Jumat, 11 Juli 2008

Aswaja: Bingkai Pemahaman Keagamaan DDI

(Bagian III)
Oleh: Saiful Jihad

Di Bidang Fiqih/Syari’ah
Aswaja dalam bidang fiqih/syari’ah selalu menjadikan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai landasan yang utama, akan tetapi tidak memaksakan setiap orang untuk secara langsung dan sendiri-sendiri memahami kedua dasar hukum Islam trsebut. Dalam hal ini diberikan jalan untuk mengikuti kebenaran pendapat atau hasil ijtihad orang lain dengan pendekatan bermadzhab.
Menetapkan ketentuan hukum dari al-Qur’an dan al-Sunnah, bukanlah yang yang mudah dan dapat dilaksanakan oleh semua orang. Memang, terhadap masalah-masalah pokok, banyak yang telah jelas keterangannya, baik dari al-Qur’an maupun dari al-Sunnah, tetapi terhadap hal-hal yang lebih rinci, yang tidak dijelaskan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah akan sulit dijawab dan dipecahkan oleh mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk berijtihad, belum lagi untuk mencari hubungan (munasabat) antara satu ayat dengan ayat yang lain yang berkenaan dengan persoalan tersebut.
Demikian halnya dalam memahami teks dan makna sebuah Sunnah. Permasalahan yang dikemukakan dalam Sunnah sulit dipecahkan bahkan dimengerti, oleh karena teks dan makna Sunnah itu sendiri kadang diperselisihkan dikalangan ulama, ada yang menganggapnya shahi, sementara yang melemahkannya (menganggap sebagai Sunnah dhaif).
Dalam dunia fiqih, dikenal penafsiran al-Qur’an berdasarkan maqhasid al-Tasyri’ (tujuan pelaksanan hukum), yakni penafsiran yang tidak selalu terikat kepada ayat-ayat secara tekstual, melainkan dengan mencari jiwa (maqhasid) dari ayat itu. Dalam sejarah Islam, Umar ibn Khattab, dapat dikatakan sebagai salah seorang khalifah yang ‘mensponsori” dan meletakkan dasar metode pemahaman seperti itu. Sewaktu Umar ibn Khattab berkuasa, ia banyak mengambil keputusan dan kebijakan hukum yang tidak sejalan dengan bunyi teks ayat-ayat al-Qur’an dan tradisi Nabi. Ia lebih cenderung memakai makna dan maksud yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut dari pada bunyi tekstualnya, misalnya :
1. Dalam pembagian zakat, Khalifah Umar tidak sepenuhnya menerapkan petunjuk ayat 60 surat al-Taubah, dan meninggalkan praktek yang dahulu dilaksanakan oleh Nabi. Ia tidak lagi memberikan bagian zakat kepada kaum muallaf dengan alasan situasi dan kondisi telah berubah.
2. Khalifah Umar meninggalkan hukum potong tangan terhadap seorang pencuri, seperti ketentuan ayat 38 surat al-Maidah, dengan alasan bahwa pencurian itu terjadi dalam suasana perekonomian yang buruk, yang di dalamnya masyarakat dilanda musibah kelaparan.
3. Khalifah Umar menetapkan bahwa Thalaq tiga dapat dijatuhkan sekaligus.
4. Harta rampasan perang yang pada masa Nabi dibagikan kepada pasukan perang yang ikut dalam suatu peperangan, pada zaman Umar, dimasukkan ke dalam bait al-Maal.
Kenyataan di atas menunjukkan, bahwa apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar ibn Khattab, tidak dianggap sebagai suatu kekeliruan atau kelancangan, bahkan sikap Umar menjadi acuan dalam memahami ajaran Islam sebagai sebuah system nilai yang diturunkan untuk mewujudkan kemashlhatan bagi umat manusia. (maqhasid al-syar’iyah) oleh para ulama mujtahid dalam Islam.
Untuk itu, patut disyukuri, bahwa metode berfikir Umar, yang diikuti dan dikembangkan lebih lanjut oleh para ulama mujtahid dalam kurun waktu dan kondisi tertentu telah banyak menjelaskan berbagai macam persoalan sebagai pemaknaan terhadap isi dan kandungan al-Qur’an dan al-Sunnah.
Kembali pada pernyataan terdahulu, bahwa karena tidak semua umat Islam mampu memahami dengan baik isi dan kandungan al-Qur’an maupun al-Sunnah, maka ia dibolehkan untuk mengikuti pendapat ulama mujtahid (bermadzhab). Dalam hal perlunya bermadzhab bagi mereka yang tidak mengetahui, didasarkan pada :
Pertama, surat al-Nahl, ayat 43.
....فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“…..maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengtahuan,
jika kamu tidak mengtahui”.

ِِAyat ini menjadi dasar perintah kepada orang yang tidak mengerti hukum dan dalil-dalilnya agar mengikuti orang lain yang mengtahui akan hal tersebut. Dan umumnya ulama Ushul Fiqih menjadikan ayat ini sebagai pegangan utama dalam mengambil kesimpulan, bahwa bagi orang awam hendaknya bertaqlid (bermadzhab) kepada orang yang alim yang mujtahid.
Kedua, ijma’ ulama telah mnyatakan bahwa kebanyakan para sahabat Nabi adalah penganut petunjuk yang diberikan oleh sahabat lain yang lebih pandai (tahu). Sebab tingkat keilmuan mereka berbeda-beda, dan tidak semuanya dapat membrikan fatwa. Yang ahli hukum diantara mereka sangat terbatas jika dibanding dengan yang awam, karena itu memang telah terjadi taqlid dan ittiba’ di antara para sahabat Nabi, dilanjutkan pada masa sahabat, tabi’in, hingga sat ini.
Ketiga, dalil Aqli, seperti yang dikemukakan oleh syekh Abdullah Darraz, bahwa bagi orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk berijtihad, apabila menghadapi suatu masalah far’iyah, maka ada dua kemungkinan yang akan dilakukan. Mungkin dia tidak melakukan pa pun karena belum mengrti hukumnya atau dia melakukan sesuatu dengan mencari dalil yang menetapkan hukum masalah trsebut dengan cara taqlid.
Dari paparan singkat di atas dapat disimpulkan, bahwa bagi aswaja dalam bermadzhab mencakup dua hal, yaitu bermadzhab dengan system atau metode berfikir (manhaj) dan bermadzhab dengan pendapat atau hasil ijtihad ulama (aqwal).
Madzhab manhaji terkadang disebut dengan bermadzhab fi al qawaid wa al ushul, yaitu mengikuti madzhab sebagai metode berfikir/berinstinbath/berijtihad untuk menemukan pendapat/hukum bagi pemakai madzhab tersebut. Konsekuensinya, seseorang dapat iltizam dengan suatu madzhab tertentu, kendatipun disadari bahwa intiqolul madzhab (pindah madzhab) dan mengambil pendapat dari madzhab lain tidak dilarang.
Bermadzhab manhaji itu dilakukan dengan cara “istinbath jama’i”, artinya upaya untuk mendapatkan kesimpulan pendapat atau hukum secara bersama-sama oleh beberapa orang, tidak orang-perorang (kolektif). Dalam kerangka ini, perlu diwujudkan lembaga mujtahid yang masing-masing anggotanya memiliki disiplin dan keahlian sendiri-sediri, walaupun tidak sampai memenuhi prasyarat ijtihad yang telah digariskan. Alternatif ini penting dilakukan dalam upaya mencari jalan penyelesaian (solusi) terbaik dalam merespon dinamika dan perkembangan masail fiqihyah yang terus berkembang.
Bermadzhab manhaji yang dilakukan dengan istinbath jama’i diterapkan terhadap hal-hal yang tidak ditemukan aqwal (pendapat) di dalam madzhab empat, atau pendapat tersebut dipandang telah “out of date”, seiring dengan perubahan dan perkembangan kondisi dan persoalan yang melingkupinya. Artinya, barmadzhab qauli didahulukan dari pada madzhab manhaji, selama masih ada aqwal mengenai hal tersebut dalam kitab-kitab mu’tabarah di kalangan madzhab empat.
Perlu dikemukakan di sini, bahwa pada awalnya aswaja mengakui enam belas madzhab besar, akan tetapi karena tidak semua madzhab tersebut dapat menjaga keseimbangan antara sikap lentur dan tegas, antara sikap lentur dan pasti dalam merespon dan membuat ketetapan hukum. Kepastian dilenturkan dan kelenturan dipastikan, sehingga dinamika dan perkembangan madzhab-madzhab tersebut tidak terjadi, bahkan kemudian hilang dan tidak memiliki pengikut lagi. Tinggal madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) yang masih bertahan, karena mereka dapat menjaga keseimbangan tersebut.
Seiring dengan kesadaran bahwa waqa’i fiqihyah (masalah aktual fiqihyah) terus melaju sepanjang masa, para imam madzhab dan para fuqaha’ lainnya tidak merasa cukup dengan produk-produk hukum yang mereka telorkan lewat sarana ijtihad, serta merumuskan dan mengembangkan qawaid dan manahij al istinbath (qawa’id ashuliyah). Kaidah-kaidah tersebut begitu penting, bukan hanya untuk menjawab persoalan baru yang terus tumbuh dan berkembang, tetapi juga untuk menimbang aqwal yang telah ada yang dimuat dalam al-kutub al-qadimah (kitab-kitab klasik).
Sementara itu, bagi kaum awam, yang tidak memiliki kemampuan untuk beristinbath (apalagi berijtihad) secara individu atau kolektif, tidak ada pilihan lain kecuali bermadzhab secara qauli, yaitu mengikuti madzhab sebagai kumpulan pendapat (aqwal) hasil ijtihad/ istinbath para ulama mujtahid terdahulu yang telah tersusun dalam kitab-kitab mu’tabarahí (dapat dipertanggung jawabkan) atau dapat didengar dari keterangan (fatwa) para guru dan ulama yang mu’tabar.

Di Bidang Tasawuf/Akhlaq
Dalam bidang tasawuf aswaja mengikuti antra lain Imam Ahmad al-Junaidi al-Bagdadi, Imam al-Ghazali, serta imam-imam tasawuf lainnya yang dipandang mu’tabarah. Memang sejak abad ke-2 Hijriyah, berbagai aliran tasawuf tumbuh subur dan berkembang dalam dunia Islam. Akan tetapi DDI yang berhaluan aswaja menegaskan sikapnya untuk mengikuti ajaran dan metode ketasaufan yang dikembangkan oleh Abu Qasim Junaid al-Bagdadi dan Imam al-Ghazali.
Abu Qasim al-Bagdadi adalah salah satu sufi yang populer dengan sebutan “penghulu ulama akhirat” (w. 79 H./910 M), adalah seorang sufi yang menguasai dengan baik kajian Sunnah dan fiqih. Ajaran tasawufnya tapi di sandarkn pada ajaran pokok syariah, dan berusaha untuk menjaga tasawuf agar tetap berada di dalam batasan-batasan wajar. Terhadap kelompok sufi yang senang melakukan perbuatan ganjil dan meninmggalkan syari’at, Al-Junaid berkomentar : “Bagiku ibadah (syarti’at) adalah yang maha penting; orang-orang yang berzina dan mencuri adalah lebih baik daripada orang-ortang yang berbuat ganjil dan meninggalkan syari’at”. Al-Junaid dikenal sebagai tokoh kritik yang besar dalam dunia sufisme, serta perumus sufisme ortodoks.
Upaya menyatukan sufisme dengan syari’at, mencapai puncaknya pada tokoh monumental Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111 M). Ia dikenal sebagai ulama besar aswaja, yang digelar sebagai “hujjatu akl-Islam”. Al-Ghazali tidak hanya membangun kembali semangat dan nilai-nilai ajaran Islam yang menjadikan tasawuf sebagai bagian integral (tidak terpisahkan) dari padanya, akan tetapi ia juga melakukan pembaharuan atas ajaran tasawuf dan membersihkannya dari unsure-unsur yang “tidak islami”.
Pemilihan ajaran dan metode Abu Qasim Junaid al-Bagdadi serta Imam al-Ghazali sebagai sandaran ajaran di bidang tasawuf, merupakan bukti bahwa DDI sebagai salah satu organisasi pembela dan penegak ajaran dan metode pemahman keagaman aswaja.
Adapun pokok-pokok ajaran tasawuf yang dikembangkan oleh al-Bagdadi dan al-Ghazali, adlah :
Pertama, bahwa pada dasarnya ilmu tasawuf itu merupakan bimbingan jiwa agar menjadi suci, selalu tertambat kepada Allah swt., sehingga manusia memproleh tuntunan yang dapat menyampiknnya kepada mengenal Tuhan dengan sebnar-benarnya (ma’rifat).
Kedua, tasawuf merupakan jalan atau tarekat yng sebaik-baiknya dengan akhlaq yang seindah-indahny, jauh lebih baik daripada pengetahuan dan hikmah lahiriyah semata. Karena tujuan tasawuf adalah membawa manusia setingkat demi setingkat lebih dekat kepada Allah swt., maka seorang sufi harus berusaha meningkatkan kualitas jiwa keimanannya dengan menempuh spuluh maqam (station), yaitu : Taubat, wara’, zuhud, sabar, faqir, syukur, khauf, raja’, tawakkal dan ridha.
Disamping kesepuluh maqam, tersebut, juga dikenal adanya delapan ahwal (tingkah, sikap atau keadaan), yaitu : Mahabbah, Syauq, Unsu, Qurb,Haya’, Sakar, Wushul dan Qana’ah.
Mengikuti bimbingan rohani melalui tasawuf memang sangat penting, agar dapat diperoleh hakikat dari makna ibadah dan pengabdian kepada Allah. Terutama di zaman modern skarang ini, banyak problematika kehidupan dari yang kecil sampai yang paling besar, dari yang sederhana, hingga masalah yang paling rumit. Agaknya tidak akan cukup untuk kita hadapi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan kemampuan akal semata. Kita perlu bimbingan rohani lewat ajaran tasawuf . dengan tasawuf, kita akan selalu dibimbing untuk menyadari bahwa kegagalan adalah suatu hal yang wajar, sedangkan keberhasilan merupakan anugerah Tuhan yang patut disyukuri.
Akan tetapi dalam bertasawuf, selalu harus diingat pesan dan peringatan Imam Malik :
مـن تصـوف و لـم يتـفـقـه فقــد تزنـدق ومـن تفـقـه ولـم يتتصـوف فقـد تفـسـق ومـن جمـع بينـهمأ فقـد تـحـقق
“Barangsiapa bertasawwuf tanpa mengetahui fiqh, maka akan menjadi orang zindiq (ekstrim buta), dan barangsiapa yang mengetahui fiqh tanpa bertasawwuf, akan menjadi orang yang fasiq, dan barangsiapa yang bertasawuf dan mengetahui fiqih (menmgumpulkan keduanya), maka sampailah pada hakikat yang sebenarnya.

Dibidang Sosial Kemasyarakatan
Dengan mengacu pada prinsip-prinsip pokok fahan dan pandangan keagamaan di atas, baik pada bidang Aqidah, Syari’ah/Fiqih maupun Akhlaq/Tasawuf, ada benang merah yang menarik untuk ditelah dan difahami kembali bahwa. Pertama, Jika memperhatikan tokoh (ulama) yang dijadikan acuan pemahaman, yakni al-Asy’ari dan al-Maturidy dibidang Aqidah, empat imam Madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Hambali) di bidang Fiqih, serta Imam Ghazali dan Junaid al-Bagdadi di bidang Tasawuf, maka sisi menarik yang dimaksud itu adalah pada kenyataannya tokoh (ulama) yang menjadi panutan dan acuan tersebut tidak selamanya memiliki pemahaman yang sama.
Al-Asy’ari berbeda dengan al-Maturidy dalam 40 masalah, dalam pandangan Fiqih, seperti yang diketahui bersama keempat imam madzhab tersebut juga sering berbeda dalam menjawab dan merespon problematika syari’ah/fiqih yang terjadi dan tumbuh dalam masyarakatnya, demikian juga dengan al-Ghazali dengan al-Junaid.
Di sisi lain, dalam catatan sejarah disebutkan, bahwa Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i secara politik lebih cenderung kepada Syi’ah. Tetapi kecintaan mereka terhadap ahl al-bait, bukan berarti meyakini teologi syi’ah yang tidak mengakui keabsahan khulafaurrasyidin selain Ali. Apalagi, teologi Syi’ah itu sendiri sebagai suatu madzhab baru dirumuskan pada abad III H/IX M, dengan menjadikan Hadits Ghadir Khum sebagai dasar klaim teologi politik Syi’ah yang masih harus diperdebatkan.
Sedangkan Imam Ahmad bin Hambal sendiri, menurut Ibnu Jarir al-Thabari dalam al-Khilaf, sebetulnya bukan seorang faqih, beliau hanyalah seorang muhaddits. Oleh karena kemampuannya dalam istinbath al-hukm dari al-Qur’an dan al-Sunnah hampir tidak banyak diketemukan. Ia menjadi tokoh madzhab karena “dibesarkan” oleh pengikutnya, terutama Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan Muhammad bin Abd. Wahab (Imam Gazali Said dalam “Kontroversi Aswaja”, 2000: 126).
Dalam Tasawuf, Imam Abu Qasim al-Junaid mengatakan “awwalu ma iftaradhallahu ‘ala ‘ibadihi ma’rifatuhu, wa awwalu ma’rifatihi tauhiduhu, wa awwalu tauhidihi bi nafyi sifatihi ‘anhu”. Demikian juga dengan al-Ghazali di dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, Juz IV bab Tauhid mengatakan bahwa tauhid itu ada empat: 1) Tauhid Awwam; 2) tauhid al-‘ulama; 3) tauhid khawas; dan 4) tauhid khawas al-khawas. Tauhid yang keempat ini menurut al-Ghazali adalah “alla yara fi wujudihi illallah. . . ” (Aqil Siraj, dalam “Kontroversi Aswaja”, 2000: 139)
Jika dianalisis dengan saksama konsep tauhid kedua Imam panutan Aswaja dibidang Tasawuf ini, yang pada intinya sejalan dengan konsep nafy fi al-shifat (Tuhan tidak memiliki sifat) yang dikembangkan oleh Mu’tazilah. Sudah barang tentu konsep ini sulit dipertemukan dengan konsep tauhid al-Asy’ari maupun al-Maturidy (Imam Aswaja dibidang Teologi/ aqidah) yang mengakui adanya sifat Tuhan.
Dari beberapa bukti yang dikemukakan di atas, dapat menjadi sebuah benang merah yang mesti difahami dengan baik oleh pengikut Aswaja, bahwa faham dan pandangan keagamaan yang dianut, baik dalam bentuk rumusan pendapat (qauli) ataupun sebagai sistem berfikir (manhaji) mengandung banyak aliran dan madzhab, yang mungkin saja antara satu dengan yang lain tidak terdapat kesepakatan, bahkan kontradiktif, tetapi justru pandangan dan sistim berfikir yang mengandung kontradiktif antara satu dengan yang lain, ditetapkan sebagai acuan dalam faham keagamaan Aswaja. Dengan realitas ini, dapat dirumuskan karakteristik faham keagamaan Aswaja, yaitu:
1. Tawassut dan I’tidal, yaitu sikap tengah yang berintikan pada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan untuk berlaku adil dan lurus di tengah-tengah kehidupan bersama. Dengan sikap dan dasar ini diharapkan penganut Aswaja menjadi kelompok panutan yang pantas diikuti masyarakat, selalu bersikap membangun dan menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat “tatharruf” (ekstrim).
2. Tasamuh, yakni sikap lapang dada dan toleran terhadap perbedan pendapat/ pandangan, memahami perbedaan sebagai suatu yang qodratik yang mesti diterima, baik dalam masalah keagaman, yang bersifat furu’iyah atau masalah khilafiyah, serta masalah-amasalah sosial, kemasyarakatan dan budaya.
3. Tawazun, yaitu sikap keseimbangan dalam beribadah, misalnya ibadah (pengabdian) kepada Allah, harus dibarengi dengan penciptan hubungan baik dngan sesama manusia, alam dan lingkungan. Juga seimbang dalam memahami dan menyikapi masa lalu, sekarang dan akan datang.
4. Amar ma’ruf nahy munkar, prinsip ini mendorong untuk selalu menumbuh-kembangkan kepekaan untuk melakukan kegiatan dan mengajak orang lain untuk berbuat ma’ruf (baik dikenal) serta menjauhi perbuatan perbuatan yang dapat merusak diri, masyarakat dan lingkungan (munkar). Gerakan ‘amar ma’ruf nahy munkar, dilakukan dengan semangat tawssut wa al-I’tidal, tasamuh, dan tawazun.
5. Kontinuitas ijtihad, artinya dalam pengembangan ijtihad, didasarkan pada prinsip :
مـحفظـة على الـقـدتيم الـصـلح والأخـذ بالجــديد الاصـلح
“Memelihara tradisi lama yang masih baik, dan mau mengambil
inovasi baru yang bermanfaat

Jumat, 04 Juli 2008

Aswaja: Bingkai Faham dan Pandangan Keagamaan DDI

(Bagian II)
Oleh: Saiful Jihad

I. Di Bidang Aqidah
Prinsip dasar pandangan teologis (aqidah) yang dianut oleh aswaja adalah disandarkan pada pemikiran Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Kedua tokoh ini dipandang sebagai imam aswaja dalam bidang aqidah.
Jika ditelaah secara saksama metode berfikir dan pandangan tologis kedua sosok ini, maka benang merah yang dapat ditarik di sini adalah, bahwa tipologi pemikiran teologis dengan prinsip untuk tetap berpijak pada tradisi (al-sunnah) yang shahih dan cara pendekatan yang dapat memuaskan tuntutan penalaran tanpa mengabaikan (keluar) terlalu jauh dari makna yang tersurat dari teks, merupakan metode pemahaman keagamaan yang dicoba dikembangkan oleh Asy’ari dan al-Maturidi.
Metode ini, nampaknya merupakan suatu pemahaman keagamaan yang tidak hanya memberikan implikasi pada kehidupan individu, tetapi berimbas pada realitas sosial, yang melahirkan konsep harmonitas antara kerangka berfikir tekstual dan kontekstual. Jika hal ini dapat difahami secara benar dan dinamis, pada gilirannya akan melahirkan pola keberagaman yang “ramah” terhadap kultur dan karifan lokal, tanpa harus keluar dari semangat keislaman.
Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa aswaja merupakan suatu metode (manhaj) untuk memahami ajaran Islam yang berwatak sederhana (iqthishad), moderat (tawasut), toleran (tasamuh), adil (‘adalah) dan seimbang (tawazun), yang bersedia memahami segala sesuatu dalam “nuansa-nuansa”, bukan dalam tradisi “hitam-putih”.
Abul Qasim al-Lakay (w. 418 H) dalam “Ushul I’tiqad ahlu al sunnah wa al jama’ah” menyebutkan, bahwa metode aswaja dalam memahami aqidah islamiyah dapat disimpulkan dalam lima hal :
1. mengikuti kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunnah Rasulul-Nya dalam setiap permasalahan aqidah, tidak menolak sedikitpun ajaran yang terkandung di dalamnya dan tidak mena’wilkannya pada pengrtian yang didasarkan pada pola pikir manusia.
2. Konsisten dalam menelusuri dan mengamalkan ijma’ para sahabat tanpa mengucilkan sebagian mereka, atu menodai nama baik sahabat.
3. Tidak sembarang berdialog dengan orang-orang sesat (ahl bid’ah) prinsip Mujadalah billaty hia ahsan dan kritik obyektif, selalu dikedepankan.
4. Dalam masalah aqidah yang sulit dikaji oleh akal manusia, seperti masalah ghaib (sam’iyah), analisa rasio semata tidak digunakan, dengan menyadari keterbatasan kemampuan akal manusia.
5. Berusaha keras memelihara kesatuan jama’ah kaum muslimin, dan mengemukakan persoalan aqidah secara utuh, sederhana (mudah difahami) dan meyakinkan.
(Abul Qasim al-Lakay, Ushul I’tiqad ahlu al sunnah wa al jama’ah, Juz I, hl.13)
Kelima metode di atas, disimpulkan oleh Andi Syamsul Bahri dalam tiga hal sebagai ciri (kekhususan) aswaja di bidang aqidah, yaitu :
1. Mendahulukan nash (naqli) dari rasio (aqli), sehingga dalam bahasan aqidahnya selalu bertitik tolak pada nash al-Qur’an atau Sunnah shahih dan argumentasinya diperkuat dengan dalil rasional (aqli) yang mendukung dalil naqli.
2. Dalam hal analisa dan pengembangannya selalu dititik beratkan kepada pemahaman dan pemuasan hati, dengan mengemukakan aqidah yang benar tanpa mengutak-atik aqidah yang bertentangan (salah) kecuali dalam kondisi tertentu.
3. Kesatuan umat Islam merupakan perioritas pertama dalam rangka membina dan mempertahankan aqidah Islam, sehingga da’wah bi al-hikmah wa al-mauidza hasanah merupakan metode pengembangan yang selalu dikedepankan.
(A.Syamsul Bahri, Ahlu Sunnah wal Jama’ah, hl. 8)
Implementasi dari metode pendekatan tologis ini, dapat kita lihat dari beberapa pandangan aswaja dalam bidang aqidah, antara lain :
1. Ma’rifat akan Dzat ( ذات ) Allah SWT.
Ma’rifat akan Dzat ( ذات ) Allah meliputi sepuluh unsur pokok, yaitu :
a. Mengetahui Wujud Allah SWT.
Dalam menetapkan adanya Tuhan, aswaja menggunakan dua pendekatan; pertama dengan jalan I’tibar, sebagaimana yang banyak ditunjukkan oleh al-Qur’an, seperti dalam surat al-Baqarah, 164 :
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, dan bahtera yang yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Allah hidupkan bumi sesudah mati (kering)nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi. Sesungguhnya yang demikian itu (terdapat) tanda (keberAdaan, keEsaan, keagungan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang mau berfikir”.

أَلَمْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ مِهَادًا(6) وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا(7) وَخَلَقْنَاكُمْ أَزْوَاجًا(8) وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا(9) وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا(10) وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا(11) وَبَنَيْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعًا شِدَادًا(12) وَجَعَلْنَا سِرَاجًا وَهَّاجًا(13) وَأَنْزَلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَاءً ثَجَّاجًا(14) لِنُخْرِجَ بِهِ حَبًّا وَنَبَاتًا(15) وَجَنَّاتٍ أَلْفَافًا(16)
“Bukankah kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan; dan gunung-gunung sebagai pasak; dan kami jadikan kamu berpasang-pasangan; dan kami jadikan malam sebagai pakaian; dan kami jadikan siang itu mencari kehidupan; dan kami bina(bangun) di atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh; dan kami jadikan pelita yang terang (matahari); dan kami turunkan dari awan air (hujan) yang banyak tercurah; supaya kamitumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan; dan kebun-kebin yang lebat”.

Ayat-ayat di atas memberikan gambaran sekaligus penjelasan tentang nikmat-nikmat Tuhan kepada hamba-hamab-Nya, yang pada akhirnya akan membangkitkan kesadaran dan keyakinan akan adanya Tuhan, yang Esa, Maha Kuasa dan Maha Agung. Artinya dengan mengi’tibarkan penciptan langit dan bumi serta semua nikmat yang dianugerahkan tuhan kepada makhluk-Nya, maka kaum yang berfikir akan menyadari dan mengetahui dan mengakui adanya tuhan.
Metode lain yang digunakan oleh aswaja untuk membuktikan adanya Tuhan, dengan cara penalaran dengan akal (logika), bahwa tiap-tiap yang baharu ( الحواد ث ), tidak mungkin tercipta tanpa peng “ada”, dan peng “ada” yang pertama sudah pasti tidak di “ada” kan ( الـقـد يم ). Dengan dasar ini, aswaja tidak sepakat dengan golongan yang mengatakan “perbuatan yang timbul dari perbuatan disengaja ( الـمتـولـدة ) tidak memiliki pencipta.
b. Mengetahui bahwa Allah SWT adalah Qadim tidak berpermulaan, Azali tidak ada awal wujudnya, mendahului segala sesuatu, mendahului yang hidup dan yang mati. Artinya, jika yang baharu ( الحواد ث ) membutuhkan peng “ada”, maka peng “ada” tersebut sudah pasti tidak ber peng ”ada”, sebab jika ia berpeng “ada”, maka dia juga akan membutuhkan peng “ada” lain, demikian seterusnya tanpa bisa berakhir (تـسـلسل ) dan hal ini secara aqal tidak ada gunanya (hasilnya).
c. Mengetahui bahwa Allah SWT adalah Azali (abadi).
Tuhan adalah abadi, tidak ada akhir wujud-Nya. Keyakinan ini berkaitan dengan unsur kedua di atas, artinya bahwa sesuatu yang telah diyakini dengan pasti ke-qadim¬annya, mustahil ia menjadi tiada atau berakhir. Hal ini didasarkan pada logika berfikir, bahwa sekiranya tuhan diasumsikan berakhir wujud-Nya, maka kemungkinan yang terjadi adalah Tuhan berakhir (tiada) dengan sendirinya, atau Tuhan diakhiri (ditiadakan) oleh sesuatu yang lain.
Jika sesuatu yang diyakini kekekalannya dan menjadi sebab ada dan tiadanya sesuatu itu berakhir dengan sendirinya, niscaya sesuatu yang baharu (diadakan) juga dapat tiada dengan sendirinya. Hal ini tentu bertentangan dengan pernyataan, bahwa segala wujud yang adanya membutuhkan sebab, maka ketiadaannyapun pasti membutuhkan sebab pula.
Demikian juga Dia tidak mungkin ditiadakan oleh sesuatu yang lain, sebab yang meniadakan sesuatu yang qadim, maka tentu dia lebih “kuasa” dari Tuhan, artinya tentu dialah yang “seharusnya” menjadi Tuhan. Dan sekiranya dia “sama”, bagaimana ia wujud bersama-Nya, firman Allah :
لَوْ كَانَ فِيهِمَا ءَالِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا (الانبياء : 22)
“Sekiranya di langit dan di bumi ada tuhan selain Allah, niscaya keduanya (langit dan bumi) akan hancur binasa”.

d. Mengetahui bahwa Allah SWT bukan jauhar yang berbentuk dan bertempat.
Dalam pandangan Aswaja jauhar adalah ciptaan Allah SWT., jadi yang belum terjadi ( الـمـعـدوم ) bukanlah sesuatu, sebab sesuatu yang baharu sebelum diciptakan belum dapat dikatakan sesuatu, belum bisa disebut jauhar ataupun ‘aradh. Oleh karena itu argumentasi Qadariyah tentang wujud sebelum terjadi ( شـيئــية الـمـعـد وم ), serta pendapat mereka yang menyebutkan bahwa Allah tidak menciptakan ‘aradh, hanya menciptakan jism yang berfungsi sebagai pencipta aradh tidak dapat diterima. Keliru pulah kaum Mu’tazilah dan filosof yang menambahkan bahwa jauhar dan ‘aradh sudah ada sebelum diciptakan, sehingga mereka mengakui atas “qadimnya alam”
e. Mengetahui bahwa Allah SWT bukan jism yang terdiri dari jauhar.
Aswaja meyakini bahwa Allah, adalah pencipta jism dan ‘aradh karena Dia adalah pencipta segala sesuatu : ( اللــه خـالق كـل شـيئ ).
Dengan keyakinan ini, aswaja menganggap sesat sebagian golongan syi’ah yang berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib adalah jauhar yang diciptakan, lalu menjelma menjadi Tuhan dikarenakan merasuknya ruh Tuhan kepadanya. Demikian juga halnya dengan ajaran hulul dan ittihad dari kalangan sufi. Sekiranya Tuhan sang pencipta alam adalah jism, tentu ada kemungkinan untuk “membenarkan” orang yang meyakini matahari dan bulan sebagai Tuhan.
f. Mengetahui bahwa Allah SWT bukan ‘aradh yang menentukan bentuk jisim dan Allah tidak bertempat di suatu tempat. Aswaja manafikan anggapan bahwa Tuhan mengambil ruang tempat ( الـمـكـانيـة ) dan ruang waktu ( الـزمــانيـة ), juga bebas dari batasan waktu. Keyakinan ini menjadi alasan untuk menolak ajaran Karamiyah dan Hasyamiyah yang beranggapan bahwa sang pencipta duduk bersilah dan bersemayam di atas Arasy-Nya.
Bagi aswaja, “Allah istawa’ di atas Arasy¬-Nya” difahami, bahwa istawa’nya Tuhan sesuai dengan kagungan, kesucian dan kebesaran-Nya, yang berbeda dengan segala makhluk-Nya.
g. Mengetahui bahwa Allah SWT adalah suci dari sisi dan arah. Semua sisi dan arah; atas-bawah, kiri-kanan, depan-belakang, merupakan hal yang ada dan terjadi bagi makhluk bukan pada Khaliq.
h. Mengetahui bahwa Allah SWT. istawa’ di atas Arasy. (الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى ) Pengertian istawa’ dikembalikan kepada apa yang dikehendaki Tuhan yang suci dari penyerupaan dengan makhluk-nya, pemilik keagungan dan kebsaran. Untuk memudahkan pemahaman orang awam, maka kata istawa’ diartikan dengan Tuhan berkuasa dan Maha Tinggi. (Al-Juwaini, Luma’ al-Adillah, 1965, hl. 95.)
i. Meyakini bahwa Allah SWT. Kelak akan dilihat nanti di hari kemudian (akhirat), di dalam surga. Hal ini di dasarkan pada firman Allah dalam Surat al-Qiyamah, 23 :
إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“2Kepada Tuhannyalah mereka melihat”.
Meyakini keEsaan Allah SWT, sesuai dengan firman-Nya dalam beberapa ayat dalam al-Qur’an, seperti pada surat al-Ihlash (1-5); menurut Abdul Halim Mahmud, surat ini cukup menjadi dasar meyakinkan ketauhidan kepada Allh dan mensucikan-Nya dari penyerupan selain-Nya. (Abdul halim Mahmud, Al-Tafkir al-Falsafiy fi al-Islam, hl. 67).

2. Meyakini Sifat-sifat Allah SWT.
Aswaja meyakini bahwa Tuhan memiliki sifat yang melakat dan tidak terlepas pada Dzat-Nya, dengan demikian ia bersifat qadim dan azaly, seperti halnya keabadian dan keazalian Dzat Tuhan. Pandangan ini berbeda dengan kaum Mu’tazilah yang menganggap bahwa Tuhan itu tidak memiliki sifat (nafy fi shifat). (Harun Nasution, Teologi Islam, 1987). Juga tidak menerima pandangan Zarrah ibn ‘A’yun dan kawan-kawannya yang mengangap sifat Tuhan adalah baharu dan tidak abadi. (Ali Abu Rayan, Tarikh al-Fikru al-Falsafah fi al-Islam, hl. 330)
Adapun unsur pokok keyakinan aswaja atas masalah ini, adalah :
a. Mengetahui bahwa pencipta alam (Allah SWT.) adalah mampu/berkuasa (قـادر ); sifat qudrat Allah SWT. Atas segala sesuatu ( وهـو على كـل شـيئ قـدير ) meliputi kemampuan mencipta, mengadakan dan melakukan sesuatu dari tidak ada, bukan sekedar kemampuan berbuat dan berusaha.
Disinilah, menurut A.Syamsul Bahri letak perbedan antara faham aswaja dengan golongan Karamiyah yang mengira bahwa alm ini diciptakan Tuhan bukan melalui qudrat-Nya, malainkan melalui perkataan-Nya. (A.Syamsul Bahri, hl. 13) Berbeda pula dengan faham sebahagian golongan Qadariyah yang menganggap bahwa Allah tidak mencampuri kemampuan hamba-Nya. Juga memandang keliru al-Allaf yang mengangap bahwa kuasa tuhan terbatas dan berakhir, oleh kekuasaan-Nya sendiri.
b. Meyakini bahwa Allah SWT. ‘Alim ( عـلـيم ) dan ilmu-nya meliputi segala ciptaan-Nya. Dalam al-Qur’an disebutkan :
وهـو على كـل شـيئ عـليم
“Dia mengetahui segala sesuatu”.
لا يـعزب عـنـه مثـقال ذرة فىالارض ولا فى الـســــمـاء
“Tiada terlindung bagi-Nya walau sebesar dzarrapun, apa yang ada di bumi
dan apa yang ada di langit”.

Pandangan inilah yang dijadikan dasar salah satu serangan al-Ghazali terhadap pemikiran sebagian filosof muslim yang menganggap bahwa Allah SWT. Hanya dapat mengetahui sesuatu yang bersifat global (كـلى ) dan tidak mengetahui secara terinci (جـزئية) (al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah)
c. Meyakini bahwa Allah SWT. Hidup ( حـي ). Menurut aswaja, sifat hidup Tuhan termasuk sifat azali, dan hidup-Nya tanpa tidak membutuhkan sesuatu di luar dirinya.
d. Meyakini bahwa Allah SWT. Berkehendak ( مــريــد ). Segala perbuatan dan penciptaan-Nya, di dasarkan pada sifat iradat-Nya. Aswaja meyakini bahwa iradat Tuhan meliputi kehndak dan ikhtiarnya, tidak mungkin terjadi sesuatu di alam ini, kecuali dengan kehendak-Nya; apa yang dikehndaki Allah pasti terwujud, dan apa yang tidak dikehendaki mustahil terjadi. Sifat iradat Allah selalu mengikut pada sifat ilmu-Nya. ( [النحــل : 40] إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ )
e. Meyakini, bahwa sifat Iradat Allah adalah Qadim. Dengan demikian, iradat Tuhan berkaitan dengan penciptaan sesuatu dalam waktu yang sesuai dengan ketentuan yang ada pada ilmu Allah yang azaly. Artinya, sekiranya iradat Tuhan itu baharu, dan bukan qadim, maka Ia pernah tidak memiliki iradat, dan itu mustahil bagi kesempurnaan-Nya.
f. Meyakini bahwa Allah SWT. Maha Mendengar dan Maha Melihat ( سـميع – بـصـير ). Aswaja mempercayai, bahwa sifat mendengar dan melihat Allah meliputi semua yang dilihat dan di dengar. Firman Allah dalam surat al-Mujadalah, ayat 1 :
إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ
“Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat”.
Dengan demikian, pandangan ini membantah klaim Mu’tazilah yang menyebutkan bahwa Tuhan tidak melihat dan tidak mendengar, yang dimaksud dengan Tuhan melihat dan mendengar adalah mengtahui yang dilihat dan yang didengar. Demikian juga pandangan yang menyebutkan bahwa Tuhan hanya melihat selain diri-Nya, dan tidak dapat melihat diri-Nya.
g. Meyakini bahwa ilmu ( عــلم ) Allah adalah Qadim, artinya Allah selamanya mengetahui dzat dan sifat-sifat-Nya, juga segala yang terjadi pada makhluk-Nya
h. Meyakini bahwa Allah SWT berbicara ( مـتـكـــلم ) Aswaja meyakini bahwa Tuhan mempunyai sifat kalam. Dan kalam Allah bukan makhluk, tidak dibaharukan dan bukan esuatu yang baharu. Sifat kalam Allah berbeda dengan perkataan makhluqnya. Kalam Allah adalah sifat yang tidak dipisahkan dengan Dzat Allah, bukan dengan suara juga bukan dilambangkan oleh huruf, tidak menyerupai perkataan selain-Nya, sebagaimana wujudnya yang tidak dapat diserupakan ( لـيس كـمثـله شـيئ ).
i. Berkaitan dengan hal di atas, sifat Kalam Allah adalah Qadim, dan tidak diciptakan. (Al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I’tikad, 1962, hl. 67.) Hal ini berbeda dengan da’waan kaum Mu’tazilah yang menganggap bahwa kalam Allah adalah baharu dan diciptakan oleh Tuhan yang qadim. Dalam hal ini al-Nazzam menjelaskan, bahwa kalam adalah suara yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. (Al-Asy’ari, Maqalat, 1930, h.l. 245). Bagi Mu’tazilah, suara bersifat baharu dan tidak kekal, ia diciptakan oleh Tuhan.
j. Aswaja menetapkan kewajiban meyakini bahwa sesungguhnya Allah SWT. Maha Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, hidup dengan sifat hidup-Nya, Maha Kuasa dengan sifat Qudrat-Nya, Maha berkehndak dengan sifat Iradat-Nya, berkata-kata dengan sifat Kalam-Nya, Maha Mendengar dengan sifat Mendengar-Nya dan Maha melihat dengan sifat melihat-Nya. (Al-As’ary, al-Luma’, 1952, hl. 31.) Pendapat ini bertentangan dengan klaim Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Tuhan tidak memiliki sifat nafy fi al-shifat.
3. Mengetahui Perbuatan ( افـعــال ) Allah SWT. Juga dapat dirinci dalam beberapa unsur pokok, yaitu :
a. Meyakini bahwa tiap-tiap baharu (dicipta) merupakan hasil perbuatan Allah. Dalam hal ini aswaja mengi’tikadkan bahwa Allah SWT. telah menciptakan makhluk-Nya dan mengadakan qudrat dan gerak mereka. Artinya semua perbuatan hamba-Nya termasuk ciptaan dan pernbuatan Tuhan, seperti dalam salah satu firmannya :
اللـه خـالـق كـل شـيئ (الزمـر : 62)
“Allah menciptakan segala sesuatu”
Dengan keyakinan ini, jelas aswaja berbeda dengan pandangan Mu’tazilah yang menyebutkan, bahwa yang diciptakan Tuhan hanyalah benda-benda materi; adapun al-a’rad (acciidents) adalah kreasi benda-benda materi itu sendiri. (Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, hl. 66). Atau anggapan bahwa perbuatan atau kasb hamba tidak diciptakan oleh Allah, melainkan perbuatan manusia itu sendiri. (ibid, hl. 19).
b. Meyakini adanya perbuatan dan usaha setiap hamba ( اكـتســاب الــعـبـد )
Aswaja berkeyakinan bahwa setiap hamba (manusia) memiliki kemampuan untuk berbuat, berusaha, mskipun hakekat pencipta perbuatan mereka adalah Allah. Al-Asy’ari menyebutkan, bahwa Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan manusia, adapun daya dan perbuatan manusia (al-kasb) tidak memiliki efek. (al-Milal, hl. 97), pendapat ini didukung oleh al-Ghazali. Sementara itu, al-Baqilani berpendapat, bahwa manusia memiliki sumbangan yang fektif dalam perwujudan perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia; adapun bentuk dan sifat dari gerak, dihasilkan oleh manusia itu sendiri. Gerak sebagai jenis (genus) adalah ciptaan tuhan, sedangkan berdiri, duduk, berjalan, berbaring, dan sebagainya merupakan naw’ (spectes) dari gerak, adalah perbuatan manusia. (Al-Milal, hl. 97-98). Pendapat serupa juga dikemukakan oleh al-Juwaini (Imam Haramain). Abu Mansur al-Maturidi lebih jauh lagi, ia menyebutkan bahwa dalam hal perbuatan hamba manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatannya. (Al-Maturidi, Syarh al-Fiqh al-Akbar, 1321 H., hl. 11), di sini al-Maturidi sefaham dengan Mu’tazilah dalam mhal perbuatan manusia.
c. Meyakini bahwa perbuatan hamba di bawah iradah Allah.
Aswaja mengi’tikadkan, bahwa perbuatan hamba, sekalipun merupakan daya dan usaha sendiri, tetapi tidak bisa keluar dari sifat iradat Allah. Perbuatan baik ataupun perbuatan buruk, semuanya ada dalam iradat , hanya saja iradat Tuhan ada yang diridhohi dan ada yang tidak diridhoi, manusialah yang memilih jalan mana yang akan ditempuh. ( [ الإنسـان : 3 ] إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا )
d. Meyakini bahwa penciptaanAllah adalah anugerah dan bukan suatu kewajiban.
Bagi aswaja, tidak ada kewajiban bagi Allah, justru Tuhan lah yang menetapkan kewajiban atas makhluknya. ( Al-Iqtisad, hl. 83-84) Hal ini bertentangan dengan pendapat Mu’tazilah yang mnyebutkan bahwa Tuhan berkewajiban untuk melakukan yang terbaik (mashlahat) bagi hambanya (al-shalah wa al-ashlah) (Mustafah Helmy, Al-Akhlaq baina al-falsafah wa al-hukm al-Islam, hl. 6)
e. Meyakini bahwa bisa saja Allah SWT. Membebani makhluk-Nya sesuatu yang tidak disanggupi. Aswaja meyakini, bahwa Tuhan dapat saja membebani makhluk-nya sesuatu yang diluar kesanggupannya. (Al-Iqtisad, loc.cit.) Hal ini di dasarkan pada adanya firman Allah dalam surat al-Baqarah, ayat 286 sebagai tuntunan do’a bagi hambanya : (رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ) Adapun permulaan ayat tersebut yang menyatakan bahwa Tuhan tidak membebani manusia kecuali menurut kemampuannya, merupakan pemberitaan akan rahmat dan anugerah Tuhan kepada hamba-hamba-Nya. (Al-Ghazali, Ihya’ ‘ulum al-din, hl. 111)
f. Bahwa sesungguhnya Allah bisa menyakiti makhluk-Nya dan menyiksanya tanpa kesalahan lebih dahulu. . Dalam hal ini al-Ghazali mengatakan, “Tuhan berkuasa mutlak dan tidak akan bertentangan dengan sifat-sifat ketuhanan-Nya. Atas kehendak-Nya Ia dapat menghancurkan makhluk-Nya, atau memberi ampun semua orang kafir dan menghukum semua yang beriman. (al-Iqtisad, hl. 95) Pandangan (I’tikad ini semata-mata untuk lebih meyakinkan akan kekuasan penuh Tuhan terhadap segala makhluk-Nya, oleh karena itu Tuhan mustahil bersifat zalim, karena kezaliman dapat terjadi jika ada yang lebih kuasa selain-Nya.
g. Mengenal Allah dan mentaati-Nya adalah kewajiban yang bersifat syar’i. (agama) bukan karena aqli. Artinya, mengenal dan mentaati Allah SWT. Wajib karena Allah mewajibkan lewat informasi wahyu-Nya, bukan karena hukum akal yang mewajibkan. Hal ini bertentangan dengan pendapat Mu’tazilah, yang menyebutkan bahwa kewajiban untuk mntehaui tuhan dan mentaati tuhan merupakan sesuatu yang dapat diketahui lewat akal manusia. (Uraian tentang perbandingan Fungsi Akal dan Wahyu, (lebihlanjut lihat Harun Nasution, Teologi Islam, 1986, hl. 79-94).
h. Bahwa pengutusan para Nabi bukan hal yang mustahil.
Aswaja berpendapat, bahwa manusia sangat membutuhan kehadiran nabi/rasul, karena sekiranya Tuhan tidak mengutus Rasul-rasul kepada umat manusia, hidup mereka akan mengalami kekacauan, karena tanpa wahyu manusia tidak dapat membedakan perbuatan baik dan buruk. Meski demikian, aswaja menolak sifat wajibnya pengiriman rasul bagi Tuhan, karena seperti yang dikemukakan di atas Tuhan tidak ada kewajiban bagi-Nya.
i. Meyakini kenabian Muhammad saw., sebagai Nabi terakhir dan tidak ada lagi nabi sesudahnya. Hal ini didasarkan pada firman Allah :
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّين (الاحزاب : 40 )
“Muhammad bukan sekedar bapak salah seorang diantara kalian,
melainkan dia Rasul Allah dan penutup nabi-nabi”


4. Masalah Ghaib (الـسـمــعـيات ).
Masalah ghaib (الـسـمــعـيات ) dan pengakuan kebenaran berita yang dibawah oleh Rasulullah Muhammad saw. persoalan ini dirinci dalam beberapa unsur pokok, yaitu :
a. Meyakini hari kebangkitan
Manusia setelah meninggal akan dibangkitkan roh dan jasmaninya. Sebagaimana yang diberitakan oleh Allah dalam firman-Nya :
مَا خَلْقُكُمْ وَلَا بَعْثُكُمْ إِلَّا كَنَفْسٍ وَاحِدَةٍ ( لقـمـان : 28 )
“Tiada penciptaan kalian dan pembangkitan kalian,
kecualisama laksana satu jiwa”

b. Meyakini adanya pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir.
Hal ini didasarkan pada salah satu Sunnah Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah : إذا قبـرالـميت أتاه مـلـكان أســودان أزرقـان يـقـال لأحـدهـما الـمنكر والأخر النـكر
“Jika orang mati telah dikuburkan, datanglah dua malaikat hitam pekat dan satunya Munkar, sedang yang lain adalah Nakir”

c. Percaya akan adanya siksaan kubur dan kesenangan di dalamnya. Hal ini dinyatakan Tuhan dalam al-Qur’an :
النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَة (المؤمنون : 46)
“Api dinyalahkan atasnya pagi dan sore dan juga nanti dihari kiamat”
Ayat ini menyebutkan penyalan api pagi dan sore di dalam alam kubur sebelum datangnya hari kiamat. Sedangkan masalah kenikmatan dan kesenangan dalam kubur, Allah berfirman :
وَلا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ (أل عمـران : 169 )
“Jangan kamu kira orang yang mati di jalan Allah tidak hidup, malah mereka
hidup di sisi tuhan mereka dan selalu mendapat rezki”

d. Percaya akan Timbangan di Hari Kemudian ( الـمـزان ). I’tikad ini didasarkan pada firman Allah : ( الأنبيـاء : 47 ) وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا
“Dan kamio letakkan timbangan keadilan pada hari kiamat, dan seseorang tidak ada yang dirugikan sedikitpun”.

e. Percaya akan Titian ( الـصـراط ), sebagaimana sabda Rasulullah Saw. yang diri-wayatkan oleh Abu Hurairah :
وهـو جـسـر ممـدود على متن جـهـنم أحـد مـن السـيـف وأدق مـن الشـعـر
“Merupakan jembatan yang dipanjangkan di atas neraka jahannam, lebih tajam dari pedang dan lebih halus dari rambut/bulu”.

f. Percaya akan adanya Surga dan Neraka yang telah diciptakan dan disiapkan oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya.
g. Bahwa Imam/khalifah yang sebenarnya sesudah wafatnya Nabi Muhammad saw. adalah : Abu Bakar, kemudian Umar ibn Khattab, lalu Utsman ibn Affan baru Ali ibn Abi Thalib. Aswajah meyakini keabsahan kempatnya, serta mengakui bahwa Rasulullah Saw. tidak menetapkan oknum tertentu sebagai khalifah kelak setelah beliau meninggal. Dengan pendapat ini, menolak pandangan sebagian Syi’ah yang beranggapan bahwa Ali ibn Abi Thaliblah yang berhak menjadi khalifah pertama sepeninggal Rasulullah.
h. Keutamaan sahabat Nabi sesuai dengant tertib mereka sebagai khalifah. Maksudnya, keutamaan sahabat Rasul, yang pertama adalah Abu bakar, kemudian Umar, lalu Utsman, baru Ali. Namun hakekat keutamaan ini tidak ada yang tahu kecuali Allah dan Rasul-Nya. Yang jelas bagi aswaja, harus menghargai dan memuliakan mereka, dan tidak boleh mengungkapkan hal-hal yang dapat menodai keutamaan mereka. (A.Syamsul Bahri, 1991, hl. 25.)
Demikianlah beberapa prinsip pokok faham ahlu al-sunnah wa al-jama’ah dalam bidang aqidah sebagai sebuah rumusan pendapat (qauli). Karena ini merupakan rumusan pendapat (qauli) yang lahir untuk merespon persoalan aqidah (teologi) yang muncul dan berkembang pada waktu itu, maka rumusan tersebut dalam pandangan Darud Da’wah wal Irsyad bukanlah menjadi suatu rumusan yang memiliki nilai kebenaran yang absolut, tetapi tetap memungkinkan untuk didialogkan, dikritisi (qaabilun littaghyir wa qaabilun linniqas) sepanjang bertujuan untuk lebih mendekati maksud dari ayat-ayat al-Qur’an, sebagai sumber yang memiliki kebenaran absolut.