Oleh
Abd. Latif dan Saiful Jihad
Hadirin yang saya hormati
Hari ini, kita berkumpul di tempat ini untuk memperingati HAUL yang ke 11 Gurutta K.H. Abdurrahman Ambo Dalle. Mungkin ada pertanyaan, mengapa peringatan ini hanya kita tujukan kepada almarhum K.H. Abdurrahman Ambo Dalle. Pada hal, pada hari yang sama, bahkan mungkin pada jam yang sama, tepatnya tanggal 29 November 1996 ada ribuan, bahkan jutaan orang yang meninggal dunia, yang mungkin saja diantaranya adalah anggota keluarga kita, orang tua atau anak kita sendiri. Mengapa itu semua kita tidak peringati?
Ternyata, bukan suatu diskrimiasi, kalau sejarah membeda-bedakan terminologi kematian yang dilengketkan pada seseorang, berdasar pada proses historis yang pernah digeluti oleh seseorang itu selama hidupnya. Semua mahluk hidup akan mati, tetapi hanya kepada manusialah yang disantuni kematiannya dengan istilah meninggal, dan tidak semua yang meninggal disebut wafat atau mangkat. Lebih santun lagi adalah ketika agama tidak mengakui semua terminologi yang dipautkan dengan kata “mati”, karena “mati” adalah akhir dari semua alur proses. Ketika mesin mobil mati, maka proses mekanikanya telah selesai pada saat itu. Ketika seekor ayam mati, maka proses hidupnya pun telah selesai dan berakhir sampai di situ. Manusia mengalami proses tidak berhenti pada saat jazad dan rohnya berpisah. Peristiwa itu hanyalah sebuah terminal yang pasti dialami untuk sampai pada tujuan, perjalanan ”pulang” atau ”berpulang” ke yang azali, yakni ke ”rahmatullah”. Bukan hanya sepantasnya, tetapi seharusnya dan semestinyalah kita semua yang hadir di sini, dan semua murid-muridnya, mendoakan di kebeningan hati agar arwah almarhum Gurutta K.H. Abdurrahman Ambo Dalle sampai dan akan sampai ke ”negeri” rahmatullah, negeri di mana rahmat Allah tak terbataskan.
Hadirin yang kami muliakan
Tanggal 29 November 1996 Miladiah, bertepatan dengan tanggal 17 Rajab 1417 Hijiriah. Pada hari itu, Gurutta dipanggil ”pulang” untuk ”dininabobokkan” dalam buaian rahmat Allah, sang khaliq yang maha kasih dan mengasihi hambanya yang setiap detak jantungnya tak pernah berhenti memuji dan membesarkan nama Allah, Rabnya yang senantiasa menjadi pelabuhan cintanya, yang senantiasa memberinya petunjuk jalan mutlak nan lurus menuju ”pulang” ke pangkuan kasihnya.
Hadiran yang saya hormati
Kalau benar Gurutta lahir pada 1900 di Desa UjungE, Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo, itu berarti selama 96 tahun lamanya Gurutta dalam penantian kerinduan yang maha sangat untuk bertemu dengan ”kekasihnya”, Allah sang pencipta. Begitu cintanya terhadap ”kekasihnya”, maka selama 96 tahun, Gurutta mempelajari, mengkaji, dan menegakkan, sepenuh iman tentang apa pun yang diperintahkan oleh ”kekasihnya” itu. dan selama 96 tahun juga, Gurutta mempelajari, mengkaji, dan menghindarkan diri dari semua yang dilarang oleh ”kekasihnya” itu.
Mula-mula Gurutta dididik dalam lingkurang keluarganya sendiri, yang bukan hanya taat beragama, tetapi juga memiliki pengetahuan tentang bagaimana cara menjalankan ajaran agama yang diyakini kebenarannya itu.
Lautan ilmu adalah samudra yang sangat luas dan dalam, pengetahuan yang dimiliki oleh orang tuanya mungkin kurang dari setetas dari hamparan lautan ilmu tersebut. Hal inilah yang mendorong orangtuanya mengizinkan Gurutta berangkat ke Sengkang untuk belajar pada Volks School (Sekolah Rakyat), kemudian dilanjutkan ke Hollandsch Inlandsche School (Sekolah Lanjutan Pertama), dua sekolah yang diselenggarakan pada jaman kolonial Belanda. Volks School adalah sekolah tingkat dasar yang diperuntukkan bagi masyarakat non bangsawan, dan karenanya tidak diperbolehkan menggunakan Bahasa Belanda, melaikan hanya boleh menggunakan Bahasa Daerah dan Bahasa Melayu. Ada pun Hollandsch Inlandsche Shool adalah sekolah bumiputera yang mengharuskan penggunaan Bahasa Belanda di dalamnya.
Setamat dari HIS, Gurutta melanjutkan pengembaraan ilmunya ke Kota Makassar. Di kota ini beliau belajar pada Sekolah Guru, sebuah sekolah yang penyelenggaraannya berkaitan langsung dengan sebuah partai Islam, yakni Partai Syerikat Islam Indonesia.
Sebagai alumni HIS, adalah sangat mungkin Gurutta fasih berbahasa Belanda, akan tetapi Allah tidak berkenan membiarkan hamba terkasihNYA ini larut dalam pendidikan sekuler, pendidikan yang mungkin saja akan membuatnya congkak dan sombang di hadapan ”kekasihnya”, sekolah yang kadang membuat alumninya petantang-petenteng dengan celana panjang dan dasi hitam sebagaimana yang digambarkan oleh pelajar-pelajar di sekolah yang diselenggarakan pemerintah kolonial Belanda di Makasar.
Rupanya Allah, ”sang kekasih” Gurutta itu senantiasa menjaga kesucian hati hambaNYA yang satu ini, dengan membasuh jiwanya dengan mata air ilmu yang bersumber hanya dari ajaran wahyuNYA, al-Qur’an, dan hadist-hadist rasulNYA. Itulah sebabnya, setamat dari Sekolah Guru di Makasar, Gurutta lebih memilih kembali ke tanah Wajo menjadi pelajar ”sarungan” di Darul Ulum pimpinan Sayyid Muhammad al-Mahdaliy, juga mengikuti pengajian kitab pada Syekh H. Syamsuddin, Syekh Abd. Rasyid Mahmud al-Jawwad, Sayyid Abdullah Dahlan, dan Sayyid Hasan al-Yamani.
Pada tahun 1928 K.H. Muhammad As’ad (1907 – 1952), seorang putera beradarah Wajo, kelahiran Mekah, datang ke Sengkang membuka pengajian pesantren di rumahnya. Dan pada pertengahan tahun 1930-an. Gurutta yang haus pengetahuan itu pun ikut bergabung walau harus belajar di bawah kolong rumah. Di pengajian K.H. Muhammad As’ad, Gurutta yang senantiasa dalam belaian ”kekasihnya”, Allah SWT., dengan ikhlas menjadi murid dari seseorang yang tujuh tahun lebih muda darinya. Karena perolehan pengetahuan sebelumnya dianggap cukup, maka K.H. Muhammad As’ad memperkenankan Gurutta mengajar pada peserta didik tingkatan pemula.
Sistem pendidikan ”mengaji tuddang” yang diterapkan oleh K.H. Muhammad As’ad tindak menghalangi para peminat berdatang, termasuk mereka yang dari luar tanah Wajo. Memperhatikan banyaknya peminat, maka dengan bantuan pemerintah setempat K.H. Muhammad As’ad berkenan mendirikan madrasah dengan sistem kelasikal, yang terdiri dari empat tingkatan: Awaliyah, Ibtidaiyah, I’dadiyah, dan Tsanawiyah. Madrasah ini diberinya nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI).
Hadiran yang saya muliakan
Keharuman MAI Sengkang menyebar keseluruh pelosok, hal ini menarik minat Arung Malluse Tasi untuk datang meminta dan sekaligus meminang Gurutta K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle, agar direstui oleh K.H. Muhammad As’ad membuka dan memimpin Madrasah serupa yang akan didirikan di Mangkoso. dan akhirnya, pada tahun 1939 Gurutta beserta keluarganya berkenan pindah ke Mangkoso, dalam wilayah Swapraja Soppeng Riaja, Barru. Di sini, Gurutta dibantu beberapa orang tenaga pendidik mendirikan Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkaso.
Ketika bunga mulai mekar, ketika santri mulai berdatangan dari berbagai penjuru, Allah SWT. menguji ketabahan dan kesabaran Gurutta, dengan ditempatkannya kaigun atau Angkatan Laut Jepang sebagai penguasa militer di Indonesia kawasan Timur pada 1942. Indonesia kawasan timur, termasuk Mangkoso di dalamnya, diduduki oleh Angkatan Laut Jepang, satu sayap militer Jepang yang tidak dibekali pengetahuan dan keterampilan bergaul dengan masyarakat sipil, utamanya masyarakat penggiat agama, dan lebih utama lagi masyarakat penggiat politik. Hal ini berbeda dengan, Angkatan Darat Jepang yang menguasai Jawa dan Sumatera memiliki pengalaman yang cukup bergaul dengan masyarakat sipil, sehingga selama pendudukan mereka toleran dan memberi ruang gerak yang terbatas kepada ulama dan politisi. Angkatan Laut Jepang yang berkuasa di kawasan timur Indonesia justru mencurigai, menindas, bahkan memenjarakan beberapa ulama dan politisi.
Kemenangan tentara sekutu atas tentara Jepang pada Perang Dunia kedua seakan memeberi kesempatan kepada Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta dengan atas nama Bangsa Indoensia memproklamasikan kemerdekaan Bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945. Gurutta beserta murid-muridnya menyambut kemerdekaan dengan dada yang lapang.
Namun, tidak cukup dua tahun, pada bulan Desember 1946 para politisi kolaborator mengumukan berdirinya Negara Indoensia Timur (NIT) di Denpasar, Bali. Dan Makassar ditunjuk sebagai ibukota NIT. Oleh karena itu, Sulawesi Selatan pada umumnya harus aman dari gerakan-gerakan --ketika itu dikenal dengan istilah ekstrimis-- yang dapat meronrong wibawah penguasa tersebut. Untuk melakukan pengamanan itu, pada awal 1947 didatangkanlah sebuah pasukan khusus di bawah pimpinan Kapten Raymond Westerling untuk melakukan gerakan pembersihan dan bumi-hangus di daratan Sulawesi Selatan. Operasi militer yang dilakukan oleh Westerling bersama pasukannya berlangsung hingga akhir 1949, atau menjelang Konfrensi Meja Bundar di Belanda, suatu konfrensi yang membicarakan proses politik ”penyerahan” kedaulatan Indonesia dari Belanda.
Pada masa operasi militer yang dipimpin oleh Westerling itulah, atas prakarsa K.H. Muhammad Daud Ismail, maka Gurutta beserta beberapa ulama tercerahkan melakukan Musyawarah Alim Ulama se Sulawesi Selatan di Watansoppeng tepatnya pada 17 Februari 1947 Miladiah bertepatan dengan 16 Rabiul Awal 1366 Hijiriah. Dalam konfrensi inilah para peserta musyawarah menyepakati untuk mendirikan sebuah organisasi Islam yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah, dan sosial. Organisasi itu dikenal dengan Darud Da’wah wal-Irsyad.
Hadirin yang saya hormati
Musyawarah Alim Ulama di Watansoppeng itu juga dengan memperhatikan kharisma dan kepemimpinan, serta potensi lembaga pendidikan yang dibina gurutta, maka peserta musyawarah menyepakati memilih dan menetapkan Gurutta sebagai Ketua Umum DDI, suatu jabatan yang senantiasa diembannya hingga akhir hayatnya, kecuali selama Gurutta berada dalam lingkungan kekuasaan gerakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Upaya awal yang dilakukan Gurutta dalam mengembangkan organisasi yang baru terbentuk tersebut, adalah dengan melakukan musyawarah guru dan pengurus MAI Mangkoso dan cabang-cabangnya untuk menyepakati pengintegrasian MAI Mangkso ke organisasi baru yang DDI, yang kemudian diikuti oleh beberapa lembaga pendidikan lain, seperti Madrasah Al-Irsyad di Pattojo Soppeng, Nashrul Haq di Amparita, Tarbiyah Islamiyah di Allakuang Sidrap, dan Lembaga Pendidikan yang dikelola oleh Imam Lapeo di Campalagiang Polmas.
Memperhatikan proses sejarah berdirinya DDI, yang melibatkan banyak tokoh penggagas dan pendiri, maka sungguh tidak arif jika ada kelompok yang mengidentikkan DDI sebagai milik orang atau kelompok tertentu, dan seakan menafikan keberadaan dan andil orang lain. Gurutta telah banyak memberikan contoh kepada kita anak-anaknya, baik anak biologis mapun anak-anak idiologis beliau, tentang sikap dan pandangan yang arif dalam memaknai sebuah kebersamaan memperjuangkan cita-cita awal pendirian DDI.
Menjelang Pemilu 1955 Gurutta berkeinginan menggunakan hak politiknya dengan mendaftarkan diri sebagai calon legislatif dengan bendera calon perorangan, bukan dan tidak menggunakan bendera partai politik. Akan tetapi, nampaknya, Allah SWT yang senantiasa mengasihi beliau, belum membolehkan Gurutta memasuki belantara politik praktis ketika itu. Allah lebih menghendaki Gurutta masuk ke hutan belantara yang sesungguhnya untuk diposisikan sebagai salah seorang pimpinan DI/TII. Dua bulan sebelum Pemilu, tepatnya pada 18 Juli beliau ditangkap oleh pasukan DI/TII dibawah pimpinan Nurdin Pisok.
Walaupun Gurutta masuk dalam lingkungan elite DI/TII, tetapi karena kebijakan pucuk pimpinan DI/TII, Kahar Muzakkar, yang menetapkan harus dilakukan gerakan sabotase terhadap Pemilu 1955 dalam wilayah Sulawesi Selatan – Tenggara, maka tidak sedikit orang-orang DDI yang dicurigai terlibat dalam Pemilu yang kemudian diculik, bahkan ada diantaranya yang ditembak mati oleh pasukan DI/TII.
Rupanya di belantara gerakan Islam sekalipun sang kekasih Allah, tidak henti-hentinya diuji. Gurutta diperhadapkan pada beberapa kebijakan pucuk pimpinan DI/TII yang bertentangan dengan paham dan keyakinan yang dianutnya. Kebijakan yang diambil oleh pucuk pimpinan DI/TII tersebut banyak diintrodusir dari pendapat K.H. Maksum, seorang ulama yang didatangkan dari Jawa. Terhadap kebijakan-kebijakan tersebut, dengan tegas dan bijak Gurutta menentangnya.
Hadirin yang saya muliakan
Ketegasan Gurutta terhadap apa yang diyakininya bersumber dari al-Qur’an dan hadist-hadist Rasulullah menyebabkan beliau tersingkir dan disingkirkan dari struktur elite DI/TII. Beliau kemudian diasingkan ke daerah Sulawesi tenggara selama lebih-kurang dua tahun. Kurang dari dua tahun sebelum tertembak matinya Overste (Letnan Kolonel) Kahar Muzakkar di tangan Sadeli, salah seorang pasukan Divisi Siliwangi yang hanya berpangkat Kopral pada tahun 1965, Gurutta berhasil diloloskan keluar dari hutan oleh sepasukan TNI dibawah pimpinan Kapten Andi Patonangi.
Setelah keluar dari hutan, Gurutta kembali membina DDI dan bersama pengurus lainnya beliau mendirikan Perguruan Tinggi yang disebutnya Universitas Islam DDI pada 1963 itu juga. Tidak berapa lama kemudian, beberapa daerah meminta didirikan cabang, seperti: Pinrang, Barru, Sidrap, Pangkep, Soppeng, Polmas, dan Majene. Ini adalah sebuah terobosan baru yang tidak pernah dilakukan, bahkan mungkin tidak terpikirkan, oleh orang-orang DDI selama Gurutta berada dalam lingkungan DI/TII.
Kurang lebih 8 tahun Gurutta bergabung dengan DI/TII adalah waktu yang lebih dari cukup untuk memperoleh inspirasi bahwa penegakan syariat Islam tidak harus dilakukan dengan jalan kekerasan, sebagaimana yang dilakukan oleh DI/TII. Penegakan syariat Islam akan lebih bermakna dan membumi jika dilakukan melalui jalur pendidikan. Lewat pendidikan, Islam dapat dibumikan dalam kalbu setiap individu muslim, sehingga syariat Islam dapat mewarnai prilaku hidupnya sehari-hari.
Niat membumikan Islam secara damai melalui jalur pendidikan, dakwa, dan usaha-usaha sosial, kiranya mendapat restu dari Allah Taala, ”kekasihnya” yang selalu dirinduinya siang dan malam. Permintaan mendirikan cabang dan ranting DDI datang bukan hanya dari Sulawesi, tapi Kalimantan, Sumatera, Nusa Tenggara, dan Papua, mereka semua selalu berharap kehadiran Gurutta untuk meresmikan dan memberi tausiah, dengan harapan semoga cabang dan ranting DDI tersebut mendapat berkah dari Allah SWT.
Hadirin yang saya muliakan
Bersamaan dengan menjamurnya DDI bagai cendewan di musim hujan, rezim orde baru yang milteristik sejak awalnya berusaha menguasai dan kemudian mengendalikan semua bentuk pengelompokan masyarakat, mula-mula organisasi birokrasi, kemudian bergerak ke pengelompokan secara sosial, keagamaan, kepemudaan, profesi, wanita, tani, nelayan, organisasi sektor bisnis, sampai penyederhanaan partai politik, dan menampilkan Golkar sebagai satu-satunya Organisasi Peserta Pemilu dari unsur non partai politik. Dengan pilosofi ini, maka DDI yang memiliki kekuatan massa yang sampai ke akar rumput tidak dapat dipandang sebelah mata oleh rezim orde baru. DDI adalah pasar politik yang cukup menggiurkan, dan karenanya harus dikuasai dan dikendalikan.
Iklim politik rezim orde baru yang demikian itu diselami oleh Gurutta dengan tidak gegabah. Gurutta tidak mau sembarangan dalam menentukan sikap, karena sikap apa pun yang diambilanya pasti berisiko terhadap pengasuhan lembaga-lembaga pendidikan yang selama ini dipilihnya menjadi medan pengabdian dan perjuangan. Jangankan anti terhadap rezim orde baru, bersikap netral saja pasti akan dicurigai terus menerus, dan karenanya jangan pernah berharap akan ada dukungan pemerintah, baik materil maupun administratif. Dalam siatuasi seperti itu, Gurutta menyapa dan bertanya kepada ”kekasihnya”, Allah SWT. melalui sholat istihkorah. Petunjuk apa pun yang diberikan oleh ”kekasihnya” itu Gurutta pasti akan laksanakan, walau resikonya lebih pahit dari yang dibayangkan.
Menjelang Pemilu 1977 di keheningan malam, Gurutta menegakkan sholat istikhorah sebagai media berkomunikasi dengan ”kekasihnya”, Allah. Benar saja, petunjuk yang diterimanya kurang lebih dapat diverbalisasikan sebagai berikut, ”rezim orde baru adalah rezim yang militeristik dan hegemonik, serta tidak satu pun di antara kalian yang dapat memprediksi seberapa panjang usia rezim ini akan berkuasa”. Berdasar pada getaran hatinya yang demikian itu, maka dengan tegas Gurutta menyatakan bahwa dalam Pemilu 1977 ini dia berpihak pada Golkar. Keputusan ini begitu berat ditanggung oleh Gurutta. Dan akibat dari keputusan politik ini, tidak sedikit santri yang meninggalkan pondok, ruang-ruang kelas jadi lengang, masjid sepi dari pengajian, dan bahkan ada saja elite DDI yang tidak sejutu terhadap keputusan itu, berteriak di mimbar-mimbar umum.
Gurutta pun bersedih yang teramat dalam, bukan karena dicaci-maki oleh beberapa kawan dan muridnya sendiri, tetapi karena ditinggalkan oleh santri yang sudah demikian lama dididik dan dibinanya. Kesedihannya pun semakin menjadi-jadi ketika beberapa teman dekatnya, sesama pendiri DDI, mulai menjauhi Gurutta dengan mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang cukup menyakitkan di beberapa media massa.
Rupanya Allah SWT., tidak membiarkan Gurutta larut dalam kesedihan yang berkepanjangan. Segera, pasca Pemilu 1977 datang tawaran dari Kalimantan Timur, dari Arung Malluse Tasi, serta tawaran dari Bupati Pinrang, Andi Patonangi, tokoh yang mengarsiteki keluarnya Gurutta dari hutan, wilayah kekuasaan Kahar Muzakkar pada 1963. Andi Patonangi menawarkan suatu areal yang cukup luas dan strategis di Pinrang, dan agar Gurutta sudi pindah ke lokasi itu untuk memimpin pondok pesantren yang pembangunannya akan difasilitasi oleh pemerintah.
Tawaran dari Bupati Pinrang, segera direspon oleh Gurutta, beliau segera memindahkan pusat pengendalian organsasi DDI dari Parepare ke Kaballangang, Pinrang. Di sanalah Gurutta melanjutkan pembinaannya kepada umat dan pengabdiannya kepada negara.
Hadirin Sekalian.
Pada tahun-tahun terakhir sebelum meninggalkan dunia yang fana ini, kembali Gurutta diuji oleh Allah SWT. Mula-mula Gurutta diserang stroke, kemudian beliau diuji dengan lumpuhnya kekuatan fisiknya. Ujian dari ”kekasihnya”, yang demikian itu dijalani oleh Gurutta dengan tabah dan ikhlas. Bahkan dalam keadaan lumpuh itu, Gurutta masing sering ditanduh oleh santri-santrinya untuk bertandang ke beberapa cabang DDI di daerah untuk berdakwah, mengunjungi murid-muridnya, dan mengembangkan perguruannya.
Setelah bebeapa kali dirawat di rumah sakit lantaran usia yang semakin uzur, serta sakit yang dideritanya, maka pada awal November 1996 Gurutta kembali di opname di Rumah Sakit Akademis, Ujungpandang. Ini merupakan kunjungan terakhirnya ke rumah sakit, dan setelah tiga minggu dirawat di rumah sakit ini, pada Jum’at 29 November 1996 Gurutta yang sudah lama mempersiapakan dirinya untuk bertemu dengan ”kekasihnya”, Allah SWT. segera dipanggil oleh ”kekasihnya” itu agar Gurutta segera ”pulang” dan menemuiNYA di tempat yang telah dijanjikanNYA, dalam keadaan Ridha dan diridhoi olehNya.
Begitu besarnya keinginan Gurutta untuk segera bertemu dengan ”kekasihnya”, maka pada hari itu juga; keluarga, kerabat, pejabat pemerintah sipil dan militer, handai taulan, murid-muridnya berduyun-duyun mengantar Gurutta ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Tidak sedikit di antara mereka itu yang merasa heran, karena keranda yang mereka tandu itu terasa lebih ringan dari kapas. Mungkin saja, ada beberapa malaikat yang ikut menandu Gurutta dan sekaligus mendapingi Gurutta menghadap ke haribaan ”kekasihnya”, Allah SWT. yang sepanjang hidupnya dirindui dan dikangeninya sepenuh jiwa.
Hadiran yang saya muliakan.
Goresan Bakti dan khidmat Gurutta K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle, yang dilakukan melalui berbagai wujud dan aktivitas yang tidak pernah surut, akan tetap tertoreh di lembaran sejarah manusia yang tidak akan pernah lekang oleh panasnya matahari dan terpaan hujan; berbagai pengakuan dan penghargaan yang diberikan oleh masyarakat, gnegara dan pemerintah, menjadi bukti kebesaran jasa sang Pahlawan Nasional yang diwariskan untuk dijaga, dipelihara dan dimaknai oleh anak-anaknya, generasi muda Darud Da’wah wal Irsyad.
Akhirnya, kami yang berkumpul di tempat ini mengucapkan: ”Selamat jalan Guru dan Orang Tua Kami tercinta, semoga kami anak-anakmu dapat memegang teguh amanah yang engkau wariskan kepada kami.”
Minallahil Musta’an wa ’Alaihit Tiklan.
Dinarasikan Oleh: Saiful Jihad
Selasa, 18 Desember 2007
Rabu, 05 Desember 2007
Memaknai Pendidikan sebagai Kapital
Oleh : Aurelius Jehato
KabarIndonesia - Beberapa waktu lalu, reaksi pro-kontra muncul ketika DPR menyetujui alokasi dana untuk sektor pendidikan sebesar Rp 48 triliun atau sekitar 12 persen dari total APBN 2008. Itu berarti tidak ada penambahan anggaran signifikan bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pemerintahan SBY-Kalla, misalnya, hanya menganggarkan dana pendidikan dalam APBN 2005 sebesar 8,1 persen, APBN 2006 besarnya 10,6 persen, APBN 2007 sebesar 11,8 persen. Padahal, Undang-Undang Dasar 1945 dan UU No. 20/ 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) mengamanatkan anggaran untuk sektor pendidikan minimal 20 persen dari total APBN/APBD. Dengan anggaran 12% tahun ini berarti pemerintah masih memiliki utang untuk memenuhi defisit anggaran tersebut.
Dua pertanyaan penting patut kita ajukan di sini. Mengapa defisit anggaran sektor pendidikan selalu terjadi dari tahun ke tahun? Mengapa jumlah anggaran yang minim itu selalu diributkan banyak orang? Pertanyaan ini berangkat dari dan bersentuhan dengan dua hal. Pertama, krisis political-will pemerintah dan parlemen. Kedua, keprihatinan terhadap defisit anggaran muncul dari kesadaran akan urgensi pendidikan.
Lingkaran Krisis
Alokasi 12 persen APBN tersebut menjerumuskan sektor pendidikan kita ke dalam lingkaran krisis yang terus berlanjut. Banyak kalangan menilai bahwa pengalokasian anggaran yang tidak memadai akan berakibat langsung pada managemen pengelolaan pendidikan yang tidak bermutu. Mengapa? Peran anggaran itu begitu sentral dan krusial. Betapa tidak, anggaran pasti erat bersangkut paut dengan gaji, pelatihan, pengembangan kualitas guru, penyediaan buku-buku teks bagi para murid, pembangunan gedung sekolah serta sarana penunjang belajar mengajar lainnya.
Ini semua tentu menjadi faktor penting yang menentukan mutu dan kualitas pendidikan. Sayangnya, pemerintah tidak peduli dengan hal ini. Berbagai kalangan sejak lama mengecam dan menggugat miskinnya alokasi anggaran pendidikan. Mahkamah Konstitusi (MK) bahkan telah menetapkan bahwa pemerintah telah melanggar konstitusi bila tidak mengalokasikan dana 20 persen.
Masalahnya Mahkamah Konstitusi hanya memiliki wewenang untuk menilai legal-tidaknya kebijakan anggaran tersebut. Tetapi lembaga itu tidak memiliki hak untuk memberi tindakan atau sanksi. Alhasil, pemerintah tetap keukeuh dengan keputusannya.
Pemerintah bukan tanpa alibi ketika menjawab berbagai macam gugatan dan kritikan.
Alasannya selalu sama, negara tidak memiliki anggaran yang cukup. Masih ada sejumlah sektor kebutuhan non-pendidikan yang juga harus diperhatikan. Alasan klasik ini dibumbui retorika dan janji untuk tetap mengupayakan anggaran pendidikan secara bertahap, sehingga mencapai target seperti yang diwajibkan undang-undang.
Namun, alasan pemerintah terkesan mengada-ada. Minimnya alokasi anggaran lebih disebabkan oleh rendahnya itikad politik untuk menempatkan pengembangan sektor pendidikan sebagai prioritas utama. Banyak pengamat menilai ini terjadi karena pemerintah tidak memiliki visi yang jelas dalam mengelola pendidikan.
Sebenarnya, kita masih bisa berharap kepada peran DPR, sebab APBN membutuhkan persetujuan lembaga ini. Namun ternyata parlemen tidak bertindak apa-apa dan seakan tak berdaya. Hingar - bingar kalkulasi politis pragmatis parlemen selalu mengamini usulan APBN pemerintah. Itu berarti DPR gagal menjalankan fungsi dan peran intermediasinya.
Mereka hanya bisa garang bila keputusan dan kebijakan pemerintah merongrong kepentingannya sendiri atau kepentingan parpol yang menjadi basis kekuasaannya. Mereka baru menggeliat dan berani unjuk gigi ketika ada wacana reshuffle kabinet. Tetapi, bila kebijakan itu menyangkut kepentingan rakyat banyak, suara dan nyali parlemen melempem.
Jadi, ketika kita menganggap minimnya anggaran untuk sektor pendidikan sebagai sebuah krisis, maka kita secara tidak langsung menegaskan bahwa elit politik, baik pemerintah maupun parlemen, juga sedang berada dalam krisis. Gerogotan lingkaran krisis ini tentu akan membuat bangsa ini tidak bisa berkembang ke arah yang lebih baik.
Pemberdayaan Kapital
Keprihatian terhadap rendahnya APBN untuk sektor pendidikan sebenarnya muncul dari kesadaran bahwa sektor pendidikan, dalam takaran tertentu, merupakan modal atau kapital. Bagaimana ini bisa dijelaskan?
Dari perspektif normatif, seperti dikatakan John Dewey, pendidikan merupakan keniscayaan hidup (necessity of life). Sebab, ketika struktur masyarakat semakin berkembang dan kompleks, kebutuhan akan pengetahuan dan pemberdayaan manusia ikut meningkat. Pendidikan menjadi sarana untuk membarui, memperkaya, serta mengembangkan kualitas diri baik secara kognitif maupun afektif.
Dalam perspektif ekonomis, peran sentral pendidikan merujuk pada dua hal. Pertama, sektor pendidikan mampu menyediakan, dalam tuturan Habermas, tenaga kerja refleksif, seperti ilmuwan, pemikir, guru, intelektual, dan peneliti.
Mereka memang bukan termasuk tenaga kerja yang digunakan untuk tujuan meningkatkan produktivitas kerja yang langsung. Namun, pada era globalisasi ini mereka merupakan bagian dari lingkaran ekonomi, sebab negara atau perusahaan benar-benar membutuhkan mereka. Tenaga kerja refleksif memang tidak produktif kalau dilihat dari aspek produksi langsung nilai lebih.
Namun, mereka memberi dampak berantai (net effect) terhadap produksi nilai lebih sesuai dengan bidang yang digeluti masing-masing. Kedua, sektor pendidikan bisa menyediakan tenaga produktif terlatih, misalnya, untuk tenaga kerja langsung bagi pabrik-pabrik, perusahaan pemroses makanan, otomotif, tekstil dan juga berbagai jenis perusahaan jasa.
Skill dan kemampuan mereka akan memberikan nilai lebih atau nilai produktif langsung kepada perusahaan. Mereka inilah yang merealisasikan apa yang telah dirintis dan dihasilkan oleh tenaga kerja reflektif. Jadi, peran pengetahuan dan pemberdayaan sumber daya manusia itu sangat penting. Kemajuan sebuah negara, salah satunya sangat ditentukan oleh mutu pengelolan sektor pendidikan.
Oleh karena itu, pemerintah harus mulai berpikir untuk mengorganisir dan menata secara sistematis sistem pendidikan kita. Ini menjadi tuntutan niscaya sebab pengorganisasian dan ekspansi sistem pendidikan yang ditata secara sistematis dan berkualitas akan memproduksi informasi, teknologi, organisasi, dan sumber daya manusia yang mumpuni.
Dalam konteks ini, pendidikan sebagai kapital atau sumber daya negara harus diberdayakan. Penataan dimulai dengan mengalokasikan anggaran minimal 20 persen dari total APBN/APBD.
Pemerintah hendaknya menetapkan sektor pendidikan sebagai sektor yang sedang krisis. Bagi masyarakat tuntutannya adalah terus mendesak elit politik, baik pemerintah maupun DPR, agar memiliki sense of cricis, sehingga nurani mereka tergerak dan mau membebaskan sektor pendidikan dari keterperangkapan krisis.
KabarIndonesia - Beberapa waktu lalu, reaksi pro-kontra muncul ketika DPR menyetujui alokasi dana untuk sektor pendidikan sebesar Rp 48 triliun atau sekitar 12 persen dari total APBN 2008. Itu berarti tidak ada penambahan anggaran signifikan bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pemerintahan SBY-Kalla, misalnya, hanya menganggarkan dana pendidikan dalam APBN 2005 sebesar 8,1 persen, APBN 2006 besarnya 10,6 persen, APBN 2007 sebesar 11,8 persen. Padahal, Undang-Undang Dasar 1945 dan UU No. 20/ 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) mengamanatkan anggaran untuk sektor pendidikan minimal 20 persen dari total APBN/APBD. Dengan anggaran 12% tahun ini berarti pemerintah masih memiliki utang untuk memenuhi defisit anggaran tersebut.
Dua pertanyaan penting patut kita ajukan di sini. Mengapa defisit anggaran sektor pendidikan selalu terjadi dari tahun ke tahun? Mengapa jumlah anggaran yang minim itu selalu diributkan banyak orang? Pertanyaan ini berangkat dari dan bersentuhan dengan dua hal. Pertama, krisis political-will pemerintah dan parlemen. Kedua, keprihatinan terhadap defisit anggaran muncul dari kesadaran akan urgensi pendidikan.
Lingkaran Krisis
Alokasi 12 persen APBN tersebut menjerumuskan sektor pendidikan kita ke dalam lingkaran krisis yang terus berlanjut. Banyak kalangan menilai bahwa pengalokasian anggaran yang tidak memadai akan berakibat langsung pada managemen pengelolaan pendidikan yang tidak bermutu. Mengapa? Peran anggaran itu begitu sentral dan krusial. Betapa tidak, anggaran pasti erat bersangkut paut dengan gaji, pelatihan, pengembangan kualitas guru, penyediaan buku-buku teks bagi para murid, pembangunan gedung sekolah serta sarana penunjang belajar mengajar lainnya.
Ini semua tentu menjadi faktor penting yang menentukan mutu dan kualitas pendidikan. Sayangnya, pemerintah tidak peduli dengan hal ini. Berbagai kalangan sejak lama mengecam dan menggugat miskinnya alokasi anggaran pendidikan. Mahkamah Konstitusi (MK) bahkan telah menetapkan bahwa pemerintah telah melanggar konstitusi bila tidak mengalokasikan dana 20 persen.
Masalahnya Mahkamah Konstitusi hanya memiliki wewenang untuk menilai legal-tidaknya kebijakan anggaran tersebut. Tetapi lembaga itu tidak memiliki hak untuk memberi tindakan atau sanksi. Alhasil, pemerintah tetap keukeuh dengan keputusannya.
Pemerintah bukan tanpa alibi ketika menjawab berbagai macam gugatan dan kritikan.
Alasannya selalu sama, negara tidak memiliki anggaran yang cukup. Masih ada sejumlah sektor kebutuhan non-pendidikan yang juga harus diperhatikan. Alasan klasik ini dibumbui retorika dan janji untuk tetap mengupayakan anggaran pendidikan secara bertahap, sehingga mencapai target seperti yang diwajibkan undang-undang.
Namun, alasan pemerintah terkesan mengada-ada. Minimnya alokasi anggaran lebih disebabkan oleh rendahnya itikad politik untuk menempatkan pengembangan sektor pendidikan sebagai prioritas utama. Banyak pengamat menilai ini terjadi karena pemerintah tidak memiliki visi yang jelas dalam mengelola pendidikan.
Sebenarnya, kita masih bisa berharap kepada peran DPR, sebab APBN membutuhkan persetujuan lembaga ini. Namun ternyata parlemen tidak bertindak apa-apa dan seakan tak berdaya. Hingar - bingar kalkulasi politis pragmatis parlemen selalu mengamini usulan APBN pemerintah. Itu berarti DPR gagal menjalankan fungsi dan peran intermediasinya.
Mereka hanya bisa garang bila keputusan dan kebijakan pemerintah merongrong kepentingannya sendiri atau kepentingan parpol yang menjadi basis kekuasaannya. Mereka baru menggeliat dan berani unjuk gigi ketika ada wacana reshuffle kabinet. Tetapi, bila kebijakan itu menyangkut kepentingan rakyat banyak, suara dan nyali parlemen melempem.
Jadi, ketika kita menganggap minimnya anggaran untuk sektor pendidikan sebagai sebuah krisis, maka kita secara tidak langsung menegaskan bahwa elit politik, baik pemerintah maupun parlemen, juga sedang berada dalam krisis. Gerogotan lingkaran krisis ini tentu akan membuat bangsa ini tidak bisa berkembang ke arah yang lebih baik.
Pemberdayaan Kapital
Keprihatian terhadap rendahnya APBN untuk sektor pendidikan sebenarnya muncul dari kesadaran bahwa sektor pendidikan, dalam takaran tertentu, merupakan modal atau kapital. Bagaimana ini bisa dijelaskan?
Dari perspektif normatif, seperti dikatakan John Dewey, pendidikan merupakan keniscayaan hidup (necessity of life). Sebab, ketika struktur masyarakat semakin berkembang dan kompleks, kebutuhan akan pengetahuan dan pemberdayaan manusia ikut meningkat. Pendidikan menjadi sarana untuk membarui, memperkaya, serta mengembangkan kualitas diri baik secara kognitif maupun afektif.
Dalam perspektif ekonomis, peran sentral pendidikan merujuk pada dua hal. Pertama, sektor pendidikan mampu menyediakan, dalam tuturan Habermas, tenaga kerja refleksif, seperti ilmuwan, pemikir, guru, intelektual, dan peneliti.
Mereka memang bukan termasuk tenaga kerja yang digunakan untuk tujuan meningkatkan produktivitas kerja yang langsung. Namun, pada era globalisasi ini mereka merupakan bagian dari lingkaran ekonomi, sebab negara atau perusahaan benar-benar membutuhkan mereka. Tenaga kerja refleksif memang tidak produktif kalau dilihat dari aspek produksi langsung nilai lebih.
Namun, mereka memberi dampak berantai (net effect) terhadap produksi nilai lebih sesuai dengan bidang yang digeluti masing-masing. Kedua, sektor pendidikan bisa menyediakan tenaga produktif terlatih, misalnya, untuk tenaga kerja langsung bagi pabrik-pabrik, perusahaan pemroses makanan, otomotif, tekstil dan juga berbagai jenis perusahaan jasa.
Skill dan kemampuan mereka akan memberikan nilai lebih atau nilai produktif langsung kepada perusahaan. Mereka inilah yang merealisasikan apa yang telah dirintis dan dihasilkan oleh tenaga kerja reflektif. Jadi, peran pengetahuan dan pemberdayaan sumber daya manusia itu sangat penting. Kemajuan sebuah negara, salah satunya sangat ditentukan oleh mutu pengelolan sektor pendidikan.
Oleh karena itu, pemerintah harus mulai berpikir untuk mengorganisir dan menata secara sistematis sistem pendidikan kita. Ini menjadi tuntutan niscaya sebab pengorganisasian dan ekspansi sistem pendidikan yang ditata secara sistematis dan berkualitas akan memproduksi informasi, teknologi, organisasi, dan sumber daya manusia yang mumpuni.
Dalam konteks ini, pendidikan sebagai kapital atau sumber daya negara harus diberdayakan. Penataan dimulai dengan mengalokasikan anggaran minimal 20 persen dari total APBN/APBD.
Pemerintah hendaknya menetapkan sektor pendidikan sebagai sektor yang sedang krisis. Bagi masyarakat tuntutannya adalah terus mendesak elit politik, baik pemerintah maupun DPR, agar memiliki sense of cricis, sehingga nurani mereka tergerak dan mau membebaskan sektor pendidikan dari keterperangkapan krisis.
Rabu, 21 November 2007
Refleksi Menuju Perdamaian
Oleh Abd Moqsith Ghazali
Dalam konteks negara Indonesia, perubahan terhadap perda-perda bernuansa agama itu bukan hanya demi logika agama damai, melainkan juga demi tegaknya konstitusi negara RI. Itu sebabnya, semua pengambil kebijakan di negeri ini perlu bertumpu pada konstitusi tersebut dan bukan kepada doktrin keagamaan eksklusif yang hanya diimani sekelompok umat. Indonesia jelas bukan negara agama, melainkan negara sekuler.
Tanggal 20-23 Oktober 2007, GMIM (Gereja Masehi Injili di Minahasa) bekerja sama dengan MADIA (Masyarakat Dialog Antar-Agama), dan PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia) menyelenggarakan refleksi bersama dan seminar publik tentang "Masa Depan Pluralisme di Indonesia" di Uluindano Tomohon Sulawesi Utara. Forum ini dihadiri para tokoh lintas agama se-kawasan timur Indonesia. Juga menghadirkan sejumlah intelektual dari Jakarta seperti Dr. Ifdhal Kasim (Ketua Komnas HAM), Dr. Luthfi Assyaukanie (Koordinator Jaringan Islam Liberal), Dr. Erick J. Barus (Sekretaris Eksekutif Bidang Maraturia PGI), dan Abd Moqsith Ghazali (Peneliti The WAHID Institute).
Forum tersebut dirancang untuk merefleksikan potret kerukunan umat beragama di Indonesia mutakhir, menganalisa peluang dan tantangan kerja sama agama-agama, dan bagaimana menegakkan pluralisme dan kebebasan beragama (HAM) di Indonesia. Dari situ saya berkesimpulan dilakukannya beberapa langkah membangun damai dan kerukunan beragama di Indonesia. Pertama, melakukan substansialisasi sejumlah doktrin agama yang potensial dibajak untuk kepentingan terorisme dan penindasan. Dalam Islam misalnya kosa kata kafir, murtad, dan musyrik perlu diberi makna kontekstual dan relevan bagi umat Islam Indonesia. Untuk tujuan substansialisasi ajaran tersebut, sesungguhnya ulama terdahulu telah membuat kerangka metodologinya, yaitu ushul fikih. Melalui ushul fikih, sebuah ayat akan diketahui bukan hanya makna literalnya, melainkan juga tafsir kontektualnya (al-tafsir al-siyaqi) serta spirit dasar (maqashid al-syari`ah) yang hendak ditujunya. Telah disadari, jika ayat-ayat perang dalam al-Qur'an dibiarkan tampil dengan makna harafiahnya dan diasingkan dari momen sosial politik yang menyertai kehadirannya, maka peluang terjadinya kekerasan atas nama agama kian terbuka.
Begitu juga, sejumlah ayat dalam Injil yang kerap dipakai untuk meng-ekskomunikasikan umat agama lain hendaknya ditafsir ulang. Misalnya, pernyataan Yesus Kristus, "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku" (Yohanes 14: 16). Di ayat lain disebutkan, "Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita diselamatkan" (Kisah Para Rasul 4: 12). Dari ayat ini muncul sebuah kredo, "tidak ada keselamatan di luar Gereja" dan tidak ada Nabi di luar Gereja". Tidak mau terperangkap dalam eksklusifisme keagamaan, setelah melewati pergumulan panjang dan intensif akhirnya melalui konseli Vatikan II (1962-1965) Gereja Katolik berpendapat bahwa tak tertutup kemungkinan adanya keselamatan di luar Gereja.
Kedua, menerjemahkan kesadaran pluralisme dan multi-kulturalisme ke dalam kurikulum pendidikan agama, mulai dari tingkat bawah hingga perguruan tinggi. Sudah lama ditengarai, sejumlah kurikulum pendidikan agama di lembaga-lembaga pendidikan Indonesia mengandung pandangan keagamaan yang tidak toleran. Jika muatan kurikulum itu tak diperbaharui, maka ia akan menjadi magma yang berbahaya bukan hanya terhadap eksistensi suatu umat terutama yang minoritas, melainkan juga terhadap eksistensi negara bangsa Indonesia. Sudah saatnya Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional dengan melibatkan berbagai pihak yang berkompeten memperbaharui kurikulum pendidikan agama. Muatan kurikulum agama yang diskriminatif dan tidak toleran mesti digantikan dengan yang lebih demokratis dan toleran.
Bukan hanya kurikulum yang harus diperbaiki, melainkan juga buku ajarnya. Buku-buku agama yang menjadi pegangan anak didik mesti mempertimbangkan keragaman masyarakat Indonesia. Jangan sampai buku agama yang beredar di sekolah-sekolah bertentangan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Semua telah maklum bahwa Indonesia tidak hanya ditempati oleh umat Islam, tapi juga umat agama lain. Jenis Islam yang berkembang di Indonesia pun bukan hanya Islam a la MUI, Hizbur Tahrir, FPI, dan MMI, melainkan juga Islam a la NU, JIL, Waktu Telu, dan lain-lain. Indonesia tidak hanya pulau Jawa yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi juga ribuan pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke dengan keaneka-ragaman agama dan budaya para penghuninya. Oleh karena itu, buku-buku keagamaan yang ada di tangan para pelajar mesti diberi visi, semangat, dan konteks keindonesiaan yang plural tersebut.
Ketiga, melakukan conuter legal draft, judicial reviev, uji material terhadap sejumlah regulasi dan peraturan yang bertentangan dengan semangat agama damai dan Pancasila. Sejumlah Perda yang hanya menganak-emaskan satu umat tertentu dan meminggirkan umat lain seharusnya diperiksa dan diubah. KH Abdurrahman Wahid, mantan Presiden RI, menengarai sejumlah undang-undang dan berpuluh Perda bernuansa agama bertabrakan dengan UUD 1945. Dalam konteks negara Indonesia, perubahan terhadap perda-perda bernuansa agama itu bukan hanya demi logika agama damai, melainkan juga demi tegaknya konstitusi negara RI. Itu sebabnya, semua pengambil kebijakan di negeri ini perlu bertumpu pada konstitusi tersebut dan bukan kepada doktrin keagamaan eksklusif yang hanya diimani sekelompok umat. Indonesia jelas bukan negara agama, melainkan negara sekuler.
Keempat, menghidupkan dan mengukuhkan kearifan lokal, setelah sekian lama hancur atau dihancurkan oleh rezim Soeharto. Sebab, tak seluruh konflik bisa diatasi dengan pendekatan politik-keamanan seperti yang dilakukan Orde Baru. Sebagian dari konflik itu ada yang hanya mungkin dilerai dan diatasi dengan pendekatan kultural. Dalam konteks itu, memberdayakan kembali jalur-jalur kebudayaan dan kearifan lokal menjadi penting. Perlu diingat, paket penyelesaian konflik yang dikirim dari Jakarta kerapkali kandas, karena tak memperhitungkan kondisi lokal masyarakat. Solusi dari pemerintah pusat sering tak menyembuhkan tapi hanya meringankan secara sesaat.
Beberapa resep di atas, kiranya perlu dilakukan bagi siapa saja yang menginginkan tegaknya perdamaian abadi di negeri ini.[]
Dalam konteks negara Indonesia, perubahan terhadap perda-perda bernuansa agama itu bukan hanya demi logika agama damai, melainkan juga demi tegaknya konstitusi negara RI. Itu sebabnya, semua pengambil kebijakan di negeri ini perlu bertumpu pada konstitusi tersebut dan bukan kepada doktrin keagamaan eksklusif yang hanya diimani sekelompok umat. Indonesia jelas bukan negara agama, melainkan negara sekuler.
Tanggal 20-23 Oktober 2007, GMIM (Gereja Masehi Injili di Minahasa) bekerja sama dengan MADIA (Masyarakat Dialog Antar-Agama), dan PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia) menyelenggarakan refleksi bersama dan seminar publik tentang "Masa Depan Pluralisme di Indonesia" di Uluindano Tomohon Sulawesi Utara. Forum ini dihadiri para tokoh lintas agama se-kawasan timur Indonesia. Juga menghadirkan sejumlah intelektual dari Jakarta seperti Dr. Ifdhal Kasim (Ketua Komnas HAM), Dr. Luthfi Assyaukanie (Koordinator Jaringan Islam Liberal), Dr. Erick J. Barus (Sekretaris Eksekutif Bidang Maraturia PGI), dan Abd Moqsith Ghazali (Peneliti The WAHID Institute).
Forum tersebut dirancang untuk merefleksikan potret kerukunan umat beragama di Indonesia mutakhir, menganalisa peluang dan tantangan kerja sama agama-agama, dan bagaimana menegakkan pluralisme dan kebebasan beragama (HAM) di Indonesia. Dari situ saya berkesimpulan dilakukannya beberapa langkah membangun damai dan kerukunan beragama di Indonesia. Pertama, melakukan substansialisasi sejumlah doktrin agama yang potensial dibajak untuk kepentingan terorisme dan penindasan. Dalam Islam misalnya kosa kata kafir, murtad, dan musyrik perlu diberi makna kontekstual dan relevan bagi umat Islam Indonesia. Untuk tujuan substansialisasi ajaran tersebut, sesungguhnya ulama terdahulu telah membuat kerangka metodologinya, yaitu ushul fikih. Melalui ushul fikih, sebuah ayat akan diketahui bukan hanya makna literalnya, melainkan juga tafsir kontektualnya (al-tafsir al-siyaqi) serta spirit dasar (maqashid al-syari`ah) yang hendak ditujunya. Telah disadari, jika ayat-ayat perang dalam al-Qur'an dibiarkan tampil dengan makna harafiahnya dan diasingkan dari momen sosial politik yang menyertai kehadirannya, maka peluang terjadinya kekerasan atas nama agama kian terbuka.
Begitu juga, sejumlah ayat dalam Injil yang kerap dipakai untuk meng-ekskomunikasikan umat agama lain hendaknya ditafsir ulang. Misalnya, pernyataan Yesus Kristus, "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku" (Yohanes 14: 16). Di ayat lain disebutkan, "Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita diselamatkan" (Kisah Para Rasul 4: 12). Dari ayat ini muncul sebuah kredo, "tidak ada keselamatan di luar Gereja" dan tidak ada Nabi di luar Gereja". Tidak mau terperangkap dalam eksklusifisme keagamaan, setelah melewati pergumulan panjang dan intensif akhirnya melalui konseli Vatikan II (1962-1965) Gereja Katolik berpendapat bahwa tak tertutup kemungkinan adanya keselamatan di luar Gereja.
Kedua, menerjemahkan kesadaran pluralisme dan multi-kulturalisme ke dalam kurikulum pendidikan agama, mulai dari tingkat bawah hingga perguruan tinggi. Sudah lama ditengarai, sejumlah kurikulum pendidikan agama di lembaga-lembaga pendidikan Indonesia mengandung pandangan keagamaan yang tidak toleran. Jika muatan kurikulum itu tak diperbaharui, maka ia akan menjadi magma yang berbahaya bukan hanya terhadap eksistensi suatu umat terutama yang minoritas, melainkan juga terhadap eksistensi negara bangsa Indonesia. Sudah saatnya Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional dengan melibatkan berbagai pihak yang berkompeten memperbaharui kurikulum pendidikan agama. Muatan kurikulum agama yang diskriminatif dan tidak toleran mesti digantikan dengan yang lebih demokratis dan toleran.
Bukan hanya kurikulum yang harus diperbaiki, melainkan juga buku ajarnya. Buku-buku agama yang menjadi pegangan anak didik mesti mempertimbangkan keragaman masyarakat Indonesia. Jangan sampai buku agama yang beredar di sekolah-sekolah bertentangan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Semua telah maklum bahwa Indonesia tidak hanya ditempati oleh umat Islam, tapi juga umat agama lain. Jenis Islam yang berkembang di Indonesia pun bukan hanya Islam a la MUI, Hizbur Tahrir, FPI, dan MMI, melainkan juga Islam a la NU, JIL, Waktu Telu, dan lain-lain. Indonesia tidak hanya pulau Jawa yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi juga ribuan pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke dengan keaneka-ragaman agama dan budaya para penghuninya. Oleh karena itu, buku-buku keagamaan yang ada di tangan para pelajar mesti diberi visi, semangat, dan konteks keindonesiaan yang plural tersebut.
Ketiga, melakukan conuter legal draft, judicial reviev, uji material terhadap sejumlah regulasi dan peraturan yang bertentangan dengan semangat agama damai dan Pancasila. Sejumlah Perda yang hanya menganak-emaskan satu umat tertentu dan meminggirkan umat lain seharusnya diperiksa dan diubah. KH Abdurrahman Wahid, mantan Presiden RI, menengarai sejumlah undang-undang dan berpuluh Perda bernuansa agama bertabrakan dengan UUD 1945. Dalam konteks negara Indonesia, perubahan terhadap perda-perda bernuansa agama itu bukan hanya demi logika agama damai, melainkan juga demi tegaknya konstitusi negara RI. Itu sebabnya, semua pengambil kebijakan di negeri ini perlu bertumpu pada konstitusi tersebut dan bukan kepada doktrin keagamaan eksklusif yang hanya diimani sekelompok umat. Indonesia jelas bukan negara agama, melainkan negara sekuler.
Keempat, menghidupkan dan mengukuhkan kearifan lokal, setelah sekian lama hancur atau dihancurkan oleh rezim Soeharto. Sebab, tak seluruh konflik bisa diatasi dengan pendekatan politik-keamanan seperti yang dilakukan Orde Baru. Sebagian dari konflik itu ada yang hanya mungkin dilerai dan diatasi dengan pendekatan kultural. Dalam konteks itu, memberdayakan kembali jalur-jalur kebudayaan dan kearifan lokal menjadi penting. Perlu diingat, paket penyelesaian konflik yang dikirim dari Jakarta kerapkali kandas, karena tak memperhitungkan kondisi lokal masyarakat. Solusi dari pemerintah pusat sering tak menyembuhkan tapi hanya meringankan secara sesaat.
Beberapa resep di atas, kiranya perlu dilakukan bagi siapa saja yang menginginkan tegaknya perdamaian abadi di negeri ini.[]
Aspek Sosiologis Kelompok Sempalan
Oleh Novriantoni
Bruinessen berpendapat, selama dialog antara ortodoksi kalangan mainstream dan gerakan sempalan itu masih dapat berlangsung, fenomena ini akan tetap berfungsi positif. Terputusnya komunikasi dan makin terasingnya mereka justru mengandung marabahaya
Fatwa dan 10 kriteria aliran sesat yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia Selasa (6/11) lalu mungkin tidak akan banyak membantu kita untuk memahami dan mengatasi kemunculan kelompok-kelompok agama yang sering dicap sesat. Penjara pun tak akan membuat jera jika keyakinan baru sudah tertanam begitu kokoh di dalam sanubari mereka.
Karena itu, daripada terus berfantasi akan sirna dan tidak akan munculnya lagi aliran sesat di bumi Indonesia lewat fatwa ataupun aksi massa, ada baiknya kita memahami akar masalah kemunculan kelompok seperti Lia Eden, al-Qiyadah al-Islamiyyah, dan sejenisnya dalam ekspresi keberagamaan kita. Untuk keperluan ini, 10 kriteria aliran sesat Majelis Ulama Indonesia tidak akan membuat ilmu kita bertambah.
Di tahun 1992, Martin van Bruinessen menjelaskan latar belakang sosio-kultural kemunculan “kelompok-kelompok sempalan Islam” (istilah yang lebih netral) di Indonesia Jurnal Ulumul Qur'an vol. III no. 1. Ahli Islam asal Belanda itu masuk ke jantung kelompok-kelompok sempalan yang pernah dilarang atau sekurang-kurangnya diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia.
Objek studinya sangat luas, tapi tetap dibarengi klasifikasi yang cukup ketat dan jelas. Ada Islam Jamaah, Ahmadiyah Qadian, DI/TII, Mujahidin Warsidi (Lampung), Syi'ah, Baha'i, kelompok Inkarus Sunnah, Darul Arqam, Jamaah Imran, gerakan Usroh, aliran-aliran tasawwuf berfaham wahdatul wujud, Tarekat Mufarridiyah, dan gerakan Bantaqiyah (Aceh). Itulah kelompok-kelompok yang dianggap sempalan dan sesat di masa itu.
Meski agak out of date karena belum membahas kelompok baru yang kini sedang hangat diperbincangkan, beberapa kesimpulan Bruinessen tetap masih cukup relevan dan menarik untuk disimak:
Pertama-tama, di luar stigma negatif yang selalu dialamatkan pada mereka, menurut Bruinessen beberapa kelompok sempalan yang dicap sesat itu sering kali dapat memenuhi fungsi keluarga bagi para pengikutnya. Kehadiran komunitas “keluarga baru” ini bisa amat didambakan anggotanya, terutama ketika mereka mengalami alienasi sosial akibat proses urbanisasi dan merenggangnya hubungan mereka dengan keluarga asal.
Agar dapat berfungsi sebagai komunitas keluarga, jumlah anggota kelompok biasanya kecil saja, sehingga mereka bisa saling kenal. Pada aspek ini, kalangan mainstream Islam tidak perlu terlalu resah akan berkembangnya kelompok sempalan dalam jumlah besar. Studi Bruinessen menunjukkan bahwa aliran-aliran baru seperti ini hampir selalu bersifat eksklusif (menghindar dari hubungan dengan umat lainnya) dan gnostik (mengklaim punya ajaran khusus yang tidak dimengerti kaum awam), serta kerap menerapkan sistem bai'at antara pimpinan dan pengikutnya.
Poin ini sedikit banyak menjelaskan mengapa begitu banyak pengikut aliran-aliran baru seperti al-Qiyadah yang berasal dari kalangan mahasiswa. Kondisi alienasi yang mungkin mereka alami akibat perubahan situasi dan lingkungan baru yang mereka rasakan, boleh jadi membuat mereka kehilangan pegangan.
Mahasiswa, kata Bruinessen, terutama yang berasal dari kota kecil atau desa, yang hidup di sebuah lingkungan kota yang serba baru dan aneh bagi mereka, merasa diberi perlindungan dan rasa aman oleh komunitas baru yang membuat mereka merasa at home. Peran ini tidak lagi dapat dimainkan organisasi agama besar, justeru karena yang diperlukan adalah hubungan intim dalam sebuah komunitas kecil yang terpisah dari masyarakat/umat yang lebih luas.
Lalu perlukah mereka dijauhi, difatwa atau digebuki? Bruinessen berpendapat, selama dialog antara ortodoksi kalangan mainstream dan gerakan sempalan itu masih dapat berlangsung, fenomena ini akan tetap berfungsi positif. Terputusnya komunikasi dan makin terasingnya mereka justru mengandung marabahaya. Kalau ortodoksi tidak responsif dan komunikatif dan hanya bereaksi dengan melarang-larang (atau diam saja), ortodoksi sendiri justru bisa berubah menjadi salah satu sebab penyimpangan "ekstrim" ini.
Bruinessen berpendapat, selama dialog antara ortodoksi kalangan mainstream dan gerakan sempalan itu masih dapat berlangsung, fenomena ini akan tetap berfungsi positif. Terputusnya komunikasi dan makin terasingnya mereka justru mengandung marabahaya
Fatwa dan 10 kriteria aliran sesat yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia Selasa (6/11) lalu mungkin tidak akan banyak membantu kita untuk memahami dan mengatasi kemunculan kelompok-kelompok agama yang sering dicap sesat. Penjara pun tak akan membuat jera jika keyakinan baru sudah tertanam begitu kokoh di dalam sanubari mereka.
Karena itu, daripada terus berfantasi akan sirna dan tidak akan munculnya lagi aliran sesat di bumi Indonesia lewat fatwa ataupun aksi massa, ada baiknya kita memahami akar masalah kemunculan kelompok seperti Lia Eden, al-Qiyadah al-Islamiyyah, dan sejenisnya dalam ekspresi keberagamaan kita. Untuk keperluan ini, 10 kriteria aliran sesat Majelis Ulama Indonesia tidak akan membuat ilmu kita bertambah.
Di tahun 1992, Martin van Bruinessen menjelaskan latar belakang sosio-kultural kemunculan “kelompok-kelompok sempalan Islam” (istilah yang lebih netral) di Indonesia Jurnal Ulumul Qur'an vol. III no. 1. Ahli Islam asal Belanda itu masuk ke jantung kelompok-kelompok sempalan yang pernah dilarang atau sekurang-kurangnya diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia.
Objek studinya sangat luas, tapi tetap dibarengi klasifikasi yang cukup ketat dan jelas. Ada Islam Jamaah, Ahmadiyah Qadian, DI/TII, Mujahidin Warsidi (Lampung), Syi'ah, Baha'i, kelompok Inkarus Sunnah, Darul Arqam, Jamaah Imran, gerakan Usroh, aliran-aliran tasawwuf berfaham wahdatul wujud, Tarekat Mufarridiyah, dan gerakan Bantaqiyah (Aceh). Itulah kelompok-kelompok yang dianggap sempalan dan sesat di masa itu.
Meski agak out of date karena belum membahas kelompok baru yang kini sedang hangat diperbincangkan, beberapa kesimpulan Bruinessen tetap masih cukup relevan dan menarik untuk disimak:
Pertama-tama, di luar stigma negatif yang selalu dialamatkan pada mereka, menurut Bruinessen beberapa kelompok sempalan yang dicap sesat itu sering kali dapat memenuhi fungsi keluarga bagi para pengikutnya. Kehadiran komunitas “keluarga baru” ini bisa amat didambakan anggotanya, terutama ketika mereka mengalami alienasi sosial akibat proses urbanisasi dan merenggangnya hubungan mereka dengan keluarga asal.
Agar dapat berfungsi sebagai komunitas keluarga, jumlah anggota kelompok biasanya kecil saja, sehingga mereka bisa saling kenal. Pada aspek ini, kalangan mainstream Islam tidak perlu terlalu resah akan berkembangnya kelompok sempalan dalam jumlah besar. Studi Bruinessen menunjukkan bahwa aliran-aliran baru seperti ini hampir selalu bersifat eksklusif (menghindar dari hubungan dengan umat lainnya) dan gnostik (mengklaim punya ajaran khusus yang tidak dimengerti kaum awam), serta kerap menerapkan sistem bai'at antara pimpinan dan pengikutnya.
Poin ini sedikit banyak menjelaskan mengapa begitu banyak pengikut aliran-aliran baru seperti al-Qiyadah yang berasal dari kalangan mahasiswa. Kondisi alienasi yang mungkin mereka alami akibat perubahan situasi dan lingkungan baru yang mereka rasakan, boleh jadi membuat mereka kehilangan pegangan.
Mahasiswa, kata Bruinessen, terutama yang berasal dari kota kecil atau desa, yang hidup di sebuah lingkungan kota yang serba baru dan aneh bagi mereka, merasa diberi perlindungan dan rasa aman oleh komunitas baru yang membuat mereka merasa at home. Peran ini tidak lagi dapat dimainkan organisasi agama besar, justeru karena yang diperlukan adalah hubungan intim dalam sebuah komunitas kecil yang terpisah dari masyarakat/umat yang lebih luas.
Lalu perlukah mereka dijauhi, difatwa atau digebuki? Bruinessen berpendapat, selama dialog antara ortodoksi kalangan mainstream dan gerakan sempalan itu masih dapat berlangsung, fenomena ini akan tetap berfungsi positif. Terputusnya komunikasi dan makin terasingnya mereka justru mengandung marabahaya. Kalau ortodoksi tidak responsif dan komunikatif dan hanya bereaksi dengan melarang-larang (atau diam saja), ortodoksi sendiri justru bisa berubah menjadi salah satu sebab penyimpangan "ekstrim" ini.
Takfir Minimalis al-Ghazali
Oleh Saidiman
Melalui lima ta’wil yang ditawarkan oleh al-Ghazali, Kiai Husein menarik kesimpulan bahwa sesungguhnya al-Ghazali sedang mengkampanyekan gagasan pluralisme, inklusivisme, dan liberalisme. Lima ta’wil tersebut tak lain adalah sebentuk penghargaan kepada semua orang apapun latar belakang ideologis dan sosiologisnya.
Tadarus Ramadan Jaringan Islam Liberal (JIL) “Mengaji Pemikiran al-Ghazali” sesi kedua (25/9) membahas buku Fayshal al-Tafriqah Bayna al-Islam wa al-Zandaqah. Sesi ini mengundang KH. Husein Muhammad, Nanang Tahqiq, dan Novriantoni Kahar sebagai pembicara. Tadarus dipandu oleh Mohamad Guntur Romli.
Setelah sesi sebelumnya mengurai pemikiran al-Ghazali seputar kritikan al-Ghazali terhadap beberapa masalah dalam debat filsafat, melalui buku Tahafut al-Falasifah, sesi yang dihadiri sekitar seratus peserta ini lebih banyak bicara tentang konteks dan fenomena pengkafiran yang dilakukan oleh al-Ghazali. Pertanyaan besar yang ingin diajukan dalam diskusi ini adalah motivasi apa yang mendorong al-Ghazali dalam melakukan pengkafiran terutama terhadap tiga masalah dalam filsafat? Pertanyaan lanjutannya adalah, sejauhmana pengkafiran yang dilakukan oleh al-Ghazali berpengaruh terhadap fenomena umat Islam saat ini yang begitu mudah terjebak ke dalam proses takfir semacam itu?
Nanang Tahqiq memulai presentasinya dengan mencoba memberikan konteks terhadap gagasan-gagasan al-Ghazali. Menurut Tahqiq, masa di mana al-Ghazali hidup adalah masa yang serba sulit. Saat itu umat Islam berada dalam ancaman disintegrasi yang demikian menyedihkan. Masing-masing kelompok Islam berusaha tampil meraih simpati dengan cara merebut legitimasi teologis atas kelompok mereka. Akibatnya, pengkafiran tidak kuasa dihindarkan. Tahqiq menyebut saat itu sangat lumrah didapati kelompok Hanbali mengafirkan Asy’ari demikian pula sebaliknya. Kelompok Asy’ari juga menyulut kebencian dengan mengkafirkan kelompok Mu’tazila, demikian sebaliknya.
Dengan kondisi pengkafiran yang begitu lumrah semacam ini, al-Ghazali tampil sebagai sosok yang moderat dengan hanya mengkafirkan tiga hal dalam filsafat: qadim-nya alam; Tuhan tidak mengetahui yang partikular (juz’iyyah); dan tiadanya kebangkitan jasmani. Selebihnya, menurut Tahqiq, al-Ghazali tidak lagi mengkafirkan apa-apa. Pada posisi ini, bagi Tahqiq, sebetulnya al-Ghazali ingin menawarkan alternatif bagi tradisi pengkafiran yang begitu akut saat itu. Al-Ghazali tentu punya banyak kelemahan dalam proses pengkafiran ketiga hal di atas, tetapi setidaknya ia memberi contoh bentuk pengkafiran yang tidak membabi-buta sebagaimana yang dilakukan oleh umat Islam lainnya.
Dalam buku Faisyal Tafriqah, al-Ghazali menyatakan bahwa sikap kafir-mengkafirkan umumnya disebabkan oleh perbedaan pendirian mazhab atau perbedaan cara pandang dengan kelompok lain yang menjadi kompetitornya, bukan karena argumentasi-argumentasi yang bertanggungjawab. Itulah sebabnya al-Ghazali memberikan batasan yang ketat terhadap proses pengkafiran. Pengakfiran hanya mungkin dilakukan oleh seorang ahli, pun hanya menyangkut soal-soal yang paling mendasar.
Melanjutkan tesis yang telah dibangun oleh Nanang Tahqiq, KH. Husein Muhammad mencoba memperjelas posisi al-Ghazali yang menurut dia banyak disalahpahami oleh para pengkritiknya. Kiai Husein melihat bahwa al-Ghazali adalah sosok yang kontroversial justru karena kedalaman ide dan keluasan jelajah intelektualnya. Terlalu banyak orang salah dalam menilai al-Ghazali justru karena pembacaannya yang parsial, tanpa mencoba melihat al-Ghazali secara utuh. Kiai Husein menolak pembacaan parsial tersebut tanpa melihat bangunan metodologinya. Al-Ghazali memang tampak mengajukan pemikiran yang ta’arudh (kotradiktif), tadhadud (berlainan), hirah (membingungkan), taraddud (ragu-ragu), dan jam’ wa farq (seolah-olah utuh tapi retak), tetapi yang sesungguhnya terjadi adalah sebuah penjelajahan intelektual yang sangat kaya. Tak heran, jika umat Islam menganggapnya sebagai manusia Islam teragung setelah Nabi Muhammad.
Mengutip Maurice Bouyge, Kiai Husein menyatakan bahwa buku al-Tafriqa ditulis dalam masa al-Ghazali mengucilkan diri (488-499). Pada masa-masa inilah sejumlah buku ditulis oleh al-Ghazali: Ihya Ulum al Din, al Munqidz min al Dhalal, al Mustasyfa, Misykat al Anwar, dan lainnya.
Menurut Kiai Husein, fenomena pengkafiran yang begitu marak saat itu juga menimpa al-Ghazali sendiri. Pemikiran-pemikirannya banyak diserang oleh pelbagai kalangan. Kelompok agamawan yang paling banyak menyerangnya adalah para ahli fiqh, ahli kalam (teolog), dan ahli hadits. Sejak awal, al-Ghazali selalu merespon para pengkritiknya dengan cara membuat buku. Kritikan-kritikan semacam itu pulalah yang melatarbelakangi al-Ghazali menghadirkan karya al Tafriqa tersebut.
Dalam buku itu, al-Ghazali menyebut para pengkritiknya sebagai orang-orang fanatik (al muta’asshib) yang sedang marah. Al-Ghazali begitu risau bahwa mereka yang begitu mudah terlibat dalam pengkafiran semata-mata adalah karena buah dari hasutan orang lain. Hasud, iri, dan dengki adalah penyakit yang sangat berbahaya dan begitu sulit disembuhkan. Al-Ghazali menegaskan: “orang yang menganggap kafir orang yang menolak atau menentang doktrin Asy’ari, Mu’tazilah, Hanbali, atau mazhab lain adalah sebuah kebodohan yang nyata.” Pada kesempatan lain, al-Ghazali mengkritik para teolog (ahli kalam) yang mengkafirkan masyarakat umum hanya karena mereka tidak mengerti dalil-dalil teologi. Al-Ghazali menyatakan bahwa ada banyak cara untuk mengetahui Tuhan. Dan surga tidak hanya dimonopoli oleh kaum teolog. Atas dasar itulah maka, bagi Kiai Husein, sesungguhnya al-Ghazali adalah seorang pemikir bebas yang mengusung ide-ide kebebasan.
Lalu siapakah yang bisa disebut kafir? Pertanyaan ini harus dijawab dengan hati-hati. Al-Ghazali dengan tegas melarang orang yang hendak mengkafirkan tetapi hatinya masih diliputi rasa dengki, iri, dan kotor. Sejumlah syarat harus diajukan sebelum orang bisa sampai kepada kesimpulan untuk mengkafirkan: hati yang bersih, terlatih, jiwa yang senantiasa berzikir kepada Tuhan, pikiran yang cerdas dan kritis, serta taat menjalankan hukum-hukum Tuhan.
Menurut al-Ghazali, Islam menetapkan kriteria kafir sebagai orang yang mendustakan Nabi Muhammad SAW. Sementara orang mukmin adalah mereka yang membenarkan semua yang disampaikan Nabi Muhammad. Pernyataan sederhana di atas sekilas tampak meneguhkan pendapat sebagian kalangan yang memandang al-Ghazali sebagai seorang eksklusif dengan mengkafirkan kelompok Yahudi, Kristen, dan agama-agama lain yang tidak membenarkan Nabi Muhammad. Akan tetapi persoalannya ternyata tidak sesederhana itu. Kata “mendustakan” dan “membenarkan” perlu peninjauan dan penjernihan lebih jauh. Pertanyaannya, siapakah sebetulnya yang memiliki klaim paling sahih mengenai risalah atau kebenaran Nabi?
Pertanyaan ini, menurut Kiai Husein, dijawab oleh al-Ghazali dengan menawarkan teori ta’wil (hermeneutika). Sebuah berita dinyatakan benar atau salah berdasarkan lima pendekatan: wujud dzaty (wujud hakiki); wujud hissy (wujud yang dapat ditangkap oleh potensi manusia di dalam indera); wujud khayali (khayalan atau angan-angan); wujud aql (rasional); dan wujud syibby (wujud tanpa makna, tanpa bentuk, dan tak ada dalam realitas, melainkan hanya berupa wujud serupa dan metaforis). Sejauh sebuah berita bisa dita’wil dalam lima pendekatan itu, maka tidak ada alasan untuk pengkafiran di sana.
Melalui lima ta’wil yang ditawarkan oleh al-Ghazali, Kiai Husein menarik kesimpulan bahwa sesungguhnya al-Ghazali sedang mengkampanyekan gagasan pluralisme, inklusivisme, dan liberalisme. Lima ta’wil tersebut tak lain adalah sebentuk penghargaan kepada semua orang apapun latar belakang ideologis dan sosiologisnya. Al-Ghazali tampak begitu risau dengan fenomena pengkafiran.
Berangkat dari fakta yang sama, Novriantoni memiliki pemikiran yang agak berbeda dengan pembicara sebelumnya. Melalui makalah yang diberi judul Al-Ghazali, Toleransi Setengah Hati, Novri (panggilan akrab Novriantoni) menyoroti fakta pengkafiran dan penghalalan darah yang telah dilakukan oleh al-Ghazali.
Kendati begitu, al-Ghazali, menurut pandangan Novri, memang menawarkan sebuah sikap toleransi, namun toleransi yang dibangun adalah toleransi terbatas. Novri kemudian mengurai pokok-pokok pikiran al-Ghazali yang terdapat dalam Fayshalut Tafriqah ke dalam sepuluh point: (1) al-Ghazali menganjurkan pembacanya untuk tidak gegabah dalam menjatuhkan vonis kafir; (2) konsep kenabian sebagai mediator syariat memegang posisi yang sangat sentral, karena itu definisi iman dan kafir terkait secara langsung dengan kepercayaan terhadap risalah Nabi; (3) adanya pembedaan ateisme-mutlak dan ateisme-terbatas; (4) toleransi yang dibangun oleh al-Ghazali, kalaupun benar, hanyalah toleransi internal umat Islam, bukan untuk orang-orang di luar Islam; (5) al-Ghazali mengakui konsep rahmat Allah yang luas; (6) al-Ghazali berpendapat bahwa ahli-ahli kalam yang mengkafirkan kalangan awam hanya karena mereka tidak memahami prinsip-prinsip teologi adalah keterlaluan; (7) al-Ghazali memaknai term “yang selamat” sebagai mereka yang sama sekali tidak masuk neraka, sementara “yang celaka” adalah mereka yang benar-benar kekal di dalam neraka; (8) dalam buku ini al-Ghazali tampak sedikit toleran terhadap Syi’ah; (9) keniscayaan ta’wil dan kaedah-kaedahnya; dan (10) untuk menghindar dari vonis “kafir,” al-Ghazali memperkenalkan konsep “sesat” dan “bid’ah.”
Menurut Novri, jika dalam Fayshal Tafriqah al-Ghazali tampak sedikit toleran, tapi di dalam buku lain seperti Fadla’ihul Bathiniyyah dan Tahafut al Falasifa, al-Ghazali muncul sebagai sosok yang sama sekali tidak toleran, bahkan cenderung menyebar permusuhan. Novri menunjukkan bagaimana al-Ghazali memilih sikap yang begitu keras terhadap kelompok Batini-Ismaili yang juga merupakan musuh ideologis khalifah al-Mustdzhir Billah. Novri mengutip pernyataan al-Ghazali: “Singkat kata, perlakuan terhadap mereka haruslah seperti perlakuan terhadap orang-orang murtad menyangkut aspek nyawanya, nikahnya, sembelihannya, transaksinya, dan ibadahnya. Arwah mereka tidak layak diperlakukan, bahkan sebagaimana orang kafir tulen.” Lebih jauh al-Ghazali menegaskan: “Untuk anak-anak, tidak dibunuh karena mereka belum menjadi subjek hukum, dan hukumnya akan saya jelaskan selanjutnya. Tapi perempuan-perempuan, bila mereka terang-terangan mengaku berkeyakinan dengan apa yang sudah kita tetapkan sebagai kekafiran itu, maka bagi kita hukumnya sama dengan hukum murtad yang harus dibunuh berdasar pemahaman umum kita tentang hadis berikut: “Yang mengganti agamanya, bunuhlah ia!”
Di atas semua kontroversi dan ketidakkonsistenan yang melekat kepada gagasan-gagasan yang diusungnya, semua pembicara sepakat pada satu hal, yakni bahwa al-Ghazali tetap adalah seorang besar yang menulis karya-karya besar dalam jumlah besar. Karena kebesarannya pulalah yang menyebabkan umat Islam terlalu sulit untuk keluar dari penjara dogmatis yang telah dibangunnya. Novriantoni menawarkan gagasan untuk keluar dari penjara al-Ghazali agar kreativitas umat Islam semakin tumbuh. Kiai Husein dan Nanang Tahqiq mengusulkan pembacaan yang lebih kritis dan menyeluruh terhadap al-Ghazali agar konsep dan gagasan yang muncul adalah gagasan yang lebih mencerahkan, ketimbang sisi-sisi gelap yang selama ini menjangkiti umat Islam.[]
Melalui lima ta’wil yang ditawarkan oleh al-Ghazali, Kiai Husein menarik kesimpulan bahwa sesungguhnya al-Ghazali sedang mengkampanyekan gagasan pluralisme, inklusivisme, dan liberalisme. Lima ta’wil tersebut tak lain adalah sebentuk penghargaan kepada semua orang apapun latar belakang ideologis dan sosiologisnya.
Tadarus Ramadan Jaringan Islam Liberal (JIL) “Mengaji Pemikiran al-Ghazali” sesi kedua (25/9) membahas buku Fayshal al-Tafriqah Bayna al-Islam wa al-Zandaqah. Sesi ini mengundang KH. Husein Muhammad, Nanang Tahqiq, dan Novriantoni Kahar sebagai pembicara. Tadarus dipandu oleh Mohamad Guntur Romli.
Setelah sesi sebelumnya mengurai pemikiran al-Ghazali seputar kritikan al-Ghazali terhadap beberapa masalah dalam debat filsafat, melalui buku Tahafut al-Falasifah, sesi yang dihadiri sekitar seratus peserta ini lebih banyak bicara tentang konteks dan fenomena pengkafiran yang dilakukan oleh al-Ghazali. Pertanyaan besar yang ingin diajukan dalam diskusi ini adalah motivasi apa yang mendorong al-Ghazali dalam melakukan pengkafiran terutama terhadap tiga masalah dalam filsafat? Pertanyaan lanjutannya adalah, sejauhmana pengkafiran yang dilakukan oleh al-Ghazali berpengaruh terhadap fenomena umat Islam saat ini yang begitu mudah terjebak ke dalam proses takfir semacam itu?
Nanang Tahqiq memulai presentasinya dengan mencoba memberikan konteks terhadap gagasan-gagasan al-Ghazali. Menurut Tahqiq, masa di mana al-Ghazali hidup adalah masa yang serba sulit. Saat itu umat Islam berada dalam ancaman disintegrasi yang demikian menyedihkan. Masing-masing kelompok Islam berusaha tampil meraih simpati dengan cara merebut legitimasi teologis atas kelompok mereka. Akibatnya, pengkafiran tidak kuasa dihindarkan. Tahqiq menyebut saat itu sangat lumrah didapati kelompok Hanbali mengafirkan Asy’ari demikian pula sebaliknya. Kelompok Asy’ari juga menyulut kebencian dengan mengkafirkan kelompok Mu’tazila, demikian sebaliknya.
Dengan kondisi pengkafiran yang begitu lumrah semacam ini, al-Ghazali tampil sebagai sosok yang moderat dengan hanya mengkafirkan tiga hal dalam filsafat: qadim-nya alam; Tuhan tidak mengetahui yang partikular (juz’iyyah); dan tiadanya kebangkitan jasmani. Selebihnya, menurut Tahqiq, al-Ghazali tidak lagi mengkafirkan apa-apa. Pada posisi ini, bagi Tahqiq, sebetulnya al-Ghazali ingin menawarkan alternatif bagi tradisi pengkafiran yang begitu akut saat itu. Al-Ghazali tentu punya banyak kelemahan dalam proses pengkafiran ketiga hal di atas, tetapi setidaknya ia memberi contoh bentuk pengkafiran yang tidak membabi-buta sebagaimana yang dilakukan oleh umat Islam lainnya.
Dalam buku Faisyal Tafriqah, al-Ghazali menyatakan bahwa sikap kafir-mengkafirkan umumnya disebabkan oleh perbedaan pendirian mazhab atau perbedaan cara pandang dengan kelompok lain yang menjadi kompetitornya, bukan karena argumentasi-argumentasi yang bertanggungjawab. Itulah sebabnya al-Ghazali memberikan batasan yang ketat terhadap proses pengkafiran. Pengakfiran hanya mungkin dilakukan oleh seorang ahli, pun hanya menyangkut soal-soal yang paling mendasar.
Melanjutkan tesis yang telah dibangun oleh Nanang Tahqiq, KH. Husein Muhammad mencoba memperjelas posisi al-Ghazali yang menurut dia banyak disalahpahami oleh para pengkritiknya. Kiai Husein melihat bahwa al-Ghazali adalah sosok yang kontroversial justru karena kedalaman ide dan keluasan jelajah intelektualnya. Terlalu banyak orang salah dalam menilai al-Ghazali justru karena pembacaannya yang parsial, tanpa mencoba melihat al-Ghazali secara utuh. Kiai Husein menolak pembacaan parsial tersebut tanpa melihat bangunan metodologinya. Al-Ghazali memang tampak mengajukan pemikiran yang ta’arudh (kotradiktif), tadhadud (berlainan), hirah (membingungkan), taraddud (ragu-ragu), dan jam’ wa farq (seolah-olah utuh tapi retak), tetapi yang sesungguhnya terjadi adalah sebuah penjelajahan intelektual yang sangat kaya. Tak heran, jika umat Islam menganggapnya sebagai manusia Islam teragung setelah Nabi Muhammad.
Mengutip Maurice Bouyge, Kiai Husein menyatakan bahwa buku al-Tafriqa ditulis dalam masa al-Ghazali mengucilkan diri (488-499). Pada masa-masa inilah sejumlah buku ditulis oleh al-Ghazali: Ihya Ulum al Din, al Munqidz min al Dhalal, al Mustasyfa, Misykat al Anwar, dan lainnya.
Menurut Kiai Husein, fenomena pengkafiran yang begitu marak saat itu juga menimpa al-Ghazali sendiri. Pemikiran-pemikirannya banyak diserang oleh pelbagai kalangan. Kelompok agamawan yang paling banyak menyerangnya adalah para ahli fiqh, ahli kalam (teolog), dan ahli hadits. Sejak awal, al-Ghazali selalu merespon para pengkritiknya dengan cara membuat buku. Kritikan-kritikan semacam itu pulalah yang melatarbelakangi al-Ghazali menghadirkan karya al Tafriqa tersebut.
Dalam buku itu, al-Ghazali menyebut para pengkritiknya sebagai orang-orang fanatik (al muta’asshib) yang sedang marah. Al-Ghazali begitu risau bahwa mereka yang begitu mudah terlibat dalam pengkafiran semata-mata adalah karena buah dari hasutan orang lain. Hasud, iri, dan dengki adalah penyakit yang sangat berbahaya dan begitu sulit disembuhkan. Al-Ghazali menegaskan: “orang yang menganggap kafir orang yang menolak atau menentang doktrin Asy’ari, Mu’tazilah, Hanbali, atau mazhab lain adalah sebuah kebodohan yang nyata.” Pada kesempatan lain, al-Ghazali mengkritik para teolog (ahli kalam) yang mengkafirkan masyarakat umum hanya karena mereka tidak mengerti dalil-dalil teologi. Al-Ghazali menyatakan bahwa ada banyak cara untuk mengetahui Tuhan. Dan surga tidak hanya dimonopoli oleh kaum teolog. Atas dasar itulah maka, bagi Kiai Husein, sesungguhnya al-Ghazali adalah seorang pemikir bebas yang mengusung ide-ide kebebasan.
Lalu siapakah yang bisa disebut kafir? Pertanyaan ini harus dijawab dengan hati-hati. Al-Ghazali dengan tegas melarang orang yang hendak mengkafirkan tetapi hatinya masih diliputi rasa dengki, iri, dan kotor. Sejumlah syarat harus diajukan sebelum orang bisa sampai kepada kesimpulan untuk mengkafirkan: hati yang bersih, terlatih, jiwa yang senantiasa berzikir kepada Tuhan, pikiran yang cerdas dan kritis, serta taat menjalankan hukum-hukum Tuhan.
Menurut al-Ghazali, Islam menetapkan kriteria kafir sebagai orang yang mendustakan Nabi Muhammad SAW. Sementara orang mukmin adalah mereka yang membenarkan semua yang disampaikan Nabi Muhammad. Pernyataan sederhana di atas sekilas tampak meneguhkan pendapat sebagian kalangan yang memandang al-Ghazali sebagai seorang eksklusif dengan mengkafirkan kelompok Yahudi, Kristen, dan agama-agama lain yang tidak membenarkan Nabi Muhammad. Akan tetapi persoalannya ternyata tidak sesederhana itu. Kata “mendustakan” dan “membenarkan” perlu peninjauan dan penjernihan lebih jauh. Pertanyaannya, siapakah sebetulnya yang memiliki klaim paling sahih mengenai risalah atau kebenaran Nabi?
Pertanyaan ini, menurut Kiai Husein, dijawab oleh al-Ghazali dengan menawarkan teori ta’wil (hermeneutika). Sebuah berita dinyatakan benar atau salah berdasarkan lima pendekatan: wujud dzaty (wujud hakiki); wujud hissy (wujud yang dapat ditangkap oleh potensi manusia di dalam indera); wujud khayali (khayalan atau angan-angan); wujud aql (rasional); dan wujud syibby (wujud tanpa makna, tanpa bentuk, dan tak ada dalam realitas, melainkan hanya berupa wujud serupa dan metaforis). Sejauh sebuah berita bisa dita’wil dalam lima pendekatan itu, maka tidak ada alasan untuk pengkafiran di sana.
Melalui lima ta’wil yang ditawarkan oleh al-Ghazali, Kiai Husein menarik kesimpulan bahwa sesungguhnya al-Ghazali sedang mengkampanyekan gagasan pluralisme, inklusivisme, dan liberalisme. Lima ta’wil tersebut tak lain adalah sebentuk penghargaan kepada semua orang apapun latar belakang ideologis dan sosiologisnya. Al-Ghazali tampak begitu risau dengan fenomena pengkafiran.
Berangkat dari fakta yang sama, Novriantoni memiliki pemikiran yang agak berbeda dengan pembicara sebelumnya. Melalui makalah yang diberi judul Al-Ghazali, Toleransi Setengah Hati, Novri (panggilan akrab Novriantoni) menyoroti fakta pengkafiran dan penghalalan darah yang telah dilakukan oleh al-Ghazali.
Kendati begitu, al-Ghazali, menurut pandangan Novri, memang menawarkan sebuah sikap toleransi, namun toleransi yang dibangun adalah toleransi terbatas. Novri kemudian mengurai pokok-pokok pikiran al-Ghazali yang terdapat dalam Fayshalut Tafriqah ke dalam sepuluh point: (1) al-Ghazali menganjurkan pembacanya untuk tidak gegabah dalam menjatuhkan vonis kafir; (2) konsep kenabian sebagai mediator syariat memegang posisi yang sangat sentral, karena itu definisi iman dan kafir terkait secara langsung dengan kepercayaan terhadap risalah Nabi; (3) adanya pembedaan ateisme-mutlak dan ateisme-terbatas; (4) toleransi yang dibangun oleh al-Ghazali, kalaupun benar, hanyalah toleransi internal umat Islam, bukan untuk orang-orang di luar Islam; (5) al-Ghazali mengakui konsep rahmat Allah yang luas; (6) al-Ghazali berpendapat bahwa ahli-ahli kalam yang mengkafirkan kalangan awam hanya karena mereka tidak memahami prinsip-prinsip teologi adalah keterlaluan; (7) al-Ghazali memaknai term “yang selamat” sebagai mereka yang sama sekali tidak masuk neraka, sementara “yang celaka” adalah mereka yang benar-benar kekal di dalam neraka; (8) dalam buku ini al-Ghazali tampak sedikit toleran terhadap Syi’ah; (9) keniscayaan ta’wil dan kaedah-kaedahnya; dan (10) untuk menghindar dari vonis “kafir,” al-Ghazali memperkenalkan konsep “sesat” dan “bid’ah.”
Menurut Novri, jika dalam Fayshal Tafriqah al-Ghazali tampak sedikit toleran, tapi di dalam buku lain seperti Fadla’ihul Bathiniyyah dan Tahafut al Falasifa, al-Ghazali muncul sebagai sosok yang sama sekali tidak toleran, bahkan cenderung menyebar permusuhan. Novri menunjukkan bagaimana al-Ghazali memilih sikap yang begitu keras terhadap kelompok Batini-Ismaili yang juga merupakan musuh ideologis khalifah al-Mustdzhir Billah. Novri mengutip pernyataan al-Ghazali: “Singkat kata, perlakuan terhadap mereka haruslah seperti perlakuan terhadap orang-orang murtad menyangkut aspek nyawanya, nikahnya, sembelihannya, transaksinya, dan ibadahnya. Arwah mereka tidak layak diperlakukan, bahkan sebagaimana orang kafir tulen.” Lebih jauh al-Ghazali menegaskan: “Untuk anak-anak, tidak dibunuh karena mereka belum menjadi subjek hukum, dan hukumnya akan saya jelaskan selanjutnya. Tapi perempuan-perempuan, bila mereka terang-terangan mengaku berkeyakinan dengan apa yang sudah kita tetapkan sebagai kekafiran itu, maka bagi kita hukumnya sama dengan hukum murtad yang harus dibunuh berdasar pemahaman umum kita tentang hadis berikut: “Yang mengganti agamanya, bunuhlah ia!”
Di atas semua kontroversi dan ketidakkonsistenan yang melekat kepada gagasan-gagasan yang diusungnya, semua pembicara sepakat pada satu hal, yakni bahwa al-Ghazali tetap adalah seorang besar yang menulis karya-karya besar dalam jumlah besar. Karena kebesarannya pulalah yang menyebabkan umat Islam terlalu sulit untuk keluar dari penjara dogmatis yang telah dibangunnya. Novriantoni menawarkan gagasan untuk keluar dari penjara al-Ghazali agar kreativitas umat Islam semakin tumbuh. Kiai Husein dan Nanang Tahqiq mengusulkan pembacaan yang lebih kritis dan menyeluruh terhadap al-Ghazali agar konsep dan gagasan yang muncul adalah gagasan yang lebih mencerahkan, ketimbang sisi-sisi gelap yang selama ini menjangkiti umat Islam.[]
Ketika Hidup Menuntut Pendidikan
Oleh : Sadri Sutrisna
KabarIndonesia - Di kala para orang tua sibuk mencarikan anak mereka playgroup, TK, ataupun SD, di saat itu pula mereka telah menaruh harapan besar terhadap masa depan anak mereka kelak. Biasanya pada saat itu, sebagian besar orang tua akan memilih sekolah yag terbaik untuk anak mereka. Tidak peduli kaya atau miskin, terpandang atau tidak, mampu atau tidak mampu, mereka akan berusaha.
Waktu demi waktu terus berlalu bak air yang mengalir mengikuti arah arus sungai. Tahap demi tahap pembelajaran di sekolah terus berkembang hingga tiba saatnya ujian akhir. Setelah itu, anak mereka kembali harus memnuntut pendidikan yang lebih tinggi yaitu SMP. Tapi apakah anak-anak yang sudah beranjak dewasa itu masih mampu memasuki sekolah terbaik seperti sekolah sebelumnya ketika banyak penghalang menantang di depan mata? Salah satunya adalah nilai UN, test sebelum masuk jenjang sekolah yang baru, biaya sumbangan pembangunan sekolah, SPP yang semakin tinggi, dll.
Jika sudah seperti ini, para orang tua akan merasa menyesal. Dan tidak jarang dari mereka menyalahkan anak mereka akibat salah satu penyebab tersebut. Tapi apakah mereka pernah berpikir bahwa anak pun tak ingin yang demikian. Akan tetapi, ada juga dari mereka yang berpikiran 'masa bodoh'. Sekolah yah sekolah. Kalau tak lulus masuk sekolah swasta. Susah amat.
Inilah yang menjadi suatu permasalahan besar dalam dunia pendidikan di Indonesia khususnya daerah-daerah yang jauh dari ruang jangkau pemerintah. Sedangkan nan jauh di sana, pemerintah sering menyorakkan, dan menggalakkan program wajib belajar 9 tahun. Jangankan melanjutkan pendidikan sampai tingjkat SMA dan Perguruan Tinggi, melanjutkan pendidikan di tingkat SMP saja masih sangat terbatas. Belum lagi sarana dan prasarana pendidikan yang tidak merata di seluruh wilayah Indonesia. Sebagai masyarakat, kita semua mengerti keadaan yang tidak memungkinkan untuk semua rencana pembanguna dilakukan secara serentak dan merata. Butuh perancangan yang bagus, waktu, dan dana yang diberikan secara bergilir dari satu daerah ke daerah lainnya. Tapi sampai kapan implementasi dari semua itu akan terlaksana di saat perkembangan kehidupan yang semakin menuntut pendidikan.
Pihak pemerintah pun sering menggalakkan program pemberantasan kemiskinan, buta aksara, dsb. Akan tetapi, akankah semua itu dapat berhasil jika tidak ada dasar yang kuat dari masyarakat yang ingin dirubah itu sendiri?
KabarIndonesia - Di kala para orang tua sibuk mencarikan anak mereka playgroup, TK, ataupun SD, di saat itu pula mereka telah menaruh harapan besar terhadap masa depan anak mereka kelak. Biasanya pada saat itu, sebagian besar orang tua akan memilih sekolah yag terbaik untuk anak mereka. Tidak peduli kaya atau miskin, terpandang atau tidak, mampu atau tidak mampu, mereka akan berusaha.
Waktu demi waktu terus berlalu bak air yang mengalir mengikuti arah arus sungai. Tahap demi tahap pembelajaran di sekolah terus berkembang hingga tiba saatnya ujian akhir. Setelah itu, anak mereka kembali harus memnuntut pendidikan yang lebih tinggi yaitu SMP. Tapi apakah anak-anak yang sudah beranjak dewasa itu masih mampu memasuki sekolah terbaik seperti sekolah sebelumnya ketika banyak penghalang menantang di depan mata? Salah satunya adalah nilai UN, test sebelum masuk jenjang sekolah yang baru, biaya sumbangan pembangunan sekolah, SPP yang semakin tinggi, dll.
Jika sudah seperti ini, para orang tua akan merasa menyesal. Dan tidak jarang dari mereka menyalahkan anak mereka akibat salah satu penyebab tersebut. Tapi apakah mereka pernah berpikir bahwa anak pun tak ingin yang demikian. Akan tetapi, ada juga dari mereka yang berpikiran 'masa bodoh'. Sekolah yah sekolah. Kalau tak lulus masuk sekolah swasta. Susah amat.
Inilah yang menjadi suatu permasalahan besar dalam dunia pendidikan di Indonesia khususnya daerah-daerah yang jauh dari ruang jangkau pemerintah. Sedangkan nan jauh di sana, pemerintah sering menyorakkan, dan menggalakkan program wajib belajar 9 tahun. Jangankan melanjutkan pendidikan sampai tingjkat SMA dan Perguruan Tinggi, melanjutkan pendidikan di tingkat SMP saja masih sangat terbatas. Belum lagi sarana dan prasarana pendidikan yang tidak merata di seluruh wilayah Indonesia. Sebagai masyarakat, kita semua mengerti keadaan yang tidak memungkinkan untuk semua rencana pembanguna dilakukan secara serentak dan merata. Butuh perancangan yang bagus, waktu, dan dana yang diberikan secara bergilir dari satu daerah ke daerah lainnya. Tapi sampai kapan implementasi dari semua itu akan terlaksana di saat perkembangan kehidupan yang semakin menuntut pendidikan.
Pihak pemerintah pun sering menggalakkan program pemberantasan kemiskinan, buta aksara, dsb. Akan tetapi, akankah semua itu dapat berhasil jika tidak ada dasar yang kuat dari masyarakat yang ingin dirubah itu sendiri?
Selasa, 20 November 2007
Makna Esoteris Haji
Oleh: Euis Daryati
Haji bukan hanya bentuk ibadah ritual keagamaan belaka, namun ia pun memiliki muatan politis yang harus dimanfaatkan seoptimal mungkin oleh pelaksananya. Konsep bara’ah min al-Musyrikin (berlepas tangan dari kaum musyrik) yang ditekankan dalam al-Quran merupakan bukti akan ungkapan di atas. Oleh karena itu, imam Khomeini ra menyatakan bahwa haji adalah peribadatan yang bernuansa politik. Sebagaimana dalam hukum Islam, haji tanpa bara’ah dihukumi buntung dan tidak sempurna, maka benar jika dinyatakan bahwa ia adalah ritus peribadatan bernuansa politik.
Haji merupakan salah satu bentuk peribadatan terpenting dalam Islam. Secara tekstual, begitu banyak riwayat (hadis) yang menjelaskan tentang keutamaan haji, baik yang berasal dari kitab-kitab standar kalangan Ahlusunah maupun Syiah. Di sisi lain, terdapat banyak juga riwayat-riwayat yang berkenaan dengan ancaman bagi pribadi yang telah mampu melaksanakannya namun ia tidak melakukannya, dan meremehkan pelaksanaan ibadah haji.
Dalam banyak hadis disebutkan, al-Quran memiliki makna zahir dan batin. Sehingga dari situ dapat dipastikan bahwa semua ayat-ayat yang tercantum di dalamnya pun terkandung muatan zahir dan batin pula. Lantaran hukum haji juga tertera dalam beberapa ayat-ayat al-Quran, oleh karenanya, dapat diambil konklusi bahwa sebagaimana haji memiliki tata cara zahir yang jelas -seperti yang telah diajarkan oleh Rasulullah saww- haji pun memiliki pemaknaan batin yang sangat berpengaruh pada kesempurnaan batin manusia. Alhasil, ibadah haji bukan hanya sekedar melibatkan jasad zahir dan lahiriah manusia belaka, namun ia juga melibatkan batin manusia. Sehingga dari situ kesempurnaan zahir dan batin manusia seusai melaksanakan ibadah haji akan terwujud dengan sempurna. Ini jika ditinjau dari sisi ritual keagamaannya.
Sedang di sisi lain, haji bukan hanya bentuk ibadah ritual keagamaan belaka, namun ia pun memiliki muatan politis yang harus dimanfaatkan seoptimal mungkin oleh pelaksananya. Konsep bara’ah min al-Musyrikin (berlepas tangan dari kaum musyrik) yang ditekankan dalam al-Quran merupakan bukti akan ungkapan di atas. Oleh karena itu, imam Khomeyni ra menyatakan bahwa haji adalah peribadatan yang bernuansa politik. Sebagaimana dalam hukum Islam, haji tanpa bara’ah dihukumi buntung dan tidak sempurna, maka benar jika dinyatakan bahwa ia adalah ritus peribadatan bernuansa politik.
Untuk menyingkap lebih jauh tentang makna esoteris (batin) haji, berikut akan dinukil ungkapan irfani al-Imam sayyid as-Sajidin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib as dari kitab Mustadrak al-Wasa’il karya Muhaddits an-Nuri tentang rahasia haji yang dinarasikan secara dialogis. Dalam narasi itu, dituturkan bahwa Imam As-sajjad ketika berwasiat terhadap salah seorang sahabat beliau bernama As-syibli yang baru saja usai melaksanakan ibadah haji, menuturkan:
As-sajjad (as) : Wahai As-syibli, apakah engkau telah menunaikan ibadah haji?
As-syibli : Ya, kami telah menunaikan ibadah haji, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as): Apakah engkau telah beranjak di Miqat (tempat yang ditentukan untuk memakai baju ihram)? Sudahkah engkau lepaskan pakaian berjahit lalu mengenakan pakaian Ihram? Dan apakah engkau telah mandi?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah niat-mu ketika beranjak di Miqat adalah untuk melepaskan pakaian dosa, lalu menggantinya dengan pakaian takwa?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as): Apakah ketika engkau melepaskan pakaian berjahit, niatmu adalah untuk melepaskan baju riya (ingin pujian manusia), bermuka dua dan segala perbuatan yang menjadi penyebab keraguan?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau melaksanakan mandi dan membersihkan badanmu, niatmu adalah untuk bertaubat dari segala salah dan dosa, lalu mensucikan dan membersihkan dirimu dengan cahaya taubat?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau seperti itu, berarti engkau tidak melaksanakan miqat, tidak melepaskan pakaian berjahit dan tidak mandi. Sekarang katakanlah, apakah engkau telah membersihkan dirimu, memakai baju ihram dan berniat untuk melakukan haji?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau membersihkan badanmu dan menghilangkan daki dan kotoran dari badanmu, niatmu adalah melalui taubat, engkau pun turut hilangkan segala kotoran (batin) dari dirimu?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasululullah!?
As-sajjad (as) : Apakah sewaktu engkau berniat untuk pergi ke haji dan mengadakan perjanjian dengan Allah, niatmu adalah untuk membatalkan semua perjanjian dengan selain-Nya, lalu melepaskan diri dari segala ikatan dengan selain-Nya?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau seperti itu, berarti engkau belum membersihkan diri, berihram dan belum berjanji untuk berhaji. Sebenarnya apakah engkau telah masuk miqat? Apakah engkau telah melaksanakan salat dua rakaat dan telah mengucapkan talbiyah?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau masuk ke miqat, niatmu adalah untuk menziarahi-Nya?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau melaksanakan salat ihram, niatmu adalah melalui salat tadi –yang masuk kategori ibadah yang paling agung- engkau akan mendekatkan diri kepada-Nya?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau mengucapkan talbiyah, niatmu adalah hanya dalam ketaatan-Nya, engkau menggunakan lisan-mu dan tidak menggunakannya dalam kemaksiatan?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau begitu engkau belum masuk miqat, belum melaksanakan salat ihram dan belum mengucapkan talbiyah. Apakah engkau telah masuk Haram (pelataran suci)? Apakah engkau telah melihat Ka’bah dan melaksanakan salat?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau masuk Haram, niatmu adalah untuk mengharamkan dirimu dari ghibah (mengumpat) dari setiap pribadi muslim?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau sampai di Makkah, engkau mengingat bahwa engkau sedang menghadap-Nya?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau begitu engkau belum pergi ke Haram, belum melihat Ka’bah dan belum melaksanakan salat. Apakah engkau telah memutari Ka’bah? Apakah engkau telah mengusap semua sudut (rukun) Ka’bah? Apakah engkau telah melaksanakan sa’i (lari-lari kecil) dari Shafa menuju Marwah?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau melaksanakan sa’i, niatmu untuk berlari menuju Tuhan dan hidup di bawah naungan dan lindungan keamanan-Nya, dan Dia yang mengetahui rahasia menyaksikan hal ini?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!
As-sajjad (as) : Kalau begitu engkau belum melaksanakan thawaf, belum menyentuh semua sudut Ka’bah dan belum melaksanakan sa’i. Apakah engkau telah menyentuh dan bersalaman dengan Hajar Aswad? Apakah engkau telah berdiri di Maqam Ibrahim (bekas tapak kaki Ibrahim as) dan melaksanakan salat dua rakaat di tempat tersebut
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
Tiba-tiba Imam Sajjad as berteriak sampai-sampai kita merasa takut dengan teriakannya yang seakan dapat memisahkan ruh dari badan hingga mati. Lalu beliau (As-sajjad) berkata: “Ah, barangsiapa yang bersalaman (menyentuh) dengan Hajar Aswad berarti ia telah bersalaman dengan Allah swt. Wahai manusia lemah, sadarlah, jangan-jangan engkau telah menghancurkan kehormatan perihal yang besar ini. Melakukan dosa dengan tangan yang telah engkau berikan kepada Allah swt, dan melalui penentanganmu terhadap-Nya engkau telah menyia-nyiakan pahala dan balasan-Nya”.
Lantas imam as berkata lagi: “Apakah niatmu ketika mendirikan salat di Maqam Ibrahim adalah supaya engkau seperti Ibrahim, dan melalui salat itu berarti engkau telah memoles hidung Setan dengan tanah?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau seperti itu berarti engkau belum bersalaman dengan Hajar Aswad, belum berdiri di Maqam Ibrahim dan belum melaksanakan salat. Apakat engkau telah pergi ke sumur Zam-zam dan meminum airnya?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah niatmu ketika itu untuk mentaati-Nya, dan tidak akan menentang-Nya?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau begitu engkau belum pergi ke sumur Zam-zam, dan belum meminum airnya. Apakah engkau telah ber-sa’i antara Shafa dan Marwah?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah niatmu ketika ber-sa’i antara Shafa dan Marwah, adalah untuk memendarkan perasaan pada dirimu antara rasa takut dan pengharapan?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau seperti itu berarti engkau belum ber-sa’i antara Shafa dan Marwah. Lalu apakah engkau telah pergi ke Mina?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah niatmu ketika keluar dari Makkah, lalu pergi menuju Mina, adalah supaya orang-orang aman dari tangan, lisan dan hatimu?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau begitu engkau belum keluar dari Makkah, dan belum pergi ke Mina. Apakah engkau telah wuquf (berdiam diri) di Arafah, dan mendaki ke atas Jabal Rahmah? Apakah engkau telah mendatangi Wadi Numrah? Apakah engkau memohon kepada Allah di Mil dan Hamarat?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika wukuf di Arafah engkau mengetahui bahwa semua pengetahuan dan makrifah berasal dari-Nya, dan berada di sisi-Nya? Apakah engkau mengetahui bahwa keberadaan ada pada tangan-Nya, dan Dia mengetahui semua yang terdapat pada dirimu, baik yang nampak maupun yang tersembunyi?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah niatmu ketika menaiki Jabal Rahmah karena Allah akan memberikan rahmat kepada setiap mukmin lelaki dan perempuan, Dia mencintai setiap muslim lelaki dan perempuan, serta melindungi mereka?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah niatmu ketika di masjid Namrah supaya dirimu mentaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, serta tidak memerintah dan melarang kepada orang lain?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika berhenti di antara dua “tanda” (‘alam) dan masjid Namrah, engkau ingat bahwa semua itu merupakan saksi atas segala ketaatanmu dan senantiasa menjagamu bersama para penjaga Tuhan?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau begitu engkau belum wukuf di Arafah, belum menaiki Jabal Rahmah, belum mengenal masjid Namrah, belum tinggal di Namrah dan belum berdoa. Apakah engkau telah melewati antara dua tanda (alam), dan sebelum melewatinya engkau melaksanakan salat dua rakaat? Apakah engkau telah pergi ke Muzdalifah dan telah mengambil kerikil? Apakah engkau telah pergi ke Masy’aril-Haram?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah !?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau melaksanakan salat (pada malam ke sepuluh) niatmu adalah, bahwa salat ini merupakan salat syukur, karena Dia telah menghilangkan kesulitan darimu dan mendatangkan kemudahan?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika melewati dua ‘alam dimana engkau berusaha supaya tidak melenceng ke arah kanan dan kiri, niatmu adalah melalui hati, lisan dan badanmu supaya dirimu tidak melenceng dari kebenaran?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau mengambil batu dari Muzdalifah, niatmu adalah menjauhkan segala penentangan dan kebodohan dari dirimu. Lalu, mendatangkan setiap ilmu dan amal perbuatan bagi dirimu?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau pergi ke Masy’aril-Haram, niatmu adalah untuk menanamkan pada dirimu rasa sebagaimana orang yang bertakwa dan pribadi yang takut kepada Allah?
As-syibli : Tidak wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau begitu engkau belum melewati diantara dua alam, belum mendirikan salat, belum pergi ke Muzdalifah untuk mengumpulkan batu kerikil dan belum pergi ke Masy’aril Haram. Apakah engkau telah pergi ke Mina? Apakah engkau telah melempar jumrah? Apakah engkau telah mencukur rambutmu? Apakah engkau telah berkorban? Apakah engkau telah salat di masjid Khaif, lalu kembali ke Makkah dan melakukan tawaf?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau telah sampai di Mina dan telah melempar jumrah, niatmu adalah engkau telah sampai ke tujuanmu dan Allah telah memenuhi semua hajatmu?
As-syibli : Tidak wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau melempar jumrah, niatmu adalah untuk melempari Setan dan mengusirnya dari dirimu?
As-syibli : Tidak wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau mencukur rambutmu, niatmu adalah untuk membersihkan dirimu dari segala kotoran dan keburukan, serta melepaskan semua hak-hak orang lain yang ada pada dirimu, seperti ketika engkau baru terlahir dari ibumu dan engkau lepaskan dirimu dari dosa-dosa?
As-syibli : Tidak wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau salat di masjid Khaif, niatmu adalah engkau tidak takut dari sesuatupun kecuali takut dari Allah dan dosa-dosamu, serta tidak akan mengharapkan rahmat kecuali dari-Nya?
As-syibli : Tidak wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau menyembelih binatang korbanmu, niatmu adalah dengan wara’ (keterjagaan) dan ketakwaan engkau sembelih tenggorokan kerakusan dan ketamakan dirimu, dan untuk menghidupkan sunah Ibrahim yang telah mengorbankan anak dan belahan jiwanya?
As-syibli : Tidak wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau kembali ke Makkah dan telah melaksanakan tawaf, niatmu adalah dengan rahmat dan ketaatan kepada-Nya engkau telah kembali serta berpegang erat pada kecintaan-Nya. Dan engkau telah melaksanakan perintah-Nya serta telah dekat kepada-Nya?
As-syibli : Tidak wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau seperti itu engkau belum sampai ke Mina, belum melempar jumrah, belum mencukur rambutmu, belum mendirikan salat di masjid Khaif, belum berkorban, belum melaksanakan thawaf dan belum dekat dengan-Nya. Kembalilah engkau, karena engkau belum menunaikan haji.
Dengan rasa penuh penyesalan, As-syibli menangisi semua kekurangan yang terdapat pada ibadah hajinya, lantas ia pun berjanji akan berusaha untuk mempelajari dan menghayati seluruh rahasia haji, sehingga ia dapat melakukan haji selanjutnya dengan penuh makrifat dan dapat melaksanakan haji yang sebenarnya.
Pungkas kata, sembari bercermin dengan dialog irfani di atas, semoga para calon jamaah haji kita dapat mengaktulisasikan makna batin ibadah haji tadi secara nyata sehingga mampu menunaikannya secara sempurna dan mendapatkan haji mabrur yang diberkahi dan diridhai oleh Allah swt. Amin! [Islam Alternatif]
Haji bukan hanya bentuk ibadah ritual keagamaan belaka, namun ia pun memiliki muatan politis yang harus dimanfaatkan seoptimal mungkin oleh pelaksananya. Konsep bara’ah min al-Musyrikin (berlepas tangan dari kaum musyrik) yang ditekankan dalam al-Quran merupakan bukti akan ungkapan di atas. Oleh karena itu, imam Khomeini ra menyatakan bahwa haji adalah peribadatan yang bernuansa politik. Sebagaimana dalam hukum Islam, haji tanpa bara’ah dihukumi buntung dan tidak sempurna, maka benar jika dinyatakan bahwa ia adalah ritus peribadatan bernuansa politik.
Haji merupakan salah satu bentuk peribadatan terpenting dalam Islam. Secara tekstual, begitu banyak riwayat (hadis) yang menjelaskan tentang keutamaan haji, baik yang berasal dari kitab-kitab standar kalangan Ahlusunah maupun Syiah. Di sisi lain, terdapat banyak juga riwayat-riwayat yang berkenaan dengan ancaman bagi pribadi yang telah mampu melaksanakannya namun ia tidak melakukannya, dan meremehkan pelaksanaan ibadah haji.
Dalam banyak hadis disebutkan, al-Quran memiliki makna zahir dan batin. Sehingga dari situ dapat dipastikan bahwa semua ayat-ayat yang tercantum di dalamnya pun terkandung muatan zahir dan batin pula. Lantaran hukum haji juga tertera dalam beberapa ayat-ayat al-Quran, oleh karenanya, dapat diambil konklusi bahwa sebagaimana haji memiliki tata cara zahir yang jelas -seperti yang telah diajarkan oleh Rasulullah saww- haji pun memiliki pemaknaan batin yang sangat berpengaruh pada kesempurnaan batin manusia. Alhasil, ibadah haji bukan hanya sekedar melibatkan jasad zahir dan lahiriah manusia belaka, namun ia juga melibatkan batin manusia. Sehingga dari situ kesempurnaan zahir dan batin manusia seusai melaksanakan ibadah haji akan terwujud dengan sempurna. Ini jika ditinjau dari sisi ritual keagamaannya.
Sedang di sisi lain, haji bukan hanya bentuk ibadah ritual keagamaan belaka, namun ia pun memiliki muatan politis yang harus dimanfaatkan seoptimal mungkin oleh pelaksananya. Konsep bara’ah min al-Musyrikin (berlepas tangan dari kaum musyrik) yang ditekankan dalam al-Quran merupakan bukti akan ungkapan di atas. Oleh karena itu, imam Khomeyni ra menyatakan bahwa haji adalah peribadatan yang bernuansa politik. Sebagaimana dalam hukum Islam, haji tanpa bara’ah dihukumi buntung dan tidak sempurna, maka benar jika dinyatakan bahwa ia adalah ritus peribadatan bernuansa politik.
Untuk menyingkap lebih jauh tentang makna esoteris (batin) haji, berikut akan dinukil ungkapan irfani al-Imam sayyid as-Sajidin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib as dari kitab Mustadrak al-Wasa’il karya Muhaddits an-Nuri tentang rahasia haji yang dinarasikan secara dialogis. Dalam narasi itu, dituturkan bahwa Imam As-sajjad ketika berwasiat terhadap salah seorang sahabat beliau bernama As-syibli yang baru saja usai melaksanakan ibadah haji, menuturkan:
As-sajjad (as) : Wahai As-syibli, apakah engkau telah menunaikan ibadah haji?
As-syibli : Ya, kami telah menunaikan ibadah haji, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as): Apakah engkau telah beranjak di Miqat (tempat yang ditentukan untuk memakai baju ihram)? Sudahkah engkau lepaskan pakaian berjahit lalu mengenakan pakaian Ihram? Dan apakah engkau telah mandi?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah niat-mu ketika beranjak di Miqat adalah untuk melepaskan pakaian dosa, lalu menggantinya dengan pakaian takwa?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as): Apakah ketika engkau melepaskan pakaian berjahit, niatmu adalah untuk melepaskan baju riya (ingin pujian manusia), bermuka dua dan segala perbuatan yang menjadi penyebab keraguan?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau melaksanakan mandi dan membersihkan badanmu, niatmu adalah untuk bertaubat dari segala salah dan dosa, lalu mensucikan dan membersihkan dirimu dengan cahaya taubat?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau seperti itu, berarti engkau tidak melaksanakan miqat, tidak melepaskan pakaian berjahit dan tidak mandi. Sekarang katakanlah, apakah engkau telah membersihkan dirimu, memakai baju ihram dan berniat untuk melakukan haji?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau membersihkan badanmu dan menghilangkan daki dan kotoran dari badanmu, niatmu adalah melalui taubat, engkau pun turut hilangkan segala kotoran (batin) dari dirimu?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasululullah!?
As-sajjad (as) : Apakah sewaktu engkau berniat untuk pergi ke haji dan mengadakan perjanjian dengan Allah, niatmu adalah untuk membatalkan semua perjanjian dengan selain-Nya, lalu melepaskan diri dari segala ikatan dengan selain-Nya?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau seperti itu, berarti engkau belum membersihkan diri, berihram dan belum berjanji untuk berhaji. Sebenarnya apakah engkau telah masuk miqat? Apakah engkau telah melaksanakan salat dua rakaat dan telah mengucapkan talbiyah?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau masuk ke miqat, niatmu adalah untuk menziarahi-Nya?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau melaksanakan salat ihram, niatmu adalah melalui salat tadi –yang masuk kategori ibadah yang paling agung- engkau akan mendekatkan diri kepada-Nya?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau mengucapkan talbiyah, niatmu adalah hanya dalam ketaatan-Nya, engkau menggunakan lisan-mu dan tidak menggunakannya dalam kemaksiatan?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau begitu engkau belum masuk miqat, belum melaksanakan salat ihram dan belum mengucapkan talbiyah. Apakah engkau telah masuk Haram (pelataran suci)? Apakah engkau telah melihat Ka’bah dan melaksanakan salat?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau masuk Haram, niatmu adalah untuk mengharamkan dirimu dari ghibah (mengumpat) dari setiap pribadi muslim?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau sampai di Makkah, engkau mengingat bahwa engkau sedang menghadap-Nya?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau begitu engkau belum pergi ke Haram, belum melihat Ka’bah dan belum melaksanakan salat. Apakah engkau telah memutari Ka’bah? Apakah engkau telah mengusap semua sudut (rukun) Ka’bah? Apakah engkau telah melaksanakan sa’i (lari-lari kecil) dari Shafa menuju Marwah?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau melaksanakan sa’i, niatmu untuk berlari menuju Tuhan dan hidup di bawah naungan dan lindungan keamanan-Nya, dan Dia yang mengetahui rahasia menyaksikan hal ini?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!
As-sajjad (as) : Kalau begitu engkau belum melaksanakan thawaf, belum menyentuh semua sudut Ka’bah dan belum melaksanakan sa’i. Apakah engkau telah menyentuh dan bersalaman dengan Hajar Aswad? Apakah engkau telah berdiri di Maqam Ibrahim (bekas tapak kaki Ibrahim as) dan melaksanakan salat dua rakaat di tempat tersebut
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
Tiba-tiba Imam Sajjad as berteriak sampai-sampai kita merasa takut dengan teriakannya yang seakan dapat memisahkan ruh dari badan hingga mati. Lalu beliau (As-sajjad) berkata: “Ah, barangsiapa yang bersalaman (menyentuh) dengan Hajar Aswad berarti ia telah bersalaman dengan Allah swt. Wahai manusia lemah, sadarlah, jangan-jangan engkau telah menghancurkan kehormatan perihal yang besar ini. Melakukan dosa dengan tangan yang telah engkau berikan kepada Allah swt, dan melalui penentanganmu terhadap-Nya engkau telah menyia-nyiakan pahala dan balasan-Nya”.
Lantas imam as berkata lagi: “Apakah niatmu ketika mendirikan salat di Maqam Ibrahim adalah supaya engkau seperti Ibrahim, dan melalui salat itu berarti engkau telah memoles hidung Setan dengan tanah?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau seperti itu berarti engkau belum bersalaman dengan Hajar Aswad, belum berdiri di Maqam Ibrahim dan belum melaksanakan salat. Apakat engkau telah pergi ke sumur Zam-zam dan meminum airnya?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah niatmu ketika itu untuk mentaati-Nya, dan tidak akan menentang-Nya?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau begitu engkau belum pergi ke sumur Zam-zam, dan belum meminum airnya. Apakah engkau telah ber-sa’i antara Shafa dan Marwah?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah niatmu ketika ber-sa’i antara Shafa dan Marwah, adalah untuk memendarkan perasaan pada dirimu antara rasa takut dan pengharapan?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau seperti itu berarti engkau belum ber-sa’i antara Shafa dan Marwah. Lalu apakah engkau telah pergi ke Mina?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah niatmu ketika keluar dari Makkah, lalu pergi menuju Mina, adalah supaya orang-orang aman dari tangan, lisan dan hatimu?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau begitu engkau belum keluar dari Makkah, dan belum pergi ke Mina. Apakah engkau telah wuquf (berdiam diri) di Arafah, dan mendaki ke atas Jabal Rahmah? Apakah engkau telah mendatangi Wadi Numrah? Apakah engkau memohon kepada Allah di Mil dan Hamarat?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika wukuf di Arafah engkau mengetahui bahwa semua pengetahuan dan makrifah berasal dari-Nya, dan berada di sisi-Nya? Apakah engkau mengetahui bahwa keberadaan ada pada tangan-Nya, dan Dia mengetahui semua yang terdapat pada dirimu, baik yang nampak maupun yang tersembunyi?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah niatmu ketika menaiki Jabal Rahmah karena Allah akan memberikan rahmat kepada setiap mukmin lelaki dan perempuan, Dia mencintai setiap muslim lelaki dan perempuan, serta melindungi mereka?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah niatmu ketika di masjid Namrah supaya dirimu mentaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, serta tidak memerintah dan melarang kepada orang lain?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika berhenti di antara dua “tanda” (‘alam) dan masjid Namrah, engkau ingat bahwa semua itu merupakan saksi atas segala ketaatanmu dan senantiasa menjagamu bersama para penjaga Tuhan?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau begitu engkau belum wukuf di Arafah, belum menaiki Jabal Rahmah, belum mengenal masjid Namrah, belum tinggal di Namrah dan belum berdoa. Apakah engkau telah melewati antara dua tanda (alam), dan sebelum melewatinya engkau melaksanakan salat dua rakaat? Apakah engkau telah pergi ke Muzdalifah dan telah mengambil kerikil? Apakah engkau telah pergi ke Masy’aril-Haram?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah !?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau melaksanakan salat (pada malam ke sepuluh) niatmu adalah, bahwa salat ini merupakan salat syukur, karena Dia telah menghilangkan kesulitan darimu dan mendatangkan kemudahan?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika melewati dua ‘alam dimana engkau berusaha supaya tidak melenceng ke arah kanan dan kiri, niatmu adalah melalui hati, lisan dan badanmu supaya dirimu tidak melenceng dari kebenaran?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau mengambil batu dari Muzdalifah, niatmu adalah menjauhkan segala penentangan dan kebodohan dari dirimu. Lalu, mendatangkan setiap ilmu dan amal perbuatan bagi dirimu?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau pergi ke Masy’aril-Haram, niatmu adalah untuk menanamkan pada dirimu rasa sebagaimana orang yang bertakwa dan pribadi yang takut kepada Allah?
As-syibli : Tidak wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau begitu engkau belum melewati diantara dua alam, belum mendirikan salat, belum pergi ke Muzdalifah untuk mengumpulkan batu kerikil dan belum pergi ke Masy’aril Haram. Apakah engkau telah pergi ke Mina? Apakah engkau telah melempar jumrah? Apakah engkau telah mencukur rambutmu? Apakah engkau telah berkorban? Apakah engkau telah salat di masjid Khaif, lalu kembali ke Makkah dan melakukan tawaf?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau telah sampai di Mina dan telah melempar jumrah, niatmu adalah engkau telah sampai ke tujuanmu dan Allah telah memenuhi semua hajatmu?
As-syibli : Tidak wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau melempar jumrah, niatmu adalah untuk melempari Setan dan mengusirnya dari dirimu?
As-syibli : Tidak wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau mencukur rambutmu, niatmu adalah untuk membersihkan dirimu dari segala kotoran dan keburukan, serta melepaskan semua hak-hak orang lain yang ada pada dirimu, seperti ketika engkau baru terlahir dari ibumu dan engkau lepaskan dirimu dari dosa-dosa?
As-syibli : Tidak wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau salat di masjid Khaif, niatmu adalah engkau tidak takut dari sesuatupun kecuali takut dari Allah dan dosa-dosamu, serta tidak akan mengharapkan rahmat kecuali dari-Nya?
As-syibli : Tidak wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau menyembelih binatang korbanmu, niatmu adalah dengan wara’ (keterjagaan) dan ketakwaan engkau sembelih tenggorokan kerakusan dan ketamakan dirimu, dan untuk menghidupkan sunah Ibrahim yang telah mengorbankan anak dan belahan jiwanya?
As-syibli : Tidak wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau kembali ke Makkah dan telah melaksanakan tawaf, niatmu adalah dengan rahmat dan ketaatan kepada-Nya engkau telah kembali serta berpegang erat pada kecintaan-Nya. Dan engkau telah melaksanakan perintah-Nya serta telah dekat kepada-Nya?
As-syibli : Tidak wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau seperti itu engkau belum sampai ke Mina, belum melempar jumrah, belum mencukur rambutmu, belum mendirikan salat di masjid Khaif, belum berkorban, belum melaksanakan thawaf dan belum dekat dengan-Nya. Kembalilah engkau, karena engkau belum menunaikan haji.
Dengan rasa penuh penyesalan, As-syibli menangisi semua kekurangan yang terdapat pada ibadah hajinya, lantas ia pun berjanji akan berusaha untuk mempelajari dan menghayati seluruh rahasia haji, sehingga ia dapat melakukan haji selanjutnya dengan penuh makrifat dan dapat melaksanakan haji yang sebenarnya.
Pungkas kata, sembari bercermin dengan dialog irfani di atas, semoga para calon jamaah haji kita dapat mengaktulisasikan makna batin ibadah haji tadi secara nyata sehingga mampu menunaikannya secara sempurna dan mendapatkan haji mabrur yang diberkahi dan diridhai oleh Allah swt. Amin! [Islam Alternatif]
Jumat, 02 November 2007
Menghakimi Aliran Sesat
Saiful Jihad
Masalah label "aliran sesat" bukan kali ini saja terjadi, tidak hanya menimpa Al Qiyadah al Islamiyah sebagaimana yang menjadi "berita" di media massa akhir-akhir ini. Tak lama sepeninggal Rasulullah SAW., muncul tuduhan "sesat" bagi kelompok yang berbeda paham dengan pemegang otoritas negara dan agama.
Mereka, antara lain, yang disebut Khawarij, yaitu golongan dalam pasukan Ali bin Abi Thalib ra dalam Perang Siffin yang menolak gencatan senjata dengan pasukan Mu'awiyah, sehingga mereka pun menentang Ali dan menganggap diri sebagai golongan yang paling benar. Khawarij yang memisahkan diri dari penguasa tersebut kemudian dianggap sesat.
Golongan lain yang juga dianggap sesat oleh penguasa adalah Syiah, golongan yang semula merupakan kelompok politik yang menghendaki Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pengganti Nabi Muhammad SAW, namun kemudian memiliki paham keagamaan yang berbeda dari penguasa (Sunni). Syiah pun menganggap Sunni telah sesat.
Saling menuduh sesat berlanjut pada tahun-tahun ke-120 H ketika Wasil bin Ata' menentang gurunya, Hasan al Basri. "Wasil telah memisahkan diri dari kita," demikian komentar sang guru, sehingga kelompok Wasil dinamai mu'tazilah yang berarti "telah memisahkan diri". Masing-masing menuduh yang lain sesat.
Patut dicatat pula "kesesatan" yang dilakukan Al Halaj di Iraq pada masa Negeri Seribu Satu Malam itu berada di puncak kejayaan di bawah kekuasaan sultan bersama para ulama salaf. "Akulah Tuhan," kata Al Halaj. Karena itu, untuk menebus "kesesatannya" tersebut, sang sufi harus dibunuh. Sejumlah sufi lainnya yang juga menyoal eksistensi Allah, antara lain, Al Farabi dan Ibnu Arabi.
Kasus Indonesia
Jika pada Syawal 1428 H, bertepatan dengan Oktober 2007, di Indonesia muncul kelompok yang dikategorikan sesat oleh otoritas keagamaan -dalam hal ini Majelis Ulama Indonesia (MUI), aparat penegak hukum, dan beberapa organisasi Islam-, tentu itu merupakan pengulangan sejarah kelompok-kelompok pada masa lalu. Tidak hanya pada masa khulafaur rasyidin (Abubakar, Umar, Usman, Ali), Al Halaj, dan lain-lain, melainkan juga pada awal penyebaran Islam di Indonesia, khususnya Jawa.
Wali Songo yang diberi wewenang penuh dalam urusan agama oleh Sultan Demak telah memberi label sesat pada seorang wali yang berseberangan paham dengan mereka, yakni Syekh Siti Jenar. Sebaliknya, Syekh Siti Jenar yang meyakini falsafah manunggaling kawula kalawan gusti menganggap Wali Songo berikut Sultan Demak juga sesat.
MUI, kendati tidak persis sama, bagai mengulang Wali Songo, tidak hanya menyeru pada ajaran Islam dan mencegah kemungkaran, melainkan juga bersama instansi terkait lainnya memberi "labeling" sesat atas paham-paham atau aliran keagamaan Islam.
Setidaknya, selama adanya MUI, terdapat sejumlah aliran yang telah dinyatakan sesat. Mulai Inkar Sunnah yang mengabaikan keabsahan semua hadis Nabi, Aliran Pembaru Isa Bugis yang antara lain mengajarkan bahwa Kakbah adalah kubus berhala yang dikunjungi turis asing setiap tahun, Darul Arqam pimpinan Syekh Ahmad Suhaimi di Malaysia yang mengaku dalam keadaan jaga bertemu Nabi Muhammad SAW, kemudian sang Nabi memberi wirid kepada dirinya.
Label sesat juga diberikan kepada Gerakan Lembaga Kerasulan yang meyakini bahwa Rasulullah Muhammad SAW tetap diutus sampai hari kiamat. Negara Islam Indonesia (NII) Komando Wilayah IX yang menyatakan bahwa Makkah sama dengan Negara Republik Indonesia, tidak menggunakan hukum Islam, warganya kafir. Biar shalat, zakat, puasa, tetap saja amalannya dihapus. Gerakan Ahmadiyah yang mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan rasul terakhir serta punya kitab suci sendiri bernama Tadzkirah.
Selain itu, label sesat diberikan pada Gerakan Baha'i yang dianggap sempalan Syiah. Kemudian, LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) yang mengajarkan bahwa orang di luar kelompok itu kafir. Juga, Gerakan Syiah di Indonesia, gerakan Lia Aminuddin yang mengaku jibril yang menerima wahyu, dan sebagainya.
Mengapa ada aliran baru?
Menurut kami, ada beberapa hal yang kemungkinan menjadi faktor munculnya kelompok-kelompok semacam itu. Pertama, tingkat pemahaman dan pengetahuan keagamaan umat (Islam) dalam masarakat sangat lemah, sehingga mereka dengan mudah dipengaruhi untuk menganut faham/keyakinan yang muncul kemudian. Maraknya organisasi keagamaan, forum khalaqah (diskusi), dakwah yang menggunakan berbagai macam media, ternyata tidak dapat memberikan pembelajaran yang baik dan benar kepada masyarakat. Bahkan media yang ada cenderung mencekoki masyarakat dengan ajaran yang berbau mistik dan klenik.
Kedua, pendidikan dan pengajaran agama yang banyak didengungkan oleh para pemuka agama, ulama, ustadz, muballigh, lebih cenderung pada ajaran yang bersifat formalitas dan simbolik. Seorang dapat dikatakan penganut agama (Islam) kaffah jika ia berjenggot, bersurban, memakai celana yang di atas mata kaki, meneriakkan kalimat “Allahu Akbar”, mendudkung dan memperluangkan aturan yang berlabel “syariat”, dan seterusnya, tetapi kehilangan makna dan subtansi. Shalat yang dilakukan, tidak mampu menjembatani rasa untuk dapat menikmati indahnya berkomunikasi dengan Tuhan, serta tidak dapat mencegah para mushallin untuk tidak berbuat mencaci, memandang dirinya lebih baik dan mulia dari yang lain, menciptakan ketakutan dan kekhawatiran umat dan orang lain, korupsi dan lain sdebagainya, yang pada hakikatnya merupakan bentuk dari perbuatan dosa dan kemungkaran.
Kehausan umat dan individu untuk merasakan indahnya berkomunikasi dengan Khaliq-nya, sementara agama formal yang difahaminya ternyata tidak mampu menjawab kebutuhan tersebut, menjadi salah satu faktor mengapa faham dan aliran yang baru tersebut mendapat respon dari mereka yang kehausan itu. Disisi lain, formalitas ajaran agama yang kehilangan subtansi dan makna, menjadi salah satu alasan dari tokoh penggagas aliran dan faham baru (contoh: Usman Roy di Malang dengan shalat dua bahasa, dengan alasan banyak orang rajin shalat tetapi prilakunya korup).
Jika munculnya aliran baru tersebut, karena faktor di atas, maka siapa yang mesti bertanggungjawab dan “difatwa” salah? Dan bagaimana menyikapinya. Pertanyaan ini penting dan harus dijawab sebelum lebih jauh menebar fatwa sesat. Tidak dapat disangkal, dampak pelabelan yang dibungkus atas nama "fatwa" itu adalah amuk massa terhadap para pemimpin dan pengikut "aliran sesat", yang berakhir pada penangkapan serta hukuman badan. Akhirnya, Islam yang seharusnya menebar damai telah dikotori oleh tangan-tangan umatnya yang kurang memahami ajaran yang dibawa Rasulullah Muhammad SAW.
bukankah kita semua mengetahui metode dakwah Nabi Muhammad bebas dari amuk massa, penangkapan, dan pemenjaraan. Sang Nabi tidak pernah memberi label "sesat" kepada pihak yang mencoba membunuh beliau. Justru, beliau memohon agar Allah membuka mata hati mereka.
Firman Allah dalam Alquran Surat Al Baqarah 256: "Laa ikraaha fid diin" (tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam) dipatuhi sepenuhnya oleh beliau. Sebagaimana diketahui, ayat itu diwahyukan Allah untuk menjawab pertanyaan seseorang kepada Nabi Muhammad SAW. "Saya punya dua anak beragama Nasrani, sedangkan saya muslim. Apakah diperkenankan jika saya memaksa kedua anak itu masuk Islam?" tanya orang tersebut.
Dengan demikian, Islam melarang umatnya untuk main paksa. Pendekatan dalam dakwah Islamiah adalah "persuasif". Tindakan main hakim sendiri atau membiarkan masyarakat menghajar mereka yang dianggap sesat. "Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya, Tuhanmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk," demikian terjemahan Alquran Surat An Nahl ayat 125.
Wallahu a’lam.
Masalah label "aliran sesat" bukan kali ini saja terjadi, tidak hanya menimpa Al Qiyadah al Islamiyah sebagaimana yang menjadi "berita" di media massa akhir-akhir ini. Tak lama sepeninggal Rasulullah SAW., muncul tuduhan "sesat" bagi kelompok yang berbeda paham dengan pemegang otoritas negara dan agama.
Mereka, antara lain, yang disebut Khawarij, yaitu golongan dalam pasukan Ali bin Abi Thalib ra dalam Perang Siffin yang menolak gencatan senjata dengan pasukan Mu'awiyah, sehingga mereka pun menentang Ali dan menganggap diri sebagai golongan yang paling benar. Khawarij yang memisahkan diri dari penguasa tersebut kemudian dianggap sesat.
Golongan lain yang juga dianggap sesat oleh penguasa adalah Syiah, golongan yang semula merupakan kelompok politik yang menghendaki Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pengganti Nabi Muhammad SAW, namun kemudian memiliki paham keagamaan yang berbeda dari penguasa (Sunni). Syiah pun menganggap Sunni telah sesat.
Saling menuduh sesat berlanjut pada tahun-tahun ke-120 H ketika Wasil bin Ata' menentang gurunya, Hasan al Basri. "Wasil telah memisahkan diri dari kita," demikian komentar sang guru, sehingga kelompok Wasil dinamai mu'tazilah yang berarti "telah memisahkan diri". Masing-masing menuduh yang lain sesat.
Patut dicatat pula "kesesatan" yang dilakukan Al Halaj di Iraq pada masa Negeri Seribu Satu Malam itu berada di puncak kejayaan di bawah kekuasaan sultan bersama para ulama salaf. "Akulah Tuhan," kata Al Halaj. Karena itu, untuk menebus "kesesatannya" tersebut, sang sufi harus dibunuh. Sejumlah sufi lainnya yang juga menyoal eksistensi Allah, antara lain, Al Farabi dan Ibnu Arabi.
Kasus Indonesia
Jika pada Syawal 1428 H, bertepatan dengan Oktober 2007, di Indonesia muncul kelompok yang dikategorikan sesat oleh otoritas keagamaan -dalam hal ini Majelis Ulama Indonesia (MUI), aparat penegak hukum, dan beberapa organisasi Islam-, tentu itu merupakan pengulangan sejarah kelompok-kelompok pada masa lalu. Tidak hanya pada masa khulafaur rasyidin (Abubakar, Umar, Usman, Ali), Al Halaj, dan lain-lain, melainkan juga pada awal penyebaran Islam di Indonesia, khususnya Jawa.
Wali Songo yang diberi wewenang penuh dalam urusan agama oleh Sultan Demak telah memberi label sesat pada seorang wali yang berseberangan paham dengan mereka, yakni Syekh Siti Jenar. Sebaliknya, Syekh Siti Jenar yang meyakini falsafah manunggaling kawula kalawan gusti menganggap Wali Songo berikut Sultan Demak juga sesat.
MUI, kendati tidak persis sama, bagai mengulang Wali Songo, tidak hanya menyeru pada ajaran Islam dan mencegah kemungkaran, melainkan juga bersama instansi terkait lainnya memberi "labeling" sesat atas paham-paham atau aliran keagamaan Islam.
Setidaknya, selama adanya MUI, terdapat sejumlah aliran yang telah dinyatakan sesat. Mulai Inkar Sunnah yang mengabaikan keabsahan semua hadis Nabi, Aliran Pembaru Isa Bugis yang antara lain mengajarkan bahwa Kakbah adalah kubus berhala yang dikunjungi turis asing setiap tahun, Darul Arqam pimpinan Syekh Ahmad Suhaimi di Malaysia yang mengaku dalam keadaan jaga bertemu Nabi Muhammad SAW, kemudian sang Nabi memberi wirid kepada dirinya.
Label sesat juga diberikan kepada Gerakan Lembaga Kerasulan yang meyakini bahwa Rasulullah Muhammad SAW tetap diutus sampai hari kiamat. Negara Islam Indonesia (NII) Komando Wilayah IX yang menyatakan bahwa Makkah sama dengan Negara Republik Indonesia, tidak menggunakan hukum Islam, warganya kafir. Biar shalat, zakat, puasa, tetap saja amalannya dihapus. Gerakan Ahmadiyah yang mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan rasul terakhir serta punya kitab suci sendiri bernama Tadzkirah.
Selain itu, label sesat diberikan pada Gerakan Baha'i yang dianggap sempalan Syiah. Kemudian, LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) yang mengajarkan bahwa orang di luar kelompok itu kafir. Juga, Gerakan Syiah di Indonesia, gerakan Lia Aminuddin yang mengaku jibril yang menerima wahyu, dan sebagainya.
Mengapa ada aliran baru?
Menurut kami, ada beberapa hal yang kemungkinan menjadi faktor munculnya kelompok-kelompok semacam itu. Pertama, tingkat pemahaman dan pengetahuan keagamaan umat (Islam) dalam masarakat sangat lemah, sehingga mereka dengan mudah dipengaruhi untuk menganut faham/keyakinan yang muncul kemudian. Maraknya organisasi keagamaan, forum khalaqah (diskusi), dakwah yang menggunakan berbagai macam media, ternyata tidak dapat memberikan pembelajaran yang baik dan benar kepada masyarakat. Bahkan media yang ada cenderung mencekoki masyarakat dengan ajaran yang berbau mistik dan klenik.
Kedua, pendidikan dan pengajaran agama yang banyak didengungkan oleh para pemuka agama, ulama, ustadz, muballigh, lebih cenderung pada ajaran yang bersifat formalitas dan simbolik. Seorang dapat dikatakan penganut agama (Islam) kaffah jika ia berjenggot, bersurban, memakai celana yang di atas mata kaki, meneriakkan kalimat “Allahu Akbar”, mendudkung dan memperluangkan aturan yang berlabel “syariat”, dan seterusnya, tetapi kehilangan makna dan subtansi. Shalat yang dilakukan, tidak mampu menjembatani rasa untuk dapat menikmati indahnya berkomunikasi dengan Tuhan, serta tidak dapat mencegah para mushallin untuk tidak berbuat mencaci, memandang dirinya lebih baik dan mulia dari yang lain, menciptakan ketakutan dan kekhawatiran umat dan orang lain, korupsi dan lain sdebagainya, yang pada hakikatnya merupakan bentuk dari perbuatan dosa dan kemungkaran.
Kehausan umat dan individu untuk merasakan indahnya berkomunikasi dengan Khaliq-nya, sementara agama formal yang difahaminya ternyata tidak mampu menjawab kebutuhan tersebut, menjadi salah satu faktor mengapa faham dan aliran yang baru tersebut mendapat respon dari mereka yang kehausan itu. Disisi lain, formalitas ajaran agama yang kehilangan subtansi dan makna, menjadi salah satu alasan dari tokoh penggagas aliran dan faham baru (contoh: Usman Roy di Malang dengan shalat dua bahasa, dengan alasan banyak orang rajin shalat tetapi prilakunya korup).
Jika munculnya aliran baru tersebut, karena faktor di atas, maka siapa yang mesti bertanggungjawab dan “difatwa” salah? Dan bagaimana menyikapinya. Pertanyaan ini penting dan harus dijawab sebelum lebih jauh menebar fatwa sesat. Tidak dapat disangkal, dampak pelabelan yang dibungkus atas nama "fatwa" itu adalah amuk massa terhadap para pemimpin dan pengikut "aliran sesat", yang berakhir pada penangkapan serta hukuman badan. Akhirnya, Islam yang seharusnya menebar damai telah dikotori oleh tangan-tangan umatnya yang kurang memahami ajaran yang dibawa Rasulullah Muhammad SAW.
bukankah kita semua mengetahui metode dakwah Nabi Muhammad bebas dari amuk massa, penangkapan, dan pemenjaraan. Sang Nabi tidak pernah memberi label "sesat" kepada pihak yang mencoba membunuh beliau. Justru, beliau memohon agar Allah membuka mata hati mereka.
Firman Allah dalam Alquran Surat Al Baqarah 256: "Laa ikraaha fid diin" (tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam) dipatuhi sepenuhnya oleh beliau. Sebagaimana diketahui, ayat itu diwahyukan Allah untuk menjawab pertanyaan seseorang kepada Nabi Muhammad SAW. "Saya punya dua anak beragama Nasrani, sedangkan saya muslim. Apakah diperkenankan jika saya memaksa kedua anak itu masuk Islam?" tanya orang tersebut.
Dengan demikian, Islam melarang umatnya untuk main paksa. Pendekatan dalam dakwah Islamiah adalah "persuasif". Tindakan main hakim sendiri atau membiarkan masyarakat menghajar mereka yang dianggap sesat. "Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya, Tuhanmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk," demikian terjemahan Alquran Surat An Nahl ayat 125.
Wallahu a’lam.
Rabu, 31 Oktober 2007
Menanti Perlawanan Korupsi dari Dalam
Tulisan ini ditulis oleh Sidik Pramono, yang menurut saya perlu dan penting untuk dibaca bagi siapa saja yang mengharapkan dan mencita-citakan sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawah. untuk itu semua orang mestinya dapat menempatkan diri sebagai "pengawas" yang setiap saat dapat mengatakan ia atau tidak, bukan hanya mereka yang bisa membeo. (Saiful Jihad)
Bisa dibayangkan bagaimana jika mantan Sekretaris Jenderal Departemen
Kelautan dan Perikanan Andin H Taryoto dan juga Kepala Bagian Umum di
Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Didi Sadili berani
menolak "perintah" Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri untuk
menghimpun dana nonbudgeter?
Kalau saja ada keberanian menolak perintah yang menyimpang, pasti tidak
akan terjadi saling lempar tudingan antara mantan Kepala Biro Keuangan
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hamdani Amin, mantan Sekretaris Jenderal
Safder Yusacc, dan mantan Ketua KPU Prof Nazaruddin Sjamsuddin mengenai
siapa yang punya ide memerintahkan dan bertanggung jawab mengenai
pengumpulan dana taktis dari sejumlah perusahaan rekanan. Kalau saja
"perlawanan" dilakukan, bisa jadi para bawahan itu tidak harus berurusan
dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Birokrasi negara ini terlihat semakin buruk ketika sistem tak memungkinkan
seorang pegawai yang baik untuk melawan perintah atasannya yang
menyimpang. Kasus dana nonbudgeter atau dana taktis di instansi pemerintah
bukanlah hal baru. Barulah ketika KPK turun tangan, terbeberlah fakta
mengenai praktik menyimpang di lembaga negara itu.
Bisa jadi, para pegawai negeri di Indonesia terjangkit gejala "kepatuhan
buta" atas perintah atasannya. Perdebatan sulit dilakukan karena yang
lebih dominan adalah ketakutan bahwa sanggahan bakal meninggalkan cap
buruk yang memengaruhi kelanjutan kariernya.
Apalagi kalau ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No 8/1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian
diimplementasikan begitu saja tanpa sikap kritis: "Setiap Pegawai Negeri
wajib menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepadanya dengan penuh
pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab."
Mentalitas birokrasi
Mengutip Ketua Program Magister Manajemen Universitas Indonesia (UI)
Rhenald Kasali (Kompas, 7/3/2007), ada dua kemungkinan yang membuat
birokrasi kita tampak ragu, lamban. Para pejabat birokrasi selalu menunggu
petunjuk karena hal itu merupakan bentuk ekspresi sopan santun kepada
atasan agar tidak menonjolkan diri atau terkesan sok tahu. Namun, bisa
juga hal itu terjadi karena superioritas atasan. Bawahan "terpaksa"
meminta petunjuk karena atasannya menghendaki demikian.
Buruknya, bagaimana jika petunjuk yang diberikan atasan justru menyimpang?
Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 mengenai Peraturan
Disiplin Pegawai Negeri tercantum ketentuan bahwa pegawai "segera
melaporkan kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat
membahayakan atau merugikan negara/pemerintah, terutama di bidang
keamanan, keuangan, dan material".
Artinya, butuh kekuatan sangat besar, keberanian luar biasa, untuk melawan
sistem yang dikendalikan individu bermental koruptif.
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) Taufiq Effendi dalam
berbagai kesempatan menyatakan, RUU Administrasi Pemerintahan nantinya
bakal menjadi instrumen untuk menangkal korupsi di birokrasi. RUU yang
naskahnya sudah digodok di Kementerian Negara PAN sejak 3,5 tahun lalu itu
diyakini bisa menjadi dasar hukum dan pedoman bagi setiap pejabat
administrasi pemerintahan, mencegah penyalahgunaan kewenangan, dan menutup
kesempatan untuk melakukan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.
Dalam draf RUU memang dinyatakan bahwa dalam pembuatan keputusan
administrasi pemerintahan, pejabat tidak berwenang terlibat dalam
penetapannya jika merupakan pihak yang terlibat, kerabat atau keluarga
pihak yang terlibat, ataupun wakil pihak yang terlibat.
Juga dilarang terlibat jika merupakan pihak yang bekerja dan mendapatkan
gaji dari pihak yang terlibat ataupun menjadi pihak yang memberi
rekomendasi terhadap pihak yang terlibat. Larangan itu juga berlaku jika
ada hubungan khusus dengan pihak yang terlibat, seperti teman, tunangan,
pengampu, dan pemelihara.
Pihak yang terlibat dalam pembuatan keputusan administrasi pemerintahan
dapat memberikan keterangan mengenai dugaan dan kecurigaan tentang
keberpihakan pejabat dalam proses pengambilan keputusan.
Keberpihakan itu diartikan sebagai upaya untuk memengaruhi pembuatan
keputusan yang menguntungkan diri sendiri dan kelompoknya, antara lain
dalam kegiatan bisnis maupun kegiatan sosial. Keterangan itu disampaikan
kepada atasan pejabat yang bersangkutan. Berikutnya, atasan wajib
menyampaikan secara tertulis keterangan itu kepada pimpinan instansi yang
bersangkutan.
Namun, bagi Pipit R Kartawidjaja dari Watch Indonesia di Berlin, perlu
terobosan untuk menembus "kepatuhan buta" kepada atasan, sebagaimana
membudaya di Indonesia. Di Jerman, pegawai negerinya bertanggung jawab
penuh "secara pribadi" terhadap kesesuaian hukum pelaksanaan tugas
kedinasannya.
Undang-Undang Pegawai Negara Bradenburg, misalnya menyebutkan, seorang
pegawai berkewajiban melaksanakan perintah kedinasan. Dalam pelaksanaan
perintah kedinasan itu, tanggung jawab terletak pada pemberi perintah.
Seorang pegawai tidak harus tunduk pada perintah yang dalam pelaksanaannya
bertentangan dengan undang-undang hukum pidana.
Kalaupun kemudian sanggahan itu diabaikan para atasan dan perintah dinas
mesti dipertahankan, seorang pegawai harus melaksanakan perintah kedinasan
itu, sepanjang dengan kesadaran bahwa perintah itu tidak melanggar
ketertiban dan kejahatan pidana atau tidak melanggar serta melecehkan hak
asasi manusia. Tanggung jawab pribadinya lepas dan atasannya harus
memberikan pengesahan perintah itu secara tertulis jika diminta oleh
penyanggahnya.
Jika timbul masalah pada kemudian hari, atasan pun tak bisa berkelit lagi.
Kewajiban menyanggah bakal menjadi "kontrol internal", bagi pegawai
bersangkutan dan sekaligus bagi para atasannya.
Jadi, tampaknya masih akan panjang jalan mewujudkan birokrasi yang bersih
dari mentalitas koruptif. Butuh terobosan luar biasa, terutama dari dalam
mesin birokrasi sendiri. Saling kontrol, saling mengingatkan, saling
mengawasi merupakan budaya bagus yang mesti dikembangkan.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan "perlawanan dari
dalam". Jika diperintah untuk berbuat salah, kenapa mesti takut
menyanggah?
Bisa dibayangkan bagaimana jika mantan Sekretaris Jenderal Departemen
Kelautan dan Perikanan Andin H Taryoto dan juga Kepala Bagian Umum di
Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Didi Sadili berani
menolak "perintah" Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri untuk
menghimpun dana nonbudgeter?
Kalau saja ada keberanian menolak perintah yang menyimpang, pasti tidak
akan terjadi saling lempar tudingan antara mantan Kepala Biro Keuangan
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hamdani Amin, mantan Sekretaris Jenderal
Safder Yusacc, dan mantan Ketua KPU Prof Nazaruddin Sjamsuddin mengenai
siapa yang punya ide memerintahkan dan bertanggung jawab mengenai
pengumpulan dana taktis dari sejumlah perusahaan rekanan. Kalau saja
"perlawanan" dilakukan, bisa jadi para bawahan itu tidak harus berurusan
dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Birokrasi negara ini terlihat semakin buruk ketika sistem tak memungkinkan
seorang pegawai yang baik untuk melawan perintah atasannya yang
menyimpang. Kasus dana nonbudgeter atau dana taktis di instansi pemerintah
bukanlah hal baru. Barulah ketika KPK turun tangan, terbeberlah fakta
mengenai praktik menyimpang di lembaga negara itu.
Bisa jadi, para pegawai negeri di Indonesia terjangkit gejala "kepatuhan
buta" atas perintah atasannya. Perdebatan sulit dilakukan karena yang
lebih dominan adalah ketakutan bahwa sanggahan bakal meninggalkan cap
buruk yang memengaruhi kelanjutan kariernya.
Apalagi kalau ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No 8/1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian
diimplementasikan begitu saja tanpa sikap kritis: "Setiap Pegawai Negeri
wajib menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepadanya dengan penuh
pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab."
Mentalitas birokrasi
Mengutip Ketua Program Magister Manajemen Universitas Indonesia (UI)
Rhenald Kasali (Kompas, 7/3/2007), ada dua kemungkinan yang membuat
birokrasi kita tampak ragu, lamban. Para pejabat birokrasi selalu menunggu
petunjuk karena hal itu merupakan bentuk ekspresi sopan santun kepada
atasan agar tidak menonjolkan diri atau terkesan sok tahu. Namun, bisa
juga hal itu terjadi karena superioritas atasan. Bawahan "terpaksa"
meminta petunjuk karena atasannya menghendaki demikian.
Buruknya, bagaimana jika petunjuk yang diberikan atasan justru menyimpang?
Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 mengenai Peraturan
Disiplin Pegawai Negeri tercantum ketentuan bahwa pegawai "segera
melaporkan kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat
membahayakan atau merugikan negara/pemerintah, terutama di bidang
keamanan, keuangan, dan material".
Artinya, butuh kekuatan sangat besar, keberanian luar biasa, untuk melawan
sistem yang dikendalikan individu bermental koruptif.
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) Taufiq Effendi dalam
berbagai kesempatan menyatakan, RUU Administrasi Pemerintahan nantinya
bakal menjadi instrumen untuk menangkal korupsi di birokrasi. RUU yang
naskahnya sudah digodok di Kementerian Negara PAN sejak 3,5 tahun lalu itu
diyakini bisa menjadi dasar hukum dan pedoman bagi setiap pejabat
administrasi pemerintahan, mencegah penyalahgunaan kewenangan, dan menutup
kesempatan untuk melakukan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.
Dalam draf RUU memang dinyatakan bahwa dalam pembuatan keputusan
administrasi pemerintahan, pejabat tidak berwenang terlibat dalam
penetapannya jika merupakan pihak yang terlibat, kerabat atau keluarga
pihak yang terlibat, ataupun wakil pihak yang terlibat.
Juga dilarang terlibat jika merupakan pihak yang bekerja dan mendapatkan
gaji dari pihak yang terlibat ataupun menjadi pihak yang memberi
rekomendasi terhadap pihak yang terlibat. Larangan itu juga berlaku jika
ada hubungan khusus dengan pihak yang terlibat, seperti teman, tunangan,
pengampu, dan pemelihara.
Pihak yang terlibat dalam pembuatan keputusan administrasi pemerintahan
dapat memberikan keterangan mengenai dugaan dan kecurigaan tentang
keberpihakan pejabat dalam proses pengambilan keputusan.
Keberpihakan itu diartikan sebagai upaya untuk memengaruhi pembuatan
keputusan yang menguntungkan diri sendiri dan kelompoknya, antara lain
dalam kegiatan bisnis maupun kegiatan sosial. Keterangan itu disampaikan
kepada atasan pejabat yang bersangkutan. Berikutnya, atasan wajib
menyampaikan secara tertulis keterangan itu kepada pimpinan instansi yang
bersangkutan.
Namun, bagi Pipit R Kartawidjaja dari Watch Indonesia di Berlin, perlu
terobosan untuk menembus "kepatuhan buta" kepada atasan, sebagaimana
membudaya di Indonesia. Di Jerman, pegawai negerinya bertanggung jawab
penuh "secara pribadi" terhadap kesesuaian hukum pelaksanaan tugas
kedinasannya.
Undang-Undang Pegawai Negara Bradenburg, misalnya menyebutkan, seorang
pegawai berkewajiban melaksanakan perintah kedinasan. Dalam pelaksanaan
perintah kedinasan itu, tanggung jawab terletak pada pemberi perintah.
Seorang pegawai tidak harus tunduk pada perintah yang dalam pelaksanaannya
bertentangan dengan undang-undang hukum pidana.
Kalaupun kemudian sanggahan itu diabaikan para atasan dan perintah dinas
mesti dipertahankan, seorang pegawai harus melaksanakan perintah kedinasan
itu, sepanjang dengan kesadaran bahwa perintah itu tidak melanggar
ketertiban dan kejahatan pidana atau tidak melanggar serta melecehkan hak
asasi manusia. Tanggung jawab pribadinya lepas dan atasannya harus
memberikan pengesahan perintah itu secara tertulis jika diminta oleh
penyanggahnya.
Jika timbul masalah pada kemudian hari, atasan pun tak bisa berkelit lagi.
Kewajiban menyanggah bakal menjadi "kontrol internal", bagi pegawai
bersangkutan dan sekaligus bagi para atasannya.
Jadi, tampaknya masih akan panjang jalan mewujudkan birokrasi yang bersih
dari mentalitas koruptif. Butuh terobosan luar biasa, terutama dari dalam
mesin birokrasi sendiri. Saling kontrol, saling mengingatkan, saling
mengawasi merupakan budaya bagus yang mesti dikembangkan.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan "perlawanan dari
dalam". Jika diperintah untuk berbuat salah, kenapa mesti takut
menyanggah?
Senin, 29 Oktober 2007
Menumbuhkembangkan Potensi Siswa
Oleh. Drs. H. Hanafi, M.Pd.
Siswa adalah salah satu pelaku utama pendidikan. Maka menumbuhkembangkan potensi siswa menjadi hal yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan. untuk mencapai kualitas pendidikan yang tinggi Direktorat Pendidikan Madrasah terdapat Subdit Kesiswaan yang memiliki tugas melaksanakan pembinaan dan pelayanan perumusan standar nasional, pembinaan kesiswaan serta peningkatan kemampuan, keterampilan dan pengembangan sumberdaya kesiswaan pada pendidikan pra sekolah (Raudhatul atfal, Bustanul Athfal dan Tarbiyatul Athfal) dan madrasah berdasrkan sasaran, program dan kegiatan-kegiatan.
Minat dan interest merupakan sumber motivasi yang mendorong anak untuk melakukan apa yang diinginkannya. Minat turut menentukan keunikan pribadi masing-masing anak karena dianggap sebagai sesuatu yang dipilih anak untuk menunjukkan eksistensi dirinya. Munculnya minat melibatkan mental anak secara kognitif maupun afektif. Secara kognitif, jika kegiatan yang dilakukan anak merupakan tempat anak belajar tentang hal-hal yang menimbulkan rasa ingin tahu. Termasuk dalam kegiatan mempelajari bidang studi tertentu di sekolah. Secara afektif, jika kegiatan yang dilakukan memberikan pengalaman emosional yang menyenangkan. Contoh, karena pengalaman yang menyenangkan dengan teman-teman dalam bermain bola, maka minat terhadap kegiatan ini akan semakin menguat.
Minat bersifat egosentris, karena macam minat pada setiap anak berbeda tergantung pada kebutuhan dan apa yang dirasa menguntungkan anak. Minat muncul secara kebetulan ketika anak menemukan bahwa sesuatu begitu menarik perhatian maupun meniru dari orang-oeang yang dicintai dan dikagumi. Minat juga dapat berkembang melalui bimbingan dan mengarahkan seseorang yang mahir menilai kemampuan anak.
Minat sering dikaitkan dengan bakat atau kemampuan khusus. Keduanya berbeda tetapi seringkali melekat satu sama lain. Keduanya dapat dijadikan pertimbangan untuk memilih, bahkan indicator keberhasilan anak di bidang tertentu. Keberhasilan tersebut dapat ditentukan oleh seberapa besar minat dan bakat yang dimiliki untuk menekuni bidang tersebut. Karena untuk dapat berhasil, seseorang harus mau dan mampu.
Cara yang tepat untuk mengetahui minat dan bakat adalah dengan melihat bidang atau pelajaran mana yang disenangi anak dan anak mudah untuk mempelajarinya. Minat dan bakat tidak dibawa sejak lahir tetapi justru siperoleh dari lingkungan dan proses pembelajaran. Oleh karena itu, minat dan bakat tidak dapat lepas dari kesempatan anak untuk mengalami sendiri pada suatu bidang atau kegiatan yang tersedia.
Disinilah urgensinya reformasi pendidikan, salah satu diantaranya adalah student centered learning, yaitu pembelajaran berpusat pada (kepentingan) siswa untuk mengembangkan potensi siswa. Melalui pembelajaran seperti ini, siswa merasa tersanjung dan terhormat karena dapat menyuarakan gagasan dan bakatnya. Siswa menjadi subjek dan bukan menjadi objek pembelajaran yang selama ini dipahami banyak orang. Dari konteks ini, pendidi berperan sebagai pendorong (motivator) dalam pengembangan segenap potensi siswa melalui vitalitas keingintahuan siswa untuk mencipta dan mengembangkan potensi dirinya.
Maka kegiatan subdit kesiswaan sangat penting untuk mendukung dan mendesain maksud dan tujuan tersebut diatas, sehingga bakat-bakat itu muncul dan kecerdasan-kecerdasan itu teraplikasi dengan baik dan terarah serta terhindar dari pergaulan bebas yang membawa pada kenegatifan. Beberapa contoh hasil penelitian yang berkaitan dengan kegiatan kesiswaan :
1. Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa olahraga teratur meningkatkan kinerja mental. Penemuan Dr. tuckman berasal dari penelitiannya yang menemukan bahwa anak sekolah yang ikut serta dalam program lari pagi selama lima belas minggu mendapatkan hasil lebih baik dalam tes kreativitas dari pada anak yang tidak melakukan olehraga. Hal itu juga dilakukan Dr. Ted Bashore, professor ahli psikiatri di akademik kesehatan Pensylvania mendukung penelitian Tuckman bahwa pelatihan aerobic tidak hanya akan membuat perbedaan pda fungsi jantung, paru-paru, otot, namun juga akan membuat perbedaan dalam cara otak memproses informasi, misalnya mampu (mengefisiensikan) mengambil keputusan dalam keadaan terdesak, begitu pula dalam membentuk ingatan.
2. Schoen dan Gatewood melaporkan data 20.000 orang yang menunjukkan perubahan gairah sebagai pengaruh dari musik. Hal itu diperkuat eksperimen Newcomb (1994) bahwa konseling dengan musik dapat menumbuhkan kepercayaan / harga diri anak dan dapat memotivasi perubahan perilaku. Sama juga hasil penelitian yang dilakukan Rahmawati (1998) bahwa musik dapat mereduksi stress, menciptakan ketenangan jiwa dan dapat meningkatkan produktivitas siswa. Menurut Campbel (2001) mengemukakan beberapa gagasan berdasarkan data-data hasil penelitian berkenaan dengan cara kerja musik dalam memberikan pengaruh terhadap kehidupan, diantaranya a). musik dapat memperkuat dan menyeimbangkan gelombang otak ; b) musik mempengaruhi pernapasan; c) musik mempengaruhi denyut jantung, denyut nadi, dan tekanan dsar; d) musik mengurangi ketegangan otot dan memperbaiki gerak dan koordinasi tubuh ; e) musik mempengaruhi suu badan; f) musik dapat menaikkan tingkat endorphin (zat cantu otak); dan g) musik dapat mengatur system hormonal.
3. Semua anak seharusnya mendapat “kesempatan” sebanyak yang mereka butuhkan dan mereka inginkan. Anak yang berbakat umumnya bias menemukan lebih banyak kesempatan dibandingkan dengan anak biasa, dan secara aktif, mereka selalu mencari kesempatan tersebut. Connie Eales (1983) menuturkan bahwa para tokoh/ilmuan pada masa mudanya banyak memiliki “kesempatan” untuk berekspresi itu diantaranya diwujudkan melalui lomba-lomba atau olimpiade. Saran tersebut sangat strategis karena banyak sekali dampak (manfaat) positif yang diperoleh, yaitu untuk a) mencari bibit unggul dalam bakat tertentu; b) dapat memotivasi diri untuk berbuat yang lebih baik; c) dapat menumbuhkan sportivitas dan rasa percaya diri , d) membangun kebersamaan dalam keragaman dan e) menanamkan solidaritas keberbakatan.
4. Menurut Daniel Goleman bahea keberhasilan seseorang di masyarakat sebagian besar ditentukan oleh kecerdasan emosi, yaitu 80% dan hanya 20% ditentukan oleh factor kecerdasan kognitif (IQ). Hasil penelitian Goerge Boggs juga menunjukkan bahwa 13 faktor penunjang keberhasilan seseorang di dunia kerja, dan ternyata dari 13 faktor tersebut, 10 diantaranya (hampir 80%) adalah kualitas karakter seseorang, dan hanya 3 faktor yang berkaitan dengan factor kecerdasan (IQ).
5. Penyalahgunaan dan peredaran narkoba merupakan salah satu penyakit social masyarakat yang tidak bias dianggap remeh, karena itu penyakit ini secara langsung atau tidak langsung dapat membawa dampak negatif terhadap kehidupan sosial, ekonomi, agama dan budaya. Oleh karena itu, harus ada upaya perlawanan dan pencegahan penyalahgunaan dan peredaran narkoba adalah tugas dan tanggungjawab kita bersama sebagai komponen bangsa.
Untuk menumbuhkembangkan potensi siswa yang unik subdit kesiswaa Direktorat Pendidikan Madrasah memiliki rencana strategis sebagai berikut :
VISI : • menumbuhkembangkan potensi siswa dalam proses pembentukan karakter, cerdas, kreatif, mandiri, dan demokratis yang dilandasi nilai-nilai keagamaan sehingga mampu bersaing di era global
MISI : • Pemberian kesempatan yang seluas-luasnya kepada siswa untuk menggali dan mengembangkan potensinya sehingga dapat beraktualisasi diri dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa
• Penciptaan kultur Islami dan kultur belajar efektif khususnya di lingkungan madrasah sebagai proses pembelajaran .
Kemudian visi dan misi yang ada dituangkan kedalam beberapa program dan dilaksanakan dalam bentuk kegiatan-kegiatan yaitu :
1. Program pembinaan dan pengembangan potensi / bakat siswa dalam hak pendidikan. program ini dilaksanakan dalam kegiatan diantaranya - Sosialisasi kegiatan eskul pada madrasah - Bantuan beasiswa miskin - Bantuan beasiswa berprestasi - Bantuan pembinaan olehraga dan seni - Bantuan eskul di madrasah - Lomba karya ilmiah remaja - Lomba mengarang - Porseni madrasah - Olimpiade / lomba sains dan agama madrasah - Cerdas cermat / debat ilmiah - Lomba pidato berbahasa arab dan pidato berbahasa inggris
2. Program peningkatan kesehatan siswa dalam rangka perkembangan jasmani secara normal, sehat dan ceria, sedangkan bentuk kegiatan dari program ini diantaranya : - Orientasi penyadaran kesehatan bagi siswa - Orientasi kesehatan reproduksi - Orientasi penanggulangan dampak napza - Tot penyuluhan kesehatan reproduksi remaja - Orientasi pencegahan HIV/AIDS - Bantuan UKS - Bantuan pembinaan penyalahgunaan narkoba
3. Program peningkatan pemahaman manajemen dan kepemimpinan dalam mengelola organisasi, baik di kelas maupun di madrasah (OSIS), dengan bentuk kegiatan sebagai berikut : - Orientasi Manajemen MOPD/MOS - Orientasi pengurus OSIS - Latihan dasar kepemimpinan siswa - Orientasi Need Assessment bagi guru Pembina OSIS
4. Program pengembangan kemampuan berpikir dan belajar secara mandiri terhadap (materi) pelajaran di madrasah dan dalam rangka mengadapi pendidikan sepanjang hayat, dituangkan dalam bentuk kegiatan sebagai berikut : - Workshop strategi melejitkan kemampuan siswa - Workshop peningkatan kreatifitas siswa - Latihan pers dan jurnalistik remaja - Orientasi pengembangan prestasi, minat dan bakat siswa - Bantuan kreativitas
5. Program peningkatan pemahaman kebangsaan dalam rangka penguatan proses pembelajaran, dalam bentuk kegiatan sebagai berikut : - Jambore madrasah - Perkemahan sabtu minggu - Bantuan kegiatan PASKIBRA dan PBB
6. Program peningkatan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt, dengan bentuk kegiatan sebagai berrikut : - Pendalaman materi pendidikan agama - Kegiatan peringatan hari-hari besar agama Islam - Pelatihan mengimplementasi iabadh sosial di madrasah.
Program-program dan kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan untuk melindungi dan sekaligus mencerdaskan dan mensejahterakan anak Indonesia. Karena begitu pentingnya eksistensi anak/siswa dalam berbangsa dan bernegara, beberapa peraturan yang menjadi rujukan adalah sebagai berikut :
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera; 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan; 4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak; 5.Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Penggunaan Narkoba dan Zat Adiktif Lainnya; 6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Obat Lainnya yang Memiliki Zat Adiktif; 7. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada pasal 52 sampai pasal 66 mengenai Hak Anak; 8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 9.Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang System Pendidikan Nasional; 10. Keputusan Presiden RI Nomor 44 Tahun 1984 tentang Hari Anak Nasional.
Siswa adalah salah satu pelaku utama pendidikan. Maka menumbuhkembangkan potensi siswa menjadi hal yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan. untuk mencapai kualitas pendidikan yang tinggi Direktorat Pendidikan Madrasah terdapat Subdit Kesiswaan yang memiliki tugas melaksanakan pembinaan dan pelayanan perumusan standar nasional, pembinaan kesiswaan serta peningkatan kemampuan, keterampilan dan pengembangan sumberdaya kesiswaan pada pendidikan pra sekolah (Raudhatul atfal, Bustanul Athfal dan Tarbiyatul Athfal) dan madrasah berdasrkan sasaran, program dan kegiatan-kegiatan.
Minat dan interest merupakan sumber motivasi yang mendorong anak untuk melakukan apa yang diinginkannya. Minat turut menentukan keunikan pribadi masing-masing anak karena dianggap sebagai sesuatu yang dipilih anak untuk menunjukkan eksistensi dirinya. Munculnya minat melibatkan mental anak secara kognitif maupun afektif. Secara kognitif, jika kegiatan yang dilakukan anak merupakan tempat anak belajar tentang hal-hal yang menimbulkan rasa ingin tahu. Termasuk dalam kegiatan mempelajari bidang studi tertentu di sekolah. Secara afektif, jika kegiatan yang dilakukan memberikan pengalaman emosional yang menyenangkan. Contoh, karena pengalaman yang menyenangkan dengan teman-teman dalam bermain bola, maka minat terhadap kegiatan ini akan semakin menguat.
Minat bersifat egosentris, karena macam minat pada setiap anak berbeda tergantung pada kebutuhan dan apa yang dirasa menguntungkan anak. Minat muncul secara kebetulan ketika anak menemukan bahwa sesuatu begitu menarik perhatian maupun meniru dari orang-oeang yang dicintai dan dikagumi. Minat juga dapat berkembang melalui bimbingan dan mengarahkan seseorang yang mahir menilai kemampuan anak.
Minat sering dikaitkan dengan bakat atau kemampuan khusus. Keduanya berbeda tetapi seringkali melekat satu sama lain. Keduanya dapat dijadikan pertimbangan untuk memilih, bahkan indicator keberhasilan anak di bidang tertentu. Keberhasilan tersebut dapat ditentukan oleh seberapa besar minat dan bakat yang dimiliki untuk menekuni bidang tersebut. Karena untuk dapat berhasil, seseorang harus mau dan mampu.
Cara yang tepat untuk mengetahui minat dan bakat adalah dengan melihat bidang atau pelajaran mana yang disenangi anak dan anak mudah untuk mempelajarinya. Minat dan bakat tidak dibawa sejak lahir tetapi justru siperoleh dari lingkungan dan proses pembelajaran. Oleh karena itu, minat dan bakat tidak dapat lepas dari kesempatan anak untuk mengalami sendiri pada suatu bidang atau kegiatan yang tersedia.
Disinilah urgensinya reformasi pendidikan, salah satu diantaranya adalah student centered learning, yaitu pembelajaran berpusat pada (kepentingan) siswa untuk mengembangkan potensi siswa. Melalui pembelajaran seperti ini, siswa merasa tersanjung dan terhormat karena dapat menyuarakan gagasan dan bakatnya. Siswa menjadi subjek dan bukan menjadi objek pembelajaran yang selama ini dipahami banyak orang. Dari konteks ini, pendidi berperan sebagai pendorong (motivator) dalam pengembangan segenap potensi siswa melalui vitalitas keingintahuan siswa untuk mencipta dan mengembangkan potensi dirinya.
Maka kegiatan subdit kesiswaan sangat penting untuk mendukung dan mendesain maksud dan tujuan tersebut diatas, sehingga bakat-bakat itu muncul dan kecerdasan-kecerdasan itu teraplikasi dengan baik dan terarah serta terhindar dari pergaulan bebas yang membawa pada kenegatifan. Beberapa contoh hasil penelitian yang berkaitan dengan kegiatan kesiswaan :
1. Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa olahraga teratur meningkatkan kinerja mental. Penemuan Dr. tuckman berasal dari penelitiannya yang menemukan bahwa anak sekolah yang ikut serta dalam program lari pagi selama lima belas minggu mendapatkan hasil lebih baik dalam tes kreativitas dari pada anak yang tidak melakukan olehraga. Hal itu juga dilakukan Dr. Ted Bashore, professor ahli psikiatri di akademik kesehatan Pensylvania mendukung penelitian Tuckman bahwa pelatihan aerobic tidak hanya akan membuat perbedaan pda fungsi jantung, paru-paru, otot, namun juga akan membuat perbedaan dalam cara otak memproses informasi, misalnya mampu (mengefisiensikan) mengambil keputusan dalam keadaan terdesak, begitu pula dalam membentuk ingatan.
2. Schoen dan Gatewood melaporkan data 20.000 orang yang menunjukkan perubahan gairah sebagai pengaruh dari musik. Hal itu diperkuat eksperimen Newcomb (1994) bahwa konseling dengan musik dapat menumbuhkan kepercayaan / harga diri anak dan dapat memotivasi perubahan perilaku. Sama juga hasil penelitian yang dilakukan Rahmawati (1998) bahwa musik dapat mereduksi stress, menciptakan ketenangan jiwa dan dapat meningkatkan produktivitas siswa. Menurut Campbel (2001) mengemukakan beberapa gagasan berdasarkan data-data hasil penelitian berkenaan dengan cara kerja musik dalam memberikan pengaruh terhadap kehidupan, diantaranya a). musik dapat memperkuat dan menyeimbangkan gelombang otak ; b) musik mempengaruhi pernapasan; c) musik mempengaruhi denyut jantung, denyut nadi, dan tekanan dsar; d) musik mengurangi ketegangan otot dan memperbaiki gerak dan koordinasi tubuh ; e) musik mempengaruhi suu badan; f) musik dapat menaikkan tingkat endorphin (zat cantu otak); dan g) musik dapat mengatur system hormonal.
3. Semua anak seharusnya mendapat “kesempatan” sebanyak yang mereka butuhkan dan mereka inginkan. Anak yang berbakat umumnya bias menemukan lebih banyak kesempatan dibandingkan dengan anak biasa, dan secara aktif, mereka selalu mencari kesempatan tersebut. Connie Eales (1983) menuturkan bahwa para tokoh/ilmuan pada masa mudanya banyak memiliki “kesempatan” untuk berekspresi itu diantaranya diwujudkan melalui lomba-lomba atau olimpiade. Saran tersebut sangat strategis karena banyak sekali dampak (manfaat) positif yang diperoleh, yaitu untuk a) mencari bibit unggul dalam bakat tertentu; b) dapat memotivasi diri untuk berbuat yang lebih baik; c) dapat menumbuhkan sportivitas dan rasa percaya diri , d) membangun kebersamaan dalam keragaman dan e) menanamkan solidaritas keberbakatan.
4. Menurut Daniel Goleman bahea keberhasilan seseorang di masyarakat sebagian besar ditentukan oleh kecerdasan emosi, yaitu 80% dan hanya 20% ditentukan oleh factor kecerdasan kognitif (IQ). Hasil penelitian Goerge Boggs juga menunjukkan bahwa 13 faktor penunjang keberhasilan seseorang di dunia kerja, dan ternyata dari 13 faktor tersebut, 10 diantaranya (hampir 80%) adalah kualitas karakter seseorang, dan hanya 3 faktor yang berkaitan dengan factor kecerdasan (IQ).
5. Penyalahgunaan dan peredaran narkoba merupakan salah satu penyakit social masyarakat yang tidak bias dianggap remeh, karena itu penyakit ini secara langsung atau tidak langsung dapat membawa dampak negatif terhadap kehidupan sosial, ekonomi, agama dan budaya. Oleh karena itu, harus ada upaya perlawanan dan pencegahan penyalahgunaan dan peredaran narkoba adalah tugas dan tanggungjawab kita bersama sebagai komponen bangsa.
Untuk menumbuhkembangkan potensi siswa yang unik subdit kesiswaa Direktorat Pendidikan Madrasah memiliki rencana strategis sebagai berikut :
VISI : • menumbuhkembangkan potensi siswa dalam proses pembentukan karakter, cerdas, kreatif, mandiri, dan demokratis yang dilandasi nilai-nilai keagamaan sehingga mampu bersaing di era global
MISI : • Pemberian kesempatan yang seluas-luasnya kepada siswa untuk menggali dan mengembangkan potensinya sehingga dapat beraktualisasi diri dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa
• Penciptaan kultur Islami dan kultur belajar efektif khususnya di lingkungan madrasah sebagai proses pembelajaran .
Kemudian visi dan misi yang ada dituangkan kedalam beberapa program dan dilaksanakan dalam bentuk kegiatan-kegiatan yaitu :
1. Program pembinaan dan pengembangan potensi / bakat siswa dalam hak pendidikan. program ini dilaksanakan dalam kegiatan diantaranya - Sosialisasi kegiatan eskul pada madrasah - Bantuan beasiswa miskin - Bantuan beasiswa berprestasi - Bantuan pembinaan olehraga dan seni - Bantuan eskul di madrasah - Lomba karya ilmiah remaja - Lomba mengarang - Porseni madrasah - Olimpiade / lomba sains dan agama madrasah - Cerdas cermat / debat ilmiah - Lomba pidato berbahasa arab dan pidato berbahasa inggris
2. Program peningkatan kesehatan siswa dalam rangka perkembangan jasmani secara normal, sehat dan ceria, sedangkan bentuk kegiatan dari program ini diantaranya : - Orientasi penyadaran kesehatan bagi siswa - Orientasi kesehatan reproduksi - Orientasi penanggulangan dampak napza - Tot penyuluhan kesehatan reproduksi remaja - Orientasi pencegahan HIV/AIDS - Bantuan UKS - Bantuan pembinaan penyalahgunaan narkoba
3. Program peningkatan pemahaman manajemen dan kepemimpinan dalam mengelola organisasi, baik di kelas maupun di madrasah (OSIS), dengan bentuk kegiatan sebagai berikut : - Orientasi Manajemen MOPD/MOS - Orientasi pengurus OSIS - Latihan dasar kepemimpinan siswa - Orientasi Need Assessment bagi guru Pembina OSIS
4. Program pengembangan kemampuan berpikir dan belajar secara mandiri terhadap (materi) pelajaran di madrasah dan dalam rangka mengadapi pendidikan sepanjang hayat, dituangkan dalam bentuk kegiatan sebagai berikut : - Workshop strategi melejitkan kemampuan siswa - Workshop peningkatan kreatifitas siswa - Latihan pers dan jurnalistik remaja - Orientasi pengembangan prestasi, minat dan bakat siswa - Bantuan kreativitas
5. Program peningkatan pemahaman kebangsaan dalam rangka penguatan proses pembelajaran, dalam bentuk kegiatan sebagai berikut : - Jambore madrasah - Perkemahan sabtu minggu - Bantuan kegiatan PASKIBRA dan PBB
6. Program peningkatan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt, dengan bentuk kegiatan sebagai berrikut : - Pendalaman materi pendidikan agama - Kegiatan peringatan hari-hari besar agama Islam - Pelatihan mengimplementasi iabadh sosial di madrasah.
Program-program dan kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan untuk melindungi dan sekaligus mencerdaskan dan mensejahterakan anak Indonesia. Karena begitu pentingnya eksistensi anak/siswa dalam berbangsa dan bernegara, beberapa peraturan yang menjadi rujukan adalah sebagai berikut :
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera; 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan; 4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak; 5.Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Penggunaan Narkoba dan Zat Adiktif Lainnya; 6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Obat Lainnya yang Memiliki Zat Adiktif; 7. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada pasal 52 sampai pasal 66 mengenai Hak Anak; 8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 9.Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang System Pendidikan Nasional; 10. Keputusan Presiden RI Nomor 44 Tahun 1984 tentang Hari Anak Nasional.
Selasa, 09 Oktober 2007
Menjadi Pemudik Hakiki
Oleh : Saiful Jihad
“Sungguh, benar-benar beruntunglah orang yang selalu berusaha untuk kembali pada hakekat kesucian dirinya” (Q.S. 91: 09)
Tidak terasa, Ramadhan 1428 H. akhirnya berlalu, seperti para kembara, ia datang dan menemani kita, lalu kembali pergi melanjutkan perjalananya. Kehadirannya menjadi dambaan setiap mu’min, dan kepergiannya menjadi “musibah” yang ditangisi. Ia didamba karena karena manfaat dan keberkahan yang dibawanya, dan ditangisi karena “kehausan” diri untuk meneguk kenikmatan dan keberkahannya.
Meski demikian, seorang mu’min harus rela dan ikhlas melepas kepergian ramadhan dengan membawa raport sikap, tindakan dan perlakuan para “ahl al-bait” yang disambangi sang tamu agung (ramadhan). Kerelaan dan keikhlasan tersebut dikarenakan ia telah merasa memperlakukan tamunya dengan baik, dan memberikan “jamuan” yang semestinya, serta mendapatkan beribu keberkahan dari keagungan sang tamu. Untuk melepas kepergiannya, hamba yang beriman betul-betul merasakan kelapangan dan keluasan hati, sehingga dengan ikhlas melepas kepergian ramadhan. Nampaknya keluasan dan kelapangan hati inilah, menjadi salah satu makna yang terkandung dari kata “lebaran” (lebar + an) yang dirayakan setiap tanggal 1 syawal.
Dalam istilah agama, perayaan lebaran ini dikenal dengan istilah ‘Iid al fithri, yang bermakna “kembali pada hakekat kedirian yang suci”. Kenapa disebut kembali? Tentu, karena di situ mengandung makna, bahwa kita bergerak dari satu posisi ke posisi yang lain, yaitu tempat dimana kita merasakan telah jauh dari fithrah kehidupan yang suci, tulus dan luhur, baik dalam hubungan dengan Allah maupun manusia, kemudian bergerak kembali pada posisi awal kejadian kita yang fithrawi tersebut.
Sebenarnya, simbol-simbol dari kecenderungan manusia untuk kembali kepada asal kejadiaanya dapat kita temukan dalam aktivitas di hari idul Fithri atau menjelang idul fithri. Kita melihat misalnya di setiap tahun orang-orang selalu menyempatkan diri untuk pulang kampung. Mereka bahkan rela berjejel dan berdesak-desakan di kereta, bus, kapal laut. Bahkan banyak yang sampai menginap di pelabuhan, terminal atau stasiun kereta karena mereka tidak kebagian tempat untuk mudik pada hari itu, dan besoknya ia berjuang lagi. Semua itu dilakukan untuk satu tujuan yang disebut dengan “mudik lebaran”. Nah, bukankah mudik itu sebenarnya berarti “kembali ke asal” (yaitu kampung halaman), atau “kembali ke fithrah” dalam aktualisasi antropolgis.
Para pemudik tersebut akan kembali ke kampung asal mereka, sama sekali bukan untuk pamer keberhasilan hidup di perantauan atau untuk kepentingan-kepentingan material lainnya. Tidak jarang di antara mereka bahkan hidup di rantau dalam kondisi yang memprihatinkan, tidak berkecukupan dalam arti yang sebenarnya. Jika kita amati, dengan mudah kita dapat menebak penghasilan para pendatang yang hidup di Jakarta, kawasan Industri di Jabotabek, Surabaya, Makassar sebagai pekerja pabrik, buruh bangunan, pedagang sektor informal, dan sebagainya. Jelas tujuan mereka pulang kampung atau mudik tersebut, sangat jauh dari kepentingan simbol-simbol material, keinginan mudik tersebut lebih didorong oleh kecenderungan spiritual, yaitu hasrat untuk kembali kepada orang-orang yang dekat, seperti orang tua, saudara, kerabat, handai taulan dan lain-lain, untuk meminta maaf, membersihkan diri dari dosa dan kekhilafan yang dilakukan, merajut kembali tali silaturrahim seperti sedia kala, bahkan ingin merasakan kembali “indahnya” hari-hari dalam kebersamaan, kemesraan dan ketulusan masa-masa lalu.
Sementara itu, kampung itu sendiri dapat dimaknai dengan asal kejadian atau titik star dari kehidupan kita. Di sanalah kita dilahirkan dan dibesarkan dengan kasih sayang orang-orang yang ada di sekeliling kita, orang tua, saudara, kerabat dan handai taulan. Dengan demikian, mudik atau pulang kampung, dapat dimaknai dengan kembali kepada asal dan awal dari kejadian dan kehidupan, yang penuh dengan kedamaian, kasih sayang, luhur dan suci. Dan inilah salah satu makna dari kata Idul Fithri itu sendiri.
Jika ritus mudik atau pulang kampung ini kita bawa ke dalam logika agama, dengan asumsi adanya dorongan spiritual, maka tidaklah keliru pendapat yang mengatakan, bahwa mudik lebaran sebenarnya merupakan pelaksanaan perintah ajaran agama, yaitu menjadikan “Idul Fithri” sebagai sarana untuk bersilaturahim, bermaaf-maafan setelah menjalani pertobatan pada bulan Ramadhan. Dengan kata lain, pentingnya pelaksanaan hak Allah yang berdimensi vertikal untuk diikuti oleh tindakan melaksanakan hak manusia yang berdimensi horizontal.
Tentunya, makna-makna di atas mestinya menjadi nilai dan subtansi dari keinginan kita untuk mudik (kembali), sehingga kita tidak terjebak dalam “ritual” mudik yang sifatnya formal, simbolik dan fisikal semata, tetapi kemestian utuk mampu menangkap makna dan pesan yang terkandung dalam kegiatan mudik tersebut. Mudik atau kembali ke kampung, berarti kita kembali pada asal dan awal kejadian kita yang suci, luhur, damai, kasih-sayang, dan harmoni sejati. Dengan makna ini, semua yang telah melaksanakan ibadah puasa dengan baik, serta membuka tangan, merangkai silaturahim antar sesama pada dasarnya telah mudik, meski tidak dalam ariti fisikal.
Jika kita semua telah menjadi pemudik dalam arti hakiki, maka tugas yang paling penting bagi kita selanjutnya, adalah menjaga nilai-nilai tersebut dalam kehidupan kita ke depan. Hakikat keindahan, kesucian, keluhuran, kedamaia dan kasih sayang yang kita raih dalam mudik, tentunya kita tidak ingin lenyap dan sirnah kembali dalam rentang waktu perjalanan hidup kita selanjutnya, dimana tidak ada jaminan kesempatan untuk mudik di tahun-tahun akan datang dapat kita raih.
Selamat kembali kepada hakikat kesucian, yang menjadi asal dan awal kejadian kita, semoga kita semua menjadi pemudik-pemudik yang hakiki. Wallahu ‘a’lam.
“Sungguh, benar-benar beruntunglah orang yang selalu berusaha untuk kembali pada hakekat kesucian dirinya” (Q.S. 91: 09)
Tidak terasa, Ramadhan 1428 H. akhirnya berlalu, seperti para kembara, ia datang dan menemani kita, lalu kembali pergi melanjutkan perjalananya. Kehadirannya menjadi dambaan setiap mu’min, dan kepergiannya menjadi “musibah” yang ditangisi. Ia didamba karena karena manfaat dan keberkahan yang dibawanya, dan ditangisi karena “kehausan” diri untuk meneguk kenikmatan dan keberkahannya.
Meski demikian, seorang mu’min harus rela dan ikhlas melepas kepergian ramadhan dengan membawa raport sikap, tindakan dan perlakuan para “ahl al-bait” yang disambangi sang tamu agung (ramadhan). Kerelaan dan keikhlasan tersebut dikarenakan ia telah merasa memperlakukan tamunya dengan baik, dan memberikan “jamuan” yang semestinya, serta mendapatkan beribu keberkahan dari keagungan sang tamu. Untuk melepas kepergiannya, hamba yang beriman betul-betul merasakan kelapangan dan keluasan hati, sehingga dengan ikhlas melepas kepergian ramadhan. Nampaknya keluasan dan kelapangan hati inilah, menjadi salah satu makna yang terkandung dari kata “lebaran” (lebar + an) yang dirayakan setiap tanggal 1 syawal.
Dalam istilah agama, perayaan lebaran ini dikenal dengan istilah ‘Iid al fithri, yang bermakna “kembali pada hakekat kedirian yang suci”. Kenapa disebut kembali? Tentu, karena di situ mengandung makna, bahwa kita bergerak dari satu posisi ke posisi yang lain, yaitu tempat dimana kita merasakan telah jauh dari fithrah kehidupan yang suci, tulus dan luhur, baik dalam hubungan dengan Allah maupun manusia, kemudian bergerak kembali pada posisi awal kejadian kita yang fithrawi tersebut.
Sebenarnya, simbol-simbol dari kecenderungan manusia untuk kembali kepada asal kejadiaanya dapat kita temukan dalam aktivitas di hari idul Fithri atau menjelang idul fithri. Kita melihat misalnya di setiap tahun orang-orang selalu menyempatkan diri untuk pulang kampung. Mereka bahkan rela berjejel dan berdesak-desakan di kereta, bus, kapal laut. Bahkan banyak yang sampai menginap di pelabuhan, terminal atau stasiun kereta karena mereka tidak kebagian tempat untuk mudik pada hari itu, dan besoknya ia berjuang lagi. Semua itu dilakukan untuk satu tujuan yang disebut dengan “mudik lebaran”. Nah, bukankah mudik itu sebenarnya berarti “kembali ke asal” (yaitu kampung halaman), atau “kembali ke fithrah” dalam aktualisasi antropolgis.
Para pemudik tersebut akan kembali ke kampung asal mereka, sama sekali bukan untuk pamer keberhasilan hidup di perantauan atau untuk kepentingan-kepentingan material lainnya. Tidak jarang di antara mereka bahkan hidup di rantau dalam kondisi yang memprihatinkan, tidak berkecukupan dalam arti yang sebenarnya. Jika kita amati, dengan mudah kita dapat menebak penghasilan para pendatang yang hidup di Jakarta, kawasan Industri di Jabotabek, Surabaya, Makassar sebagai pekerja pabrik, buruh bangunan, pedagang sektor informal, dan sebagainya. Jelas tujuan mereka pulang kampung atau mudik tersebut, sangat jauh dari kepentingan simbol-simbol material, keinginan mudik tersebut lebih didorong oleh kecenderungan spiritual, yaitu hasrat untuk kembali kepada orang-orang yang dekat, seperti orang tua, saudara, kerabat, handai taulan dan lain-lain, untuk meminta maaf, membersihkan diri dari dosa dan kekhilafan yang dilakukan, merajut kembali tali silaturrahim seperti sedia kala, bahkan ingin merasakan kembali “indahnya” hari-hari dalam kebersamaan, kemesraan dan ketulusan masa-masa lalu.
Sementara itu, kampung itu sendiri dapat dimaknai dengan asal kejadian atau titik star dari kehidupan kita. Di sanalah kita dilahirkan dan dibesarkan dengan kasih sayang orang-orang yang ada di sekeliling kita, orang tua, saudara, kerabat dan handai taulan. Dengan demikian, mudik atau pulang kampung, dapat dimaknai dengan kembali kepada asal dan awal dari kejadian dan kehidupan, yang penuh dengan kedamaian, kasih sayang, luhur dan suci. Dan inilah salah satu makna dari kata Idul Fithri itu sendiri.
Jika ritus mudik atau pulang kampung ini kita bawa ke dalam logika agama, dengan asumsi adanya dorongan spiritual, maka tidaklah keliru pendapat yang mengatakan, bahwa mudik lebaran sebenarnya merupakan pelaksanaan perintah ajaran agama, yaitu menjadikan “Idul Fithri” sebagai sarana untuk bersilaturahim, bermaaf-maafan setelah menjalani pertobatan pada bulan Ramadhan. Dengan kata lain, pentingnya pelaksanaan hak Allah yang berdimensi vertikal untuk diikuti oleh tindakan melaksanakan hak manusia yang berdimensi horizontal.
Tentunya, makna-makna di atas mestinya menjadi nilai dan subtansi dari keinginan kita untuk mudik (kembali), sehingga kita tidak terjebak dalam “ritual” mudik yang sifatnya formal, simbolik dan fisikal semata, tetapi kemestian utuk mampu menangkap makna dan pesan yang terkandung dalam kegiatan mudik tersebut. Mudik atau kembali ke kampung, berarti kita kembali pada asal dan awal kejadian kita yang suci, luhur, damai, kasih-sayang, dan harmoni sejati. Dengan makna ini, semua yang telah melaksanakan ibadah puasa dengan baik, serta membuka tangan, merangkai silaturahim antar sesama pada dasarnya telah mudik, meski tidak dalam ariti fisikal.
Jika kita semua telah menjadi pemudik dalam arti hakiki, maka tugas yang paling penting bagi kita selanjutnya, adalah menjaga nilai-nilai tersebut dalam kehidupan kita ke depan. Hakikat keindahan, kesucian, keluhuran, kedamaia dan kasih sayang yang kita raih dalam mudik, tentunya kita tidak ingin lenyap dan sirnah kembali dalam rentang waktu perjalanan hidup kita selanjutnya, dimana tidak ada jaminan kesempatan untuk mudik di tahun-tahun akan datang dapat kita raih.
Selamat kembali kepada hakikat kesucian, yang menjadi asal dan awal kejadian kita, semoga kita semua menjadi pemudik-pemudik yang hakiki. Wallahu ‘a’lam.
Kesucian Sebagai Fithrah Kemanusiaan
Oleh : Saiful Jihad
“’Idul Fithri”, hari kembali kepada fitrah. Kata Fitrah dapat diartikan asal kejadian yang suci, juga berarti jati diri manusia. Dalam salah satu hadits Rasulullah saw., bersabda: “Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang membuatnya Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR. Bukhari)
Adanya fitrah, adalah sebagai kelanjutan dari perjanjian kita dengan Allah swt., ketika kita masih berada dalam alam ruhani, sebagaimana yang diberitakan oleh salah satu ayat al-Qur’an, bahwa kita sebelum lahir dipanggil oleh Allah secara bersama-sama menghadap dan diminta kesaksian, bahwa kita akan bertuhankan hanya Allah, Raab yang Maha Tinggi, Alah berfirman: “Bukankah Aku ini Tuhanmu ? (kita semua menjawab), Ya kami bersaksi, (kami akan lakukan semua itu)” (QS. 7 : 172)
Gambaran asal kejadian manusia yang fithrah tersebut di atas, mengandung pengertian, bahwa manusia hakekatnya berasal dari yang suci (bersih), yang dalam dirinya telah tertanam penyaksian dan pengakuan diri untuk hanya bertuhankan Allah, dan itu jugalah yang menjadi jati diri manusia. Dengan demikian, ungkapan kembali kepada fithrah (‘idul fitri) adalah pernyataan kita yang telah melaksanakan ibadah puasa, dengan dasar iman (percaya dan mempercayai) Allah, serta berusaha secara sungguh-sunggu untuk melaksanakan tuntunan syariat puasa dengan sebaik-baiknya (ihtisab).
Masa 30 hari dari pelaksanaan ibadah ramadhan yang diberikan Allah kepada kita, menjadi moment untuk berusaha mengembalikan makna dan hakekat kesucian dan jati diri kita, sehingga kita pantas untuk merayakannya pada hari ini.
Usaha untuk meraih kembali hakekat fithrah tersebut, tergambar dalam upaya kita untuk melakukan pensucian (tazkiyah) atas niyat (tazkiyatu al-niyat), jiwa (tazkiyatu al-nafs) dan harta (tazkiyatu al-maal).
Ibadah puasa yang kita lakukan, merupakan satu-satunya peribadatan yang diklaim oleh Tuhan sebagai milik-Nya dan hanya Dia yang berhak untuk menilainya, Allah berfirman dalam hadits Qudsi: “Semua amalan anak cucu Adam untuknya, kecuali ibadah puasa. Karena puasa itu untuk-Ku dan hanya Aku yang berhak memberikan membalasnya (memberikan penilaian)”
Hadits ini menggaris bawahi, bahwa ibadah puasa yang kita kerjakan merupakan suatau bentuk peribadatan khusus, yang hakekat serta nilai pelaksanaannya hanya Allah yang tahu. Oleh karena itu, dituntut ketulusan dan kesucian niyat (iman dan ihtisab) dari hamba yang melaksanakan ibadah puasa. Hal ini berbeda dengan amalan lain yang kita kerjakan, apakah itu ibadah mahdah lainnya, ataupun ibadah yang sifatnya umum, dimana seorang yang melakukan ibadah shalat misalnya, orang lain dapat menjadi saksi dan memberi nilai ibadahnya, meski tidak dapat mengetahui secara pasti hakekatnya.
Dengan demikian, pengihlasan dan pensucian niyat, merupakan dasar dari pelaksanaan ibadah puasa, karena puasa yang kita lakukan ditujukan hanya kepada Allah semata. Seorang tidak akan mungkin puasa jika hanya untuk dinilai orang atau masyarakat sebagai seorang yang berpuasa, yang alim, yang taat beragama, atau pujian lainnya, karena tanpa harus puasa pun dia dapat berpura-pura puasa. Seorang yang berpuasa sadar, bahwa ibadah yang dilakukan bukan sebuah kepura-puraan, dia berpuasa karena implementasi dari rasa keimanan dan ketaatan pada Tuhan yang Maha Melihat, Maha Mengetahui Maha Mengawasi segala perbuatan manusia, dia selalu menyadari dan meyakini kehadiran Tuhan setiap saat, dan ditempat manapun ia berada.
Kesadaran seperti ini lahir dari pengihlasan dan pensucian niyat yang dilakukan oleh para shaimin dan shaimat dalam bulan suci ramadhan. Modal tazkiyatu al-niyat yang kita peroleh tersebut akan menghindarkan kita dari sifat riya’ (ingin dinilai dan dipuji oleh orang lain). Dalam ibadah, kita hanya beribadah kepada dan untuk Allah, kita beramal karena Allah, bersedekah karena Allah, menyantuni faqir miskin dan anak yatim untuk meringankan beban dan menggembirakan mereka pada hari ini karena Allah, bukan karena yang lain, juga bukan memberi karena ingin dibalas, diperhatikan oleh orang lain, memberi dan membag-bagi hadiah, parcel, angpao dan semacamnya kepada mereka yang sebenarnya telah berkecukupan dari segi materi, dari pejabat kepada pejabat, atau dari pengusaha kepada pejabat, dan yang lainnya.
Ibadah puasa yang kita laksanakan, juga merupakan upaya kita untuk menjaga dan mengembalikan kesucian diri (nafs) kita (tazkiyatu al-nafsiah). Hakekat dan asal kejadian kita adalah suci, tanpa beban dosa, namun kemungkinan untuk melakukan dosa dan kesalahan telah ada dalam diri manusia, sebagaimana kemungkinan untuk melakukan ketaatan dan ketaqwaan. “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan jalan ketaqwaan, sesunguhnya beruntunglah orang yang mensuci-kan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (QS.
Keterlibatan dan interaksi manusia dalam menjalankan hidup dan kehidupannya di muka bumi tidak dapat lepas dari dua kecenderungan dasar di atas, yakni kecenderungan untuk berbuat dosa (fasiq) dan kecenderungan untuk taat (taqwa). Peluang ini dimanfaatkan oleh iblis dan syaethan untuk menggoda dan mempengaruhi manusia agar berbuat dosa (fasiq), serta jauh dari ketaatan (taqwa). Dengan demikian, kita semua tentu pernah melakukan dosa dan kesalahan, sehingga kesucian jiwa dan diri kita ternoda, namun kecenderungan untuk taat (taqwa) akan selalu menarik kita agar kembali kepada hakekat kesucian diri, bisikan penyesalan atas dosa yang dikerjakan serta dorongan untuk memohon ampunan Tuhan akan selalu hadir dalam diri manusia, Rasul bersabda: “Tiap-tiap anak cucu Adam pernah berbuat salah (dosa), dan sebaik-baik orang bersalah (berdosa) adalah mereka yang bertaubat”
Kehadiran bulan ramadhan, bulan tempat melebur dan membakar dosa, merupakan kesempatan bagi kita untuk menumbuh suburkan kecenderungan berbuat taat (taqwa), sehingga kita dapat kembali kepada hakekat asal kejadian kita, salah satu jaminan yang disampaikan oleh Rasul, terkait dengan pelaksanaan ibadah puasa yang dilaksanakan dengan penuh keyakinan (iman) dan kesungguhan (ihtisab), adalah ampunan dari Allah atas dosa dan kesalahan yang pernah kita kerjakan: “Barangsiapa yang melaksanakan ibadah puasa dengan penuh keyakinan dan kesungguhan, maka diampuni dosa dan kesalahannya di masa lalu”
Dalam hadits lain disebutkan:“Barangsiapa yang melaksanakan ibadah puasa dengan penuh keyakinan dan kesungguhan, maka ia keluar dari dosanya, ibarat bayi yang baru lahir dari rahim ibunya”
Kesucian diri dan jiwa dari dosa, sebagai salah satu hasil dari pelaksanaan puasa, berimplikasi pada kesadaran diri untuk selalu berusaha menjadi suci, dan berbuat suci.
Dalam ibadah puasa kita dididik untuk selalu menghindari perbuatan dan perkataan dosa, tindakan tercela dan sia-sia, karena dapat merusak dan menjadikan puasa kita tidak bermakna. Kita juga dididik untuk dapat mengendalikan hawa nafsu, dan keinginan-keinginan yang sifatnya duniawi. Hal ini merupakan perwujudan dari usaha kita untuk membersihkan dan memelihara kesucian diri (tazkiyatu al-nafsiyah).
Jika kebiasaan prilaku dalam berpuasa tersebut kita dapat pelihara, maka jiwa (nafs) kita akan merasakan indahnya hakekat kesucian, serta akan peka (sensitif) untuk menolak tindak perbuatan salah dan dosa yang kita lakukan. Sebaliknya, kebiasaan melakukan perbuatan dosa, kesalahan dan kesia-siaan, akan menjadikan jiwa kita tidak lagi dapat membedakan perbuatan dosa dan kesalahan, bahkan kadang perbuatan salah, justru dicarikan dalil pembenaran. Maka digantilah istilah sogokan sebagai ucapan terima kasih, parcel, hadiah dan sebagainya; memeras orang dengan alasan membantu, mengeksploitasi dengan dalih mencarikan pekerjaan dan semacamnya.
Upaya pensucian diri (tazkiyatu al-nafsiyah) yang dilakukan dalam bulan suci ramadhan, selain ibadah puasa itu sendiri, adalah penunaian ibadah zakat fitrah. Zakat fitrah itu sendiri dalam hadits Rasul saw., disebutkan sebagai media untuk mensucikan diri orang yang berpuasa, serta pembiasaan sikap menyantuni faqir-miskin “Zakat Fithrah adalah pembersih diri bagi orang yang berpuasa dan pemberian makan kepada orang miskin” (Al-Hadits)
Sifat murah-hati dan suka memberi, merupakan sifat Tuhan yang Maha Suci. Manusia yang suci dan cenderung berbuat suci, sebagai refleksi dari kesucian diri (nafs) akan selalu berusaha mencontoh sifat dan akhlak Tuhan: “Berakhlaqlah dengan Akhlaq Tuhan” kata Rasul.
Hal ini pun sangat terkait dengan posisi kita sebagai makhluk selalu merasa kurang dan tidak cukup, sehingga meminta dan memohon kepada Tuhan yang Maha Sempurna dan Maha Cukup. Ada sebuah hukum sosial yang lahir disini, bahwa jika seorang hamba meminta dan berharap Tuhan mengabulkan permintaannya, maka biasakanlah diri untuk mengabulkan permintaan mereka yang membutuhkan, dan jika berharap kebutuhan kita dapat dipenuhi oleh Allah, maka biasakanlah diri untuk memenuhi hajat mereka yang membutuhkan.
Zakat fithrah, salah satu dimensinya, adalah mengajarkan kita untuk terbiasa memberi, mencontoh sifat dan akhlaq Tuhan. Dan dari kebiasaan dan kesadaran mengeluarkan zakat fithrah, akan menuntun kita pada kesadaran untuk mengeluarkan zakat harta.
Zakat harta, disamping fungsi pensucian diri dengan mencontoh sifat dan akhlaq Tuhan, juga berfungsi untuk mensucikan harta (tazkiyatu al-maliyah), sehingga harta yang kita peroleh, dapat kita manfaatkan dalam keadaan yang bersih. Allah menegaskan: “Ambillah zakat harta mereka, untuk membersihkan mereka dan mensucikan harta mereka” (QS. )
Akhirnya, segala upaya dan usaha untuk mensucikan niyat (tazkiyatu al-niyat), mensucikan diri (tazkiyatu al-nafsi) dan mensucikan harta (tazkiyatu al-maliyah), yang kita lakukan selama 30 hari dalam bulan suci ramadhan yang baru saja meninggalkan kita merupakan aset yang sangat berharga untuk memasuki dan mengisi hari-hari kita yang akan datang. Kita tentu berharap, agar kebiasaan baik dan terpuji yang kita lakukan selama bulan ramadhan, seperti keihklasan dalam berbuat, jauh dari sifat riya’, takabbur dan ta’ajjub, menghindarkan diri dari perkataan dan perbuatan yang tercela, sia-sia dan dosa, mampu mengendalikan diri, tidak mempeturutkan keinginan hawa nafsu, tekun melaksanakan ibadah-ibadah ritual untuk mengasah dan membangun komunikasi yang harmoni dengan Tuhan, serta gemar melakukan ibadah-ibadah sosial, untuk merangkai jalinan yang harmoni dengan sesama makhluk dapat kita pelihara.
Selamat Hari raya Idul Fithri, hari kembalinya kita pada hakekat kesucian dan jati diri manusia, Selamat meraih kemenagan, karena puasa dan zakat dapat ditunaikan.
Wallahu a’lam.
“’Idul Fithri”, hari kembali kepada fitrah. Kata Fitrah dapat diartikan asal kejadian yang suci, juga berarti jati diri manusia. Dalam salah satu hadits Rasulullah saw., bersabda: “Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang membuatnya Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR. Bukhari)
Adanya fitrah, adalah sebagai kelanjutan dari perjanjian kita dengan Allah swt., ketika kita masih berada dalam alam ruhani, sebagaimana yang diberitakan oleh salah satu ayat al-Qur’an, bahwa kita sebelum lahir dipanggil oleh Allah secara bersama-sama menghadap dan diminta kesaksian, bahwa kita akan bertuhankan hanya Allah, Raab yang Maha Tinggi, Alah berfirman: “Bukankah Aku ini Tuhanmu ? (kita semua menjawab), Ya kami bersaksi, (kami akan lakukan semua itu)” (QS. 7 : 172)
Gambaran asal kejadian manusia yang fithrah tersebut di atas, mengandung pengertian, bahwa manusia hakekatnya berasal dari yang suci (bersih), yang dalam dirinya telah tertanam penyaksian dan pengakuan diri untuk hanya bertuhankan Allah, dan itu jugalah yang menjadi jati diri manusia. Dengan demikian, ungkapan kembali kepada fithrah (‘idul fitri) adalah pernyataan kita yang telah melaksanakan ibadah puasa, dengan dasar iman (percaya dan mempercayai) Allah, serta berusaha secara sungguh-sunggu untuk melaksanakan tuntunan syariat puasa dengan sebaik-baiknya (ihtisab).
Masa 30 hari dari pelaksanaan ibadah ramadhan yang diberikan Allah kepada kita, menjadi moment untuk berusaha mengembalikan makna dan hakekat kesucian dan jati diri kita, sehingga kita pantas untuk merayakannya pada hari ini.
Usaha untuk meraih kembali hakekat fithrah tersebut, tergambar dalam upaya kita untuk melakukan pensucian (tazkiyah) atas niyat (tazkiyatu al-niyat), jiwa (tazkiyatu al-nafs) dan harta (tazkiyatu al-maal).
Ibadah puasa yang kita lakukan, merupakan satu-satunya peribadatan yang diklaim oleh Tuhan sebagai milik-Nya dan hanya Dia yang berhak untuk menilainya, Allah berfirman dalam hadits Qudsi: “Semua amalan anak cucu Adam untuknya, kecuali ibadah puasa. Karena puasa itu untuk-Ku dan hanya Aku yang berhak memberikan membalasnya (memberikan penilaian)”
Hadits ini menggaris bawahi, bahwa ibadah puasa yang kita kerjakan merupakan suatau bentuk peribadatan khusus, yang hakekat serta nilai pelaksanaannya hanya Allah yang tahu. Oleh karena itu, dituntut ketulusan dan kesucian niyat (iman dan ihtisab) dari hamba yang melaksanakan ibadah puasa. Hal ini berbeda dengan amalan lain yang kita kerjakan, apakah itu ibadah mahdah lainnya, ataupun ibadah yang sifatnya umum, dimana seorang yang melakukan ibadah shalat misalnya, orang lain dapat menjadi saksi dan memberi nilai ibadahnya, meski tidak dapat mengetahui secara pasti hakekatnya.
Dengan demikian, pengihlasan dan pensucian niyat, merupakan dasar dari pelaksanaan ibadah puasa, karena puasa yang kita lakukan ditujukan hanya kepada Allah semata. Seorang tidak akan mungkin puasa jika hanya untuk dinilai orang atau masyarakat sebagai seorang yang berpuasa, yang alim, yang taat beragama, atau pujian lainnya, karena tanpa harus puasa pun dia dapat berpura-pura puasa. Seorang yang berpuasa sadar, bahwa ibadah yang dilakukan bukan sebuah kepura-puraan, dia berpuasa karena implementasi dari rasa keimanan dan ketaatan pada Tuhan yang Maha Melihat, Maha Mengetahui Maha Mengawasi segala perbuatan manusia, dia selalu menyadari dan meyakini kehadiran Tuhan setiap saat, dan ditempat manapun ia berada.
Kesadaran seperti ini lahir dari pengihlasan dan pensucian niyat yang dilakukan oleh para shaimin dan shaimat dalam bulan suci ramadhan. Modal tazkiyatu al-niyat yang kita peroleh tersebut akan menghindarkan kita dari sifat riya’ (ingin dinilai dan dipuji oleh orang lain). Dalam ibadah, kita hanya beribadah kepada dan untuk Allah, kita beramal karena Allah, bersedekah karena Allah, menyantuni faqir miskin dan anak yatim untuk meringankan beban dan menggembirakan mereka pada hari ini karena Allah, bukan karena yang lain, juga bukan memberi karena ingin dibalas, diperhatikan oleh orang lain, memberi dan membag-bagi hadiah, parcel, angpao dan semacamnya kepada mereka yang sebenarnya telah berkecukupan dari segi materi, dari pejabat kepada pejabat, atau dari pengusaha kepada pejabat, dan yang lainnya.
Ibadah puasa yang kita laksanakan, juga merupakan upaya kita untuk menjaga dan mengembalikan kesucian diri (nafs) kita (tazkiyatu al-nafsiah). Hakekat dan asal kejadian kita adalah suci, tanpa beban dosa, namun kemungkinan untuk melakukan dosa dan kesalahan telah ada dalam diri manusia, sebagaimana kemungkinan untuk melakukan ketaatan dan ketaqwaan. “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan jalan ketaqwaan, sesunguhnya beruntunglah orang yang mensuci-kan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (QS.
Keterlibatan dan interaksi manusia dalam menjalankan hidup dan kehidupannya di muka bumi tidak dapat lepas dari dua kecenderungan dasar di atas, yakni kecenderungan untuk berbuat dosa (fasiq) dan kecenderungan untuk taat (taqwa). Peluang ini dimanfaatkan oleh iblis dan syaethan untuk menggoda dan mempengaruhi manusia agar berbuat dosa (fasiq), serta jauh dari ketaatan (taqwa). Dengan demikian, kita semua tentu pernah melakukan dosa dan kesalahan, sehingga kesucian jiwa dan diri kita ternoda, namun kecenderungan untuk taat (taqwa) akan selalu menarik kita agar kembali kepada hakekat kesucian diri, bisikan penyesalan atas dosa yang dikerjakan serta dorongan untuk memohon ampunan Tuhan akan selalu hadir dalam diri manusia, Rasul bersabda: “Tiap-tiap anak cucu Adam pernah berbuat salah (dosa), dan sebaik-baik orang bersalah (berdosa) adalah mereka yang bertaubat”
Kehadiran bulan ramadhan, bulan tempat melebur dan membakar dosa, merupakan kesempatan bagi kita untuk menumbuh suburkan kecenderungan berbuat taat (taqwa), sehingga kita dapat kembali kepada hakekat asal kejadian kita, salah satu jaminan yang disampaikan oleh Rasul, terkait dengan pelaksanaan ibadah puasa yang dilaksanakan dengan penuh keyakinan (iman) dan kesungguhan (ihtisab), adalah ampunan dari Allah atas dosa dan kesalahan yang pernah kita kerjakan: “Barangsiapa yang melaksanakan ibadah puasa dengan penuh keyakinan dan kesungguhan, maka diampuni dosa dan kesalahannya di masa lalu”
Dalam hadits lain disebutkan:“Barangsiapa yang melaksanakan ibadah puasa dengan penuh keyakinan dan kesungguhan, maka ia keluar dari dosanya, ibarat bayi yang baru lahir dari rahim ibunya”
Kesucian diri dan jiwa dari dosa, sebagai salah satu hasil dari pelaksanaan puasa, berimplikasi pada kesadaran diri untuk selalu berusaha menjadi suci, dan berbuat suci.
Dalam ibadah puasa kita dididik untuk selalu menghindari perbuatan dan perkataan dosa, tindakan tercela dan sia-sia, karena dapat merusak dan menjadikan puasa kita tidak bermakna. Kita juga dididik untuk dapat mengendalikan hawa nafsu, dan keinginan-keinginan yang sifatnya duniawi. Hal ini merupakan perwujudan dari usaha kita untuk membersihkan dan memelihara kesucian diri (tazkiyatu al-nafsiyah).
Jika kebiasaan prilaku dalam berpuasa tersebut kita dapat pelihara, maka jiwa (nafs) kita akan merasakan indahnya hakekat kesucian, serta akan peka (sensitif) untuk menolak tindak perbuatan salah dan dosa yang kita lakukan. Sebaliknya, kebiasaan melakukan perbuatan dosa, kesalahan dan kesia-siaan, akan menjadikan jiwa kita tidak lagi dapat membedakan perbuatan dosa dan kesalahan, bahkan kadang perbuatan salah, justru dicarikan dalil pembenaran. Maka digantilah istilah sogokan sebagai ucapan terima kasih, parcel, hadiah dan sebagainya; memeras orang dengan alasan membantu, mengeksploitasi dengan dalih mencarikan pekerjaan dan semacamnya.
Upaya pensucian diri (tazkiyatu al-nafsiyah) yang dilakukan dalam bulan suci ramadhan, selain ibadah puasa itu sendiri, adalah penunaian ibadah zakat fitrah. Zakat fitrah itu sendiri dalam hadits Rasul saw., disebutkan sebagai media untuk mensucikan diri orang yang berpuasa, serta pembiasaan sikap menyantuni faqir-miskin “Zakat Fithrah adalah pembersih diri bagi orang yang berpuasa dan pemberian makan kepada orang miskin” (Al-Hadits)
Sifat murah-hati dan suka memberi, merupakan sifat Tuhan yang Maha Suci. Manusia yang suci dan cenderung berbuat suci, sebagai refleksi dari kesucian diri (nafs) akan selalu berusaha mencontoh sifat dan akhlak Tuhan: “Berakhlaqlah dengan Akhlaq Tuhan” kata Rasul.
Hal ini pun sangat terkait dengan posisi kita sebagai makhluk selalu merasa kurang dan tidak cukup, sehingga meminta dan memohon kepada Tuhan yang Maha Sempurna dan Maha Cukup. Ada sebuah hukum sosial yang lahir disini, bahwa jika seorang hamba meminta dan berharap Tuhan mengabulkan permintaannya, maka biasakanlah diri untuk mengabulkan permintaan mereka yang membutuhkan, dan jika berharap kebutuhan kita dapat dipenuhi oleh Allah, maka biasakanlah diri untuk memenuhi hajat mereka yang membutuhkan.
Zakat fithrah, salah satu dimensinya, adalah mengajarkan kita untuk terbiasa memberi, mencontoh sifat dan akhlaq Tuhan. Dan dari kebiasaan dan kesadaran mengeluarkan zakat fithrah, akan menuntun kita pada kesadaran untuk mengeluarkan zakat harta.
Zakat harta, disamping fungsi pensucian diri dengan mencontoh sifat dan akhlaq Tuhan, juga berfungsi untuk mensucikan harta (tazkiyatu al-maliyah), sehingga harta yang kita peroleh, dapat kita manfaatkan dalam keadaan yang bersih. Allah menegaskan: “Ambillah zakat harta mereka, untuk membersihkan mereka dan mensucikan harta mereka” (QS. )
Akhirnya, segala upaya dan usaha untuk mensucikan niyat (tazkiyatu al-niyat), mensucikan diri (tazkiyatu al-nafsi) dan mensucikan harta (tazkiyatu al-maliyah), yang kita lakukan selama 30 hari dalam bulan suci ramadhan yang baru saja meninggalkan kita merupakan aset yang sangat berharga untuk memasuki dan mengisi hari-hari kita yang akan datang. Kita tentu berharap, agar kebiasaan baik dan terpuji yang kita lakukan selama bulan ramadhan, seperti keihklasan dalam berbuat, jauh dari sifat riya’, takabbur dan ta’ajjub, menghindarkan diri dari perkataan dan perbuatan yang tercela, sia-sia dan dosa, mampu mengendalikan diri, tidak mempeturutkan keinginan hawa nafsu, tekun melaksanakan ibadah-ibadah ritual untuk mengasah dan membangun komunikasi yang harmoni dengan Tuhan, serta gemar melakukan ibadah-ibadah sosial, untuk merangkai jalinan yang harmoni dengan sesama makhluk dapat kita pelihara.
Selamat Hari raya Idul Fithri, hari kembalinya kita pada hakekat kesucian dan jati diri manusia, Selamat meraih kemenagan, karena puasa dan zakat dapat ditunaikan.
Wallahu a’lam.
Langganan:
Postingan (Atom)