Tulisan ini ditulis oleh Sidik Pramono, yang menurut saya perlu dan penting untuk dibaca bagi siapa saja yang mengharapkan dan mencita-citakan sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawah. untuk itu semua orang mestinya dapat menempatkan diri sebagai "pengawas" yang setiap saat dapat mengatakan ia atau tidak, bukan hanya mereka yang bisa membeo. (Saiful Jihad)
Bisa dibayangkan bagaimana jika mantan Sekretaris Jenderal Departemen
Kelautan dan Perikanan Andin H Taryoto dan juga Kepala Bagian Umum di
Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Didi Sadili berani
menolak "perintah" Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri untuk
menghimpun dana nonbudgeter?
Kalau saja ada keberanian menolak perintah yang menyimpang, pasti tidak
akan terjadi saling lempar tudingan antara mantan Kepala Biro Keuangan
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hamdani Amin, mantan Sekretaris Jenderal
Safder Yusacc, dan mantan Ketua KPU Prof Nazaruddin Sjamsuddin mengenai
siapa yang punya ide memerintahkan dan bertanggung jawab mengenai
pengumpulan dana taktis dari sejumlah perusahaan rekanan. Kalau saja
"perlawanan" dilakukan, bisa jadi para bawahan itu tidak harus berurusan
dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Birokrasi negara ini terlihat semakin buruk ketika sistem tak memungkinkan
seorang pegawai yang baik untuk melawan perintah atasannya yang
menyimpang. Kasus dana nonbudgeter atau dana taktis di instansi pemerintah
bukanlah hal baru. Barulah ketika KPK turun tangan, terbeberlah fakta
mengenai praktik menyimpang di lembaga negara itu.
Bisa jadi, para pegawai negeri di Indonesia terjangkit gejala "kepatuhan
buta" atas perintah atasannya. Perdebatan sulit dilakukan karena yang
lebih dominan adalah ketakutan bahwa sanggahan bakal meninggalkan cap
buruk yang memengaruhi kelanjutan kariernya.
Apalagi kalau ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No 8/1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian
diimplementasikan begitu saja tanpa sikap kritis: "Setiap Pegawai Negeri
wajib menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepadanya dengan penuh
pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab."
Mentalitas birokrasi
Mengutip Ketua Program Magister Manajemen Universitas Indonesia (UI)
Rhenald Kasali (Kompas, 7/3/2007), ada dua kemungkinan yang membuat
birokrasi kita tampak ragu, lamban. Para pejabat birokrasi selalu menunggu
petunjuk karena hal itu merupakan bentuk ekspresi sopan santun kepada
atasan agar tidak menonjolkan diri atau terkesan sok tahu. Namun, bisa
juga hal itu terjadi karena superioritas atasan. Bawahan "terpaksa"
meminta petunjuk karena atasannya menghendaki demikian.
Buruknya, bagaimana jika petunjuk yang diberikan atasan justru menyimpang?
Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 mengenai Peraturan
Disiplin Pegawai Negeri tercantum ketentuan bahwa pegawai "segera
melaporkan kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat
membahayakan atau merugikan negara/pemerintah, terutama di bidang
keamanan, keuangan, dan material".
Artinya, butuh kekuatan sangat besar, keberanian luar biasa, untuk melawan
sistem yang dikendalikan individu bermental koruptif.
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) Taufiq Effendi dalam
berbagai kesempatan menyatakan, RUU Administrasi Pemerintahan nantinya
bakal menjadi instrumen untuk menangkal korupsi di birokrasi. RUU yang
naskahnya sudah digodok di Kementerian Negara PAN sejak 3,5 tahun lalu itu
diyakini bisa menjadi dasar hukum dan pedoman bagi setiap pejabat
administrasi pemerintahan, mencegah penyalahgunaan kewenangan, dan menutup
kesempatan untuk melakukan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.
Dalam draf RUU memang dinyatakan bahwa dalam pembuatan keputusan
administrasi pemerintahan, pejabat tidak berwenang terlibat dalam
penetapannya jika merupakan pihak yang terlibat, kerabat atau keluarga
pihak yang terlibat, ataupun wakil pihak yang terlibat.
Juga dilarang terlibat jika merupakan pihak yang bekerja dan mendapatkan
gaji dari pihak yang terlibat ataupun menjadi pihak yang memberi
rekomendasi terhadap pihak yang terlibat. Larangan itu juga berlaku jika
ada hubungan khusus dengan pihak yang terlibat, seperti teman, tunangan,
pengampu, dan pemelihara.
Pihak yang terlibat dalam pembuatan keputusan administrasi pemerintahan
dapat memberikan keterangan mengenai dugaan dan kecurigaan tentang
keberpihakan pejabat dalam proses pengambilan keputusan.
Keberpihakan itu diartikan sebagai upaya untuk memengaruhi pembuatan
keputusan yang menguntungkan diri sendiri dan kelompoknya, antara lain
dalam kegiatan bisnis maupun kegiatan sosial. Keterangan itu disampaikan
kepada atasan pejabat yang bersangkutan. Berikutnya, atasan wajib
menyampaikan secara tertulis keterangan itu kepada pimpinan instansi yang
bersangkutan.
Namun, bagi Pipit R Kartawidjaja dari Watch Indonesia di Berlin, perlu
terobosan untuk menembus "kepatuhan buta" kepada atasan, sebagaimana
membudaya di Indonesia. Di Jerman, pegawai negerinya bertanggung jawab
penuh "secara pribadi" terhadap kesesuaian hukum pelaksanaan tugas
kedinasannya.
Undang-Undang Pegawai Negara Bradenburg, misalnya menyebutkan, seorang
pegawai berkewajiban melaksanakan perintah kedinasan. Dalam pelaksanaan
perintah kedinasan itu, tanggung jawab terletak pada pemberi perintah.
Seorang pegawai tidak harus tunduk pada perintah yang dalam pelaksanaannya
bertentangan dengan undang-undang hukum pidana.
Kalaupun kemudian sanggahan itu diabaikan para atasan dan perintah dinas
mesti dipertahankan, seorang pegawai harus melaksanakan perintah kedinasan
itu, sepanjang dengan kesadaran bahwa perintah itu tidak melanggar
ketertiban dan kejahatan pidana atau tidak melanggar serta melecehkan hak
asasi manusia. Tanggung jawab pribadinya lepas dan atasannya harus
memberikan pengesahan perintah itu secara tertulis jika diminta oleh
penyanggahnya.
Jika timbul masalah pada kemudian hari, atasan pun tak bisa berkelit lagi.
Kewajiban menyanggah bakal menjadi "kontrol internal", bagi pegawai
bersangkutan dan sekaligus bagi para atasannya.
Jadi, tampaknya masih akan panjang jalan mewujudkan birokrasi yang bersih
dari mentalitas koruptif. Butuh terobosan luar biasa, terutama dari dalam
mesin birokrasi sendiri. Saling kontrol, saling mengingatkan, saling
mengawasi merupakan budaya bagus yang mesti dikembangkan.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan "perlawanan dari
dalam". Jika diperintah untuk berbuat salah, kenapa mesti takut
menyanggah?
Rabu, 31 Oktober 2007
Senin, 29 Oktober 2007
Menumbuhkembangkan Potensi Siswa
Oleh. Drs. H. Hanafi, M.Pd.
Siswa adalah salah satu pelaku utama pendidikan. Maka menumbuhkembangkan potensi siswa menjadi hal yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan. untuk mencapai kualitas pendidikan yang tinggi Direktorat Pendidikan Madrasah terdapat Subdit Kesiswaan yang memiliki tugas melaksanakan pembinaan dan pelayanan perumusan standar nasional, pembinaan kesiswaan serta peningkatan kemampuan, keterampilan dan pengembangan sumberdaya kesiswaan pada pendidikan pra sekolah (Raudhatul atfal, Bustanul Athfal dan Tarbiyatul Athfal) dan madrasah berdasrkan sasaran, program dan kegiatan-kegiatan.
Minat dan interest merupakan sumber motivasi yang mendorong anak untuk melakukan apa yang diinginkannya. Minat turut menentukan keunikan pribadi masing-masing anak karena dianggap sebagai sesuatu yang dipilih anak untuk menunjukkan eksistensi dirinya. Munculnya minat melibatkan mental anak secara kognitif maupun afektif. Secara kognitif, jika kegiatan yang dilakukan anak merupakan tempat anak belajar tentang hal-hal yang menimbulkan rasa ingin tahu. Termasuk dalam kegiatan mempelajari bidang studi tertentu di sekolah. Secara afektif, jika kegiatan yang dilakukan memberikan pengalaman emosional yang menyenangkan. Contoh, karena pengalaman yang menyenangkan dengan teman-teman dalam bermain bola, maka minat terhadap kegiatan ini akan semakin menguat.
Minat bersifat egosentris, karena macam minat pada setiap anak berbeda tergantung pada kebutuhan dan apa yang dirasa menguntungkan anak. Minat muncul secara kebetulan ketika anak menemukan bahwa sesuatu begitu menarik perhatian maupun meniru dari orang-oeang yang dicintai dan dikagumi. Minat juga dapat berkembang melalui bimbingan dan mengarahkan seseorang yang mahir menilai kemampuan anak.
Minat sering dikaitkan dengan bakat atau kemampuan khusus. Keduanya berbeda tetapi seringkali melekat satu sama lain. Keduanya dapat dijadikan pertimbangan untuk memilih, bahkan indicator keberhasilan anak di bidang tertentu. Keberhasilan tersebut dapat ditentukan oleh seberapa besar minat dan bakat yang dimiliki untuk menekuni bidang tersebut. Karena untuk dapat berhasil, seseorang harus mau dan mampu.
Cara yang tepat untuk mengetahui minat dan bakat adalah dengan melihat bidang atau pelajaran mana yang disenangi anak dan anak mudah untuk mempelajarinya. Minat dan bakat tidak dibawa sejak lahir tetapi justru siperoleh dari lingkungan dan proses pembelajaran. Oleh karena itu, minat dan bakat tidak dapat lepas dari kesempatan anak untuk mengalami sendiri pada suatu bidang atau kegiatan yang tersedia.
Disinilah urgensinya reformasi pendidikan, salah satu diantaranya adalah student centered learning, yaitu pembelajaran berpusat pada (kepentingan) siswa untuk mengembangkan potensi siswa. Melalui pembelajaran seperti ini, siswa merasa tersanjung dan terhormat karena dapat menyuarakan gagasan dan bakatnya. Siswa menjadi subjek dan bukan menjadi objek pembelajaran yang selama ini dipahami banyak orang. Dari konteks ini, pendidi berperan sebagai pendorong (motivator) dalam pengembangan segenap potensi siswa melalui vitalitas keingintahuan siswa untuk mencipta dan mengembangkan potensi dirinya.
Maka kegiatan subdit kesiswaan sangat penting untuk mendukung dan mendesain maksud dan tujuan tersebut diatas, sehingga bakat-bakat itu muncul dan kecerdasan-kecerdasan itu teraplikasi dengan baik dan terarah serta terhindar dari pergaulan bebas yang membawa pada kenegatifan. Beberapa contoh hasil penelitian yang berkaitan dengan kegiatan kesiswaan :
1. Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa olahraga teratur meningkatkan kinerja mental. Penemuan Dr. tuckman berasal dari penelitiannya yang menemukan bahwa anak sekolah yang ikut serta dalam program lari pagi selama lima belas minggu mendapatkan hasil lebih baik dalam tes kreativitas dari pada anak yang tidak melakukan olehraga. Hal itu juga dilakukan Dr. Ted Bashore, professor ahli psikiatri di akademik kesehatan Pensylvania mendukung penelitian Tuckman bahwa pelatihan aerobic tidak hanya akan membuat perbedaan pda fungsi jantung, paru-paru, otot, namun juga akan membuat perbedaan dalam cara otak memproses informasi, misalnya mampu (mengefisiensikan) mengambil keputusan dalam keadaan terdesak, begitu pula dalam membentuk ingatan.
2. Schoen dan Gatewood melaporkan data 20.000 orang yang menunjukkan perubahan gairah sebagai pengaruh dari musik. Hal itu diperkuat eksperimen Newcomb (1994) bahwa konseling dengan musik dapat menumbuhkan kepercayaan / harga diri anak dan dapat memotivasi perubahan perilaku. Sama juga hasil penelitian yang dilakukan Rahmawati (1998) bahwa musik dapat mereduksi stress, menciptakan ketenangan jiwa dan dapat meningkatkan produktivitas siswa. Menurut Campbel (2001) mengemukakan beberapa gagasan berdasarkan data-data hasil penelitian berkenaan dengan cara kerja musik dalam memberikan pengaruh terhadap kehidupan, diantaranya a). musik dapat memperkuat dan menyeimbangkan gelombang otak ; b) musik mempengaruhi pernapasan; c) musik mempengaruhi denyut jantung, denyut nadi, dan tekanan dsar; d) musik mengurangi ketegangan otot dan memperbaiki gerak dan koordinasi tubuh ; e) musik mempengaruhi suu badan; f) musik dapat menaikkan tingkat endorphin (zat cantu otak); dan g) musik dapat mengatur system hormonal.
3. Semua anak seharusnya mendapat “kesempatan” sebanyak yang mereka butuhkan dan mereka inginkan. Anak yang berbakat umumnya bias menemukan lebih banyak kesempatan dibandingkan dengan anak biasa, dan secara aktif, mereka selalu mencari kesempatan tersebut. Connie Eales (1983) menuturkan bahwa para tokoh/ilmuan pada masa mudanya banyak memiliki “kesempatan” untuk berekspresi itu diantaranya diwujudkan melalui lomba-lomba atau olimpiade. Saran tersebut sangat strategis karena banyak sekali dampak (manfaat) positif yang diperoleh, yaitu untuk a) mencari bibit unggul dalam bakat tertentu; b) dapat memotivasi diri untuk berbuat yang lebih baik; c) dapat menumbuhkan sportivitas dan rasa percaya diri , d) membangun kebersamaan dalam keragaman dan e) menanamkan solidaritas keberbakatan.
4. Menurut Daniel Goleman bahea keberhasilan seseorang di masyarakat sebagian besar ditentukan oleh kecerdasan emosi, yaitu 80% dan hanya 20% ditentukan oleh factor kecerdasan kognitif (IQ). Hasil penelitian Goerge Boggs juga menunjukkan bahwa 13 faktor penunjang keberhasilan seseorang di dunia kerja, dan ternyata dari 13 faktor tersebut, 10 diantaranya (hampir 80%) adalah kualitas karakter seseorang, dan hanya 3 faktor yang berkaitan dengan factor kecerdasan (IQ).
5. Penyalahgunaan dan peredaran narkoba merupakan salah satu penyakit social masyarakat yang tidak bias dianggap remeh, karena itu penyakit ini secara langsung atau tidak langsung dapat membawa dampak negatif terhadap kehidupan sosial, ekonomi, agama dan budaya. Oleh karena itu, harus ada upaya perlawanan dan pencegahan penyalahgunaan dan peredaran narkoba adalah tugas dan tanggungjawab kita bersama sebagai komponen bangsa.
Untuk menumbuhkembangkan potensi siswa yang unik subdit kesiswaa Direktorat Pendidikan Madrasah memiliki rencana strategis sebagai berikut :
VISI : • menumbuhkembangkan potensi siswa dalam proses pembentukan karakter, cerdas, kreatif, mandiri, dan demokratis yang dilandasi nilai-nilai keagamaan sehingga mampu bersaing di era global
MISI : • Pemberian kesempatan yang seluas-luasnya kepada siswa untuk menggali dan mengembangkan potensinya sehingga dapat beraktualisasi diri dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa
• Penciptaan kultur Islami dan kultur belajar efektif khususnya di lingkungan madrasah sebagai proses pembelajaran .
Kemudian visi dan misi yang ada dituangkan kedalam beberapa program dan dilaksanakan dalam bentuk kegiatan-kegiatan yaitu :
1. Program pembinaan dan pengembangan potensi / bakat siswa dalam hak pendidikan. program ini dilaksanakan dalam kegiatan diantaranya - Sosialisasi kegiatan eskul pada madrasah - Bantuan beasiswa miskin - Bantuan beasiswa berprestasi - Bantuan pembinaan olehraga dan seni - Bantuan eskul di madrasah - Lomba karya ilmiah remaja - Lomba mengarang - Porseni madrasah - Olimpiade / lomba sains dan agama madrasah - Cerdas cermat / debat ilmiah - Lomba pidato berbahasa arab dan pidato berbahasa inggris
2. Program peningkatan kesehatan siswa dalam rangka perkembangan jasmani secara normal, sehat dan ceria, sedangkan bentuk kegiatan dari program ini diantaranya : - Orientasi penyadaran kesehatan bagi siswa - Orientasi kesehatan reproduksi - Orientasi penanggulangan dampak napza - Tot penyuluhan kesehatan reproduksi remaja - Orientasi pencegahan HIV/AIDS - Bantuan UKS - Bantuan pembinaan penyalahgunaan narkoba
3. Program peningkatan pemahaman manajemen dan kepemimpinan dalam mengelola organisasi, baik di kelas maupun di madrasah (OSIS), dengan bentuk kegiatan sebagai berikut : - Orientasi Manajemen MOPD/MOS - Orientasi pengurus OSIS - Latihan dasar kepemimpinan siswa - Orientasi Need Assessment bagi guru Pembina OSIS
4. Program pengembangan kemampuan berpikir dan belajar secara mandiri terhadap (materi) pelajaran di madrasah dan dalam rangka mengadapi pendidikan sepanjang hayat, dituangkan dalam bentuk kegiatan sebagai berikut : - Workshop strategi melejitkan kemampuan siswa - Workshop peningkatan kreatifitas siswa - Latihan pers dan jurnalistik remaja - Orientasi pengembangan prestasi, minat dan bakat siswa - Bantuan kreativitas
5. Program peningkatan pemahaman kebangsaan dalam rangka penguatan proses pembelajaran, dalam bentuk kegiatan sebagai berikut : - Jambore madrasah - Perkemahan sabtu minggu - Bantuan kegiatan PASKIBRA dan PBB
6. Program peningkatan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt, dengan bentuk kegiatan sebagai berrikut : - Pendalaman materi pendidikan agama - Kegiatan peringatan hari-hari besar agama Islam - Pelatihan mengimplementasi iabadh sosial di madrasah.
Program-program dan kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan untuk melindungi dan sekaligus mencerdaskan dan mensejahterakan anak Indonesia. Karena begitu pentingnya eksistensi anak/siswa dalam berbangsa dan bernegara, beberapa peraturan yang menjadi rujukan adalah sebagai berikut :
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera; 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan; 4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak; 5.Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Penggunaan Narkoba dan Zat Adiktif Lainnya; 6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Obat Lainnya yang Memiliki Zat Adiktif; 7. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada pasal 52 sampai pasal 66 mengenai Hak Anak; 8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 9.Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang System Pendidikan Nasional; 10. Keputusan Presiden RI Nomor 44 Tahun 1984 tentang Hari Anak Nasional.
Siswa adalah salah satu pelaku utama pendidikan. Maka menumbuhkembangkan potensi siswa menjadi hal yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan. untuk mencapai kualitas pendidikan yang tinggi Direktorat Pendidikan Madrasah terdapat Subdit Kesiswaan yang memiliki tugas melaksanakan pembinaan dan pelayanan perumusan standar nasional, pembinaan kesiswaan serta peningkatan kemampuan, keterampilan dan pengembangan sumberdaya kesiswaan pada pendidikan pra sekolah (Raudhatul atfal, Bustanul Athfal dan Tarbiyatul Athfal) dan madrasah berdasrkan sasaran, program dan kegiatan-kegiatan.
Minat dan interest merupakan sumber motivasi yang mendorong anak untuk melakukan apa yang diinginkannya. Minat turut menentukan keunikan pribadi masing-masing anak karena dianggap sebagai sesuatu yang dipilih anak untuk menunjukkan eksistensi dirinya. Munculnya minat melibatkan mental anak secara kognitif maupun afektif. Secara kognitif, jika kegiatan yang dilakukan anak merupakan tempat anak belajar tentang hal-hal yang menimbulkan rasa ingin tahu. Termasuk dalam kegiatan mempelajari bidang studi tertentu di sekolah. Secara afektif, jika kegiatan yang dilakukan memberikan pengalaman emosional yang menyenangkan. Contoh, karena pengalaman yang menyenangkan dengan teman-teman dalam bermain bola, maka minat terhadap kegiatan ini akan semakin menguat.
Minat bersifat egosentris, karena macam minat pada setiap anak berbeda tergantung pada kebutuhan dan apa yang dirasa menguntungkan anak. Minat muncul secara kebetulan ketika anak menemukan bahwa sesuatu begitu menarik perhatian maupun meniru dari orang-oeang yang dicintai dan dikagumi. Minat juga dapat berkembang melalui bimbingan dan mengarahkan seseorang yang mahir menilai kemampuan anak.
Minat sering dikaitkan dengan bakat atau kemampuan khusus. Keduanya berbeda tetapi seringkali melekat satu sama lain. Keduanya dapat dijadikan pertimbangan untuk memilih, bahkan indicator keberhasilan anak di bidang tertentu. Keberhasilan tersebut dapat ditentukan oleh seberapa besar minat dan bakat yang dimiliki untuk menekuni bidang tersebut. Karena untuk dapat berhasil, seseorang harus mau dan mampu.
Cara yang tepat untuk mengetahui minat dan bakat adalah dengan melihat bidang atau pelajaran mana yang disenangi anak dan anak mudah untuk mempelajarinya. Minat dan bakat tidak dibawa sejak lahir tetapi justru siperoleh dari lingkungan dan proses pembelajaran. Oleh karena itu, minat dan bakat tidak dapat lepas dari kesempatan anak untuk mengalami sendiri pada suatu bidang atau kegiatan yang tersedia.
Disinilah urgensinya reformasi pendidikan, salah satu diantaranya adalah student centered learning, yaitu pembelajaran berpusat pada (kepentingan) siswa untuk mengembangkan potensi siswa. Melalui pembelajaran seperti ini, siswa merasa tersanjung dan terhormat karena dapat menyuarakan gagasan dan bakatnya. Siswa menjadi subjek dan bukan menjadi objek pembelajaran yang selama ini dipahami banyak orang. Dari konteks ini, pendidi berperan sebagai pendorong (motivator) dalam pengembangan segenap potensi siswa melalui vitalitas keingintahuan siswa untuk mencipta dan mengembangkan potensi dirinya.
Maka kegiatan subdit kesiswaan sangat penting untuk mendukung dan mendesain maksud dan tujuan tersebut diatas, sehingga bakat-bakat itu muncul dan kecerdasan-kecerdasan itu teraplikasi dengan baik dan terarah serta terhindar dari pergaulan bebas yang membawa pada kenegatifan. Beberapa contoh hasil penelitian yang berkaitan dengan kegiatan kesiswaan :
1. Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa olahraga teratur meningkatkan kinerja mental. Penemuan Dr. tuckman berasal dari penelitiannya yang menemukan bahwa anak sekolah yang ikut serta dalam program lari pagi selama lima belas minggu mendapatkan hasil lebih baik dalam tes kreativitas dari pada anak yang tidak melakukan olehraga. Hal itu juga dilakukan Dr. Ted Bashore, professor ahli psikiatri di akademik kesehatan Pensylvania mendukung penelitian Tuckman bahwa pelatihan aerobic tidak hanya akan membuat perbedaan pda fungsi jantung, paru-paru, otot, namun juga akan membuat perbedaan dalam cara otak memproses informasi, misalnya mampu (mengefisiensikan) mengambil keputusan dalam keadaan terdesak, begitu pula dalam membentuk ingatan.
2. Schoen dan Gatewood melaporkan data 20.000 orang yang menunjukkan perubahan gairah sebagai pengaruh dari musik. Hal itu diperkuat eksperimen Newcomb (1994) bahwa konseling dengan musik dapat menumbuhkan kepercayaan / harga diri anak dan dapat memotivasi perubahan perilaku. Sama juga hasil penelitian yang dilakukan Rahmawati (1998) bahwa musik dapat mereduksi stress, menciptakan ketenangan jiwa dan dapat meningkatkan produktivitas siswa. Menurut Campbel (2001) mengemukakan beberapa gagasan berdasarkan data-data hasil penelitian berkenaan dengan cara kerja musik dalam memberikan pengaruh terhadap kehidupan, diantaranya a). musik dapat memperkuat dan menyeimbangkan gelombang otak ; b) musik mempengaruhi pernapasan; c) musik mempengaruhi denyut jantung, denyut nadi, dan tekanan dsar; d) musik mengurangi ketegangan otot dan memperbaiki gerak dan koordinasi tubuh ; e) musik mempengaruhi suu badan; f) musik dapat menaikkan tingkat endorphin (zat cantu otak); dan g) musik dapat mengatur system hormonal.
3. Semua anak seharusnya mendapat “kesempatan” sebanyak yang mereka butuhkan dan mereka inginkan. Anak yang berbakat umumnya bias menemukan lebih banyak kesempatan dibandingkan dengan anak biasa, dan secara aktif, mereka selalu mencari kesempatan tersebut. Connie Eales (1983) menuturkan bahwa para tokoh/ilmuan pada masa mudanya banyak memiliki “kesempatan” untuk berekspresi itu diantaranya diwujudkan melalui lomba-lomba atau olimpiade. Saran tersebut sangat strategis karena banyak sekali dampak (manfaat) positif yang diperoleh, yaitu untuk a) mencari bibit unggul dalam bakat tertentu; b) dapat memotivasi diri untuk berbuat yang lebih baik; c) dapat menumbuhkan sportivitas dan rasa percaya diri , d) membangun kebersamaan dalam keragaman dan e) menanamkan solidaritas keberbakatan.
4. Menurut Daniel Goleman bahea keberhasilan seseorang di masyarakat sebagian besar ditentukan oleh kecerdasan emosi, yaitu 80% dan hanya 20% ditentukan oleh factor kecerdasan kognitif (IQ). Hasil penelitian Goerge Boggs juga menunjukkan bahwa 13 faktor penunjang keberhasilan seseorang di dunia kerja, dan ternyata dari 13 faktor tersebut, 10 diantaranya (hampir 80%) adalah kualitas karakter seseorang, dan hanya 3 faktor yang berkaitan dengan factor kecerdasan (IQ).
5. Penyalahgunaan dan peredaran narkoba merupakan salah satu penyakit social masyarakat yang tidak bias dianggap remeh, karena itu penyakit ini secara langsung atau tidak langsung dapat membawa dampak negatif terhadap kehidupan sosial, ekonomi, agama dan budaya. Oleh karena itu, harus ada upaya perlawanan dan pencegahan penyalahgunaan dan peredaran narkoba adalah tugas dan tanggungjawab kita bersama sebagai komponen bangsa.
Untuk menumbuhkembangkan potensi siswa yang unik subdit kesiswaa Direktorat Pendidikan Madrasah memiliki rencana strategis sebagai berikut :
VISI : • menumbuhkembangkan potensi siswa dalam proses pembentukan karakter, cerdas, kreatif, mandiri, dan demokratis yang dilandasi nilai-nilai keagamaan sehingga mampu bersaing di era global
MISI : • Pemberian kesempatan yang seluas-luasnya kepada siswa untuk menggali dan mengembangkan potensinya sehingga dapat beraktualisasi diri dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa
• Penciptaan kultur Islami dan kultur belajar efektif khususnya di lingkungan madrasah sebagai proses pembelajaran .
Kemudian visi dan misi yang ada dituangkan kedalam beberapa program dan dilaksanakan dalam bentuk kegiatan-kegiatan yaitu :
1. Program pembinaan dan pengembangan potensi / bakat siswa dalam hak pendidikan. program ini dilaksanakan dalam kegiatan diantaranya - Sosialisasi kegiatan eskul pada madrasah - Bantuan beasiswa miskin - Bantuan beasiswa berprestasi - Bantuan pembinaan olehraga dan seni - Bantuan eskul di madrasah - Lomba karya ilmiah remaja - Lomba mengarang - Porseni madrasah - Olimpiade / lomba sains dan agama madrasah - Cerdas cermat / debat ilmiah - Lomba pidato berbahasa arab dan pidato berbahasa inggris
2. Program peningkatan kesehatan siswa dalam rangka perkembangan jasmani secara normal, sehat dan ceria, sedangkan bentuk kegiatan dari program ini diantaranya : - Orientasi penyadaran kesehatan bagi siswa - Orientasi kesehatan reproduksi - Orientasi penanggulangan dampak napza - Tot penyuluhan kesehatan reproduksi remaja - Orientasi pencegahan HIV/AIDS - Bantuan UKS - Bantuan pembinaan penyalahgunaan narkoba
3. Program peningkatan pemahaman manajemen dan kepemimpinan dalam mengelola organisasi, baik di kelas maupun di madrasah (OSIS), dengan bentuk kegiatan sebagai berikut : - Orientasi Manajemen MOPD/MOS - Orientasi pengurus OSIS - Latihan dasar kepemimpinan siswa - Orientasi Need Assessment bagi guru Pembina OSIS
4. Program pengembangan kemampuan berpikir dan belajar secara mandiri terhadap (materi) pelajaran di madrasah dan dalam rangka mengadapi pendidikan sepanjang hayat, dituangkan dalam bentuk kegiatan sebagai berikut : - Workshop strategi melejitkan kemampuan siswa - Workshop peningkatan kreatifitas siswa - Latihan pers dan jurnalistik remaja - Orientasi pengembangan prestasi, minat dan bakat siswa - Bantuan kreativitas
5. Program peningkatan pemahaman kebangsaan dalam rangka penguatan proses pembelajaran, dalam bentuk kegiatan sebagai berikut : - Jambore madrasah - Perkemahan sabtu minggu - Bantuan kegiatan PASKIBRA dan PBB
6. Program peningkatan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt, dengan bentuk kegiatan sebagai berrikut : - Pendalaman materi pendidikan agama - Kegiatan peringatan hari-hari besar agama Islam - Pelatihan mengimplementasi iabadh sosial di madrasah.
Program-program dan kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan untuk melindungi dan sekaligus mencerdaskan dan mensejahterakan anak Indonesia. Karena begitu pentingnya eksistensi anak/siswa dalam berbangsa dan bernegara, beberapa peraturan yang menjadi rujukan adalah sebagai berikut :
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera; 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan; 4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak; 5.Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Penggunaan Narkoba dan Zat Adiktif Lainnya; 6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Obat Lainnya yang Memiliki Zat Adiktif; 7. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada pasal 52 sampai pasal 66 mengenai Hak Anak; 8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 9.Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang System Pendidikan Nasional; 10. Keputusan Presiden RI Nomor 44 Tahun 1984 tentang Hari Anak Nasional.
Selasa, 09 Oktober 2007
Menjadi Pemudik Hakiki
Oleh : Saiful Jihad
“Sungguh, benar-benar beruntunglah orang yang selalu berusaha untuk kembali pada hakekat kesucian dirinya” (Q.S. 91: 09)
Tidak terasa, Ramadhan 1428 H. akhirnya berlalu, seperti para kembara, ia datang dan menemani kita, lalu kembali pergi melanjutkan perjalananya. Kehadirannya menjadi dambaan setiap mu’min, dan kepergiannya menjadi “musibah” yang ditangisi. Ia didamba karena karena manfaat dan keberkahan yang dibawanya, dan ditangisi karena “kehausan” diri untuk meneguk kenikmatan dan keberkahannya.
Meski demikian, seorang mu’min harus rela dan ikhlas melepas kepergian ramadhan dengan membawa raport sikap, tindakan dan perlakuan para “ahl al-bait” yang disambangi sang tamu agung (ramadhan). Kerelaan dan keikhlasan tersebut dikarenakan ia telah merasa memperlakukan tamunya dengan baik, dan memberikan “jamuan” yang semestinya, serta mendapatkan beribu keberkahan dari keagungan sang tamu. Untuk melepas kepergiannya, hamba yang beriman betul-betul merasakan kelapangan dan keluasan hati, sehingga dengan ikhlas melepas kepergian ramadhan. Nampaknya keluasan dan kelapangan hati inilah, menjadi salah satu makna yang terkandung dari kata “lebaran” (lebar + an) yang dirayakan setiap tanggal 1 syawal.
Dalam istilah agama, perayaan lebaran ini dikenal dengan istilah ‘Iid al fithri, yang bermakna “kembali pada hakekat kedirian yang suci”. Kenapa disebut kembali? Tentu, karena di situ mengandung makna, bahwa kita bergerak dari satu posisi ke posisi yang lain, yaitu tempat dimana kita merasakan telah jauh dari fithrah kehidupan yang suci, tulus dan luhur, baik dalam hubungan dengan Allah maupun manusia, kemudian bergerak kembali pada posisi awal kejadian kita yang fithrawi tersebut.
Sebenarnya, simbol-simbol dari kecenderungan manusia untuk kembali kepada asal kejadiaanya dapat kita temukan dalam aktivitas di hari idul Fithri atau menjelang idul fithri. Kita melihat misalnya di setiap tahun orang-orang selalu menyempatkan diri untuk pulang kampung. Mereka bahkan rela berjejel dan berdesak-desakan di kereta, bus, kapal laut. Bahkan banyak yang sampai menginap di pelabuhan, terminal atau stasiun kereta karena mereka tidak kebagian tempat untuk mudik pada hari itu, dan besoknya ia berjuang lagi. Semua itu dilakukan untuk satu tujuan yang disebut dengan “mudik lebaran”. Nah, bukankah mudik itu sebenarnya berarti “kembali ke asal” (yaitu kampung halaman), atau “kembali ke fithrah” dalam aktualisasi antropolgis.
Para pemudik tersebut akan kembali ke kampung asal mereka, sama sekali bukan untuk pamer keberhasilan hidup di perantauan atau untuk kepentingan-kepentingan material lainnya. Tidak jarang di antara mereka bahkan hidup di rantau dalam kondisi yang memprihatinkan, tidak berkecukupan dalam arti yang sebenarnya. Jika kita amati, dengan mudah kita dapat menebak penghasilan para pendatang yang hidup di Jakarta, kawasan Industri di Jabotabek, Surabaya, Makassar sebagai pekerja pabrik, buruh bangunan, pedagang sektor informal, dan sebagainya. Jelas tujuan mereka pulang kampung atau mudik tersebut, sangat jauh dari kepentingan simbol-simbol material, keinginan mudik tersebut lebih didorong oleh kecenderungan spiritual, yaitu hasrat untuk kembali kepada orang-orang yang dekat, seperti orang tua, saudara, kerabat, handai taulan dan lain-lain, untuk meminta maaf, membersihkan diri dari dosa dan kekhilafan yang dilakukan, merajut kembali tali silaturrahim seperti sedia kala, bahkan ingin merasakan kembali “indahnya” hari-hari dalam kebersamaan, kemesraan dan ketulusan masa-masa lalu.
Sementara itu, kampung itu sendiri dapat dimaknai dengan asal kejadian atau titik star dari kehidupan kita. Di sanalah kita dilahirkan dan dibesarkan dengan kasih sayang orang-orang yang ada di sekeliling kita, orang tua, saudara, kerabat dan handai taulan. Dengan demikian, mudik atau pulang kampung, dapat dimaknai dengan kembali kepada asal dan awal dari kejadian dan kehidupan, yang penuh dengan kedamaian, kasih sayang, luhur dan suci. Dan inilah salah satu makna dari kata Idul Fithri itu sendiri.
Jika ritus mudik atau pulang kampung ini kita bawa ke dalam logika agama, dengan asumsi adanya dorongan spiritual, maka tidaklah keliru pendapat yang mengatakan, bahwa mudik lebaran sebenarnya merupakan pelaksanaan perintah ajaran agama, yaitu menjadikan “Idul Fithri” sebagai sarana untuk bersilaturahim, bermaaf-maafan setelah menjalani pertobatan pada bulan Ramadhan. Dengan kata lain, pentingnya pelaksanaan hak Allah yang berdimensi vertikal untuk diikuti oleh tindakan melaksanakan hak manusia yang berdimensi horizontal.
Tentunya, makna-makna di atas mestinya menjadi nilai dan subtansi dari keinginan kita untuk mudik (kembali), sehingga kita tidak terjebak dalam “ritual” mudik yang sifatnya formal, simbolik dan fisikal semata, tetapi kemestian utuk mampu menangkap makna dan pesan yang terkandung dalam kegiatan mudik tersebut. Mudik atau kembali ke kampung, berarti kita kembali pada asal dan awal kejadian kita yang suci, luhur, damai, kasih-sayang, dan harmoni sejati. Dengan makna ini, semua yang telah melaksanakan ibadah puasa dengan baik, serta membuka tangan, merangkai silaturahim antar sesama pada dasarnya telah mudik, meski tidak dalam ariti fisikal.
Jika kita semua telah menjadi pemudik dalam arti hakiki, maka tugas yang paling penting bagi kita selanjutnya, adalah menjaga nilai-nilai tersebut dalam kehidupan kita ke depan. Hakikat keindahan, kesucian, keluhuran, kedamaia dan kasih sayang yang kita raih dalam mudik, tentunya kita tidak ingin lenyap dan sirnah kembali dalam rentang waktu perjalanan hidup kita selanjutnya, dimana tidak ada jaminan kesempatan untuk mudik di tahun-tahun akan datang dapat kita raih.
Selamat kembali kepada hakikat kesucian, yang menjadi asal dan awal kejadian kita, semoga kita semua menjadi pemudik-pemudik yang hakiki. Wallahu ‘a’lam.
“Sungguh, benar-benar beruntunglah orang yang selalu berusaha untuk kembali pada hakekat kesucian dirinya” (Q.S. 91: 09)
Tidak terasa, Ramadhan 1428 H. akhirnya berlalu, seperti para kembara, ia datang dan menemani kita, lalu kembali pergi melanjutkan perjalananya. Kehadirannya menjadi dambaan setiap mu’min, dan kepergiannya menjadi “musibah” yang ditangisi. Ia didamba karena karena manfaat dan keberkahan yang dibawanya, dan ditangisi karena “kehausan” diri untuk meneguk kenikmatan dan keberkahannya.
Meski demikian, seorang mu’min harus rela dan ikhlas melepas kepergian ramadhan dengan membawa raport sikap, tindakan dan perlakuan para “ahl al-bait” yang disambangi sang tamu agung (ramadhan). Kerelaan dan keikhlasan tersebut dikarenakan ia telah merasa memperlakukan tamunya dengan baik, dan memberikan “jamuan” yang semestinya, serta mendapatkan beribu keberkahan dari keagungan sang tamu. Untuk melepas kepergiannya, hamba yang beriman betul-betul merasakan kelapangan dan keluasan hati, sehingga dengan ikhlas melepas kepergian ramadhan. Nampaknya keluasan dan kelapangan hati inilah, menjadi salah satu makna yang terkandung dari kata “lebaran” (lebar + an) yang dirayakan setiap tanggal 1 syawal.
Dalam istilah agama, perayaan lebaran ini dikenal dengan istilah ‘Iid al fithri, yang bermakna “kembali pada hakekat kedirian yang suci”. Kenapa disebut kembali? Tentu, karena di situ mengandung makna, bahwa kita bergerak dari satu posisi ke posisi yang lain, yaitu tempat dimana kita merasakan telah jauh dari fithrah kehidupan yang suci, tulus dan luhur, baik dalam hubungan dengan Allah maupun manusia, kemudian bergerak kembali pada posisi awal kejadian kita yang fithrawi tersebut.
Sebenarnya, simbol-simbol dari kecenderungan manusia untuk kembali kepada asal kejadiaanya dapat kita temukan dalam aktivitas di hari idul Fithri atau menjelang idul fithri. Kita melihat misalnya di setiap tahun orang-orang selalu menyempatkan diri untuk pulang kampung. Mereka bahkan rela berjejel dan berdesak-desakan di kereta, bus, kapal laut. Bahkan banyak yang sampai menginap di pelabuhan, terminal atau stasiun kereta karena mereka tidak kebagian tempat untuk mudik pada hari itu, dan besoknya ia berjuang lagi. Semua itu dilakukan untuk satu tujuan yang disebut dengan “mudik lebaran”. Nah, bukankah mudik itu sebenarnya berarti “kembali ke asal” (yaitu kampung halaman), atau “kembali ke fithrah” dalam aktualisasi antropolgis.
Para pemudik tersebut akan kembali ke kampung asal mereka, sama sekali bukan untuk pamer keberhasilan hidup di perantauan atau untuk kepentingan-kepentingan material lainnya. Tidak jarang di antara mereka bahkan hidup di rantau dalam kondisi yang memprihatinkan, tidak berkecukupan dalam arti yang sebenarnya. Jika kita amati, dengan mudah kita dapat menebak penghasilan para pendatang yang hidup di Jakarta, kawasan Industri di Jabotabek, Surabaya, Makassar sebagai pekerja pabrik, buruh bangunan, pedagang sektor informal, dan sebagainya. Jelas tujuan mereka pulang kampung atau mudik tersebut, sangat jauh dari kepentingan simbol-simbol material, keinginan mudik tersebut lebih didorong oleh kecenderungan spiritual, yaitu hasrat untuk kembali kepada orang-orang yang dekat, seperti orang tua, saudara, kerabat, handai taulan dan lain-lain, untuk meminta maaf, membersihkan diri dari dosa dan kekhilafan yang dilakukan, merajut kembali tali silaturrahim seperti sedia kala, bahkan ingin merasakan kembali “indahnya” hari-hari dalam kebersamaan, kemesraan dan ketulusan masa-masa lalu.
Sementara itu, kampung itu sendiri dapat dimaknai dengan asal kejadian atau titik star dari kehidupan kita. Di sanalah kita dilahirkan dan dibesarkan dengan kasih sayang orang-orang yang ada di sekeliling kita, orang tua, saudara, kerabat dan handai taulan. Dengan demikian, mudik atau pulang kampung, dapat dimaknai dengan kembali kepada asal dan awal dari kejadian dan kehidupan, yang penuh dengan kedamaian, kasih sayang, luhur dan suci. Dan inilah salah satu makna dari kata Idul Fithri itu sendiri.
Jika ritus mudik atau pulang kampung ini kita bawa ke dalam logika agama, dengan asumsi adanya dorongan spiritual, maka tidaklah keliru pendapat yang mengatakan, bahwa mudik lebaran sebenarnya merupakan pelaksanaan perintah ajaran agama, yaitu menjadikan “Idul Fithri” sebagai sarana untuk bersilaturahim, bermaaf-maafan setelah menjalani pertobatan pada bulan Ramadhan. Dengan kata lain, pentingnya pelaksanaan hak Allah yang berdimensi vertikal untuk diikuti oleh tindakan melaksanakan hak manusia yang berdimensi horizontal.
Tentunya, makna-makna di atas mestinya menjadi nilai dan subtansi dari keinginan kita untuk mudik (kembali), sehingga kita tidak terjebak dalam “ritual” mudik yang sifatnya formal, simbolik dan fisikal semata, tetapi kemestian utuk mampu menangkap makna dan pesan yang terkandung dalam kegiatan mudik tersebut. Mudik atau kembali ke kampung, berarti kita kembali pada asal dan awal kejadian kita yang suci, luhur, damai, kasih-sayang, dan harmoni sejati. Dengan makna ini, semua yang telah melaksanakan ibadah puasa dengan baik, serta membuka tangan, merangkai silaturahim antar sesama pada dasarnya telah mudik, meski tidak dalam ariti fisikal.
Jika kita semua telah menjadi pemudik dalam arti hakiki, maka tugas yang paling penting bagi kita selanjutnya, adalah menjaga nilai-nilai tersebut dalam kehidupan kita ke depan. Hakikat keindahan, kesucian, keluhuran, kedamaia dan kasih sayang yang kita raih dalam mudik, tentunya kita tidak ingin lenyap dan sirnah kembali dalam rentang waktu perjalanan hidup kita selanjutnya, dimana tidak ada jaminan kesempatan untuk mudik di tahun-tahun akan datang dapat kita raih.
Selamat kembali kepada hakikat kesucian, yang menjadi asal dan awal kejadian kita, semoga kita semua menjadi pemudik-pemudik yang hakiki. Wallahu ‘a’lam.
Kesucian Sebagai Fithrah Kemanusiaan
Oleh : Saiful Jihad
“’Idul Fithri”, hari kembali kepada fitrah. Kata Fitrah dapat diartikan asal kejadian yang suci, juga berarti jati diri manusia. Dalam salah satu hadits Rasulullah saw., bersabda: “Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang membuatnya Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR. Bukhari)
Adanya fitrah, adalah sebagai kelanjutan dari perjanjian kita dengan Allah swt., ketika kita masih berada dalam alam ruhani, sebagaimana yang diberitakan oleh salah satu ayat al-Qur’an, bahwa kita sebelum lahir dipanggil oleh Allah secara bersama-sama menghadap dan diminta kesaksian, bahwa kita akan bertuhankan hanya Allah, Raab yang Maha Tinggi, Alah berfirman: “Bukankah Aku ini Tuhanmu ? (kita semua menjawab), Ya kami bersaksi, (kami akan lakukan semua itu)” (QS. 7 : 172)
Gambaran asal kejadian manusia yang fithrah tersebut di atas, mengandung pengertian, bahwa manusia hakekatnya berasal dari yang suci (bersih), yang dalam dirinya telah tertanam penyaksian dan pengakuan diri untuk hanya bertuhankan Allah, dan itu jugalah yang menjadi jati diri manusia. Dengan demikian, ungkapan kembali kepada fithrah (‘idul fitri) adalah pernyataan kita yang telah melaksanakan ibadah puasa, dengan dasar iman (percaya dan mempercayai) Allah, serta berusaha secara sungguh-sunggu untuk melaksanakan tuntunan syariat puasa dengan sebaik-baiknya (ihtisab).
Masa 30 hari dari pelaksanaan ibadah ramadhan yang diberikan Allah kepada kita, menjadi moment untuk berusaha mengembalikan makna dan hakekat kesucian dan jati diri kita, sehingga kita pantas untuk merayakannya pada hari ini.
Usaha untuk meraih kembali hakekat fithrah tersebut, tergambar dalam upaya kita untuk melakukan pensucian (tazkiyah) atas niyat (tazkiyatu al-niyat), jiwa (tazkiyatu al-nafs) dan harta (tazkiyatu al-maal).
Ibadah puasa yang kita lakukan, merupakan satu-satunya peribadatan yang diklaim oleh Tuhan sebagai milik-Nya dan hanya Dia yang berhak untuk menilainya, Allah berfirman dalam hadits Qudsi: “Semua amalan anak cucu Adam untuknya, kecuali ibadah puasa. Karena puasa itu untuk-Ku dan hanya Aku yang berhak memberikan membalasnya (memberikan penilaian)”
Hadits ini menggaris bawahi, bahwa ibadah puasa yang kita kerjakan merupakan suatau bentuk peribadatan khusus, yang hakekat serta nilai pelaksanaannya hanya Allah yang tahu. Oleh karena itu, dituntut ketulusan dan kesucian niyat (iman dan ihtisab) dari hamba yang melaksanakan ibadah puasa. Hal ini berbeda dengan amalan lain yang kita kerjakan, apakah itu ibadah mahdah lainnya, ataupun ibadah yang sifatnya umum, dimana seorang yang melakukan ibadah shalat misalnya, orang lain dapat menjadi saksi dan memberi nilai ibadahnya, meski tidak dapat mengetahui secara pasti hakekatnya.
Dengan demikian, pengihlasan dan pensucian niyat, merupakan dasar dari pelaksanaan ibadah puasa, karena puasa yang kita lakukan ditujukan hanya kepada Allah semata. Seorang tidak akan mungkin puasa jika hanya untuk dinilai orang atau masyarakat sebagai seorang yang berpuasa, yang alim, yang taat beragama, atau pujian lainnya, karena tanpa harus puasa pun dia dapat berpura-pura puasa. Seorang yang berpuasa sadar, bahwa ibadah yang dilakukan bukan sebuah kepura-puraan, dia berpuasa karena implementasi dari rasa keimanan dan ketaatan pada Tuhan yang Maha Melihat, Maha Mengetahui Maha Mengawasi segala perbuatan manusia, dia selalu menyadari dan meyakini kehadiran Tuhan setiap saat, dan ditempat manapun ia berada.
Kesadaran seperti ini lahir dari pengihlasan dan pensucian niyat yang dilakukan oleh para shaimin dan shaimat dalam bulan suci ramadhan. Modal tazkiyatu al-niyat yang kita peroleh tersebut akan menghindarkan kita dari sifat riya’ (ingin dinilai dan dipuji oleh orang lain). Dalam ibadah, kita hanya beribadah kepada dan untuk Allah, kita beramal karena Allah, bersedekah karena Allah, menyantuni faqir miskin dan anak yatim untuk meringankan beban dan menggembirakan mereka pada hari ini karena Allah, bukan karena yang lain, juga bukan memberi karena ingin dibalas, diperhatikan oleh orang lain, memberi dan membag-bagi hadiah, parcel, angpao dan semacamnya kepada mereka yang sebenarnya telah berkecukupan dari segi materi, dari pejabat kepada pejabat, atau dari pengusaha kepada pejabat, dan yang lainnya.
Ibadah puasa yang kita laksanakan, juga merupakan upaya kita untuk menjaga dan mengembalikan kesucian diri (nafs) kita (tazkiyatu al-nafsiah). Hakekat dan asal kejadian kita adalah suci, tanpa beban dosa, namun kemungkinan untuk melakukan dosa dan kesalahan telah ada dalam diri manusia, sebagaimana kemungkinan untuk melakukan ketaatan dan ketaqwaan. “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan jalan ketaqwaan, sesunguhnya beruntunglah orang yang mensuci-kan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (QS.
Keterlibatan dan interaksi manusia dalam menjalankan hidup dan kehidupannya di muka bumi tidak dapat lepas dari dua kecenderungan dasar di atas, yakni kecenderungan untuk berbuat dosa (fasiq) dan kecenderungan untuk taat (taqwa). Peluang ini dimanfaatkan oleh iblis dan syaethan untuk menggoda dan mempengaruhi manusia agar berbuat dosa (fasiq), serta jauh dari ketaatan (taqwa). Dengan demikian, kita semua tentu pernah melakukan dosa dan kesalahan, sehingga kesucian jiwa dan diri kita ternoda, namun kecenderungan untuk taat (taqwa) akan selalu menarik kita agar kembali kepada hakekat kesucian diri, bisikan penyesalan atas dosa yang dikerjakan serta dorongan untuk memohon ampunan Tuhan akan selalu hadir dalam diri manusia, Rasul bersabda: “Tiap-tiap anak cucu Adam pernah berbuat salah (dosa), dan sebaik-baik orang bersalah (berdosa) adalah mereka yang bertaubat”
Kehadiran bulan ramadhan, bulan tempat melebur dan membakar dosa, merupakan kesempatan bagi kita untuk menumbuh suburkan kecenderungan berbuat taat (taqwa), sehingga kita dapat kembali kepada hakekat asal kejadian kita, salah satu jaminan yang disampaikan oleh Rasul, terkait dengan pelaksanaan ibadah puasa yang dilaksanakan dengan penuh keyakinan (iman) dan kesungguhan (ihtisab), adalah ampunan dari Allah atas dosa dan kesalahan yang pernah kita kerjakan: “Barangsiapa yang melaksanakan ibadah puasa dengan penuh keyakinan dan kesungguhan, maka diampuni dosa dan kesalahannya di masa lalu”
Dalam hadits lain disebutkan:“Barangsiapa yang melaksanakan ibadah puasa dengan penuh keyakinan dan kesungguhan, maka ia keluar dari dosanya, ibarat bayi yang baru lahir dari rahim ibunya”
Kesucian diri dan jiwa dari dosa, sebagai salah satu hasil dari pelaksanaan puasa, berimplikasi pada kesadaran diri untuk selalu berusaha menjadi suci, dan berbuat suci.
Dalam ibadah puasa kita dididik untuk selalu menghindari perbuatan dan perkataan dosa, tindakan tercela dan sia-sia, karena dapat merusak dan menjadikan puasa kita tidak bermakna. Kita juga dididik untuk dapat mengendalikan hawa nafsu, dan keinginan-keinginan yang sifatnya duniawi. Hal ini merupakan perwujudan dari usaha kita untuk membersihkan dan memelihara kesucian diri (tazkiyatu al-nafsiyah).
Jika kebiasaan prilaku dalam berpuasa tersebut kita dapat pelihara, maka jiwa (nafs) kita akan merasakan indahnya hakekat kesucian, serta akan peka (sensitif) untuk menolak tindak perbuatan salah dan dosa yang kita lakukan. Sebaliknya, kebiasaan melakukan perbuatan dosa, kesalahan dan kesia-siaan, akan menjadikan jiwa kita tidak lagi dapat membedakan perbuatan dosa dan kesalahan, bahkan kadang perbuatan salah, justru dicarikan dalil pembenaran. Maka digantilah istilah sogokan sebagai ucapan terima kasih, parcel, hadiah dan sebagainya; memeras orang dengan alasan membantu, mengeksploitasi dengan dalih mencarikan pekerjaan dan semacamnya.
Upaya pensucian diri (tazkiyatu al-nafsiyah) yang dilakukan dalam bulan suci ramadhan, selain ibadah puasa itu sendiri, adalah penunaian ibadah zakat fitrah. Zakat fitrah itu sendiri dalam hadits Rasul saw., disebutkan sebagai media untuk mensucikan diri orang yang berpuasa, serta pembiasaan sikap menyantuni faqir-miskin “Zakat Fithrah adalah pembersih diri bagi orang yang berpuasa dan pemberian makan kepada orang miskin” (Al-Hadits)
Sifat murah-hati dan suka memberi, merupakan sifat Tuhan yang Maha Suci. Manusia yang suci dan cenderung berbuat suci, sebagai refleksi dari kesucian diri (nafs) akan selalu berusaha mencontoh sifat dan akhlak Tuhan: “Berakhlaqlah dengan Akhlaq Tuhan” kata Rasul.
Hal ini pun sangat terkait dengan posisi kita sebagai makhluk selalu merasa kurang dan tidak cukup, sehingga meminta dan memohon kepada Tuhan yang Maha Sempurna dan Maha Cukup. Ada sebuah hukum sosial yang lahir disini, bahwa jika seorang hamba meminta dan berharap Tuhan mengabulkan permintaannya, maka biasakanlah diri untuk mengabulkan permintaan mereka yang membutuhkan, dan jika berharap kebutuhan kita dapat dipenuhi oleh Allah, maka biasakanlah diri untuk memenuhi hajat mereka yang membutuhkan.
Zakat fithrah, salah satu dimensinya, adalah mengajarkan kita untuk terbiasa memberi, mencontoh sifat dan akhlaq Tuhan. Dan dari kebiasaan dan kesadaran mengeluarkan zakat fithrah, akan menuntun kita pada kesadaran untuk mengeluarkan zakat harta.
Zakat harta, disamping fungsi pensucian diri dengan mencontoh sifat dan akhlaq Tuhan, juga berfungsi untuk mensucikan harta (tazkiyatu al-maliyah), sehingga harta yang kita peroleh, dapat kita manfaatkan dalam keadaan yang bersih. Allah menegaskan: “Ambillah zakat harta mereka, untuk membersihkan mereka dan mensucikan harta mereka” (QS. )
Akhirnya, segala upaya dan usaha untuk mensucikan niyat (tazkiyatu al-niyat), mensucikan diri (tazkiyatu al-nafsi) dan mensucikan harta (tazkiyatu al-maliyah), yang kita lakukan selama 30 hari dalam bulan suci ramadhan yang baru saja meninggalkan kita merupakan aset yang sangat berharga untuk memasuki dan mengisi hari-hari kita yang akan datang. Kita tentu berharap, agar kebiasaan baik dan terpuji yang kita lakukan selama bulan ramadhan, seperti keihklasan dalam berbuat, jauh dari sifat riya’, takabbur dan ta’ajjub, menghindarkan diri dari perkataan dan perbuatan yang tercela, sia-sia dan dosa, mampu mengendalikan diri, tidak mempeturutkan keinginan hawa nafsu, tekun melaksanakan ibadah-ibadah ritual untuk mengasah dan membangun komunikasi yang harmoni dengan Tuhan, serta gemar melakukan ibadah-ibadah sosial, untuk merangkai jalinan yang harmoni dengan sesama makhluk dapat kita pelihara.
Selamat Hari raya Idul Fithri, hari kembalinya kita pada hakekat kesucian dan jati diri manusia, Selamat meraih kemenagan, karena puasa dan zakat dapat ditunaikan.
Wallahu a’lam.
“’Idul Fithri”, hari kembali kepada fitrah. Kata Fitrah dapat diartikan asal kejadian yang suci, juga berarti jati diri manusia. Dalam salah satu hadits Rasulullah saw., bersabda: “Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang membuatnya Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR. Bukhari)
Adanya fitrah, adalah sebagai kelanjutan dari perjanjian kita dengan Allah swt., ketika kita masih berada dalam alam ruhani, sebagaimana yang diberitakan oleh salah satu ayat al-Qur’an, bahwa kita sebelum lahir dipanggil oleh Allah secara bersama-sama menghadap dan diminta kesaksian, bahwa kita akan bertuhankan hanya Allah, Raab yang Maha Tinggi, Alah berfirman: “Bukankah Aku ini Tuhanmu ? (kita semua menjawab), Ya kami bersaksi, (kami akan lakukan semua itu)” (QS. 7 : 172)
Gambaran asal kejadian manusia yang fithrah tersebut di atas, mengandung pengertian, bahwa manusia hakekatnya berasal dari yang suci (bersih), yang dalam dirinya telah tertanam penyaksian dan pengakuan diri untuk hanya bertuhankan Allah, dan itu jugalah yang menjadi jati diri manusia. Dengan demikian, ungkapan kembali kepada fithrah (‘idul fitri) adalah pernyataan kita yang telah melaksanakan ibadah puasa, dengan dasar iman (percaya dan mempercayai) Allah, serta berusaha secara sungguh-sunggu untuk melaksanakan tuntunan syariat puasa dengan sebaik-baiknya (ihtisab).
Masa 30 hari dari pelaksanaan ibadah ramadhan yang diberikan Allah kepada kita, menjadi moment untuk berusaha mengembalikan makna dan hakekat kesucian dan jati diri kita, sehingga kita pantas untuk merayakannya pada hari ini.
Usaha untuk meraih kembali hakekat fithrah tersebut, tergambar dalam upaya kita untuk melakukan pensucian (tazkiyah) atas niyat (tazkiyatu al-niyat), jiwa (tazkiyatu al-nafs) dan harta (tazkiyatu al-maal).
Ibadah puasa yang kita lakukan, merupakan satu-satunya peribadatan yang diklaim oleh Tuhan sebagai milik-Nya dan hanya Dia yang berhak untuk menilainya, Allah berfirman dalam hadits Qudsi: “Semua amalan anak cucu Adam untuknya, kecuali ibadah puasa. Karena puasa itu untuk-Ku dan hanya Aku yang berhak memberikan membalasnya (memberikan penilaian)”
Hadits ini menggaris bawahi, bahwa ibadah puasa yang kita kerjakan merupakan suatau bentuk peribadatan khusus, yang hakekat serta nilai pelaksanaannya hanya Allah yang tahu. Oleh karena itu, dituntut ketulusan dan kesucian niyat (iman dan ihtisab) dari hamba yang melaksanakan ibadah puasa. Hal ini berbeda dengan amalan lain yang kita kerjakan, apakah itu ibadah mahdah lainnya, ataupun ibadah yang sifatnya umum, dimana seorang yang melakukan ibadah shalat misalnya, orang lain dapat menjadi saksi dan memberi nilai ibadahnya, meski tidak dapat mengetahui secara pasti hakekatnya.
Dengan demikian, pengihlasan dan pensucian niyat, merupakan dasar dari pelaksanaan ibadah puasa, karena puasa yang kita lakukan ditujukan hanya kepada Allah semata. Seorang tidak akan mungkin puasa jika hanya untuk dinilai orang atau masyarakat sebagai seorang yang berpuasa, yang alim, yang taat beragama, atau pujian lainnya, karena tanpa harus puasa pun dia dapat berpura-pura puasa. Seorang yang berpuasa sadar, bahwa ibadah yang dilakukan bukan sebuah kepura-puraan, dia berpuasa karena implementasi dari rasa keimanan dan ketaatan pada Tuhan yang Maha Melihat, Maha Mengetahui Maha Mengawasi segala perbuatan manusia, dia selalu menyadari dan meyakini kehadiran Tuhan setiap saat, dan ditempat manapun ia berada.
Kesadaran seperti ini lahir dari pengihlasan dan pensucian niyat yang dilakukan oleh para shaimin dan shaimat dalam bulan suci ramadhan. Modal tazkiyatu al-niyat yang kita peroleh tersebut akan menghindarkan kita dari sifat riya’ (ingin dinilai dan dipuji oleh orang lain). Dalam ibadah, kita hanya beribadah kepada dan untuk Allah, kita beramal karena Allah, bersedekah karena Allah, menyantuni faqir miskin dan anak yatim untuk meringankan beban dan menggembirakan mereka pada hari ini karena Allah, bukan karena yang lain, juga bukan memberi karena ingin dibalas, diperhatikan oleh orang lain, memberi dan membag-bagi hadiah, parcel, angpao dan semacamnya kepada mereka yang sebenarnya telah berkecukupan dari segi materi, dari pejabat kepada pejabat, atau dari pengusaha kepada pejabat, dan yang lainnya.
Ibadah puasa yang kita laksanakan, juga merupakan upaya kita untuk menjaga dan mengembalikan kesucian diri (nafs) kita (tazkiyatu al-nafsiah). Hakekat dan asal kejadian kita adalah suci, tanpa beban dosa, namun kemungkinan untuk melakukan dosa dan kesalahan telah ada dalam diri manusia, sebagaimana kemungkinan untuk melakukan ketaatan dan ketaqwaan. “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan jalan ketaqwaan, sesunguhnya beruntunglah orang yang mensuci-kan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (QS.
Keterlibatan dan interaksi manusia dalam menjalankan hidup dan kehidupannya di muka bumi tidak dapat lepas dari dua kecenderungan dasar di atas, yakni kecenderungan untuk berbuat dosa (fasiq) dan kecenderungan untuk taat (taqwa). Peluang ini dimanfaatkan oleh iblis dan syaethan untuk menggoda dan mempengaruhi manusia agar berbuat dosa (fasiq), serta jauh dari ketaatan (taqwa). Dengan demikian, kita semua tentu pernah melakukan dosa dan kesalahan, sehingga kesucian jiwa dan diri kita ternoda, namun kecenderungan untuk taat (taqwa) akan selalu menarik kita agar kembali kepada hakekat kesucian diri, bisikan penyesalan atas dosa yang dikerjakan serta dorongan untuk memohon ampunan Tuhan akan selalu hadir dalam diri manusia, Rasul bersabda: “Tiap-tiap anak cucu Adam pernah berbuat salah (dosa), dan sebaik-baik orang bersalah (berdosa) adalah mereka yang bertaubat”
Kehadiran bulan ramadhan, bulan tempat melebur dan membakar dosa, merupakan kesempatan bagi kita untuk menumbuh suburkan kecenderungan berbuat taat (taqwa), sehingga kita dapat kembali kepada hakekat asal kejadian kita, salah satu jaminan yang disampaikan oleh Rasul, terkait dengan pelaksanaan ibadah puasa yang dilaksanakan dengan penuh keyakinan (iman) dan kesungguhan (ihtisab), adalah ampunan dari Allah atas dosa dan kesalahan yang pernah kita kerjakan: “Barangsiapa yang melaksanakan ibadah puasa dengan penuh keyakinan dan kesungguhan, maka diampuni dosa dan kesalahannya di masa lalu”
Dalam hadits lain disebutkan:“Barangsiapa yang melaksanakan ibadah puasa dengan penuh keyakinan dan kesungguhan, maka ia keluar dari dosanya, ibarat bayi yang baru lahir dari rahim ibunya”
Kesucian diri dan jiwa dari dosa, sebagai salah satu hasil dari pelaksanaan puasa, berimplikasi pada kesadaran diri untuk selalu berusaha menjadi suci, dan berbuat suci.
Dalam ibadah puasa kita dididik untuk selalu menghindari perbuatan dan perkataan dosa, tindakan tercela dan sia-sia, karena dapat merusak dan menjadikan puasa kita tidak bermakna. Kita juga dididik untuk dapat mengendalikan hawa nafsu, dan keinginan-keinginan yang sifatnya duniawi. Hal ini merupakan perwujudan dari usaha kita untuk membersihkan dan memelihara kesucian diri (tazkiyatu al-nafsiyah).
Jika kebiasaan prilaku dalam berpuasa tersebut kita dapat pelihara, maka jiwa (nafs) kita akan merasakan indahnya hakekat kesucian, serta akan peka (sensitif) untuk menolak tindak perbuatan salah dan dosa yang kita lakukan. Sebaliknya, kebiasaan melakukan perbuatan dosa, kesalahan dan kesia-siaan, akan menjadikan jiwa kita tidak lagi dapat membedakan perbuatan dosa dan kesalahan, bahkan kadang perbuatan salah, justru dicarikan dalil pembenaran. Maka digantilah istilah sogokan sebagai ucapan terima kasih, parcel, hadiah dan sebagainya; memeras orang dengan alasan membantu, mengeksploitasi dengan dalih mencarikan pekerjaan dan semacamnya.
Upaya pensucian diri (tazkiyatu al-nafsiyah) yang dilakukan dalam bulan suci ramadhan, selain ibadah puasa itu sendiri, adalah penunaian ibadah zakat fitrah. Zakat fitrah itu sendiri dalam hadits Rasul saw., disebutkan sebagai media untuk mensucikan diri orang yang berpuasa, serta pembiasaan sikap menyantuni faqir-miskin “Zakat Fithrah adalah pembersih diri bagi orang yang berpuasa dan pemberian makan kepada orang miskin” (Al-Hadits)
Sifat murah-hati dan suka memberi, merupakan sifat Tuhan yang Maha Suci. Manusia yang suci dan cenderung berbuat suci, sebagai refleksi dari kesucian diri (nafs) akan selalu berusaha mencontoh sifat dan akhlak Tuhan: “Berakhlaqlah dengan Akhlaq Tuhan” kata Rasul.
Hal ini pun sangat terkait dengan posisi kita sebagai makhluk selalu merasa kurang dan tidak cukup, sehingga meminta dan memohon kepada Tuhan yang Maha Sempurna dan Maha Cukup. Ada sebuah hukum sosial yang lahir disini, bahwa jika seorang hamba meminta dan berharap Tuhan mengabulkan permintaannya, maka biasakanlah diri untuk mengabulkan permintaan mereka yang membutuhkan, dan jika berharap kebutuhan kita dapat dipenuhi oleh Allah, maka biasakanlah diri untuk memenuhi hajat mereka yang membutuhkan.
Zakat fithrah, salah satu dimensinya, adalah mengajarkan kita untuk terbiasa memberi, mencontoh sifat dan akhlaq Tuhan. Dan dari kebiasaan dan kesadaran mengeluarkan zakat fithrah, akan menuntun kita pada kesadaran untuk mengeluarkan zakat harta.
Zakat harta, disamping fungsi pensucian diri dengan mencontoh sifat dan akhlaq Tuhan, juga berfungsi untuk mensucikan harta (tazkiyatu al-maliyah), sehingga harta yang kita peroleh, dapat kita manfaatkan dalam keadaan yang bersih. Allah menegaskan: “Ambillah zakat harta mereka, untuk membersihkan mereka dan mensucikan harta mereka” (QS. )
Akhirnya, segala upaya dan usaha untuk mensucikan niyat (tazkiyatu al-niyat), mensucikan diri (tazkiyatu al-nafsi) dan mensucikan harta (tazkiyatu al-maliyah), yang kita lakukan selama 30 hari dalam bulan suci ramadhan yang baru saja meninggalkan kita merupakan aset yang sangat berharga untuk memasuki dan mengisi hari-hari kita yang akan datang. Kita tentu berharap, agar kebiasaan baik dan terpuji yang kita lakukan selama bulan ramadhan, seperti keihklasan dalam berbuat, jauh dari sifat riya’, takabbur dan ta’ajjub, menghindarkan diri dari perkataan dan perbuatan yang tercela, sia-sia dan dosa, mampu mengendalikan diri, tidak mempeturutkan keinginan hawa nafsu, tekun melaksanakan ibadah-ibadah ritual untuk mengasah dan membangun komunikasi yang harmoni dengan Tuhan, serta gemar melakukan ibadah-ibadah sosial, untuk merangkai jalinan yang harmoni dengan sesama makhluk dapat kita pelihara.
Selamat Hari raya Idul Fithri, hari kembalinya kita pada hakekat kesucian dan jati diri manusia, Selamat meraih kemenagan, karena puasa dan zakat dapat ditunaikan.
Wallahu a’lam.
Rabu, 03 Oktober 2007
Bimbingan Belajar tidak Cerdaskan Siswa?
Bandung, pikiran-rakyat.com
Adanya lembaga bimbingan belajar (bimbel) atau kursus-kursus sejenis, sesungguhnya tidak mencerdaskan siswa sebagaimana tujuan penyelenggaraan pendidikan nasional. Alasannya, dalam bimbel tersebut siswa cenderung dilatih atau di-drill untuk menjawab pertanyaan.
“Sungguh memprihatinkan, ternyata banyak orang tua yang bangga anaknya ikut bimbel,” kata pengamat pendidikan Prof. Pupuh Fathurrahman, di gedung Al Jamiah (rektorat- red.) Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD) Bandung, kemarin.
Pupuh Fathurrahman mengatakan, bimbel yang kian semarak akhir-akhir ini cenderung tidak melatih siswa untuk belajar bertanya dan mencermati pertanyaan. Perilaku menjawab sebenarnya tidak memanusiakan manusia.
“Di sisi lain, adanya bimbel menghilangkan posisi penting lembaga sekolah. Buktinya, banyak orang tua yang marah jika anaknya bolos bimbel daripada bolos sekolah. Ya, sekolah seolah-olah adalah institusi pendamping bimbel. Ini kan salah kaprah,” tutur Pupuh Fathurrahman.
Seraya memaparkan sejumlah argumentasi filosofi pendidikan, Pupuh Fathurrahman berpandangan, budaya penyelenggaraan cerdas cermat di tengah masyarakat Indonesia juga kurang mendukung proses pencerdasan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Pasalnya, acara cerdas cermat itu mengarahkan peserta didik pada kemampuan menjawab, bukan bertanya. Padahal, bertanya adalah perilaku berpikir yang tentunya lebih penting daripada perilaku lainnya.
“Sekarang ini buku kategori pelajaran bagi siswa sekolah yang paling laris adalah buku jawaban atas kumpulan soal, bukannya buku pertanyaan tanpa jawaban. Ini sungguh memprihatinkan masa depan dunia pendidikan Indonesia,” tutur Pupuh Fathurrahman yang sekretaris Senat UIN SGD ini.
Menjawab pertanyaan tentang upaya memajukan bangsa melalui penyelenggaraan pendidikan nasional yang kualitatif, Pupuh Fathurrahman berpendapat, perubahan bangsa bisa terwujud apabila aktivitas berpikir menjadi budaya masyarakat Indonesia
Adanya lembaga bimbingan belajar (bimbel) atau kursus-kursus sejenis, sesungguhnya tidak mencerdaskan siswa sebagaimana tujuan penyelenggaraan pendidikan nasional. Alasannya, dalam bimbel tersebut siswa cenderung dilatih atau di-drill untuk menjawab pertanyaan.
“Sungguh memprihatinkan, ternyata banyak orang tua yang bangga anaknya ikut bimbel,” kata pengamat pendidikan Prof. Pupuh Fathurrahman, di gedung Al Jamiah (rektorat- red.) Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD) Bandung, kemarin.
Pupuh Fathurrahman mengatakan, bimbel yang kian semarak akhir-akhir ini cenderung tidak melatih siswa untuk belajar bertanya dan mencermati pertanyaan. Perilaku menjawab sebenarnya tidak memanusiakan manusia.
“Di sisi lain, adanya bimbel menghilangkan posisi penting lembaga sekolah. Buktinya, banyak orang tua yang marah jika anaknya bolos bimbel daripada bolos sekolah. Ya, sekolah seolah-olah adalah institusi pendamping bimbel. Ini kan salah kaprah,” tutur Pupuh Fathurrahman.
Seraya memaparkan sejumlah argumentasi filosofi pendidikan, Pupuh Fathurrahman berpandangan, budaya penyelenggaraan cerdas cermat di tengah masyarakat Indonesia juga kurang mendukung proses pencerdasan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Pasalnya, acara cerdas cermat itu mengarahkan peserta didik pada kemampuan menjawab, bukan bertanya. Padahal, bertanya adalah perilaku berpikir yang tentunya lebih penting daripada perilaku lainnya.
“Sekarang ini buku kategori pelajaran bagi siswa sekolah yang paling laris adalah buku jawaban atas kumpulan soal, bukannya buku pertanyaan tanpa jawaban. Ini sungguh memprihatinkan masa depan dunia pendidikan Indonesia,” tutur Pupuh Fathurrahman yang sekretaris Senat UIN SGD ini.
Menjawab pertanyaan tentang upaya memajukan bangsa melalui penyelenggaraan pendidikan nasional yang kualitatif, Pupuh Fathurrahman berpendapat, perubahan bangsa bisa terwujud apabila aktivitas berpikir menjadi budaya masyarakat Indonesia
Selasa, 02 Oktober 2007
Menyikapi Perbedaan Idul Fitri
oleh: Idris Hemay
Peneliti di Center for the Study of Religion and Culture (CSRC), UIN Jakarta
Penetapan Hari Raya Idul Fitri 1428 H kembali menjadi kontroversi karena adanya kemungkinan adanya perbedaan hari jatuhnya perayaan tersebut. Muhammadiyah telah menetapkan bahwa Idul Fitri jatuh pada tanggal 12 Oktober 2007. Sedangkan NU belum menentukan kapan Idul Fitri akan dilaksanakan mengingat penentuan 1Syawal menggunakan sistem rukyat, dan baru bisa dipastikan pada 11 Oktober mendatang. Karena itu, perbedaan pandangan tersebut menarik dicermati dan dikaji lebih jauh.
Secara umum, perbedaan tersebut dilatarbelakangi oleh perbedaan interpretasi terhadap dalil Alquran dan hadis. Sebetulnya dalil yang digunakan dalam hal ini sama, tetapi interpretasi dan pendekatan terhadapnya berbeda. Yang satu menggunakan pendekatan rukyat, sementara yang lain menggunakan pendekatan hisab. Karena pendekatannya berbeda maka hasilnya pun berbeda. Dalam hemat penulis, hal itu wajar mingingat Islam di Indonesia adalah plural. Plural dalam arti pemahaman daninterpretasi terhadap ajaran Islam itu sendiri bermacam-macam.
Jangan terjebak
Dalam menyikapi perbedaan tersebut kaum Muslim Indonesia tidak perlu terjebak pada arogansi teologis sehingga merasa paling benar. Klaim kebenaran seperti ini tidak sesuai dengan semangat fitri (kesucian) yang menjadi dasar Idul Fitri, dan menyimpang dari ajaran Islam yang menekankan rahmatan lil alamain. Filosof Muslim, Ibnu Arabi, pernah menyindir mereka yang merasa peling benar dengan mengatakan, Siapa yang mengetahui Tuhan dan tidak berpaling dari pengakuan itu, maka sesungguhnya ia tidak mengetahui apa-apa karena yang mengetahui Tuhan hanyalah Tuhan itu sendiri.
Karena itu, jangan sampai ada satu komunitas agama di negeri ini yang berhak mengklaim bahwa komunitasnyalah yang paling benar dalam menetapkan Idul Fitri. Kebenaran sejati hanyalah milik Tuhan, sedangkan manusia hanya mencari titik simpul kebenaran, dan yang ditemukan manusia belum tentu sebuah kebenaran absolut. Dalam perspektif ini, menyikapi perbedaan pandangan tentang Hari Raya Idul Fitri, sebaiknya kaum Muslim membiarkan semua itu berbeda.
Dalam konteks perbedaan ini, penulis teringat dengan komunitas lokal di Madura, yaitu di daerah Karai, Kecamatan Ganding, Sumenep, yang terbiasa berbeda dalam melaksanakan ibadah puasa dan Idul Fitri. Hampir puluhan tahun komunitas ini akrab dengan perbedaan tersebut. Namun, perbedaan pelaksanaan puasa dan Idul Fitri dalam konteks lokal ini berjalan dengan tertib, aman, dan berjalan damai, tanpa mengedepankan kekerasan.
Perbedaan pelaksanaan Idul Fitri baik di tingkat lokal maupun nasional tidak bisa dipungkiri keberadaanya. Namun, yang penting kaum Muslim Indonesia berhati-hati menyikapinya, dan setidak-tidaknya mengedepankan sikap perdamaian. Selain itu juga perlu menghindari arogansi, anarkhis, dan menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyikapi perbedaaan tersebut. Kalaupun nanti terjadi perbedaan jangan sampai di antara umat Islam terjadi pertikaian dan kekerasan dalam menjalankan Idul Fitri.
Sepakat semua benar
Menarik dicatat pendapat Quraish Shihab yang ikut urun rembuk dengan pemerintah dan tokoh-tokoh Islam dalam penetapan Idul Fitri. Ia mengatakan bahwa walaupun perbedaan itu terjadi, tetapi harus bersepakat bahwa semuanya adalah benar. Sehingga, demikian kata Quraish Shihab, jika terjadi perbedaan Idul Fitri jangan pernah menganggap ada yang salah dan ada yang benar (Republika 25/09/07). Karena kalau itu yang terjadi maka pertikaian antara kelompok yang beberda tidak bisa dielakkan keberadaanya. Ketika pertikaian yang terjadi, maka kekerasan yang berjalan. Hal itu tidak sejalan dengan semangat Islam yang mengedepankan perdamaian antarsesama.
Umat Islam juga harus membangun sikap toleransi dalam menyikapi perbedaan Idul Fitri. Sikap toleransi ini perlu dijunjung tinggi. Bhineka Tunggal Ika merupakan semboyan negeri ini yang menyatakan keanekaragaman orang, sosial, budaya, agama, dan lain-lain yang mengisi bumi pertiwi ini. Perspektif Michael Walzer (1997) menggambarkan bahwa toleransi sebagai sebuah keniscayaan baik dalam ruang individu maupun ruang publik mengingat salah satu tujuan toleransi adalah upaya membangun hidup damai (peaceful coexsistance) di antara pelbagai kelompok masyarakat.
Masih menurut Walzer, toleransi mampu membentuk berbagai sikap, antara lain sikap untuk menerima perbedaan, mengubah penyeragaman menjadi keragaman, mengakui hak orang lain, menghargai eksistensi orang lain, dan mendukung secara antusias terhadap perbedaan budaya dan keragaman. Dalam hal ini, tentu saja perbedaan pelaksanaan Idul Fitri ikut menjadi hal yang harus dihargai keberadaannya.
Memang tidak bisa dipungkiri sejak tahun 1990-an hingga kini, perayaan Idul Fitri secara bersamaan sulit terlaksana di Indonesia. Karena itu pula, mau tidak mau umat Islam Indonesia harus rela dan siap merayakan Hari Raya Idul Fitri secara serentak namun juga harus rela dan siap melaksanakan perayaan Idul Fitri secara berbeda.
Dalam konteks ini, yang perlu dikembangkan ke depan adalah perbedaan tersebut perlu dijewantahkan dalam hal-hal yang positif; dan tidak dalam hal yang negatif. Tentunya, perwujudan positif dalam menanggapi perbedaan itu bisa berupa sikap saling menghargai perbedaan yang ada dan membangun toleransi antarsesama umat. Sehingga dengan demikian, semangat fitri yaitu kembali ke yang suci (fitrah) akan melekat pada diri kita semua. Selain itu, yang paling penting dalam menyikapi perbedaan ini adalah membangun persatuan bangsa Indonesia di atas keragaman. Karena hal ini pula, yang menjadi semangat dan melanggengkan kebangsaan kita selama ini.
Meskipun masih terjadi perbedaan soal Hari Raya Idul Fitri, kita tetap perlu mengembangkan Islam yang menghargai perbedaan dan toleran, serta munjunjung tinggi keutuhan dan kesatuan bangsa Indonesia. Kita harus hidup bersama dalam keberbedaan sehingga mampu bersikap toleran dan membiarkan berbeda dalam kedamaian.
Peneliti di Center for the Study of Religion and Culture (CSRC), UIN Jakarta
Penetapan Hari Raya Idul Fitri 1428 H kembali menjadi kontroversi karena adanya kemungkinan adanya perbedaan hari jatuhnya perayaan tersebut. Muhammadiyah telah menetapkan bahwa Idul Fitri jatuh pada tanggal 12 Oktober 2007. Sedangkan NU belum menentukan kapan Idul Fitri akan dilaksanakan mengingat penentuan 1Syawal menggunakan sistem rukyat, dan baru bisa dipastikan pada 11 Oktober mendatang. Karena itu, perbedaan pandangan tersebut menarik dicermati dan dikaji lebih jauh.
Secara umum, perbedaan tersebut dilatarbelakangi oleh perbedaan interpretasi terhadap dalil Alquran dan hadis. Sebetulnya dalil yang digunakan dalam hal ini sama, tetapi interpretasi dan pendekatan terhadapnya berbeda. Yang satu menggunakan pendekatan rukyat, sementara yang lain menggunakan pendekatan hisab. Karena pendekatannya berbeda maka hasilnya pun berbeda. Dalam hemat penulis, hal itu wajar mingingat Islam di Indonesia adalah plural. Plural dalam arti pemahaman daninterpretasi terhadap ajaran Islam itu sendiri bermacam-macam.
Jangan terjebak
Dalam menyikapi perbedaan tersebut kaum Muslim Indonesia tidak perlu terjebak pada arogansi teologis sehingga merasa paling benar. Klaim kebenaran seperti ini tidak sesuai dengan semangat fitri (kesucian) yang menjadi dasar Idul Fitri, dan menyimpang dari ajaran Islam yang menekankan rahmatan lil alamain. Filosof Muslim, Ibnu Arabi, pernah menyindir mereka yang merasa peling benar dengan mengatakan, Siapa yang mengetahui Tuhan dan tidak berpaling dari pengakuan itu, maka sesungguhnya ia tidak mengetahui apa-apa karena yang mengetahui Tuhan hanyalah Tuhan itu sendiri.
Karena itu, jangan sampai ada satu komunitas agama di negeri ini yang berhak mengklaim bahwa komunitasnyalah yang paling benar dalam menetapkan Idul Fitri. Kebenaran sejati hanyalah milik Tuhan, sedangkan manusia hanya mencari titik simpul kebenaran, dan yang ditemukan manusia belum tentu sebuah kebenaran absolut. Dalam perspektif ini, menyikapi perbedaan pandangan tentang Hari Raya Idul Fitri, sebaiknya kaum Muslim membiarkan semua itu berbeda.
Dalam konteks perbedaan ini, penulis teringat dengan komunitas lokal di Madura, yaitu di daerah Karai, Kecamatan Ganding, Sumenep, yang terbiasa berbeda dalam melaksanakan ibadah puasa dan Idul Fitri. Hampir puluhan tahun komunitas ini akrab dengan perbedaan tersebut. Namun, perbedaan pelaksanaan puasa dan Idul Fitri dalam konteks lokal ini berjalan dengan tertib, aman, dan berjalan damai, tanpa mengedepankan kekerasan.
Perbedaan pelaksanaan Idul Fitri baik di tingkat lokal maupun nasional tidak bisa dipungkiri keberadaanya. Namun, yang penting kaum Muslim Indonesia berhati-hati menyikapinya, dan setidak-tidaknya mengedepankan sikap perdamaian. Selain itu juga perlu menghindari arogansi, anarkhis, dan menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyikapi perbedaaan tersebut. Kalaupun nanti terjadi perbedaan jangan sampai di antara umat Islam terjadi pertikaian dan kekerasan dalam menjalankan Idul Fitri.
Sepakat semua benar
Menarik dicatat pendapat Quraish Shihab yang ikut urun rembuk dengan pemerintah dan tokoh-tokoh Islam dalam penetapan Idul Fitri. Ia mengatakan bahwa walaupun perbedaan itu terjadi, tetapi harus bersepakat bahwa semuanya adalah benar. Sehingga, demikian kata Quraish Shihab, jika terjadi perbedaan Idul Fitri jangan pernah menganggap ada yang salah dan ada yang benar (Republika 25/09/07). Karena kalau itu yang terjadi maka pertikaian antara kelompok yang beberda tidak bisa dielakkan keberadaanya. Ketika pertikaian yang terjadi, maka kekerasan yang berjalan. Hal itu tidak sejalan dengan semangat Islam yang mengedepankan perdamaian antarsesama.
Umat Islam juga harus membangun sikap toleransi dalam menyikapi perbedaan Idul Fitri. Sikap toleransi ini perlu dijunjung tinggi. Bhineka Tunggal Ika merupakan semboyan negeri ini yang menyatakan keanekaragaman orang, sosial, budaya, agama, dan lain-lain yang mengisi bumi pertiwi ini. Perspektif Michael Walzer (1997) menggambarkan bahwa toleransi sebagai sebuah keniscayaan baik dalam ruang individu maupun ruang publik mengingat salah satu tujuan toleransi adalah upaya membangun hidup damai (peaceful coexsistance) di antara pelbagai kelompok masyarakat.
Masih menurut Walzer, toleransi mampu membentuk berbagai sikap, antara lain sikap untuk menerima perbedaan, mengubah penyeragaman menjadi keragaman, mengakui hak orang lain, menghargai eksistensi orang lain, dan mendukung secara antusias terhadap perbedaan budaya dan keragaman. Dalam hal ini, tentu saja perbedaan pelaksanaan Idul Fitri ikut menjadi hal yang harus dihargai keberadaannya.
Memang tidak bisa dipungkiri sejak tahun 1990-an hingga kini, perayaan Idul Fitri secara bersamaan sulit terlaksana di Indonesia. Karena itu pula, mau tidak mau umat Islam Indonesia harus rela dan siap merayakan Hari Raya Idul Fitri secara serentak namun juga harus rela dan siap melaksanakan perayaan Idul Fitri secara berbeda.
Dalam konteks ini, yang perlu dikembangkan ke depan adalah perbedaan tersebut perlu dijewantahkan dalam hal-hal yang positif; dan tidak dalam hal yang negatif. Tentunya, perwujudan positif dalam menanggapi perbedaan itu bisa berupa sikap saling menghargai perbedaan yang ada dan membangun toleransi antarsesama umat. Sehingga dengan demikian, semangat fitri yaitu kembali ke yang suci (fitrah) akan melekat pada diri kita semua. Selain itu, yang paling penting dalam menyikapi perbedaan ini adalah membangun persatuan bangsa Indonesia di atas keragaman. Karena hal ini pula, yang menjadi semangat dan melanggengkan kebangsaan kita selama ini.
Meskipun masih terjadi perbedaan soal Hari Raya Idul Fitri, kita tetap perlu mengembangkan Islam yang menghargai perbedaan dan toleran, serta munjunjung tinggi keutuhan dan kesatuan bangsa Indonesia. Kita harus hidup bersama dalam keberbedaan sehingga mampu bersikap toleran dan membiarkan berbeda dalam kedamaian.
Langganan:
Postingan (Atom)