Rabu, 21 November 2007

Aspek Sosiologis Kelompok Sempalan

Oleh Novriantoni

Bruinessen berpendapat, selama dialog antara ortodoksi kalangan mainstream dan gerakan sempalan itu masih dapat berlangsung, fenomena ini akan tetap berfungsi positif. Terputusnya komunikasi dan makin terasingnya mereka justru mengandung marabahaya

Fatwa dan 10 kriteria aliran sesat yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia Selasa (6/11) lalu mungkin tidak akan banyak membantu kita untuk memahami dan mengatasi kemunculan kelompok-kelompok agama yang sering dicap sesat. Penjara pun tak akan membuat jera jika keyakinan baru sudah tertanam begitu kokoh di dalam sanubari mereka.
Karena itu, daripada terus berfantasi akan sirna dan tidak akan munculnya lagi aliran sesat di bumi Indonesia lewat fatwa ataupun aksi massa, ada baiknya kita memahami akar masalah kemunculan kelompok seperti Lia Eden, al-Qiyadah al-Islamiyyah, dan sejenisnya dalam ekspresi keberagamaan kita. Untuk keperluan ini, 10 kriteria aliran sesat Majelis Ulama Indonesia tidak akan membuat ilmu kita bertambah.
Di tahun 1992, Martin van Bruinessen menjelaskan latar belakang sosio-kultural kemunculan “kelompok-kelompok sempalan Islam” (istilah yang lebih netral) di Indonesia Jurnal Ulumul Qur'an vol. III no. 1. Ahli Islam asal Belanda itu masuk ke jantung kelompok-kelompok sempalan yang pernah dilarang atau sekurang-kurangnya diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia.
Objek studinya sangat luas, tapi tetap dibarengi klasifikasi yang cukup ketat dan jelas. Ada Islam Jamaah, Ahmadiyah Qadian, DI/TII, Mujahidin Warsidi (Lampung), Syi'ah, Baha'i, kelompok Inkarus Sunnah, Darul Arqam, Jamaah Imran, gerakan Usroh, aliran-aliran tasawwuf berfaham wahdatul wujud, Tarekat Mufarridiyah, dan gerakan Bantaqiyah (Aceh). Itulah kelompok-kelompok yang dianggap sempalan dan sesat di masa itu.
Meski agak out of date karena belum membahas kelompok baru yang kini sedang hangat diperbincangkan, beberapa kesimpulan Bruinessen tetap masih cukup relevan dan menarik untuk disimak:
Pertama-tama, di luar stigma negatif yang selalu dialamatkan pada mereka, menurut Bruinessen beberapa kelompok sempalan yang dicap sesat itu sering kali dapat memenuhi fungsi keluarga bagi para pengikutnya. Kehadiran komunitas “keluarga baru” ini bisa amat didambakan anggotanya, terutama ketika mereka mengalami alienasi sosial akibat proses urbanisasi dan merenggangnya hubungan mereka dengan keluarga asal.
Agar dapat berfungsi sebagai komunitas keluarga, jumlah anggota kelompok biasanya kecil saja, sehingga mereka bisa saling kenal. Pada aspek ini, kalangan mainstream Islam tidak perlu terlalu resah akan berkembangnya kelompok sempalan dalam jumlah besar. Studi Bruinessen menunjukkan bahwa aliran-aliran baru seperti ini hampir selalu bersifat eksklusif (menghindar dari hubungan dengan umat lainnya) dan gnostik (mengklaim punya ajaran khusus yang tidak dimengerti kaum awam), serta kerap menerapkan sistem bai'at antara pimpinan dan pengikutnya.
Poin ini sedikit banyak menjelaskan mengapa begitu banyak pengikut aliran-aliran baru seperti al-Qiyadah yang berasal dari kalangan mahasiswa. Kondisi alienasi yang mungkin mereka alami akibat perubahan situasi dan lingkungan baru yang mereka rasakan, boleh jadi membuat mereka kehilangan pegangan.
Mahasiswa, kata Bruinessen, terutama yang berasal dari kota kecil atau desa, yang hidup di sebuah lingkungan kota yang serba baru dan aneh bagi mereka, merasa diberi perlindungan dan rasa aman oleh komunitas baru yang membuat mereka merasa at home. Peran ini tidak lagi dapat dimainkan organisasi agama besar, justeru karena yang diperlukan adalah hubungan intim dalam sebuah komunitas kecil yang terpisah dari masyarakat/umat yang lebih luas.
Lalu perlukah mereka dijauhi, difatwa atau digebuki? Bruinessen berpendapat, selama dialog antara ortodoksi kalangan mainstream dan gerakan sempalan itu masih dapat berlangsung, fenomena ini akan tetap berfungsi positif. Terputusnya komunikasi dan makin terasingnya mereka justru mengandung marabahaya. Kalau ortodoksi tidak responsif dan komunikatif dan hanya bereaksi dengan melarang-larang (atau diam saja), ortodoksi sendiri justru bisa berubah menjadi salah satu sebab penyimpangan "ekstrim" ini.

Tidak ada komentar: