Oleh Abd Moqsith Ghazali
Dalam konteks negara Indonesia, perubahan terhadap perda-perda bernuansa agama itu bukan hanya demi logika agama damai, melainkan juga demi tegaknya konstitusi negara RI. Itu sebabnya, semua pengambil kebijakan di negeri ini perlu bertumpu pada konstitusi tersebut dan bukan kepada doktrin keagamaan eksklusif yang hanya diimani sekelompok umat. Indonesia jelas bukan negara agama, melainkan negara sekuler.
Tanggal 20-23 Oktober 2007, GMIM (Gereja Masehi Injili di Minahasa) bekerja sama dengan MADIA (Masyarakat Dialog Antar-Agama), dan PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia) menyelenggarakan refleksi bersama dan seminar publik tentang "Masa Depan Pluralisme di Indonesia" di Uluindano Tomohon Sulawesi Utara. Forum ini dihadiri para tokoh lintas agama se-kawasan timur Indonesia. Juga menghadirkan sejumlah intelektual dari Jakarta seperti Dr. Ifdhal Kasim (Ketua Komnas HAM), Dr. Luthfi Assyaukanie (Koordinator Jaringan Islam Liberal), Dr. Erick J. Barus (Sekretaris Eksekutif Bidang Maraturia PGI), dan Abd Moqsith Ghazali (Peneliti The WAHID Institute).
Forum tersebut dirancang untuk merefleksikan potret kerukunan umat beragama di Indonesia mutakhir, menganalisa peluang dan tantangan kerja sama agama-agama, dan bagaimana menegakkan pluralisme dan kebebasan beragama (HAM) di Indonesia. Dari situ saya berkesimpulan dilakukannya beberapa langkah membangun damai dan kerukunan beragama di Indonesia. Pertama, melakukan substansialisasi sejumlah doktrin agama yang potensial dibajak untuk kepentingan terorisme dan penindasan. Dalam Islam misalnya kosa kata kafir, murtad, dan musyrik perlu diberi makna kontekstual dan relevan bagi umat Islam Indonesia. Untuk tujuan substansialisasi ajaran tersebut, sesungguhnya ulama terdahulu telah membuat kerangka metodologinya, yaitu ushul fikih. Melalui ushul fikih, sebuah ayat akan diketahui bukan hanya makna literalnya, melainkan juga tafsir kontektualnya (al-tafsir al-siyaqi) serta spirit dasar (maqashid al-syari`ah) yang hendak ditujunya. Telah disadari, jika ayat-ayat perang dalam al-Qur'an dibiarkan tampil dengan makna harafiahnya dan diasingkan dari momen sosial politik yang menyertai kehadirannya, maka peluang terjadinya kekerasan atas nama agama kian terbuka.
Begitu juga, sejumlah ayat dalam Injil yang kerap dipakai untuk meng-ekskomunikasikan umat agama lain hendaknya ditafsir ulang. Misalnya, pernyataan Yesus Kristus, "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku" (Yohanes 14: 16). Di ayat lain disebutkan, "Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita diselamatkan" (Kisah Para Rasul 4: 12). Dari ayat ini muncul sebuah kredo, "tidak ada keselamatan di luar Gereja" dan tidak ada Nabi di luar Gereja". Tidak mau terperangkap dalam eksklusifisme keagamaan, setelah melewati pergumulan panjang dan intensif akhirnya melalui konseli Vatikan II (1962-1965) Gereja Katolik berpendapat bahwa tak tertutup kemungkinan adanya keselamatan di luar Gereja.
Kedua, menerjemahkan kesadaran pluralisme dan multi-kulturalisme ke dalam kurikulum pendidikan agama, mulai dari tingkat bawah hingga perguruan tinggi. Sudah lama ditengarai, sejumlah kurikulum pendidikan agama di lembaga-lembaga pendidikan Indonesia mengandung pandangan keagamaan yang tidak toleran. Jika muatan kurikulum itu tak diperbaharui, maka ia akan menjadi magma yang berbahaya bukan hanya terhadap eksistensi suatu umat terutama yang minoritas, melainkan juga terhadap eksistensi negara bangsa Indonesia. Sudah saatnya Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional dengan melibatkan berbagai pihak yang berkompeten memperbaharui kurikulum pendidikan agama. Muatan kurikulum agama yang diskriminatif dan tidak toleran mesti digantikan dengan yang lebih demokratis dan toleran.
Bukan hanya kurikulum yang harus diperbaiki, melainkan juga buku ajarnya. Buku-buku agama yang menjadi pegangan anak didik mesti mempertimbangkan keragaman masyarakat Indonesia. Jangan sampai buku agama yang beredar di sekolah-sekolah bertentangan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Semua telah maklum bahwa Indonesia tidak hanya ditempati oleh umat Islam, tapi juga umat agama lain. Jenis Islam yang berkembang di Indonesia pun bukan hanya Islam a la MUI, Hizbur Tahrir, FPI, dan MMI, melainkan juga Islam a la NU, JIL, Waktu Telu, dan lain-lain. Indonesia tidak hanya pulau Jawa yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi juga ribuan pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke dengan keaneka-ragaman agama dan budaya para penghuninya. Oleh karena itu, buku-buku keagamaan yang ada di tangan para pelajar mesti diberi visi, semangat, dan konteks keindonesiaan yang plural tersebut.
Ketiga, melakukan conuter legal draft, judicial reviev, uji material terhadap sejumlah regulasi dan peraturan yang bertentangan dengan semangat agama damai dan Pancasila. Sejumlah Perda yang hanya menganak-emaskan satu umat tertentu dan meminggirkan umat lain seharusnya diperiksa dan diubah. KH Abdurrahman Wahid, mantan Presiden RI, menengarai sejumlah undang-undang dan berpuluh Perda bernuansa agama bertabrakan dengan UUD 1945. Dalam konteks negara Indonesia, perubahan terhadap perda-perda bernuansa agama itu bukan hanya demi logika agama damai, melainkan juga demi tegaknya konstitusi negara RI. Itu sebabnya, semua pengambil kebijakan di negeri ini perlu bertumpu pada konstitusi tersebut dan bukan kepada doktrin keagamaan eksklusif yang hanya diimani sekelompok umat. Indonesia jelas bukan negara agama, melainkan negara sekuler.
Keempat, menghidupkan dan mengukuhkan kearifan lokal, setelah sekian lama hancur atau dihancurkan oleh rezim Soeharto. Sebab, tak seluruh konflik bisa diatasi dengan pendekatan politik-keamanan seperti yang dilakukan Orde Baru. Sebagian dari konflik itu ada yang hanya mungkin dilerai dan diatasi dengan pendekatan kultural. Dalam konteks itu, memberdayakan kembali jalur-jalur kebudayaan dan kearifan lokal menjadi penting. Perlu diingat, paket penyelesaian konflik yang dikirim dari Jakarta kerapkali kandas, karena tak memperhitungkan kondisi lokal masyarakat. Solusi dari pemerintah pusat sering tak menyembuhkan tapi hanya meringankan secara sesaat.
Beberapa resep di atas, kiranya perlu dilakukan bagi siapa saja yang menginginkan tegaknya perdamaian abadi di negeri ini.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar