Tulisan ini ditulis oleh Sidik Pramono, yang menurut saya perlu dan penting untuk dibaca bagi siapa saja yang mengharapkan dan mencita-citakan sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawah. untuk itu semua orang mestinya dapat menempatkan diri sebagai "pengawas" yang setiap saat dapat mengatakan ia atau tidak, bukan hanya mereka yang bisa membeo. (Saiful Jihad)
Bisa dibayangkan bagaimana jika mantan Sekretaris Jenderal Departemen
Kelautan dan Perikanan Andin H Taryoto dan juga Kepala Bagian Umum di
Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Didi Sadili berani
menolak "perintah" Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri untuk
menghimpun dana nonbudgeter?
Kalau saja ada keberanian menolak perintah yang menyimpang, pasti tidak
akan terjadi saling lempar tudingan antara mantan Kepala Biro Keuangan
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hamdani Amin, mantan Sekretaris Jenderal
Safder Yusacc, dan mantan Ketua KPU Prof Nazaruddin Sjamsuddin mengenai
siapa yang punya ide memerintahkan dan bertanggung jawab mengenai
pengumpulan dana taktis dari sejumlah perusahaan rekanan. Kalau saja
"perlawanan" dilakukan, bisa jadi para bawahan itu tidak harus berurusan
dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Birokrasi negara ini terlihat semakin buruk ketika sistem tak memungkinkan
seorang pegawai yang baik untuk melawan perintah atasannya yang
menyimpang. Kasus dana nonbudgeter atau dana taktis di instansi pemerintah
bukanlah hal baru. Barulah ketika KPK turun tangan, terbeberlah fakta
mengenai praktik menyimpang di lembaga negara itu.
Bisa jadi, para pegawai negeri di Indonesia terjangkit gejala "kepatuhan
buta" atas perintah atasannya. Perdebatan sulit dilakukan karena yang
lebih dominan adalah ketakutan bahwa sanggahan bakal meninggalkan cap
buruk yang memengaruhi kelanjutan kariernya.
Apalagi kalau ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No 8/1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian
diimplementasikan begitu saja tanpa sikap kritis: "Setiap Pegawai Negeri
wajib menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepadanya dengan penuh
pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab."
Mentalitas birokrasi
Mengutip Ketua Program Magister Manajemen Universitas Indonesia (UI)
Rhenald Kasali (Kompas, 7/3/2007), ada dua kemungkinan yang membuat
birokrasi kita tampak ragu, lamban. Para pejabat birokrasi selalu menunggu
petunjuk karena hal itu merupakan bentuk ekspresi sopan santun kepada
atasan agar tidak menonjolkan diri atau terkesan sok tahu. Namun, bisa
juga hal itu terjadi karena superioritas atasan. Bawahan "terpaksa"
meminta petunjuk karena atasannya menghendaki demikian.
Buruknya, bagaimana jika petunjuk yang diberikan atasan justru menyimpang?
Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 mengenai Peraturan
Disiplin Pegawai Negeri tercantum ketentuan bahwa pegawai "segera
melaporkan kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat
membahayakan atau merugikan negara/pemerintah, terutama di bidang
keamanan, keuangan, dan material".
Artinya, butuh kekuatan sangat besar, keberanian luar biasa, untuk melawan
sistem yang dikendalikan individu bermental koruptif.
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) Taufiq Effendi dalam
berbagai kesempatan menyatakan, RUU Administrasi Pemerintahan nantinya
bakal menjadi instrumen untuk menangkal korupsi di birokrasi. RUU yang
naskahnya sudah digodok di Kementerian Negara PAN sejak 3,5 tahun lalu itu
diyakini bisa menjadi dasar hukum dan pedoman bagi setiap pejabat
administrasi pemerintahan, mencegah penyalahgunaan kewenangan, dan menutup
kesempatan untuk melakukan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.
Dalam draf RUU memang dinyatakan bahwa dalam pembuatan keputusan
administrasi pemerintahan, pejabat tidak berwenang terlibat dalam
penetapannya jika merupakan pihak yang terlibat, kerabat atau keluarga
pihak yang terlibat, ataupun wakil pihak yang terlibat.
Juga dilarang terlibat jika merupakan pihak yang bekerja dan mendapatkan
gaji dari pihak yang terlibat ataupun menjadi pihak yang memberi
rekomendasi terhadap pihak yang terlibat. Larangan itu juga berlaku jika
ada hubungan khusus dengan pihak yang terlibat, seperti teman, tunangan,
pengampu, dan pemelihara.
Pihak yang terlibat dalam pembuatan keputusan administrasi pemerintahan
dapat memberikan keterangan mengenai dugaan dan kecurigaan tentang
keberpihakan pejabat dalam proses pengambilan keputusan.
Keberpihakan itu diartikan sebagai upaya untuk memengaruhi pembuatan
keputusan yang menguntungkan diri sendiri dan kelompoknya, antara lain
dalam kegiatan bisnis maupun kegiatan sosial. Keterangan itu disampaikan
kepada atasan pejabat yang bersangkutan. Berikutnya, atasan wajib
menyampaikan secara tertulis keterangan itu kepada pimpinan instansi yang
bersangkutan.
Namun, bagi Pipit R Kartawidjaja dari Watch Indonesia di Berlin, perlu
terobosan untuk menembus "kepatuhan buta" kepada atasan, sebagaimana
membudaya di Indonesia. Di Jerman, pegawai negerinya bertanggung jawab
penuh "secara pribadi" terhadap kesesuaian hukum pelaksanaan tugas
kedinasannya.
Undang-Undang Pegawai Negara Bradenburg, misalnya menyebutkan, seorang
pegawai berkewajiban melaksanakan perintah kedinasan. Dalam pelaksanaan
perintah kedinasan itu, tanggung jawab terletak pada pemberi perintah.
Seorang pegawai tidak harus tunduk pada perintah yang dalam pelaksanaannya
bertentangan dengan undang-undang hukum pidana.
Kalaupun kemudian sanggahan itu diabaikan para atasan dan perintah dinas
mesti dipertahankan, seorang pegawai harus melaksanakan perintah kedinasan
itu, sepanjang dengan kesadaran bahwa perintah itu tidak melanggar
ketertiban dan kejahatan pidana atau tidak melanggar serta melecehkan hak
asasi manusia. Tanggung jawab pribadinya lepas dan atasannya harus
memberikan pengesahan perintah itu secara tertulis jika diminta oleh
penyanggahnya.
Jika timbul masalah pada kemudian hari, atasan pun tak bisa berkelit lagi.
Kewajiban menyanggah bakal menjadi "kontrol internal", bagi pegawai
bersangkutan dan sekaligus bagi para atasannya.
Jadi, tampaknya masih akan panjang jalan mewujudkan birokrasi yang bersih
dari mentalitas koruptif. Butuh terobosan luar biasa, terutama dari dalam
mesin birokrasi sendiri. Saling kontrol, saling mengingatkan, saling
mengawasi merupakan budaya bagus yang mesti dikembangkan.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan "perlawanan dari
dalam". Jika diperintah untuk berbuat salah, kenapa mesti takut
menyanggah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar