(Bagian III)
Oleh: Saiful Jihad
Di Bidang Fiqih/Syari’ah
Aswaja dalam bidang fiqih/syari’ah selalu menjadikan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai landasan yang utama, akan tetapi tidak memaksakan setiap orang untuk secara langsung dan sendiri-sendiri memahami kedua dasar hukum Islam trsebut. Dalam hal ini diberikan jalan untuk mengikuti kebenaran pendapat atau hasil ijtihad orang lain dengan pendekatan bermadzhab.
Menetapkan ketentuan hukum dari al-Qur’an dan al-Sunnah, bukanlah yang yang mudah dan dapat dilaksanakan oleh semua orang. Memang, terhadap masalah-masalah pokok, banyak yang telah jelas keterangannya, baik dari al-Qur’an maupun dari al-Sunnah, tetapi terhadap hal-hal yang lebih rinci, yang tidak dijelaskan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah akan sulit dijawab dan dipecahkan oleh mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk berijtihad, belum lagi untuk mencari hubungan (munasabat) antara satu ayat dengan ayat yang lain yang berkenaan dengan persoalan tersebut.
Demikian halnya dalam memahami teks dan makna sebuah Sunnah. Permasalahan yang dikemukakan dalam Sunnah sulit dipecahkan bahkan dimengerti, oleh karena teks dan makna Sunnah itu sendiri kadang diperselisihkan dikalangan ulama, ada yang menganggapnya shahi, sementara yang melemahkannya (menganggap sebagai Sunnah dhaif).
Dalam dunia fiqih, dikenal penafsiran al-Qur’an berdasarkan maqhasid al-Tasyri’ (tujuan pelaksanan hukum), yakni penafsiran yang tidak selalu terikat kepada ayat-ayat secara tekstual, melainkan dengan mencari jiwa (maqhasid) dari ayat itu. Dalam sejarah Islam, Umar ibn Khattab, dapat dikatakan sebagai salah seorang khalifah yang ‘mensponsori” dan meletakkan dasar metode pemahaman seperti itu. Sewaktu Umar ibn Khattab berkuasa, ia banyak mengambil keputusan dan kebijakan hukum yang tidak sejalan dengan bunyi teks ayat-ayat al-Qur’an dan tradisi Nabi. Ia lebih cenderung memakai makna dan maksud yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut dari pada bunyi tekstualnya, misalnya :
1. Dalam pembagian zakat, Khalifah Umar tidak sepenuhnya menerapkan petunjuk ayat 60 surat al-Taubah, dan meninggalkan praktek yang dahulu dilaksanakan oleh Nabi. Ia tidak lagi memberikan bagian zakat kepada kaum muallaf dengan alasan situasi dan kondisi telah berubah.
2. Khalifah Umar meninggalkan hukum potong tangan terhadap seorang pencuri, seperti ketentuan ayat 38 surat al-Maidah, dengan alasan bahwa pencurian itu terjadi dalam suasana perekonomian yang buruk, yang di dalamnya masyarakat dilanda musibah kelaparan.
3. Khalifah Umar menetapkan bahwa Thalaq tiga dapat dijatuhkan sekaligus.
4. Harta rampasan perang yang pada masa Nabi dibagikan kepada pasukan perang yang ikut dalam suatu peperangan, pada zaman Umar, dimasukkan ke dalam bait al-Maal.
Kenyataan di atas menunjukkan, bahwa apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar ibn Khattab, tidak dianggap sebagai suatu kekeliruan atau kelancangan, bahkan sikap Umar menjadi acuan dalam memahami ajaran Islam sebagai sebuah system nilai yang diturunkan untuk mewujudkan kemashlhatan bagi umat manusia. (maqhasid al-syar’iyah) oleh para ulama mujtahid dalam Islam.
Untuk itu, patut disyukuri, bahwa metode berfikir Umar, yang diikuti dan dikembangkan lebih lanjut oleh para ulama mujtahid dalam kurun waktu dan kondisi tertentu telah banyak menjelaskan berbagai macam persoalan sebagai pemaknaan terhadap isi dan kandungan al-Qur’an dan al-Sunnah.
Kembali pada pernyataan terdahulu, bahwa karena tidak semua umat Islam mampu memahami dengan baik isi dan kandungan al-Qur’an maupun al-Sunnah, maka ia dibolehkan untuk mengikuti pendapat ulama mujtahid (bermadzhab). Dalam hal perlunya bermadzhab bagi mereka yang tidak mengetahui, didasarkan pada :
Pertama, surat al-Nahl, ayat 43.
....فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“…..maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengtahuan,
jika kamu tidak mengtahui”.
ِِAyat ini menjadi dasar perintah kepada orang yang tidak mengerti hukum dan dalil-dalilnya agar mengikuti orang lain yang mengtahui akan hal tersebut. Dan umumnya ulama Ushul Fiqih menjadikan ayat ini sebagai pegangan utama dalam mengambil kesimpulan, bahwa bagi orang awam hendaknya bertaqlid (bermadzhab) kepada orang yang alim yang mujtahid.
Kedua, ijma’ ulama telah mnyatakan bahwa kebanyakan para sahabat Nabi adalah penganut petunjuk yang diberikan oleh sahabat lain yang lebih pandai (tahu). Sebab tingkat keilmuan mereka berbeda-beda, dan tidak semuanya dapat membrikan fatwa. Yang ahli hukum diantara mereka sangat terbatas jika dibanding dengan yang awam, karena itu memang telah terjadi taqlid dan ittiba’ di antara para sahabat Nabi, dilanjutkan pada masa sahabat, tabi’in, hingga sat ini.
Ketiga, dalil Aqli, seperti yang dikemukakan oleh syekh Abdullah Darraz, bahwa bagi orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk berijtihad, apabila menghadapi suatu masalah far’iyah, maka ada dua kemungkinan yang akan dilakukan. Mungkin dia tidak melakukan pa pun karena belum mengrti hukumnya atau dia melakukan sesuatu dengan mencari dalil yang menetapkan hukum masalah trsebut dengan cara taqlid.
Dari paparan singkat di atas dapat disimpulkan, bahwa bagi aswaja dalam bermadzhab mencakup dua hal, yaitu bermadzhab dengan system atau metode berfikir (manhaj) dan bermadzhab dengan pendapat atau hasil ijtihad ulama (aqwal).
Madzhab manhaji terkadang disebut dengan bermadzhab fi al qawaid wa al ushul, yaitu mengikuti madzhab sebagai metode berfikir/berinstinbath/berijtihad untuk menemukan pendapat/hukum bagi pemakai madzhab tersebut. Konsekuensinya, seseorang dapat iltizam dengan suatu madzhab tertentu, kendatipun disadari bahwa intiqolul madzhab (pindah madzhab) dan mengambil pendapat dari madzhab lain tidak dilarang.
Bermadzhab manhaji itu dilakukan dengan cara “istinbath jama’i”, artinya upaya untuk mendapatkan kesimpulan pendapat atau hukum secara bersama-sama oleh beberapa orang, tidak orang-perorang (kolektif). Dalam kerangka ini, perlu diwujudkan lembaga mujtahid yang masing-masing anggotanya memiliki disiplin dan keahlian sendiri-sediri, walaupun tidak sampai memenuhi prasyarat ijtihad yang telah digariskan. Alternatif ini penting dilakukan dalam upaya mencari jalan penyelesaian (solusi) terbaik dalam merespon dinamika dan perkembangan masail fiqihyah yang terus berkembang.
Bermadzhab manhaji yang dilakukan dengan istinbath jama’i diterapkan terhadap hal-hal yang tidak ditemukan aqwal (pendapat) di dalam madzhab empat, atau pendapat tersebut dipandang telah “out of date”, seiring dengan perubahan dan perkembangan kondisi dan persoalan yang melingkupinya. Artinya, barmadzhab qauli didahulukan dari pada madzhab manhaji, selama masih ada aqwal mengenai hal tersebut dalam kitab-kitab mu’tabarah di kalangan madzhab empat.
Perlu dikemukakan di sini, bahwa pada awalnya aswaja mengakui enam belas madzhab besar, akan tetapi karena tidak semua madzhab tersebut dapat menjaga keseimbangan antara sikap lentur dan tegas, antara sikap lentur dan pasti dalam merespon dan membuat ketetapan hukum. Kepastian dilenturkan dan kelenturan dipastikan, sehingga dinamika dan perkembangan madzhab-madzhab tersebut tidak terjadi, bahkan kemudian hilang dan tidak memiliki pengikut lagi. Tinggal madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) yang masih bertahan, karena mereka dapat menjaga keseimbangan tersebut.
Seiring dengan kesadaran bahwa waqa’i fiqihyah (masalah aktual fiqihyah) terus melaju sepanjang masa, para imam madzhab dan para fuqaha’ lainnya tidak merasa cukup dengan produk-produk hukum yang mereka telorkan lewat sarana ijtihad, serta merumuskan dan mengembangkan qawaid dan manahij al istinbath (qawa’id ashuliyah). Kaidah-kaidah tersebut begitu penting, bukan hanya untuk menjawab persoalan baru yang terus tumbuh dan berkembang, tetapi juga untuk menimbang aqwal yang telah ada yang dimuat dalam al-kutub al-qadimah (kitab-kitab klasik).
Sementara itu, bagi kaum awam, yang tidak memiliki kemampuan untuk beristinbath (apalagi berijtihad) secara individu atau kolektif, tidak ada pilihan lain kecuali bermadzhab secara qauli, yaitu mengikuti madzhab sebagai kumpulan pendapat (aqwal) hasil ijtihad/ istinbath para ulama mujtahid terdahulu yang telah tersusun dalam kitab-kitab mu’tabarahí (dapat dipertanggung jawabkan) atau dapat didengar dari keterangan (fatwa) para guru dan ulama yang mu’tabar.
Di Bidang Tasawuf/Akhlaq
Dalam bidang tasawuf aswaja mengikuti antra lain Imam Ahmad al-Junaidi al-Bagdadi, Imam al-Ghazali, serta imam-imam tasawuf lainnya yang dipandang mu’tabarah. Memang sejak abad ke-2 Hijriyah, berbagai aliran tasawuf tumbuh subur dan berkembang dalam dunia Islam. Akan tetapi DDI yang berhaluan aswaja menegaskan sikapnya untuk mengikuti ajaran dan metode ketasaufan yang dikembangkan oleh Abu Qasim Junaid al-Bagdadi dan Imam al-Ghazali.
Abu Qasim al-Bagdadi adalah salah satu sufi yang populer dengan sebutan “penghulu ulama akhirat” (w. 79 H./910 M), adalah seorang sufi yang menguasai dengan baik kajian Sunnah dan fiqih. Ajaran tasawufnya tapi di sandarkn pada ajaran pokok syariah, dan berusaha untuk menjaga tasawuf agar tetap berada di dalam batasan-batasan wajar. Terhadap kelompok sufi yang senang melakukan perbuatan ganjil dan meninmggalkan syari’at, Al-Junaid berkomentar : “Bagiku ibadah (syarti’at) adalah yang maha penting; orang-orang yang berzina dan mencuri adalah lebih baik daripada orang-ortang yang berbuat ganjil dan meninggalkan syari’at”. Al-Junaid dikenal sebagai tokoh kritik yang besar dalam dunia sufisme, serta perumus sufisme ortodoks.
Upaya menyatukan sufisme dengan syari’at, mencapai puncaknya pada tokoh monumental Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111 M). Ia dikenal sebagai ulama besar aswaja, yang digelar sebagai “hujjatu akl-Islam”. Al-Ghazali tidak hanya membangun kembali semangat dan nilai-nilai ajaran Islam yang menjadikan tasawuf sebagai bagian integral (tidak terpisahkan) dari padanya, akan tetapi ia juga melakukan pembaharuan atas ajaran tasawuf dan membersihkannya dari unsure-unsur yang “tidak islami”.
Pemilihan ajaran dan metode Abu Qasim Junaid al-Bagdadi serta Imam al-Ghazali sebagai sandaran ajaran di bidang tasawuf, merupakan bukti bahwa DDI sebagai salah satu organisasi pembela dan penegak ajaran dan metode pemahman keagaman aswaja.
Adapun pokok-pokok ajaran tasawuf yang dikembangkan oleh al-Bagdadi dan al-Ghazali, adlah :
Pertama, bahwa pada dasarnya ilmu tasawuf itu merupakan bimbingan jiwa agar menjadi suci, selalu tertambat kepada Allah swt., sehingga manusia memproleh tuntunan yang dapat menyampiknnya kepada mengenal Tuhan dengan sebnar-benarnya (ma’rifat).
Kedua, tasawuf merupakan jalan atau tarekat yng sebaik-baiknya dengan akhlaq yang seindah-indahny, jauh lebih baik daripada pengetahuan dan hikmah lahiriyah semata. Karena tujuan tasawuf adalah membawa manusia setingkat demi setingkat lebih dekat kepada Allah swt., maka seorang sufi harus berusaha meningkatkan kualitas jiwa keimanannya dengan menempuh spuluh maqam (station), yaitu : Taubat, wara’, zuhud, sabar, faqir, syukur, khauf, raja’, tawakkal dan ridha.
Disamping kesepuluh maqam, tersebut, juga dikenal adanya delapan ahwal (tingkah, sikap atau keadaan), yaitu : Mahabbah, Syauq, Unsu, Qurb,Haya’, Sakar, Wushul dan Qana’ah.
Mengikuti bimbingan rohani melalui tasawuf memang sangat penting, agar dapat diperoleh hakikat dari makna ibadah dan pengabdian kepada Allah. Terutama di zaman modern skarang ini, banyak problematika kehidupan dari yang kecil sampai yang paling besar, dari yang sederhana, hingga masalah yang paling rumit. Agaknya tidak akan cukup untuk kita hadapi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan kemampuan akal semata. Kita perlu bimbingan rohani lewat ajaran tasawuf . dengan tasawuf, kita akan selalu dibimbing untuk menyadari bahwa kegagalan adalah suatu hal yang wajar, sedangkan keberhasilan merupakan anugerah Tuhan yang patut disyukuri.
Akan tetapi dalam bertasawuf, selalu harus diingat pesan dan peringatan Imam Malik :
مـن تصـوف و لـم يتـفـقـه فقــد تزنـدق ومـن تفـقـه ولـم يتتصـوف فقـد تفـسـق ومـن جمـع بينـهمأ فقـد تـحـقق
“Barangsiapa bertasawwuf tanpa mengetahui fiqh, maka akan menjadi orang zindiq (ekstrim buta), dan barangsiapa yang mengetahui fiqh tanpa bertasawwuf, akan menjadi orang yang fasiq, dan barangsiapa yang bertasawuf dan mengetahui fiqih (menmgumpulkan keduanya), maka sampailah pada hakikat yang sebenarnya.
Dibidang Sosial Kemasyarakatan
Dengan mengacu pada prinsip-prinsip pokok fahan dan pandangan keagamaan di atas, baik pada bidang Aqidah, Syari’ah/Fiqih maupun Akhlaq/Tasawuf, ada benang merah yang menarik untuk ditelah dan difahami kembali bahwa. Pertama, Jika memperhatikan tokoh (ulama) yang dijadikan acuan pemahaman, yakni al-Asy’ari dan al-Maturidy dibidang Aqidah, empat imam Madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Hambali) di bidang Fiqih, serta Imam Ghazali dan Junaid al-Bagdadi di bidang Tasawuf, maka sisi menarik yang dimaksud itu adalah pada kenyataannya tokoh (ulama) yang menjadi panutan dan acuan tersebut tidak selamanya memiliki pemahaman yang sama.
Al-Asy’ari berbeda dengan al-Maturidy dalam 40 masalah, dalam pandangan Fiqih, seperti yang diketahui bersama keempat imam madzhab tersebut juga sering berbeda dalam menjawab dan merespon problematika syari’ah/fiqih yang terjadi dan tumbuh dalam masyarakatnya, demikian juga dengan al-Ghazali dengan al-Junaid.
Di sisi lain, dalam catatan sejarah disebutkan, bahwa Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i secara politik lebih cenderung kepada Syi’ah. Tetapi kecintaan mereka terhadap ahl al-bait, bukan berarti meyakini teologi syi’ah yang tidak mengakui keabsahan khulafaurrasyidin selain Ali. Apalagi, teologi Syi’ah itu sendiri sebagai suatu madzhab baru dirumuskan pada abad III H/IX M, dengan menjadikan Hadits Ghadir Khum sebagai dasar klaim teologi politik Syi’ah yang masih harus diperdebatkan.
Sedangkan Imam Ahmad bin Hambal sendiri, menurut Ibnu Jarir al-Thabari dalam al-Khilaf, sebetulnya bukan seorang faqih, beliau hanyalah seorang muhaddits. Oleh karena kemampuannya dalam istinbath al-hukm dari al-Qur’an dan al-Sunnah hampir tidak banyak diketemukan. Ia menjadi tokoh madzhab karena “dibesarkan” oleh pengikutnya, terutama Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan Muhammad bin Abd. Wahab (Imam Gazali Said dalam “Kontroversi Aswaja”, 2000: 126).
Dalam Tasawuf, Imam Abu Qasim al-Junaid mengatakan “awwalu ma iftaradhallahu ‘ala ‘ibadihi ma’rifatuhu, wa awwalu ma’rifatihi tauhiduhu, wa awwalu tauhidihi bi nafyi sifatihi ‘anhu”. Demikian juga dengan al-Ghazali di dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, Juz IV bab Tauhid mengatakan bahwa tauhid itu ada empat: 1) Tauhid Awwam; 2) tauhid al-‘ulama; 3) tauhid khawas; dan 4) tauhid khawas al-khawas. Tauhid yang keempat ini menurut al-Ghazali adalah “alla yara fi wujudihi illallah. . . ” (Aqil Siraj, dalam “Kontroversi Aswaja”, 2000: 139)
Jika dianalisis dengan saksama konsep tauhid kedua Imam panutan Aswaja dibidang Tasawuf ini, yang pada intinya sejalan dengan konsep nafy fi al-shifat (Tuhan tidak memiliki sifat) yang dikembangkan oleh Mu’tazilah. Sudah barang tentu konsep ini sulit dipertemukan dengan konsep tauhid al-Asy’ari maupun al-Maturidy (Imam Aswaja dibidang Teologi/ aqidah) yang mengakui adanya sifat Tuhan.
Dari beberapa bukti yang dikemukakan di atas, dapat menjadi sebuah benang merah yang mesti difahami dengan baik oleh pengikut Aswaja, bahwa faham dan pandangan keagamaan yang dianut, baik dalam bentuk rumusan pendapat (qauli) ataupun sebagai sistem berfikir (manhaji) mengandung banyak aliran dan madzhab, yang mungkin saja antara satu dengan yang lain tidak terdapat kesepakatan, bahkan kontradiktif, tetapi justru pandangan dan sistim berfikir yang mengandung kontradiktif antara satu dengan yang lain, ditetapkan sebagai acuan dalam faham keagamaan Aswaja. Dengan realitas ini, dapat dirumuskan karakteristik faham keagamaan Aswaja, yaitu:
1. Tawassut dan I’tidal, yaitu sikap tengah yang berintikan pada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan untuk berlaku adil dan lurus di tengah-tengah kehidupan bersama. Dengan sikap dan dasar ini diharapkan penganut Aswaja menjadi kelompok panutan yang pantas diikuti masyarakat, selalu bersikap membangun dan menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat “tatharruf” (ekstrim).
2. Tasamuh, yakni sikap lapang dada dan toleran terhadap perbedan pendapat/ pandangan, memahami perbedaan sebagai suatu yang qodratik yang mesti diterima, baik dalam masalah keagaman, yang bersifat furu’iyah atau masalah khilafiyah, serta masalah-amasalah sosial, kemasyarakatan dan budaya.
3. Tawazun, yaitu sikap keseimbangan dalam beribadah, misalnya ibadah (pengabdian) kepada Allah, harus dibarengi dengan penciptan hubungan baik dngan sesama manusia, alam dan lingkungan. Juga seimbang dalam memahami dan menyikapi masa lalu, sekarang dan akan datang.
4. Amar ma’ruf nahy munkar, prinsip ini mendorong untuk selalu menumbuh-kembangkan kepekaan untuk melakukan kegiatan dan mengajak orang lain untuk berbuat ma’ruf (baik dikenal) serta menjauhi perbuatan perbuatan yang dapat merusak diri, masyarakat dan lingkungan (munkar). Gerakan ‘amar ma’ruf nahy munkar, dilakukan dengan semangat tawssut wa al-I’tidal, tasamuh, dan tawazun.
5. Kontinuitas ijtihad, artinya dalam pengembangan ijtihad, didasarkan pada prinsip :
مـحفظـة على الـقـدتيم الـصـلح والأخـذ بالجــديد الاصـلح
“Memelihara tradisi lama yang masih baik, dan mau mengambil
inovasi baru yang bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar