Senin, 13 Mei 2013

Penegakan Hukum Tanpa Pandang Bulu dalam Budaya Bugis-Makassar


Ini sebuah kisah lama dari negeri Sidenreng. La Pagala Nenek Mallomo, yang lahir di Panrenge sebelah Utara Amparita tahun 1546. Sebagai seorang hakim, Nenek Mallomo terpaksa menjatuhkan hukuman mati terhadap anaknya sendiri. Kok bisa?
Ketika itu sudah tiga tahun panen di Sidenreng selalu gagal. Orang lalu mencari-cari apa penyebab kegagalan itu. Pasti ada yang tidak beres.
Dalam kebingungan mencari akar penyebabnya, putra Nenek Mallomo kemudian buka kartu, mengaku pada ayahnya. Katanya, tiga tahun lalu pada waktu musim membajak sawah beberapa mata sisir salaga miliknya patah. Lalu dia mengambil sebatang kayu kepunyaan tetangganya tanpa izin untuk mengganti mata sisir alat bajaknya yang rusak itu.
Nenek Mallomo, lalu berkata "Anakku, engkaulah rupanya yang telah melanggar pemali sehingga Tuhan menurunkan peringatan yang menimpa rakyat dan bumi Sidenreng ini. Demi kejujuran, engkau harus menghadap Dewan Pemangku Adat."
Putusan yang dijatuhkan ternyata amat berat, hukuman mati. Mengetahui putusan itu, rakyat menemui Nenek Mallomo. Mereka "berdemo" menuding Nenek Mallomo sampai hati menilai nyawa putranya sendiri dengan sepotong kayu. Menghadapi protes itu dengan tegas Nenek Mallomo berkata "Ade’e temmakkeanak temmakke-eppo. Adat (hukum) tidak mengenal anak tidak mengenal cucu."
Inilah sikap dan karakter masyarakat Bugis dalam hal penegakan hukum, yang tidak memandang buku, tyidak tebang pilih...

Tidak ada komentar: