Dalam diskusi di JLC-TVOne tadi malam, JK mencoba menjelaskan dan meyakinkan kepada peserta Diskusi dan Pemirsa, tentang filosofi pelaksanaan Ujian Nasional...
Ada beberapa catatan yang menarik untuk disimak:
1. Mungkin benar, kita memerlukan ukuran yang dibuat berstandar, termasuk ukuran tingkat kemampuan siswa (i) kita. Tetapi masalahnya adalah, ukuran tingkat kemampuan yang "berstandar tersebut diberikan kepada sekolah yang belum memiliki standarisasi pelayanan (standar proses; standar pendidik dan tenaga kependidikan;. standar sarana dan prasarana; standar pengelolaan; standar pembiayaan;dan
standar penilaian pendidikan) yang baik... pada hal standar kelulusan, mestinya menjadi muara dari terlaksananya standar pendidikan yang lainnya.
2. Karena negera ingin disebut berhasil dalam mengelola dan meningkat layanan pendidikannya, maka standar kelulusan dibuat meningkat setiap tahun... pada hal faktanya, pemenuhan standar layanan lainnya tidak pernah dibuat meningkat.
3. Benar bahwa negara-negara maju dalam pendidikannya, memiliki konsep Ujian Nasional (UN), termasuk Amerika yang disebut pak JK..., tetapi beliau tidak meninformasikan, bahwa pelaksanaan UN di Amerika itu dilakukan oleh masing-masing negara bagian untuk mengukur aspek-aspek mana saja yang masih dianggap lema dalam layanan pendidikan, lalu menjadi perhatian untuk meperbaikinya... Kita cenderung mencontoh pelaksanaan UN-nya saja, tetapi tidak mengambil filosofi dan tujuan pelaksanaan UN tersebut.
4. Bahwa kita butuh generasi (siswa) yang cerdas..., tetapi makna kecerdasan itu ternyata hanya dilihat dari aspek Logic-Matematik dan Linguistik... Kecerdasan lain yang dimiliki oleh manusia (anak didik) diluar dari dua model kecerdasan tersebut, diabaikan... pada hal dalam berbagai teori dijelaskan berbagai macam kecerdasan manusia, yang mungkin saja lemah dari beberapa aspek, tetapi menonjol dari aspek lain.. dan ini adalah bentuk dari diskriminasi...
5. Bahwa hasil UN menjadi alat penentu kelulusan (sekarang ini prosentasinya diturunkan menjadi 60 %), menjadikan UN sebagai barang yang ditakuti oleh sisiwa, sehingga mereka menjadi tertekan dan khawatir..., dan ini adalah bentuk dari kekerasan yang dilakukan secara sistematis...
6. Model soal pilihan ganda....!!! Seorang anak (siswa), mungkin saja bisa menjawab dengan benar, tetapi dia sebenarnya tidak tahu... dia hanya menebak-nebak, dan tebakannya benar... Jika dijadikan bahan analisis, soal apa yang banyak anak tahu atau anak banyak tidak tahu..., maka hasilnya tidak akan bisa menggambarkan kondisi yang sebenarnya... karena Tebak-tebakan....
7. Tentu kita belum bicara tentang kebijakan pelaksanaannya, dst...
Ini catatan saya dari mengikuti Diskusi di JLC tadi malam.....
Ada beberapa catatan yang menarik untuk disimak:
1. Mungkin benar, kita memerlukan ukuran yang dibuat berstandar, termasuk ukuran tingkat kemampuan siswa (i) kita. Tetapi masalahnya adalah, ukuran tingkat kemampuan yang "berstandar tersebut diberikan kepada sekolah yang belum memiliki standarisasi pelayanan (standar proses; standar pendidik dan tenaga kependidikan;. standar sarana dan prasarana; standar pengelolaan; standar pembiayaan;dan
standar penilaian pendidikan) yang baik... pada hal standar kelulusan, mestinya menjadi muara dari terlaksananya standar pendidikan yang lainnya.
2. Karena negera ingin disebut berhasil dalam mengelola dan meningkat layanan pendidikannya, maka standar kelulusan dibuat meningkat setiap tahun... pada hal faktanya, pemenuhan standar layanan lainnya tidak pernah dibuat meningkat.
3. Benar bahwa negara-negara maju dalam pendidikannya, memiliki konsep Ujian Nasional (UN), termasuk Amerika yang disebut pak JK..., tetapi beliau tidak meninformasikan, bahwa pelaksanaan UN di Amerika itu dilakukan oleh masing-masing negara bagian untuk mengukur aspek-aspek mana saja yang masih dianggap lema dalam layanan pendidikan, lalu menjadi perhatian untuk meperbaikinya... Kita cenderung mencontoh pelaksanaan UN-nya saja, tetapi tidak mengambil filosofi dan tujuan pelaksanaan UN tersebut.
4. Bahwa kita butuh generasi (siswa) yang cerdas..., tetapi makna kecerdasan itu ternyata hanya dilihat dari aspek Logic-Matematik dan Linguistik... Kecerdasan lain yang dimiliki oleh manusia (anak didik) diluar dari dua model kecerdasan tersebut, diabaikan... pada hal dalam berbagai teori dijelaskan berbagai macam kecerdasan manusia, yang mungkin saja lemah dari beberapa aspek, tetapi menonjol dari aspek lain.. dan ini adalah bentuk dari diskriminasi...
5. Bahwa hasil UN menjadi alat penentu kelulusan (sekarang ini prosentasinya diturunkan menjadi 60 %), menjadikan UN sebagai barang yang ditakuti oleh sisiwa, sehingga mereka menjadi tertekan dan khawatir..., dan ini adalah bentuk dari kekerasan yang dilakukan secara sistematis...
6. Model soal pilihan ganda....!!! Seorang anak (siswa), mungkin saja bisa menjawab dengan benar, tetapi dia sebenarnya tidak tahu... dia hanya menebak-nebak, dan tebakannya benar... Jika dijadikan bahan analisis, soal apa yang banyak anak tahu atau anak banyak tidak tahu..., maka hasilnya tidak akan bisa menggambarkan kondisi yang sebenarnya... karena Tebak-tebakan....
7. Tentu kita belum bicara tentang kebijakan pelaksanaannya, dst...
Ini catatan saya dari mengikuti Diskusi di JLC tadi malam.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar