terkikis. Umat di lapis bawah cenderung makin terbuka dan terbiasa menerima perbedaan, serta menghormati saudara-saudaranya yang memilih untuk ber-Idul Fitri sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Dengan peran media massa, kedekatan interaksi para pemimpin ormas, misalnya antara Hasyim Muzadi dengan Din Syamsuddin, secara mudah dapat diakses oleh berbagai lapisan umat, sehingga tidak sekadar menjadi wacana elite. Hal itu setidak-tidaknya menyiratkan "pesan", perbedaan yang muncul semata-mata karena perbedaan metodologi ijtihad, bukan karena motif politik tertentu. Pernyataan-pernyata an yang menyejukkan, dalam kondisi demikian sangat diperlukan, misalnya keinginan untuk berlebaran bersama-sama, walaupun nantinya dalam praktik bisa saja produk ijtihad meniscayakan suatu perbedaan.
Walaupun sebenarnya ada kesadaran mengenai keniscayaan terjadi perbedaan, tetap saja setiap menjelang Ramadan, Idul Fitri, atau Idul Adha perbincangan hangat selalu berkembang di seputar itu. Bagaimanapun, hal itu mengisyaratkan bahwa umat Islam sebenarnya lebih merasa nyaman jika dapat memulai puasa pada hari yang sama, lalu ber-Idul Fitri atau Idul Adha secara bersama-sama pula. Nilai ukhuwah memang tidak harus diimplementasikan dalam bentuk Lebaran bareng, melainkan bagaimana setiap orang yang berbeda saling memahami, menghormati, dan tidak membesar-besarkan perbedaan itu.
Upaya yang digalang NU, Muhammadiyah, dan Departemen Agama untuk menjembatani agar pada masa-masa mendatang bisa menekan terjadinya perbedaan, sangatlah mulia untuk membangun iktikad toleransi. Hanya memang, tidak mungkin dipaksakan karena realitas basis metodologinya. Apalagi, menurut hemat kita, syiar Islam tidaklah ditentukan berdasarkan "keramaian" kuantitatif, melainkan bagaimana nilai-nilai ajaran agama itu bisa mendapat tempat dalam keseharian umatnya. Termasuk, tentu saja, bagaimana kita menghargai perbedaan, menghormati hak orang lain, serta tidak merasa diri paling benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar