Kamis, 27 September 2007

REKONSTRUKSI KESETARAAN JENDER DALAM AL-QUR'AN

Sulit menemukan tafsiran yang tidak bias jender dalam sekian banyak karya tafsir. Penafsiran al-Qur'an tentang masalah jender semestinya tidak diambil begitu saja, karena dunia sudah berubah jauh dari ruang dan waktu al-Qur'an diturunkan. Apalagi, proses intelektual mufassir tidak hadir dalam suasana yang kosong nilai. Al-Qur’an sedianya dipahami sebagai korpus terbuka yang siap untuk ditafsirkan ulang.

Problem kesetaraan jender dalam Islam sedianya dimulai dari kajian kritis-argumentatif atas ayat al-Qur'an yang berhubungan erat dengan isu kesetaraan jender. Sebagai sumber pertama dalam melakukan pengambilan hukum (isthinbât al-hukm), al-Qur'an menyimpan banyak nilai yang dapat dikaji ulang. Apakah penafsiran ulama terhadap ayat al-Qur'an mengandung bias jender? Faktor apakah yang mempengaruhi para mufassir? Dan, sejauhmana hal itu bersesuian dengan realitas sosial-budaya modern? Pertanyaan inilah yang hendak dijawab lewat tulisan singkat ini.

Elan vital rekonstruksi penafsiran al-Qur'an disandarkan pada premis awal tentang relevansi al-Qur'an yang tidak lekang karena denyut perubahan zaman (shâlih li kulli zamân wa al-makân). Universalitas Islam yang kerap ditawarkan akan terasa hambar kalau saja pandangan atas teks kitab suci (baca: penafsiran) terlampau disalahpahami. Ini akan membentuk konstruksi nilai yang terus melembaga bila tanpa upaya intelektual yang dinamis dan aktual. Yang perlu dilakukan adalah mendinamisir cara pandang atas teks suci sebagai penjagaan kesuciannya dan tidak dikotori oleh formalisasi tafsiran teks yang pada dasarnya bersifat sementara.

Paling tidak, kita mendapati anggapan miris atas urgensi kesetaraan dikuatkan dengan tafsiran atas teks al-Qur'an. Penolakan itu harus dijernihkan dengan menempatkan penafsiran sebagai upaya intelektual, meski terhadap kitab suci sekalipun. Sehingga, diskusi yang berjalan akan terlihat arahnya dan tidak terperangkap pada kekeliruan identifikasi antara penafsiran pada satu sisi dan teks al-Qur'an sebagai sentral nilai dalam Islam pada sisi lain. Klaim atas kesetaran jender sebagai turunan norma sosial-budaya Barat, tidak pula dijadikan alasan untuk membahasnya secara obyektif-ilmiah. Sehingga, kesan apologetis bisa dihindarkan semaksimal mungkin.

Dialektika al-Qur'an dan kesetaraan jender mengandaikan obyektivikasi atas sekian banyak penafsiran ayat al-Qur'an yang bermuara pada formulasi hukum Islam. Karena, penafsiran atas al-Qur'an mempunyai tingkat resistensi sosial-budaya dan penggunaan gaya bahasa para mufassir. Terbukti, hadir berbagai ragam dan corak penafsiran dalam sejarah pergumulan ilmu-ilmu al-Qur'an. Seolah "mengingatkan kembali", diferensiasi itu merefleksikan urgensi penafsiran ulang yang dibangun dengan analisa linguistik dan mempertimbangkan konteks sosial-budaya modern.

Faktor Berpengaruh
Upaya penelusuran yang dilakukan oleh Nasaruddin Umar dalam master peace-nya, Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif al-Qur'an (Paramadina, 2000), dapat dijadikan rujukan. Menurutnya, ditemukan peran sosial-budaya yang membentuk para mufassir dalam mengartikulasikan pesan kitab suci. Penjabaran yang ditelorkan ternyata digerakkan oleh struktur berfikir yang dibentuk oleh proses sosial-budaya pada waktu dulu. Disadari atau tidak, stereotipikal atas kesetaraan jender menjadi premis berfikir para mufassir dan pada tarikan nafas yang sama menghasilkan konklusi yang bias jender.

Karya-karya yang ditulis dalam kondisi sosial-budaya Arab yang patriarkhal, misalkan, telah melahirkan bias jender yang sangat tinggi. Budaya dagang, perang, suksesi kepala suku, dan kepemilikan harta-benda yang diadreskan hanya untuk kaum laki-laki, bisa membuktikan kecenderungan di atas. Corak penafsiran yang bias jender terlihat begitu dominan. Kemudian, dijadikan pintu awal untuk memahami makna-makna al-Qur'an.

Dalam proses selanjutnya, masih menurut Nasaruddin, penggunaan sistem bahasa, seperti tanda baca, cara baca, dan penafsiran kata dari teks al-Qur'an, mengandung bias jender. Selain itu, relasi kuasa (power relation) yang mengiringi pemaknaan kata, penggunaan kamus, dan cara pandang mufassir atas peran jender, berpengaruh banyak dalam melahirkan corak penafsiran ayat al-Qur'an. Sulit untuk menemukan tafsiran yang tidak bias jender dalam sekian banyak karya tafsir tersebut.

Titik fungsional dari konstruksi nilai tersebut menjalar pada cara berfikir para ulama yang menggeluti cabang ilmu pengetahuan Islam ketika meracik formulasi hukum. Dalam kitab-kitab fiqh, ketentuan tentang waris, perkawinan, persaksian, kepemilikan harta benda dan yang lainnya, mengesankan laki-laki begitu dominan. Kedudukan hukum perempuan kerap ditempatkan setengah dibandingkan laki-laki. Kitab Uqûd al-lujjain, karya Imam Nawawi al-Bantani, bisa dijadikan contoh yang otentik untuk membuktikan betapa subordinasi kaum hawa telah terjadi secara sistemik.

Problem internalisasi nilai tersebut sedianya diselesaikan dengan menempatkan penafsiran ayat al-Qur'an secara proporsional. Artinya, instrumentasi penafsiran teks yang dilembagakan dengan hadirnya karya-karya ulama klasik tidak menggeser titik sentral pesan universal al-Qur'an yang absah untuk dielaborasi berkaitan dengan pergumulan zaman. Otonomi teks dan pemahaman akan teks menjadi kunci untuk membedah kekeliruan identifikasi atas kedudukan al-Qur'an sebagai kitab suci yang bisa berdiri-sendiri tanpa tergantung pada penafsirannya.

Sepertinya, keengganan untuk menilik kenyataan ini lebih disebabkan oleh anggapan keliru atas status penafsiran terhadap ayat al-Qur'an. Pada dasarnya, penafsiran adalah upaya intelektual yang sungguh-sungguh dari seorang mufassir, baik yang menggunakan akal (tafsir bi ar-ra'yi) ataupun dengan bantuan teks hadits atau atsar ash-shahâbah (tafsir bi al-ma'tsur), yang mempunyai kutub salah-benar. Penafsiran adalah mata rantai dari realitas hasil ijtihad yang dipengaruhi oleh ruang dan waktu di mana para mufassir itu hidup. Proses intelektual mufassir tidak hadir dalam suasana yang kosong nilai.

Kembali Ke Dasar
Al-Qur'an sebagai kitab suci yang pada dasarnya memuat gugusan nilai yang bersifat universal meniscayakan cara pandang yang dinamis. Dalam proses turunya, kita menyaksikan betapa al-Qur'an didesain sesuai dengan gerak zaman pada setiap penerimaan pesannya. Separuh waktu diturunkan di Mekah dan separuh waktu lagi diturunkan di Madinah adalah gambaran sederhana betapa al-Qur'an harus dilihat sebagai teks berjalan (on going process), meski itu berasal dari sumber yang transenden.

Hemat saya, dengan meminjam bahasa dan sosio-kultural bangsa Arab, al-Qur’an sedianya dipahami sebagai korpus terbuka yang siap untuk ditafsirkan ulang. Pendek kata, penafsiran atas ayat al-Qur'an tentang kesetaraan jender yang sesuai dengan bahasa dan sosio-kultural bangsa Arab, semestinya tidak diambil begitu saja (taken for granted). Sekarang ini, al-Qur'an hadir dalam dunia yang sudah berubah begitu jauh dari ruang dan waktu di mana al-Qur'an pernah ditafsirkan oleh para ulama terdahulu.

Dengan demikian, penafsiran ayat al-Qur'an bersifat paralel dengan kondisi sosio-kultural mutakhir. Kualitas kemanusiaan perempuan dalam beberapa aspek ternyata lebih unggul dari laki-laki. Kenyataan ini harus disikapi secara obyektif dan tidak dieliminasi dengan legitimasi penafsiran ayat al-Qur'an yang sarat bias jender. Instrumentasi penafsiran tersebut seolah memutar jarum jam sejarah ke belakang dan memaksanya untuk menyesuaikan diri dengan kondisi sosio-kultural yang telah usai.

Terakhir, bukan pula dimaksudkan untuk menelan “pil pahit” apa yang kemudian dikatakan oleh sementara kalangan bahwa kesetaraan jender tak lebih dari konspirasi Barat. Ketegangan konseptual ini sedianya dikembalikan pada pesan al-Qur'an bahwa keutamaan manusia di hadapan Sang Khalik tidak ditentukan oleh jenis kelamin, tapi kualitas kesalehan individual dan sosial (ahsan at-taqwîm) bagi kemanusiaan yang universal (rahmatan li al-â’lamîn). Wallâhu 'alam bishshawwâb.
Ditulis oleh Muhtar Sadili, staf Pusat Studi Al-Qur'an (PSQ).

Tidak ada komentar: