Oleh : Saiful Jihad
“Sungguh, benar-benar beruntunglah orang yang selalu berusaha untuk kembali pada hakekat kesucian dirinya” (Q.S. 91: 09)
Tidak terasa, Ramadhan 1428 H. akhirnya berlalu, seperti para kembara, ia datang dan menemani kita, lalu kembali pergi melanjutkan perjalananya. Kehadirannya menjadi dambaan setiap mu’min, dan kepergiannya menjadi “musibah” yang ditangisi. Ia didamba karena karena manfaat dan keberkahan yang dibawanya, dan ditangisi karena “kehausan” diri untuk meneguk kenikmatan dan keberkahannya.
Meski demikian, seorang mu’min harus rela dan ikhlas melepas kepergian ramadhan dengan membawa raport sikap, tindakan dan perlakuan para “ahl al-bait” yang disambangi sang tamu agung (ramadhan). Kerelaan dan keikhlasan tersebut dikarenakan ia telah merasa memperlakukan tamunya dengan baik, dan memberikan “jamuan” yang semestinya, serta mendapatkan beribu keberkahan dari keagungan sang tamu. Untuk melepas kepergiannya, hamba yang beriman betul-betul merasakan kelapangan dan keluasan hati, sehingga dengan ikhlas melepas kepergian ramadhan. Nampaknya keluasan dan kelapangan hati inilah, menjadi salah satu makna yang terkandung dari kata “lebaran” (lebar + an) yang dirayakan setiap tanggal 1 syawal.
Dalam istilah agama, perayaan lebaran ini dikenal dengan istilah ‘Iid al fithri, yang bermakna “kembali pada hakekat kedirian yang suci”. Kenapa disebut kembali? Tentu, karena di situ mengandung makna, bahwa kita bergerak dari satu posisi ke posisi yang lain, yaitu tempat dimana kita merasakan telah jauh dari fithrah kehidupan yang suci, tulus dan luhur, baik dalam hubungan dengan Allah maupun manusia, kemudian bergerak kembali pada posisi awal kejadian kita yang fithrawi tersebut.
Sebenarnya, simbol-simbol dari kecenderungan manusia untuk kembali kepada asal kejadiaanya dapat kita temukan dalam aktivitas di hari idul Fithri atau menjelang idul fithri. Kita melihat misalnya di setiap tahun orang-orang selalu menyempatkan diri untuk pulang kampung. Mereka bahkan rela berjejel dan berdesak-desakan di kereta, bus, kapal laut. Bahkan banyak yang sampai menginap di pelabuhan, terminal atau stasiun kereta karena mereka tidak kebagian tempat untuk mudik pada hari itu, dan besoknya ia berjuang lagi. Semua itu dilakukan untuk satu tujuan yang disebut dengan “mudik lebaran”. Nah, bukankah mudik itu sebenarnya berarti “kembali ke asal” (yaitu kampung halaman), atau “kembali ke fithrah” dalam aktualisasi antropolgis.
Para pemudik tersebut akan kembali ke kampung asal mereka, sama sekali bukan untuk pamer keberhasilan hidup di perantauan atau untuk kepentingan-kepentingan material lainnya. Tidak jarang di antara mereka bahkan hidup di rantau dalam kondisi yang memprihatinkan, tidak berkecukupan dalam arti yang sebenarnya. Jika kita amati, dengan mudah kita dapat menebak penghasilan para pendatang yang hidup di Jakarta, kawasan Industri di Jabotabek, Surabaya, Makassar sebagai pekerja pabrik, buruh bangunan, pedagang sektor informal, dan sebagainya. Jelas tujuan mereka pulang kampung atau mudik tersebut, sangat jauh dari kepentingan simbol-simbol material, keinginan mudik tersebut lebih didorong oleh kecenderungan spiritual, yaitu hasrat untuk kembali kepada orang-orang yang dekat, seperti orang tua, saudara, kerabat, handai taulan dan lain-lain, untuk meminta maaf, membersihkan diri dari dosa dan kekhilafan yang dilakukan, merajut kembali tali silaturrahim seperti sedia kala, bahkan ingin merasakan kembali “indahnya” hari-hari dalam kebersamaan, kemesraan dan ketulusan masa-masa lalu.
Sementara itu, kampung itu sendiri dapat dimaknai dengan asal kejadian atau titik star dari kehidupan kita. Di sanalah kita dilahirkan dan dibesarkan dengan kasih sayang orang-orang yang ada di sekeliling kita, orang tua, saudara, kerabat dan handai taulan. Dengan demikian, mudik atau pulang kampung, dapat dimaknai dengan kembali kepada asal dan awal dari kejadian dan kehidupan, yang penuh dengan kedamaian, kasih sayang, luhur dan suci. Dan inilah salah satu makna dari kata Idul Fithri itu sendiri.
Jika ritus mudik atau pulang kampung ini kita bawa ke dalam logika agama, dengan asumsi adanya dorongan spiritual, maka tidaklah keliru pendapat yang mengatakan, bahwa mudik lebaran sebenarnya merupakan pelaksanaan perintah ajaran agama, yaitu menjadikan “Idul Fithri” sebagai sarana untuk bersilaturahim, bermaaf-maafan setelah menjalani pertobatan pada bulan Ramadhan. Dengan kata lain, pentingnya pelaksanaan hak Allah yang berdimensi vertikal untuk diikuti oleh tindakan melaksanakan hak manusia yang berdimensi horizontal.
Tentunya, makna-makna di atas mestinya menjadi nilai dan subtansi dari keinginan kita untuk mudik (kembali), sehingga kita tidak terjebak dalam “ritual” mudik yang sifatnya formal, simbolik dan fisikal semata, tetapi kemestian utuk mampu menangkap makna dan pesan yang terkandung dalam kegiatan mudik tersebut. Mudik atau kembali ke kampung, berarti kita kembali pada asal dan awal kejadian kita yang suci, luhur, damai, kasih-sayang, dan harmoni sejati. Dengan makna ini, semua yang telah melaksanakan ibadah puasa dengan baik, serta membuka tangan, merangkai silaturahim antar sesama pada dasarnya telah mudik, meski tidak dalam ariti fisikal.
Jika kita semua telah menjadi pemudik dalam arti hakiki, maka tugas yang paling penting bagi kita selanjutnya, adalah menjaga nilai-nilai tersebut dalam kehidupan kita ke depan. Hakikat keindahan, kesucian, keluhuran, kedamaia dan kasih sayang yang kita raih dalam mudik, tentunya kita tidak ingin lenyap dan sirnah kembali dalam rentang waktu perjalanan hidup kita selanjutnya, dimana tidak ada jaminan kesempatan untuk mudik di tahun-tahun akan datang dapat kita raih.
Selamat kembali kepada hakikat kesucian, yang menjadi asal dan awal kejadian kita, semoga kita semua menjadi pemudik-pemudik yang hakiki. Wallahu ‘a’lam.
Catatan: Tulisan yang dipublikasikan di Tribun Timur Makassar (Syawal-1428H)
“Sungguh, benar-benar beruntunglah orang yang selalu berusaha untuk kembali pada hakekat kesucian dirinya” (Q.S. 91: 09)
Tidak terasa, Ramadhan 1428 H. akhirnya berlalu, seperti para kembara, ia datang dan menemani kita, lalu kembali pergi melanjutkan perjalananya. Kehadirannya menjadi dambaan setiap mu’min, dan kepergiannya menjadi “musibah” yang ditangisi. Ia didamba karena karena manfaat dan keberkahan yang dibawanya, dan ditangisi karena “kehausan” diri untuk meneguk kenikmatan dan keberkahannya.
Meski demikian, seorang mu’min harus rela dan ikhlas melepas kepergian ramadhan dengan membawa raport sikap, tindakan dan perlakuan para “ahl al-bait” yang disambangi sang tamu agung (ramadhan). Kerelaan dan keikhlasan tersebut dikarenakan ia telah merasa memperlakukan tamunya dengan baik, dan memberikan “jamuan” yang semestinya, serta mendapatkan beribu keberkahan dari keagungan sang tamu. Untuk melepas kepergiannya, hamba yang beriman betul-betul merasakan kelapangan dan keluasan hati, sehingga dengan ikhlas melepas kepergian ramadhan. Nampaknya keluasan dan kelapangan hati inilah, menjadi salah satu makna yang terkandung dari kata “lebaran” (lebar + an) yang dirayakan setiap tanggal 1 syawal.
Dalam istilah agama, perayaan lebaran ini dikenal dengan istilah ‘Iid al fithri, yang bermakna “kembali pada hakekat kedirian yang suci”. Kenapa disebut kembali? Tentu, karena di situ mengandung makna, bahwa kita bergerak dari satu posisi ke posisi yang lain, yaitu tempat dimana kita merasakan telah jauh dari fithrah kehidupan yang suci, tulus dan luhur, baik dalam hubungan dengan Allah maupun manusia, kemudian bergerak kembali pada posisi awal kejadian kita yang fithrawi tersebut.
Sebenarnya, simbol-simbol dari kecenderungan manusia untuk kembali kepada asal kejadiaanya dapat kita temukan dalam aktivitas di hari idul Fithri atau menjelang idul fithri. Kita melihat misalnya di setiap tahun orang-orang selalu menyempatkan diri untuk pulang kampung. Mereka bahkan rela berjejel dan berdesak-desakan di kereta, bus, kapal laut. Bahkan banyak yang sampai menginap di pelabuhan, terminal atau stasiun kereta karena mereka tidak kebagian tempat untuk mudik pada hari itu, dan besoknya ia berjuang lagi. Semua itu dilakukan untuk satu tujuan yang disebut dengan “mudik lebaran”. Nah, bukankah mudik itu sebenarnya berarti “kembali ke asal” (yaitu kampung halaman), atau “kembali ke fithrah” dalam aktualisasi antropolgis.
Para pemudik tersebut akan kembali ke kampung asal mereka, sama sekali bukan untuk pamer keberhasilan hidup di perantauan atau untuk kepentingan-kepentingan material lainnya. Tidak jarang di antara mereka bahkan hidup di rantau dalam kondisi yang memprihatinkan, tidak berkecukupan dalam arti yang sebenarnya. Jika kita amati, dengan mudah kita dapat menebak penghasilan para pendatang yang hidup di Jakarta, kawasan Industri di Jabotabek, Surabaya, Makassar sebagai pekerja pabrik, buruh bangunan, pedagang sektor informal, dan sebagainya. Jelas tujuan mereka pulang kampung atau mudik tersebut, sangat jauh dari kepentingan simbol-simbol material, keinginan mudik tersebut lebih didorong oleh kecenderungan spiritual, yaitu hasrat untuk kembali kepada orang-orang yang dekat, seperti orang tua, saudara, kerabat, handai taulan dan lain-lain, untuk meminta maaf, membersihkan diri dari dosa dan kekhilafan yang dilakukan, merajut kembali tali silaturrahim seperti sedia kala, bahkan ingin merasakan kembali “indahnya” hari-hari dalam kebersamaan, kemesraan dan ketulusan masa-masa lalu.
Sementara itu, kampung itu sendiri dapat dimaknai dengan asal kejadian atau titik star dari kehidupan kita. Di sanalah kita dilahirkan dan dibesarkan dengan kasih sayang orang-orang yang ada di sekeliling kita, orang tua, saudara, kerabat dan handai taulan. Dengan demikian, mudik atau pulang kampung, dapat dimaknai dengan kembali kepada asal dan awal dari kejadian dan kehidupan, yang penuh dengan kedamaian, kasih sayang, luhur dan suci. Dan inilah salah satu makna dari kata Idul Fithri itu sendiri.
Jika ritus mudik atau pulang kampung ini kita bawa ke dalam logika agama, dengan asumsi adanya dorongan spiritual, maka tidaklah keliru pendapat yang mengatakan, bahwa mudik lebaran sebenarnya merupakan pelaksanaan perintah ajaran agama, yaitu menjadikan “Idul Fithri” sebagai sarana untuk bersilaturahim, bermaaf-maafan setelah menjalani pertobatan pada bulan Ramadhan. Dengan kata lain, pentingnya pelaksanaan hak Allah yang berdimensi vertikal untuk diikuti oleh tindakan melaksanakan hak manusia yang berdimensi horizontal.
Tentunya, makna-makna di atas mestinya menjadi nilai dan subtansi dari keinginan kita untuk mudik (kembali), sehingga kita tidak terjebak dalam “ritual” mudik yang sifatnya formal, simbolik dan fisikal semata, tetapi kemestian utuk mampu menangkap makna dan pesan yang terkandung dalam kegiatan mudik tersebut. Mudik atau kembali ke kampung, berarti kita kembali pada asal dan awal kejadian kita yang suci, luhur, damai, kasih-sayang, dan harmoni sejati. Dengan makna ini, semua yang telah melaksanakan ibadah puasa dengan baik, serta membuka tangan, merangkai silaturahim antar sesama pada dasarnya telah mudik, meski tidak dalam ariti fisikal.
Jika kita semua telah menjadi pemudik dalam arti hakiki, maka tugas yang paling penting bagi kita selanjutnya, adalah menjaga nilai-nilai tersebut dalam kehidupan kita ke depan. Hakikat keindahan, kesucian, keluhuran, kedamaia dan kasih sayang yang kita raih dalam mudik, tentunya kita tidak ingin lenyap dan sirnah kembali dalam rentang waktu perjalanan hidup kita selanjutnya, dimana tidak ada jaminan kesempatan untuk mudik di tahun-tahun akan datang dapat kita raih.
Selamat kembali kepada hakikat kesucian, yang menjadi asal dan awal kejadian kita, semoga kita semua menjadi pemudik-pemudik yang hakiki. Wallahu ‘a’lam.
Catatan: Tulisan yang dipublikasikan di Tribun Timur Makassar (Syawal-1428H)