Selasa, 21 Mei 2013

Menyoal Tentang Perlunya Identitas ke-DDI-an



Pada dasarnya NU, Muhammadiyah, DDI, al-Washiliyah, Nahdhatul Wathan, al-Wahda al-Islamiyah, Hizb al-Tahrir dan seterusnya... adalah wadah berkumpul, wadah untuk mengembangkan aktifitas Da'wah, Pendidikan dan aktifitas sosial, wadah kaderisasi, dst...... Dalam perkembangannya -- dilihat dari aspek pemahaman keagamaan -- organisasi dan lembaga itu dikategorisasikan dalam beberapa pandangan, misalnya organisasi yang lebih banyak menggunakan pendekatan tekstual, ada yang benyak menggunakan tafsir rasional, atau yang mencoba mendialogkan teks-teks agama dengan budaya lokal, dst... 
Dari sisi pandang ini, DDI kadang dikategorikan memiliki cara pandang yang sama dengan cara pandang yang dianut oleh NU, Nahdhatul Wathan. Dan karena kesamaan pandangan inilah, kadang membuat anggapan bahwa DDI sama dengan NU.
Secara kelembagaan (organisatoris), DDI tidak ada kaitan dengan NU, Mungkin saja, karena banyak tokoh-tokoh kita yang aktif di NU, meski beliau juga adalah tokoh yang besar di DDI. 
Sekedar Contoh Gurutta KH. M. ALi al- Yafie, Beliau adalah Katib (I Wakil Sekjend) pertama DDI, dan beliaulah yang menerjemahkan ANggaran Dasar Pertama DDI dari Bahasa Arab yang dirulis oleh Gurutta KH. Muh. Abduh Pabbaja sebagai Katib (Sekjend) pertama DDI. Tetapi ketika beliau ke Jakarta, beliau banyak aktif di NU, dan sebagai tokoh Nasional, beliau lebih dikenal sebagai tokoh NU, ketimbang tokoh DDI. Demikian Juga dengan Gurutta KH. Muh. Amin Nashir. Dan di Sulsel, KH. Sanusi Baco, lebih dikenal sebagai ketua NU (representasi NU), ketimbang sebagai tokoh DDI, dst…
Di sisi lain, keberadaan bapak Prof. Muiz Kabry di Kepengurusan puncak DDI, yang secara formal, beliau mengenyam Pendidikan SMP DDI di Ujung Baru Parepare, Lalu masuk ke PGA ikatan dinas di Makassar, kemudian lanjut ke Pacet Jabar dan Malang Jatim..., beliau selama di Pacet dan Malang adalah tokoh yang aktif di PMII, bahkan termasuk penandatangan Deklarator Murnajati (Piagam Independensi PMII), sebuah organisasi kemahasiswaan yang lahir dari rahim IPNU (Banom NU), meski selama di Sulsel, tidak pernah aktif di Pengurus NU Sulsel, tetapi dia tidak bisa dipisahkan kedekatannya dengan tokoh-tokoh NU tingkat Nasional, bahkan sejak kepengurusan KH. Hasyim Muzadi, beliau dimasukkan sebagai bagian dari Pengurus PB NU. Demikian halnya dengan kita-kita generasi yang dibelakangpun, kemudian banyak ikut dan terlibat dalam organisasi diluar DDI yang memiliki hubungan historical dengan NU.
Sekedar “menengok kebelakang”, dalam Muktamar Tahun 1969 di Wt. Soppeng, Beberapa tokoh DDI sudah mulai terpolarisasi antara kelompok yang aktif di NU, dan mereka yang aktif di SI/PSII, dan dalam Muktamar tersebut, kelompok yang aktif di NU (Partai NU), berhasil menggolkan model lambang DDI, yang menggunakan Tali, mirip dengan tali di lambang NU.....
Fakta-fakta itulah yang mungkin mengaburkan pandangan orang antara NU dan DDI,  Bahkan DDI dianggap bagian dari NU, seperti pandangan orang terhadap Nahdhatul Wathan di NTB dengan NU.
Tetapi untuk tingkat Sulsel, yang harus kita fahami, bahwa NU masuk di Sulsel, ketika NU menjadi Parpol tahun 1955, dan itu berarti sebelum NU masuk DDI sudah ada dan berkembang, sehingga semestinyalah DDI lebih “kakak” dari NU …untuk konteks Sulsel...
Saya juga ingin mengatakan (mungkin debateble), tanpa maksud mengecilkan penghormatan dan penghargaan kita kepada guru-guru kita, bahwa mereka "lupa" melakukan interpertasi dan kontekstualisasi dari nilai-nilai yang difahami, dilakonkan oleh Gurutta... menjadi sebuah Nilai Dasar Perjuangan (NDP) DDI yang dikemas dalam teks yang memungkinkan dapat dipelajar, dibaca dan diterjemahkan oleh generasi yang datang kemudian (seperti kita-kita) dalam konteks kehidupan kita…. Harus Jujur diakui, konsep Tirologi DDI (Da'wah, Pendidikan dan Usaha Sosial), adalah satu-satunyanya konsep yang ada yang dibuat dan diinterpertasi oleh Prof. Muiz Kabry, sebagai pembacaan beliau terhadap nilai yang diajarkan oleh gurutta..., tetapi bagaimana wujud, arah, nilai, konsep, dari Triologi tersebut, kita tidak menemukannya.
Dalam Buku Ke DDI-an yang kami buat bersama Tim, Saya mencoba mengeksplorasi makna dari Triologi Tersebut…., tetapi harus saya akui itu sangat dangkal, dan membutuhkan kajian lebih mendalam dan lebih jauh... Tentang Apa itu Pendidikan, Dakwan dan Usaha Sosial... 
Jadi dari aspek Konsep sendiri kita belum selesai... Misalnya ketika bicara tentang pendidikan, pendidikan dalam bentuk apa, dan nilai apa yang mesti dikembangkan sebagai kerangka dasar semangat ke-DDI-an kita, demikian juga dalam hal Dakwah... Filosofi da'wah yang dianut, kan tidak pernah terbakukan, apa lagi ketika bicara usaha sosial... Apa sih yang dimaksud dengan usaha sosial dalam kontes DDI. Sekali lagi kita belum merumuskannya.
Akhirnya, kita lebih banyak membawa tafsir-tafsir tentang itu dari apa yang kita peroleh diluar organisasi DDI, dan yang memungkinkan untuk kita "modifikasi", adalah model yang ada di NU, sehingga diakui atau tidak, warna ke-DDI-an kita, adalah masih kelihatan “ke-NU-NU-an…
Ini belum kita bicara tentang DDI sebagai gerakan Sosial, DDI sebagai sebuah Organisasi, dst…

Saiful

Tidak ada komentar: