Oleh Abd Moqsith Ghazali
Dalam konteks negara Indonesia, perubahan terhadap perda-perda bernuansa agama itu bukan hanya demi logika agama damai, melainkan juga demi tegaknya konstitusi negara RI. Itu sebabnya, semua pengambil kebijakan di negeri ini perlu bertumpu pada konstitusi tersebut dan bukan kepada doktrin keagamaan eksklusif yang hanya diimani sekelompok umat. Indonesia jelas bukan negara agama, melainkan negara sekuler.
Tanggal 20-23 Oktober 2007, GMIM (Gereja Masehi Injili di Minahasa) bekerja sama dengan MADIA (Masyarakat Dialog Antar-Agama), dan PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia) menyelenggarakan refleksi bersama dan seminar publik tentang "Masa Depan Pluralisme di Indonesia" di Uluindano Tomohon Sulawesi Utara. Forum ini dihadiri para tokoh lintas agama se-kawasan timur Indonesia. Juga menghadirkan sejumlah intelektual dari Jakarta seperti Dr. Ifdhal Kasim (Ketua Komnas HAM), Dr. Luthfi Assyaukanie (Koordinator Jaringan Islam Liberal), Dr. Erick J. Barus (Sekretaris Eksekutif Bidang Maraturia PGI), dan Abd Moqsith Ghazali (Peneliti The WAHID Institute).
Forum tersebut dirancang untuk merefleksikan potret kerukunan umat beragama di Indonesia mutakhir, menganalisa peluang dan tantangan kerja sama agama-agama, dan bagaimana menegakkan pluralisme dan kebebasan beragama (HAM) di Indonesia. Dari situ saya berkesimpulan dilakukannya beberapa langkah membangun damai dan kerukunan beragama di Indonesia. Pertama, melakukan substansialisasi sejumlah doktrin agama yang potensial dibajak untuk kepentingan terorisme dan penindasan. Dalam Islam misalnya kosa kata kafir, murtad, dan musyrik perlu diberi makna kontekstual dan relevan bagi umat Islam Indonesia. Untuk tujuan substansialisasi ajaran tersebut, sesungguhnya ulama terdahulu telah membuat kerangka metodologinya, yaitu ushul fikih. Melalui ushul fikih, sebuah ayat akan diketahui bukan hanya makna literalnya, melainkan juga tafsir kontektualnya (al-tafsir al-siyaqi) serta spirit dasar (maqashid al-syari`ah) yang hendak ditujunya. Telah disadari, jika ayat-ayat perang dalam al-Qur'an dibiarkan tampil dengan makna harafiahnya dan diasingkan dari momen sosial politik yang menyertai kehadirannya, maka peluang terjadinya kekerasan atas nama agama kian terbuka.
Begitu juga, sejumlah ayat dalam Injil yang kerap dipakai untuk meng-ekskomunikasikan umat agama lain hendaknya ditafsir ulang. Misalnya, pernyataan Yesus Kristus, "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku" (Yohanes 14: 16). Di ayat lain disebutkan, "Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita diselamatkan" (Kisah Para Rasul 4: 12). Dari ayat ini muncul sebuah kredo, "tidak ada keselamatan di luar Gereja" dan tidak ada Nabi di luar Gereja". Tidak mau terperangkap dalam eksklusifisme keagamaan, setelah melewati pergumulan panjang dan intensif akhirnya melalui konseli Vatikan II (1962-1965) Gereja Katolik berpendapat bahwa tak tertutup kemungkinan adanya keselamatan di luar Gereja.
Kedua, menerjemahkan kesadaran pluralisme dan multi-kulturalisme ke dalam kurikulum pendidikan agama, mulai dari tingkat bawah hingga perguruan tinggi. Sudah lama ditengarai, sejumlah kurikulum pendidikan agama di lembaga-lembaga pendidikan Indonesia mengandung pandangan keagamaan yang tidak toleran. Jika muatan kurikulum itu tak diperbaharui, maka ia akan menjadi magma yang berbahaya bukan hanya terhadap eksistensi suatu umat terutama yang minoritas, melainkan juga terhadap eksistensi negara bangsa Indonesia. Sudah saatnya Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional dengan melibatkan berbagai pihak yang berkompeten memperbaharui kurikulum pendidikan agama. Muatan kurikulum agama yang diskriminatif dan tidak toleran mesti digantikan dengan yang lebih demokratis dan toleran.
Bukan hanya kurikulum yang harus diperbaiki, melainkan juga buku ajarnya. Buku-buku agama yang menjadi pegangan anak didik mesti mempertimbangkan keragaman masyarakat Indonesia. Jangan sampai buku agama yang beredar di sekolah-sekolah bertentangan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Semua telah maklum bahwa Indonesia tidak hanya ditempati oleh umat Islam, tapi juga umat agama lain. Jenis Islam yang berkembang di Indonesia pun bukan hanya Islam a la MUI, Hizbur Tahrir, FPI, dan MMI, melainkan juga Islam a la NU, JIL, Waktu Telu, dan lain-lain. Indonesia tidak hanya pulau Jawa yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi juga ribuan pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke dengan keaneka-ragaman agama dan budaya para penghuninya. Oleh karena itu, buku-buku keagamaan yang ada di tangan para pelajar mesti diberi visi, semangat, dan konteks keindonesiaan yang plural tersebut.
Ketiga, melakukan conuter legal draft, judicial reviev, uji material terhadap sejumlah regulasi dan peraturan yang bertentangan dengan semangat agama damai dan Pancasila. Sejumlah Perda yang hanya menganak-emaskan satu umat tertentu dan meminggirkan umat lain seharusnya diperiksa dan diubah. KH Abdurrahman Wahid, mantan Presiden RI, menengarai sejumlah undang-undang dan berpuluh Perda bernuansa agama bertabrakan dengan UUD 1945. Dalam konteks negara Indonesia, perubahan terhadap perda-perda bernuansa agama itu bukan hanya demi logika agama damai, melainkan juga demi tegaknya konstitusi negara RI. Itu sebabnya, semua pengambil kebijakan di negeri ini perlu bertumpu pada konstitusi tersebut dan bukan kepada doktrin keagamaan eksklusif yang hanya diimani sekelompok umat. Indonesia jelas bukan negara agama, melainkan negara sekuler.
Keempat, menghidupkan dan mengukuhkan kearifan lokal, setelah sekian lama hancur atau dihancurkan oleh rezim Soeharto. Sebab, tak seluruh konflik bisa diatasi dengan pendekatan politik-keamanan seperti yang dilakukan Orde Baru. Sebagian dari konflik itu ada yang hanya mungkin dilerai dan diatasi dengan pendekatan kultural. Dalam konteks itu, memberdayakan kembali jalur-jalur kebudayaan dan kearifan lokal menjadi penting. Perlu diingat, paket penyelesaian konflik yang dikirim dari Jakarta kerapkali kandas, karena tak memperhitungkan kondisi lokal masyarakat. Solusi dari pemerintah pusat sering tak menyembuhkan tapi hanya meringankan secara sesaat.
Beberapa resep di atas, kiranya perlu dilakukan bagi siapa saja yang menginginkan tegaknya perdamaian abadi di negeri ini.[]
Rabu, 21 November 2007
Aspek Sosiologis Kelompok Sempalan
Oleh Novriantoni
Bruinessen berpendapat, selama dialog antara ortodoksi kalangan mainstream dan gerakan sempalan itu masih dapat berlangsung, fenomena ini akan tetap berfungsi positif. Terputusnya komunikasi dan makin terasingnya mereka justru mengandung marabahaya
Fatwa dan 10 kriteria aliran sesat yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia Selasa (6/11) lalu mungkin tidak akan banyak membantu kita untuk memahami dan mengatasi kemunculan kelompok-kelompok agama yang sering dicap sesat. Penjara pun tak akan membuat jera jika keyakinan baru sudah tertanam begitu kokoh di dalam sanubari mereka.
Karena itu, daripada terus berfantasi akan sirna dan tidak akan munculnya lagi aliran sesat di bumi Indonesia lewat fatwa ataupun aksi massa, ada baiknya kita memahami akar masalah kemunculan kelompok seperti Lia Eden, al-Qiyadah al-Islamiyyah, dan sejenisnya dalam ekspresi keberagamaan kita. Untuk keperluan ini, 10 kriteria aliran sesat Majelis Ulama Indonesia tidak akan membuat ilmu kita bertambah.
Di tahun 1992, Martin van Bruinessen menjelaskan latar belakang sosio-kultural kemunculan “kelompok-kelompok sempalan Islam” (istilah yang lebih netral) di Indonesia Jurnal Ulumul Qur'an vol. III no. 1. Ahli Islam asal Belanda itu masuk ke jantung kelompok-kelompok sempalan yang pernah dilarang atau sekurang-kurangnya diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia.
Objek studinya sangat luas, tapi tetap dibarengi klasifikasi yang cukup ketat dan jelas. Ada Islam Jamaah, Ahmadiyah Qadian, DI/TII, Mujahidin Warsidi (Lampung), Syi'ah, Baha'i, kelompok Inkarus Sunnah, Darul Arqam, Jamaah Imran, gerakan Usroh, aliran-aliran tasawwuf berfaham wahdatul wujud, Tarekat Mufarridiyah, dan gerakan Bantaqiyah (Aceh). Itulah kelompok-kelompok yang dianggap sempalan dan sesat di masa itu.
Meski agak out of date karena belum membahas kelompok baru yang kini sedang hangat diperbincangkan, beberapa kesimpulan Bruinessen tetap masih cukup relevan dan menarik untuk disimak:
Pertama-tama, di luar stigma negatif yang selalu dialamatkan pada mereka, menurut Bruinessen beberapa kelompok sempalan yang dicap sesat itu sering kali dapat memenuhi fungsi keluarga bagi para pengikutnya. Kehadiran komunitas “keluarga baru” ini bisa amat didambakan anggotanya, terutama ketika mereka mengalami alienasi sosial akibat proses urbanisasi dan merenggangnya hubungan mereka dengan keluarga asal.
Agar dapat berfungsi sebagai komunitas keluarga, jumlah anggota kelompok biasanya kecil saja, sehingga mereka bisa saling kenal. Pada aspek ini, kalangan mainstream Islam tidak perlu terlalu resah akan berkembangnya kelompok sempalan dalam jumlah besar. Studi Bruinessen menunjukkan bahwa aliran-aliran baru seperti ini hampir selalu bersifat eksklusif (menghindar dari hubungan dengan umat lainnya) dan gnostik (mengklaim punya ajaran khusus yang tidak dimengerti kaum awam), serta kerap menerapkan sistem bai'at antara pimpinan dan pengikutnya.
Poin ini sedikit banyak menjelaskan mengapa begitu banyak pengikut aliran-aliran baru seperti al-Qiyadah yang berasal dari kalangan mahasiswa. Kondisi alienasi yang mungkin mereka alami akibat perubahan situasi dan lingkungan baru yang mereka rasakan, boleh jadi membuat mereka kehilangan pegangan.
Mahasiswa, kata Bruinessen, terutama yang berasal dari kota kecil atau desa, yang hidup di sebuah lingkungan kota yang serba baru dan aneh bagi mereka, merasa diberi perlindungan dan rasa aman oleh komunitas baru yang membuat mereka merasa at home. Peran ini tidak lagi dapat dimainkan organisasi agama besar, justeru karena yang diperlukan adalah hubungan intim dalam sebuah komunitas kecil yang terpisah dari masyarakat/umat yang lebih luas.
Lalu perlukah mereka dijauhi, difatwa atau digebuki? Bruinessen berpendapat, selama dialog antara ortodoksi kalangan mainstream dan gerakan sempalan itu masih dapat berlangsung, fenomena ini akan tetap berfungsi positif. Terputusnya komunikasi dan makin terasingnya mereka justru mengandung marabahaya. Kalau ortodoksi tidak responsif dan komunikatif dan hanya bereaksi dengan melarang-larang (atau diam saja), ortodoksi sendiri justru bisa berubah menjadi salah satu sebab penyimpangan "ekstrim" ini.
Bruinessen berpendapat, selama dialog antara ortodoksi kalangan mainstream dan gerakan sempalan itu masih dapat berlangsung, fenomena ini akan tetap berfungsi positif. Terputusnya komunikasi dan makin terasingnya mereka justru mengandung marabahaya
Fatwa dan 10 kriteria aliran sesat yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia Selasa (6/11) lalu mungkin tidak akan banyak membantu kita untuk memahami dan mengatasi kemunculan kelompok-kelompok agama yang sering dicap sesat. Penjara pun tak akan membuat jera jika keyakinan baru sudah tertanam begitu kokoh di dalam sanubari mereka.
Karena itu, daripada terus berfantasi akan sirna dan tidak akan munculnya lagi aliran sesat di bumi Indonesia lewat fatwa ataupun aksi massa, ada baiknya kita memahami akar masalah kemunculan kelompok seperti Lia Eden, al-Qiyadah al-Islamiyyah, dan sejenisnya dalam ekspresi keberagamaan kita. Untuk keperluan ini, 10 kriteria aliran sesat Majelis Ulama Indonesia tidak akan membuat ilmu kita bertambah.
Di tahun 1992, Martin van Bruinessen menjelaskan latar belakang sosio-kultural kemunculan “kelompok-kelompok sempalan Islam” (istilah yang lebih netral) di Indonesia Jurnal Ulumul Qur'an vol. III no. 1. Ahli Islam asal Belanda itu masuk ke jantung kelompok-kelompok sempalan yang pernah dilarang atau sekurang-kurangnya diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia.
Objek studinya sangat luas, tapi tetap dibarengi klasifikasi yang cukup ketat dan jelas. Ada Islam Jamaah, Ahmadiyah Qadian, DI/TII, Mujahidin Warsidi (Lampung), Syi'ah, Baha'i, kelompok Inkarus Sunnah, Darul Arqam, Jamaah Imran, gerakan Usroh, aliran-aliran tasawwuf berfaham wahdatul wujud, Tarekat Mufarridiyah, dan gerakan Bantaqiyah (Aceh). Itulah kelompok-kelompok yang dianggap sempalan dan sesat di masa itu.
Meski agak out of date karena belum membahas kelompok baru yang kini sedang hangat diperbincangkan, beberapa kesimpulan Bruinessen tetap masih cukup relevan dan menarik untuk disimak:
Pertama-tama, di luar stigma negatif yang selalu dialamatkan pada mereka, menurut Bruinessen beberapa kelompok sempalan yang dicap sesat itu sering kali dapat memenuhi fungsi keluarga bagi para pengikutnya. Kehadiran komunitas “keluarga baru” ini bisa amat didambakan anggotanya, terutama ketika mereka mengalami alienasi sosial akibat proses urbanisasi dan merenggangnya hubungan mereka dengan keluarga asal.
Agar dapat berfungsi sebagai komunitas keluarga, jumlah anggota kelompok biasanya kecil saja, sehingga mereka bisa saling kenal. Pada aspek ini, kalangan mainstream Islam tidak perlu terlalu resah akan berkembangnya kelompok sempalan dalam jumlah besar. Studi Bruinessen menunjukkan bahwa aliran-aliran baru seperti ini hampir selalu bersifat eksklusif (menghindar dari hubungan dengan umat lainnya) dan gnostik (mengklaim punya ajaran khusus yang tidak dimengerti kaum awam), serta kerap menerapkan sistem bai'at antara pimpinan dan pengikutnya.
Poin ini sedikit banyak menjelaskan mengapa begitu banyak pengikut aliran-aliran baru seperti al-Qiyadah yang berasal dari kalangan mahasiswa. Kondisi alienasi yang mungkin mereka alami akibat perubahan situasi dan lingkungan baru yang mereka rasakan, boleh jadi membuat mereka kehilangan pegangan.
Mahasiswa, kata Bruinessen, terutama yang berasal dari kota kecil atau desa, yang hidup di sebuah lingkungan kota yang serba baru dan aneh bagi mereka, merasa diberi perlindungan dan rasa aman oleh komunitas baru yang membuat mereka merasa at home. Peran ini tidak lagi dapat dimainkan organisasi agama besar, justeru karena yang diperlukan adalah hubungan intim dalam sebuah komunitas kecil yang terpisah dari masyarakat/umat yang lebih luas.
Lalu perlukah mereka dijauhi, difatwa atau digebuki? Bruinessen berpendapat, selama dialog antara ortodoksi kalangan mainstream dan gerakan sempalan itu masih dapat berlangsung, fenomena ini akan tetap berfungsi positif. Terputusnya komunikasi dan makin terasingnya mereka justru mengandung marabahaya. Kalau ortodoksi tidak responsif dan komunikatif dan hanya bereaksi dengan melarang-larang (atau diam saja), ortodoksi sendiri justru bisa berubah menjadi salah satu sebab penyimpangan "ekstrim" ini.
Takfir Minimalis al-Ghazali
Oleh Saidiman
Melalui lima ta’wil yang ditawarkan oleh al-Ghazali, Kiai Husein menarik kesimpulan bahwa sesungguhnya al-Ghazali sedang mengkampanyekan gagasan pluralisme, inklusivisme, dan liberalisme. Lima ta’wil tersebut tak lain adalah sebentuk penghargaan kepada semua orang apapun latar belakang ideologis dan sosiologisnya.
Tadarus Ramadan Jaringan Islam Liberal (JIL) “Mengaji Pemikiran al-Ghazali” sesi kedua (25/9) membahas buku Fayshal al-Tafriqah Bayna al-Islam wa al-Zandaqah. Sesi ini mengundang KH. Husein Muhammad, Nanang Tahqiq, dan Novriantoni Kahar sebagai pembicara. Tadarus dipandu oleh Mohamad Guntur Romli.
Setelah sesi sebelumnya mengurai pemikiran al-Ghazali seputar kritikan al-Ghazali terhadap beberapa masalah dalam debat filsafat, melalui buku Tahafut al-Falasifah, sesi yang dihadiri sekitar seratus peserta ini lebih banyak bicara tentang konteks dan fenomena pengkafiran yang dilakukan oleh al-Ghazali. Pertanyaan besar yang ingin diajukan dalam diskusi ini adalah motivasi apa yang mendorong al-Ghazali dalam melakukan pengkafiran terutama terhadap tiga masalah dalam filsafat? Pertanyaan lanjutannya adalah, sejauhmana pengkafiran yang dilakukan oleh al-Ghazali berpengaruh terhadap fenomena umat Islam saat ini yang begitu mudah terjebak ke dalam proses takfir semacam itu?
Nanang Tahqiq memulai presentasinya dengan mencoba memberikan konteks terhadap gagasan-gagasan al-Ghazali. Menurut Tahqiq, masa di mana al-Ghazali hidup adalah masa yang serba sulit. Saat itu umat Islam berada dalam ancaman disintegrasi yang demikian menyedihkan. Masing-masing kelompok Islam berusaha tampil meraih simpati dengan cara merebut legitimasi teologis atas kelompok mereka. Akibatnya, pengkafiran tidak kuasa dihindarkan. Tahqiq menyebut saat itu sangat lumrah didapati kelompok Hanbali mengafirkan Asy’ari demikian pula sebaliknya. Kelompok Asy’ari juga menyulut kebencian dengan mengkafirkan kelompok Mu’tazila, demikian sebaliknya.
Dengan kondisi pengkafiran yang begitu lumrah semacam ini, al-Ghazali tampil sebagai sosok yang moderat dengan hanya mengkafirkan tiga hal dalam filsafat: qadim-nya alam; Tuhan tidak mengetahui yang partikular (juz’iyyah); dan tiadanya kebangkitan jasmani. Selebihnya, menurut Tahqiq, al-Ghazali tidak lagi mengkafirkan apa-apa. Pada posisi ini, bagi Tahqiq, sebetulnya al-Ghazali ingin menawarkan alternatif bagi tradisi pengkafiran yang begitu akut saat itu. Al-Ghazali tentu punya banyak kelemahan dalam proses pengkafiran ketiga hal di atas, tetapi setidaknya ia memberi contoh bentuk pengkafiran yang tidak membabi-buta sebagaimana yang dilakukan oleh umat Islam lainnya.
Dalam buku Faisyal Tafriqah, al-Ghazali menyatakan bahwa sikap kafir-mengkafirkan umumnya disebabkan oleh perbedaan pendirian mazhab atau perbedaan cara pandang dengan kelompok lain yang menjadi kompetitornya, bukan karena argumentasi-argumentasi yang bertanggungjawab. Itulah sebabnya al-Ghazali memberikan batasan yang ketat terhadap proses pengkafiran. Pengakfiran hanya mungkin dilakukan oleh seorang ahli, pun hanya menyangkut soal-soal yang paling mendasar.
Melanjutkan tesis yang telah dibangun oleh Nanang Tahqiq, KH. Husein Muhammad mencoba memperjelas posisi al-Ghazali yang menurut dia banyak disalahpahami oleh para pengkritiknya. Kiai Husein melihat bahwa al-Ghazali adalah sosok yang kontroversial justru karena kedalaman ide dan keluasan jelajah intelektualnya. Terlalu banyak orang salah dalam menilai al-Ghazali justru karena pembacaannya yang parsial, tanpa mencoba melihat al-Ghazali secara utuh. Kiai Husein menolak pembacaan parsial tersebut tanpa melihat bangunan metodologinya. Al-Ghazali memang tampak mengajukan pemikiran yang ta’arudh (kotradiktif), tadhadud (berlainan), hirah (membingungkan), taraddud (ragu-ragu), dan jam’ wa farq (seolah-olah utuh tapi retak), tetapi yang sesungguhnya terjadi adalah sebuah penjelajahan intelektual yang sangat kaya. Tak heran, jika umat Islam menganggapnya sebagai manusia Islam teragung setelah Nabi Muhammad.
Mengutip Maurice Bouyge, Kiai Husein menyatakan bahwa buku al-Tafriqa ditulis dalam masa al-Ghazali mengucilkan diri (488-499). Pada masa-masa inilah sejumlah buku ditulis oleh al-Ghazali: Ihya Ulum al Din, al Munqidz min al Dhalal, al Mustasyfa, Misykat al Anwar, dan lainnya.
Menurut Kiai Husein, fenomena pengkafiran yang begitu marak saat itu juga menimpa al-Ghazali sendiri. Pemikiran-pemikirannya banyak diserang oleh pelbagai kalangan. Kelompok agamawan yang paling banyak menyerangnya adalah para ahli fiqh, ahli kalam (teolog), dan ahli hadits. Sejak awal, al-Ghazali selalu merespon para pengkritiknya dengan cara membuat buku. Kritikan-kritikan semacam itu pulalah yang melatarbelakangi al-Ghazali menghadirkan karya al Tafriqa tersebut.
Dalam buku itu, al-Ghazali menyebut para pengkritiknya sebagai orang-orang fanatik (al muta’asshib) yang sedang marah. Al-Ghazali begitu risau bahwa mereka yang begitu mudah terlibat dalam pengkafiran semata-mata adalah karena buah dari hasutan orang lain. Hasud, iri, dan dengki adalah penyakit yang sangat berbahaya dan begitu sulit disembuhkan. Al-Ghazali menegaskan: “orang yang menganggap kafir orang yang menolak atau menentang doktrin Asy’ari, Mu’tazilah, Hanbali, atau mazhab lain adalah sebuah kebodohan yang nyata.” Pada kesempatan lain, al-Ghazali mengkritik para teolog (ahli kalam) yang mengkafirkan masyarakat umum hanya karena mereka tidak mengerti dalil-dalil teologi. Al-Ghazali menyatakan bahwa ada banyak cara untuk mengetahui Tuhan. Dan surga tidak hanya dimonopoli oleh kaum teolog. Atas dasar itulah maka, bagi Kiai Husein, sesungguhnya al-Ghazali adalah seorang pemikir bebas yang mengusung ide-ide kebebasan.
Lalu siapakah yang bisa disebut kafir? Pertanyaan ini harus dijawab dengan hati-hati. Al-Ghazali dengan tegas melarang orang yang hendak mengkafirkan tetapi hatinya masih diliputi rasa dengki, iri, dan kotor. Sejumlah syarat harus diajukan sebelum orang bisa sampai kepada kesimpulan untuk mengkafirkan: hati yang bersih, terlatih, jiwa yang senantiasa berzikir kepada Tuhan, pikiran yang cerdas dan kritis, serta taat menjalankan hukum-hukum Tuhan.
Menurut al-Ghazali, Islam menetapkan kriteria kafir sebagai orang yang mendustakan Nabi Muhammad SAW. Sementara orang mukmin adalah mereka yang membenarkan semua yang disampaikan Nabi Muhammad. Pernyataan sederhana di atas sekilas tampak meneguhkan pendapat sebagian kalangan yang memandang al-Ghazali sebagai seorang eksklusif dengan mengkafirkan kelompok Yahudi, Kristen, dan agama-agama lain yang tidak membenarkan Nabi Muhammad. Akan tetapi persoalannya ternyata tidak sesederhana itu. Kata “mendustakan” dan “membenarkan” perlu peninjauan dan penjernihan lebih jauh. Pertanyaannya, siapakah sebetulnya yang memiliki klaim paling sahih mengenai risalah atau kebenaran Nabi?
Pertanyaan ini, menurut Kiai Husein, dijawab oleh al-Ghazali dengan menawarkan teori ta’wil (hermeneutika). Sebuah berita dinyatakan benar atau salah berdasarkan lima pendekatan: wujud dzaty (wujud hakiki); wujud hissy (wujud yang dapat ditangkap oleh potensi manusia di dalam indera); wujud khayali (khayalan atau angan-angan); wujud aql (rasional); dan wujud syibby (wujud tanpa makna, tanpa bentuk, dan tak ada dalam realitas, melainkan hanya berupa wujud serupa dan metaforis). Sejauh sebuah berita bisa dita’wil dalam lima pendekatan itu, maka tidak ada alasan untuk pengkafiran di sana.
Melalui lima ta’wil yang ditawarkan oleh al-Ghazali, Kiai Husein menarik kesimpulan bahwa sesungguhnya al-Ghazali sedang mengkampanyekan gagasan pluralisme, inklusivisme, dan liberalisme. Lima ta’wil tersebut tak lain adalah sebentuk penghargaan kepada semua orang apapun latar belakang ideologis dan sosiologisnya. Al-Ghazali tampak begitu risau dengan fenomena pengkafiran.
Berangkat dari fakta yang sama, Novriantoni memiliki pemikiran yang agak berbeda dengan pembicara sebelumnya. Melalui makalah yang diberi judul Al-Ghazali, Toleransi Setengah Hati, Novri (panggilan akrab Novriantoni) menyoroti fakta pengkafiran dan penghalalan darah yang telah dilakukan oleh al-Ghazali.
Kendati begitu, al-Ghazali, menurut pandangan Novri, memang menawarkan sebuah sikap toleransi, namun toleransi yang dibangun adalah toleransi terbatas. Novri kemudian mengurai pokok-pokok pikiran al-Ghazali yang terdapat dalam Fayshalut Tafriqah ke dalam sepuluh point: (1) al-Ghazali menganjurkan pembacanya untuk tidak gegabah dalam menjatuhkan vonis kafir; (2) konsep kenabian sebagai mediator syariat memegang posisi yang sangat sentral, karena itu definisi iman dan kafir terkait secara langsung dengan kepercayaan terhadap risalah Nabi; (3) adanya pembedaan ateisme-mutlak dan ateisme-terbatas; (4) toleransi yang dibangun oleh al-Ghazali, kalaupun benar, hanyalah toleransi internal umat Islam, bukan untuk orang-orang di luar Islam; (5) al-Ghazali mengakui konsep rahmat Allah yang luas; (6) al-Ghazali berpendapat bahwa ahli-ahli kalam yang mengkafirkan kalangan awam hanya karena mereka tidak memahami prinsip-prinsip teologi adalah keterlaluan; (7) al-Ghazali memaknai term “yang selamat” sebagai mereka yang sama sekali tidak masuk neraka, sementara “yang celaka” adalah mereka yang benar-benar kekal di dalam neraka; (8) dalam buku ini al-Ghazali tampak sedikit toleran terhadap Syi’ah; (9) keniscayaan ta’wil dan kaedah-kaedahnya; dan (10) untuk menghindar dari vonis “kafir,” al-Ghazali memperkenalkan konsep “sesat” dan “bid’ah.”
Menurut Novri, jika dalam Fayshal Tafriqah al-Ghazali tampak sedikit toleran, tapi di dalam buku lain seperti Fadla’ihul Bathiniyyah dan Tahafut al Falasifa, al-Ghazali muncul sebagai sosok yang sama sekali tidak toleran, bahkan cenderung menyebar permusuhan. Novri menunjukkan bagaimana al-Ghazali memilih sikap yang begitu keras terhadap kelompok Batini-Ismaili yang juga merupakan musuh ideologis khalifah al-Mustdzhir Billah. Novri mengutip pernyataan al-Ghazali: “Singkat kata, perlakuan terhadap mereka haruslah seperti perlakuan terhadap orang-orang murtad menyangkut aspek nyawanya, nikahnya, sembelihannya, transaksinya, dan ibadahnya. Arwah mereka tidak layak diperlakukan, bahkan sebagaimana orang kafir tulen.” Lebih jauh al-Ghazali menegaskan: “Untuk anak-anak, tidak dibunuh karena mereka belum menjadi subjek hukum, dan hukumnya akan saya jelaskan selanjutnya. Tapi perempuan-perempuan, bila mereka terang-terangan mengaku berkeyakinan dengan apa yang sudah kita tetapkan sebagai kekafiran itu, maka bagi kita hukumnya sama dengan hukum murtad yang harus dibunuh berdasar pemahaman umum kita tentang hadis berikut: “Yang mengganti agamanya, bunuhlah ia!”
Di atas semua kontroversi dan ketidakkonsistenan yang melekat kepada gagasan-gagasan yang diusungnya, semua pembicara sepakat pada satu hal, yakni bahwa al-Ghazali tetap adalah seorang besar yang menulis karya-karya besar dalam jumlah besar. Karena kebesarannya pulalah yang menyebabkan umat Islam terlalu sulit untuk keluar dari penjara dogmatis yang telah dibangunnya. Novriantoni menawarkan gagasan untuk keluar dari penjara al-Ghazali agar kreativitas umat Islam semakin tumbuh. Kiai Husein dan Nanang Tahqiq mengusulkan pembacaan yang lebih kritis dan menyeluruh terhadap al-Ghazali agar konsep dan gagasan yang muncul adalah gagasan yang lebih mencerahkan, ketimbang sisi-sisi gelap yang selama ini menjangkiti umat Islam.[]
Melalui lima ta’wil yang ditawarkan oleh al-Ghazali, Kiai Husein menarik kesimpulan bahwa sesungguhnya al-Ghazali sedang mengkampanyekan gagasan pluralisme, inklusivisme, dan liberalisme. Lima ta’wil tersebut tak lain adalah sebentuk penghargaan kepada semua orang apapun latar belakang ideologis dan sosiologisnya.
Tadarus Ramadan Jaringan Islam Liberal (JIL) “Mengaji Pemikiran al-Ghazali” sesi kedua (25/9) membahas buku Fayshal al-Tafriqah Bayna al-Islam wa al-Zandaqah. Sesi ini mengundang KH. Husein Muhammad, Nanang Tahqiq, dan Novriantoni Kahar sebagai pembicara. Tadarus dipandu oleh Mohamad Guntur Romli.
Setelah sesi sebelumnya mengurai pemikiran al-Ghazali seputar kritikan al-Ghazali terhadap beberapa masalah dalam debat filsafat, melalui buku Tahafut al-Falasifah, sesi yang dihadiri sekitar seratus peserta ini lebih banyak bicara tentang konteks dan fenomena pengkafiran yang dilakukan oleh al-Ghazali. Pertanyaan besar yang ingin diajukan dalam diskusi ini adalah motivasi apa yang mendorong al-Ghazali dalam melakukan pengkafiran terutama terhadap tiga masalah dalam filsafat? Pertanyaan lanjutannya adalah, sejauhmana pengkafiran yang dilakukan oleh al-Ghazali berpengaruh terhadap fenomena umat Islam saat ini yang begitu mudah terjebak ke dalam proses takfir semacam itu?
Nanang Tahqiq memulai presentasinya dengan mencoba memberikan konteks terhadap gagasan-gagasan al-Ghazali. Menurut Tahqiq, masa di mana al-Ghazali hidup adalah masa yang serba sulit. Saat itu umat Islam berada dalam ancaman disintegrasi yang demikian menyedihkan. Masing-masing kelompok Islam berusaha tampil meraih simpati dengan cara merebut legitimasi teologis atas kelompok mereka. Akibatnya, pengkafiran tidak kuasa dihindarkan. Tahqiq menyebut saat itu sangat lumrah didapati kelompok Hanbali mengafirkan Asy’ari demikian pula sebaliknya. Kelompok Asy’ari juga menyulut kebencian dengan mengkafirkan kelompok Mu’tazila, demikian sebaliknya.
Dengan kondisi pengkafiran yang begitu lumrah semacam ini, al-Ghazali tampil sebagai sosok yang moderat dengan hanya mengkafirkan tiga hal dalam filsafat: qadim-nya alam; Tuhan tidak mengetahui yang partikular (juz’iyyah); dan tiadanya kebangkitan jasmani. Selebihnya, menurut Tahqiq, al-Ghazali tidak lagi mengkafirkan apa-apa. Pada posisi ini, bagi Tahqiq, sebetulnya al-Ghazali ingin menawarkan alternatif bagi tradisi pengkafiran yang begitu akut saat itu. Al-Ghazali tentu punya banyak kelemahan dalam proses pengkafiran ketiga hal di atas, tetapi setidaknya ia memberi contoh bentuk pengkafiran yang tidak membabi-buta sebagaimana yang dilakukan oleh umat Islam lainnya.
Dalam buku Faisyal Tafriqah, al-Ghazali menyatakan bahwa sikap kafir-mengkafirkan umumnya disebabkan oleh perbedaan pendirian mazhab atau perbedaan cara pandang dengan kelompok lain yang menjadi kompetitornya, bukan karena argumentasi-argumentasi yang bertanggungjawab. Itulah sebabnya al-Ghazali memberikan batasan yang ketat terhadap proses pengkafiran. Pengakfiran hanya mungkin dilakukan oleh seorang ahli, pun hanya menyangkut soal-soal yang paling mendasar.
Melanjutkan tesis yang telah dibangun oleh Nanang Tahqiq, KH. Husein Muhammad mencoba memperjelas posisi al-Ghazali yang menurut dia banyak disalahpahami oleh para pengkritiknya. Kiai Husein melihat bahwa al-Ghazali adalah sosok yang kontroversial justru karena kedalaman ide dan keluasan jelajah intelektualnya. Terlalu banyak orang salah dalam menilai al-Ghazali justru karena pembacaannya yang parsial, tanpa mencoba melihat al-Ghazali secara utuh. Kiai Husein menolak pembacaan parsial tersebut tanpa melihat bangunan metodologinya. Al-Ghazali memang tampak mengajukan pemikiran yang ta’arudh (kotradiktif), tadhadud (berlainan), hirah (membingungkan), taraddud (ragu-ragu), dan jam’ wa farq (seolah-olah utuh tapi retak), tetapi yang sesungguhnya terjadi adalah sebuah penjelajahan intelektual yang sangat kaya. Tak heran, jika umat Islam menganggapnya sebagai manusia Islam teragung setelah Nabi Muhammad.
Mengutip Maurice Bouyge, Kiai Husein menyatakan bahwa buku al-Tafriqa ditulis dalam masa al-Ghazali mengucilkan diri (488-499). Pada masa-masa inilah sejumlah buku ditulis oleh al-Ghazali: Ihya Ulum al Din, al Munqidz min al Dhalal, al Mustasyfa, Misykat al Anwar, dan lainnya.
Menurut Kiai Husein, fenomena pengkafiran yang begitu marak saat itu juga menimpa al-Ghazali sendiri. Pemikiran-pemikirannya banyak diserang oleh pelbagai kalangan. Kelompok agamawan yang paling banyak menyerangnya adalah para ahli fiqh, ahli kalam (teolog), dan ahli hadits. Sejak awal, al-Ghazali selalu merespon para pengkritiknya dengan cara membuat buku. Kritikan-kritikan semacam itu pulalah yang melatarbelakangi al-Ghazali menghadirkan karya al Tafriqa tersebut.
Dalam buku itu, al-Ghazali menyebut para pengkritiknya sebagai orang-orang fanatik (al muta’asshib) yang sedang marah. Al-Ghazali begitu risau bahwa mereka yang begitu mudah terlibat dalam pengkafiran semata-mata adalah karena buah dari hasutan orang lain. Hasud, iri, dan dengki adalah penyakit yang sangat berbahaya dan begitu sulit disembuhkan. Al-Ghazali menegaskan: “orang yang menganggap kafir orang yang menolak atau menentang doktrin Asy’ari, Mu’tazilah, Hanbali, atau mazhab lain adalah sebuah kebodohan yang nyata.” Pada kesempatan lain, al-Ghazali mengkritik para teolog (ahli kalam) yang mengkafirkan masyarakat umum hanya karena mereka tidak mengerti dalil-dalil teologi. Al-Ghazali menyatakan bahwa ada banyak cara untuk mengetahui Tuhan. Dan surga tidak hanya dimonopoli oleh kaum teolog. Atas dasar itulah maka, bagi Kiai Husein, sesungguhnya al-Ghazali adalah seorang pemikir bebas yang mengusung ide-ide kebebasan.
Lalu siapakah yang bisa disebut kafir? Pertanyaan ini harus dijawab dengan hati-hati. Al-Ghazali dengan tegas melarang orang yang hendak mengkafirkan tetapi hatinya masih diliputi rasa dengki, iri, dan kotor. Sejumlah syarat harus diajukan sebelum orang bisa sampai kepada kesimpulan untuk mengkafirkan: hati yang bersih, terlatih, jiwa yang senantiasa berzikir kepada Tuhan, pikiran yang cerdas dan kritis, serta taat menjalankan hukum-hukum Tuhan.
Menurut al-Ghazali, Islam menetapkan kriteria kafir sebagai orang yang mendustakan Nabi Muhammad SAW. Sementara orang mukmin adalah mereka yang membenarkan semua yang disampaikan Nabi Muhammad. Pernyataan sederhana di atas sekilas tampak meneguhkan pendapat sebagian kalangan yang memandang al-Ghazali sebagai seorang eksklusif dengan mengkafirkan kelompok Yahudi, Kristen, dan agama-agama lain yang tidak membenarkan Nabi Muhammad. Akan tetapi persoalannya ternyata tidak sesederhana itu. Kata “mendustakan” dan “membenarkan” perlu peninjauan dan penjernihan lebih jauh. Pertanyaannya, siapakah sebetulnya yang memiliki klaim paling sahih mengenai risalah atau kebenaran Nabi?
Pertanyaan ini, menurut Kiai Husein, dijawab oleh al-Ghazali dengan menawarkan teori ta’wil (hermeneutika). Sebuah berita dinyatakan benar atau salah berdasarkan lima pendekatan: wujud dzaty (wujud hakiki); wujud hissy (wujud yang dapat ditangkap oleh potensi manusia di dalam indera); wujud khayali (khayalan atau angan-angan); wujud aql (rasional); dan wujud syibby (wujud tanpa makna, tanpa bentuk, dan tak ada dalam realitas, melainkan hanya berupa wujud serupa dan metaforis). Sejauh sebuah berita bisa dita’wil dalam lima pendekatan itu, maka tidak ada alasan untuk pengkafiran di sana.
Melalui lima ta’wil yang ditawarkan oleh al-Ghazali, Kiai Husein menarik kesimpulan bahwa sesungguhnya al-Ghazali sedang mengkampanyekan gagasan pluralisme, inklusivisme, dan liberalisme. Lima ta’wil tersebut tak lain adalah sebentuk penghargaan kepada semua orang apapun latar belakang ideologis dan sosiologisnya. Al-Ghazali tampak begitu risau dengan fenomena pengkafiran.
Berangkat dari fakta yang sama, Novriantoni memiliki pemikiran yang agak berbeda dengan pembicara sebelumnya. Melalui makalah yang diberi judul Al-Ghazali, Toleransi Setengah Hati, Novri (panggilan akrab Novriantoni) menyoroti fakta pengkafiran dan penghalalan darah yang telah dilakukan oleh al-Ghazali.
Kendati begitu, al-Ghazali, menurut pandangan Novri, memang menawarkan sebuah sikap toleransi, namun toleransi yang dibangun adalah toleransi terbatas. Novri kemudian mengurai pokok-pokok pikiran al-Ghazali yang terdapat dalam Fayshalut Tafriqah ke dalam sepuluh point: (1) al-Ghazali menganjurkan pembacanya untuk tidak gegabah dalam menjatuhkan vonis kafir; (2) konsep kenabian sebagai mediator syariat memegang posisi yang sangat sentral, karena itu definisi iman dan kafir terkait secara langsung dengan kepercayaan terhadap risalah Nabi; (3) adanya pembedaan ateisme-mutlak dan ateisme-terbatas; (4) toleransi yang dibangun oleh al-Ghazali, kalaupun benar, hanyalah toleransi internal umat Islam, bukan untuk orang-orang di luar Islam; (5) al-Ghazali mengakui konsep rahmat Allah yang luas; (6) al-Ghazali berpendapat bahwa ahli-ahli kalam yang mengkafirkan kalangan awam hanya karena mereka tidak memahami prinsip-prinsip teologi adalah keterlaluan; (7) al-Ghazali memaknai term “yang selamat” sebagai mereka yang sama sekali tidak masuk neraka, sementara “yang celaka” adalah mereka yang benar-benar kekal di dalam neraka; (8) dalam buku ini al-Ghazali tampak sedikit toleran terhadap Syi’ah; (9) keniscayaan ta’wil dan kaedah-kaedahnya; dan (10) untuk menghindar dari vonis “kafir,” al-Ghazali memperkenalkan konsep “sesat” dan “bid’ah.”
Menurut Novri, jika dalam Fayshal Tafriqah al-Ghazali tampak sedikit toleran, tapi di dalam buku lain seperti Fadla’ihul Bathiniyyah dan Tahafut al Falasifa, al-Ghazali muncul sebagai sosok yang sama sekali tidak toleran, bahkan cenderung menyebar permusuhan. Novri menunjukkan bagaimana al-Ghazali memilih sikap yang begitu keras terhadap kelompok Batini-Ismaili yang juga merupakan musuh ideologis khalifah al-Mustdzhir Billah. Novri mengutip pernyataan al-Ghazali: “Singkat kata, perlakuan terhadap mereka haruslah seperti perlakuan terhadap orang-orang murtad menyangkut aspek nyawanya, nikahnya, sembelihannya, transaksinya, dan ibadahnya. Arwah mereka tidak layak diperlakukan, bahkan sebagaimana orang kafir tulen.” Lebih jauh al-Ghazali menegaskan: “Untuk anak-anak, tidak dibunuh karena mereka belum menjadi subjek hukum, dan hukumnya akan saya jelaskan selanjutnya. Tapi perempuan-perempuan, bila mereka terang-terangan mengaku berkeyakinan dengan apa yang sudah kita tetapkan sebagai kekafiran itu, maka bagi kita hukumnya sama dengan hukum murtad yang harus dibunuh berdasar pemahaman umum kita tentang hadis berikut: “Yang mengganti agamanya, bunuhlah ia!”
Di atas semua kontroversi dan ketidakkonsistenan yang melekat kepada gagasan-gagasan yang diusungnya, semua pembicara sepakat pada satu hal, yakni bahwa al-Ghazali tetap adalah seorang besar yang menulis karya-karya besar dalam jumlah besar. Karena kebesarannya pulalah yang menyebabkan umat Islam terlalu sulit untuk keluar dari penjara dogmatis yang telah dibangunnya. Novriantoni menawarkan gagasan untuk keluar dari penjara al-Ghazali agar kreativitas umat Islam semakin tumbuh. Kiai Husein dan Nanang Tahqiq mengusulkan pembacaan yang lebih kritis dan menyeluruh terhadap al-Ghazali agar konsep dan gagasan yang muncul adalah gagasan yang lebih mencerahkan, ketimbang sisi-sisi gelap yang selama ini menjangkiti umat Islam.[]
Ketika Hidup Menuntut Pendidikan
Oleh : Sadri Sutrisna
KabarIndonesia - Di kala para orang tua sibuk mencarikan anak mereka playgroup, TK, ataupun SD, di saat itu pula mereka telah menaruh harapan besar terhadap masa depan anak mereka kelak. Biasanya pada saat itu, sebagian besar orang tua akan memilih sekolah yag terbaik untuk anak mereka. Tidak peduli kaya atau miskin, terpandang atau tidak, mampu atau tidak mampu, mereka akan berusaha.
Waktu demi waktu terus berlalu bak air yang mengalir mengikuti arah arus sungai. Tahap demi tahap pembelajaran di sekolah terus berkembang hingga tiba saatnya ujian akhir. Setelah itu, anak mereka kembali harus memnuntut pendidikan yang lebih tinggi yaitu SMP. Tapi apakah anak-anak yang sudah beranjak dewasa itu masih mampu memasuki sekolah terbaik seperti sekolah sebelumnya ketika banyak penghalang menantang di depan mata? Salah satunya adalah nilai UN, test sebelum masuk jenjang sekolah yang baru, biaya sumbangan pembangunan sekolah, SPP yang semakin tinggi, dll.
Jika sudah seperti ini, para orang tua akan merasa menyesal. Dan tidak jarang dari mereka menyalahkan anak mereka akibat salah satu penyebab tersebut. Tapi apakah mereka pernah berpikir bahwa anak pun tak ingin yang demikian. Akan tetapi, ada juga dari mereka yang berpikiran 'masa bodoh'. Sekolah yah sekolah. Kalau tak lulus masuk sekolah swasta. Susah amat.
Inilah yang menjadi suatu permasalahan besar dalam dunia pendidikan di Indonesia khususnya daerah-daerah yang jauh dari ruang jangkau pemerintah. Sedangkan nan jauh di sana, pemerintah sering menyorakkan, dan menggalakkan program wajib belajar 9 tahun. Jangankan melanjutkan pendidikan sampai tingjkat SMA dan Perguruan Tinggi, melanjutkan pendidikan di tingkat SMP saja masih sangat terbatas. Belum lagi sarana dan prasarana pendidikan yang tidak merata di seluruh wilayah Indonesia. Sebagai masyarakat, kita semua mengerti keadaan yang tidak memungkinkan untuk semua rencana pembanguna dilakukan secara serentak dan merata. Butuh perancangan yang bagus, waktu, dan dana yang diberikan secara bergilir dari satu daerah ke daerah lainnya. Tapi sampai kapan implementasi dari semua itu akan terlaksana di saat perkembangan kehidupan yang semakin menuntut pendidikan.
Pihak pemerintah pun sering menggalakkan program pemberantasan kemiskinan, buta aksara, dsb. Akan tetapi, akankah semua itu dapat berhasil jika tidak ada dasar yang kuat dari masyarakat yang ingin dirubah itu sendiri?
KabarIndonesia - Di kala para orang tua sibuk mencarikan anak mereka playgroup, TK, ataupun SD, di saat itu pula mereka telah menaruh harapan besar terhadap masa depan anak mereka kelak. Biasanya pada saat itu, sebagian besar orang tua akan memilih sekolah yag terbaik untuk anak mereka. Tidak peduli kaya atau miskin, terpandang atau tidak, mampu atau tidak mampu, mereka akan berusaha.
Waktu demi waktu terus berlalu bak air yang mengalir mengikuti arah arus sungai. Tahap demi tahap pembelajaran di sekolah terus berkembang hingga tiba saatnya ujian akhir. Setelah itu, anak mereka kembali harus memnuntut pendidikan yang lebih tinggi yaitu SMP. Tapi apakah anak-anak yang sudah beranjak dewasa itu masih mampu memasuki sekolah terbaik seperti sekolah sebelumnya ketika banyak penghalang menantang di depan mata? Salah satunya adalah nilai UN, test sebelum masuk jenjang sekolah yang baru, biaya sumbangan pembangunan sekolah, SPP yang semakin tinggi, dll.
Jika sudah seperti ini, para orang tua akan merasa menyesal. Dan tidak jarang dari mereka menyalahkan anak mereka akibat salah satu penyebab tersebut. Tapi apakah mereka pernah berpikir bahwa anak pun tak ingin yang demikian. Akan tetapi, ada juga dari mereka yang berpikiran 'masa bodoh'. Sekolah yah sekolah. Kalau tak lulus masuk sekolah swasta. Susah amat.
Inilah yang menjadi suatu permasalahan besar dalam dunia pendidikan di Indonesia khususnya daerah-daerah yang jauh dari ruang jangkau pemerintah. Sedangkan nan jauh di sana, pemerintah sering menyorakkan, dan menggalakkan program wajib belajar 9 tahun. Jangankan melanjutkan pendidikan sampai tingjkat SMA dan Perguruan Tinggi, melanjutkan pendidikan di tingkat SMP saja masih sangat terbatas. Belum lagi sarana dan prasarana pendidikan yang tidak merata di seluruh wilayah Indonesia. Sebagai masyarakat, kita semua mengerti keadaan yang tidak memungkinkan untuk semua rencana pembanguna dilakukan secara serentak dan merata. Butuh perancangan yang bagus, waktu, dan dana yang diberikan secara bergilir dari satu daerah ke daerah lainnya. Tapi sampai kapan implementasi dari semua itu akan terlaksana di saat perkembangan kehidupan yang semakin menuntut pendidikan.
Pihak pemerintah pun sering menggalakkan program pemberantasan kemiskinan, buta aksara, dsb. Akan tetapi, akankah semua itu dapat berhasil jika tidak ada dasar yang kuat dari masyarakat yang ingin dirubah itu sendiri?
Selasa, 20 November 2007
Makna Esoteris Haji
Oleh: Euis Daryati
Haji bukan hanya bentuk ibadah ritual keagamaan belaka, namun ia pun memiliki muatan politis yang harus dimanfaatkan seoptimal mungkin oleh pelaksananya. Konsep bara’ah min al-Musyrikin (berlepas tangan dari kaum musyrik) yang ditekankan dalam al-Quran merupakan bukti akan ungkapan di atas. Oleh karena itu, imam Khomeini ra menyatakan bahwa haji adalah peribadatan yang bernuansa politik. Sebagaimana dalam hukum Islam, haji tanpa bara’ah dihukumi buntung dan tidak sempurna, maka benar jika dinyatakan bahwa ia adalah ritus peribadatan bernuansa politik.
Haji merupakan salah satu bentuk peribadatan terpenting dalam Islam. Secara tekstual, begitu banyak riwayat (hadis) yang menjelaskan tentang keutamaan haji, baik yang berasal dari kitab-kitab standar kalangan Ahlusunah maupun Syiah. Di sisi lain, terdapat banyak juga riwayat-riwayat yang berkenaan dengan ancaman bagi pribadi yang telah mampu melaksanakannya namun ia tidak melakukannya, dan meremehkan pelaksanaan ibadah haji.
Dalam banyak hadis disebutkan, al-Quran memiliki makna zahir dan batin. Sehingga dari situ dapat dipastikan bahwa semua ayat-ayat yang tercantum di dalamnya pun terkandung muatan zahir dan batin pula. Lantaran hukum haji juga tertera dalam beberapa ayat-ayat al-Quran, oleh karenanya, dapat diambil konklusi bahwa sebagaimana haji memiliki tata cara zahir yang jelas -seperti yang telah diajarkan oleh Rasulullah saww- haji pun memiliki pemaknaan batin yang sangat berpengaruh pada kesempurnaan batin manusia. Alhasil, ibadah haji bukan hanya sekedar melibatkan jasad zahir dan lahiriah manusia belaka, namun ia juga melibatkan batin manusia. Sehingga dari situ kesempurnaan zahir dan batin manusia seusai melaksanakan ibadah haji akan terwujud dengan sempurna. Ini jika ditinjau dari sisi ritual keagamaannya.
Sedang di sisi lain, haji bukan hanya bentuk ibadah ritual keagamaan belaka, namun ia pun memiliki muatan politis yang harus dimanfaatkan seoptimal mungkin oleh pelaksananya. Konsep bara’ah min al-Musyrikin (berlepas tangan dari kaum musyrik) yang ditekankan dalam al-Quran merupakan bukti akan ungkapan di atas. Oleh karena itu, imam Khomeyni ra menyatakan bahwa haji adalah peribadatan yang bernuansa politik. Sebagaimana dalam hukum Islam, haji tanpa bara’ah dihukumi buntung dan tidak sempurna, maka benar jika dinyatakan bahwa ia adalah ritus peribadatan bernuansa politik.
Untuk menyingkap lebih jauh tentang makna esoteris (batin) haji, berikut akan dinukil ungkapan irfani al-Imam sayyid as-Sajidin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib as dari kitab Mustadrak al-Wasa’il karya Muhaddits an-Nuri tentang rahasia haji yang dinarasikan secara dialogis. Dalam narasi itu, dituturkan bahwa Imam As-sajjad ketika berwasiat terhadap salah seorang sahabat beliau bernama As-syibli yang baru saja usai melaksanakan ibadah haji, menuturkan:
As-sajjad (as) : Wahai As-syibli, apakah engkau telah menunaikan ibadah haji?
As-syibli : Ya, kami telah menunaikan ibadah haji, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as): Apakah engkau telah beranjak di Miqat (tempat yang ditentukan untuk memakai baju ihram)? Sudahkah engkau lepaskan pakaian berjahit lalu mengenakan pakaian Ihram? Dan apakah engkau telah mandi?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah niat-mu ketika beranjak di Miqat adalah untuk melepaskan pakaian dosa, lalu menggantinya dengan pakaian takwa?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as): Apakah ketika engkau melepaskan pakaian berjahit, niatmu adalah untuk melepaskan baju riya (ingin pujian manusia), bermuka dua dan segala perbuatan yang menjadi penyebab keraguan?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau melaksanakan mandi dan membersihkan badanmu, niatmu adalah untuk bertaubat dari segala salah dan dosa, lalu mensucikan dan membersihkan dirimu dengan cahaya taubat?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau seperti itu, berarti engkau tidak melaksanakan miqat, tidak melepaskan pakaian berjahit dan tidak mandi. Sekarang katakanlah, apakah engkau telah membersihkan dirimu, memakai baju ihram dan berniat untuk melakukan haji?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau membersihkan badanmu dan menghilangkan daki dan kotoran dari badanmu, niatmu adalah melalui taubat, engkau pun turut hilangkan segala kotoran (batin) dari dirimu?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasululullah!?
As-sajjad (as) : Apakah sewaktu engkau berniat untuk pergi ke haji dan mengadakan perjanjian dengan Allah, niatmu adalah untuk membatalkan semua perjanjian dengan selain-Nya, lalu melepaskan diri dari segala ikatan dengan selain-Nya?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau seperti itu, berarti engkau belum membersihkan diri, berihram dan belum berjanji untuk berhaji. Sebenarnya apakah engkau telah masuk miqat? Apakah engkau telah melaksanakan salat dua rakaat dan telah mengucapkan talbiyah?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau masuk ke miqat, niatmu adalah untuk menziarahi-Nya?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau melaksanakan salat ihram, niatmu adalah melalui salat tadi –yang masuk kategori ibadah yang paling agung- engkau akan mendekatkan diri kepada-Nya?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau mengucapkan talbiyah, niatmu adalah hanya dalam ketaatan-Nya, engkau menggunakan lisan-mu dan tidak menggunakannya dalam kemaksiatan?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau begitu engkau belum masuk miqat, belum melaksanakan salat ihram dan belum mengucapkan talbiyah. Apakah engkau telah masuk Haram (pelataran suci)? Apakah engkau telah melihat Ka’bah dan melaksanakan salat?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau masuk Haram, niatmu adalah untuk mengharamkan dirimu dari ghibah (mengumpat) dari setiap pribadi muslim?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau sampai di Makkah, engkau mengingat bahwa engkau sedang menghadap-Nya?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau begitu engkau belum pergi ke Haram, belum melihat Ka’bah dan belum melaksanakan salat. Apakah engkau telah memutari Ka’bah? Apakah engkau telah mengusap semua sudut (rukun) Ka’bah? Apakah engkau telah melaksanakan sa’i (lari-lari kecil) dari Shafa menuju Marwah?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau melaksanakan sa’i, niatmu untuk berlari menuju Tuhan dan hidup di bawah naungan dan lindungan keamanan-Nya, dan Dia yang mengetahui rahasia menyaksikan hal ini?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!
As-sajjad (as) : Kalau begitu engkau belum melaksanakan thawaf, belum menyentuh semua sudut Ka’bah dan belum melaksanakan sa’i. Apakah engkau telah menyentuh dan bersalaman dengan Hajar Aswad? Apakah engkau telah berdiri di Maqam Ibrahim (bekas tapak kaki Ibrahim as) dan melaksanakan salat dua rakaat di tempat tersebut
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
Tiba-tiba Imam Sajjad as berteriak sampai-sampai kita merasa takut dengan teriakannya yang seakan dapat memisahkan ruh dari badan hingga mati. Lalu beliau (As-sajjad) berkata: “Ah, barangsiapa yang bersalaman (menyentuh) dengan Hajar Aswad berarti ia telah bersalaman dengan Allah swt. Wahai manusia lemah, sadarlah, jangan-jangan engkau telah menghancurkan kehormatan perihal yang besar ini. Melakukan dosa dengan tangan yang telah engkau berikan kepada Allah swt, dan melalui penentanganmu terhadap-Nya engkau telah menyia-nyiakan pahala dan balasan-Nya”.
Lantas imam as berkata lagi: “Apakah niatmu ketika mendirikan salat di Maqam Ibrahim adalah supaya engkau seperti Ibrahim, dan melalui salat itu berarti engkau telah memoles hidung Setan dengan tanah?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau seperti itu berarti engkau belum bersalaman dengan Hajar Aswad, belum berdiri di Maqam Ibrahim dan belum melaksanakan salat. Apakat engkau telah pergi ke sumur Zam-zam dan meminum airnya?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah niatmu ketika itu untuk mentaati-Nya, dan tidak akan menentang-Nya?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau begitu engkau belum pergi ke sumur Zam-zam, dan belum meminum airnya. Apakah engkau telah ber-sa’i antara Shafa dan Marwah?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah niatmu ketika ber-sa’i antara Shafa dan Marwah, adalah untuk memendarkan perasaan pada dirimu antara rasa takut dan pengharapan?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau seperti itu berarti engkau belum ber-sa’i antara Shafa dan Marwah. Lalu apakah engkau telah pergi ke Mina?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah niatmu ketika keluar dari Makkah, lalu pergi menuju Mina, adalah supaya orang-orang aman dari tangan, lisan dan hatimu?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau begitu engkau belum keluar dari Makkah, dan belum pergi ke Mina. Apakah engkau telah wuquf (berdiam diri) di Arafah, dan mendaki ke atas Jabal Rahmah? Apakah engkau telah mendatangi Wadi Numrah? Apakah engkau memohon kepada Allah di Mil dan Hamarat?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika wukuf di Arafah engkau mengetahui bahwa semua pengetahuan dan makrifah berasal dari-Nya, dan berada di sisi-Nya? Apakah engkau mengetahui bahwa keberadaan ada pada tangan-Nya, dan Dia mengetahui semua yang terdapat pada dirimu, baik yang nampak maupun yang tersembunyi?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah niatmu ketika menaiki Jabal Rahmah karena Allah akan memberikan rahmat kepada setiap mukmin lelaki dan perempuan, Dia mencintai setiap muslim lelaki dan perempuan, serta melindungi mereka?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah niatmu ketika di masjid Namrah supaya dirimu mentaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, serta tidak memerintah dan melarang kepada orang lain?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika berhenti di antara dua “tanda” (‘alam) dan masjid Namrah, engkau ingat bahwa semua itu merupakan saksi atas segala ketaatanmu dan senantiasa menjagamu bersama para penjaga Tuhan?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau begitu engkau belum wukuf di Arafah, belum menaiki Jabal Rahmah, belum mengenal masjid Namrah, belum tinggal di Namrah dan belum berdoa. Apakah engkau telah melewati antara dua tanda (alam), dan sebelum melewatinya engkau melaksanakan salat dua rakaat? Apakah engkau telah pergi ke Muzdalifah dan telah mengambil kerikil? Apakah engkau telah pergi ke Masy’aril-Haram?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah !?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau melaksanakan salat (pada malam ke sepuluh) niatmu adalah, bahwa salat ini merupakan salat syukur, karena Dia telah menghilangkan kesulitan darimu dan mendatangkan kemudahan?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika melewati dua ‘alam dimana engkau berusaha supaya tidak melenceng ke arah kanan dan kiri, niatmu adalah melalui hati, lisan dan badanmu supaya dirimu tidak melenceng dari kebenaran?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau mengambil batu dari Muzdalifah, niatmu adalah menjauhkan segala penentangan dan kebodohan dari dirimu. Lalu, mendatangkan setiap ilmu dan amal perbuatan bagi dirimu?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau pergi ke Masy’aril-Haram, niatmu adalah untuk menanamkan pada dirimu rasa sebagaimana orang yang bertakwa dan pribadi yang takut kepada Allah?
As-syibli : Tidak wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau begitu engkau belum melewati diantara dua alam, belum mendirikan salat, belum pergi ke Muzdalifah untuk mengumpulkan batu kerikil dan belum pergi ke Masy’aril Haram. Apakah engkau telah pergi ke Mina? Apakah engkau telah melempar jumrah? Apakah engkau telah mencukur rambutmu? Apakah engkau telah berkorban? Apakah engkau telah salat di masjid Khaif, lalu kembali ke Makkah dan melakukan tawaf?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau telah sampai di Mina dan telah melempar jumrah, niatmu adalah engkau telah sampai ke tujuanmu dan Allah telah memenuhi semua hajatmu?
As-syibli : Tidak wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau melempar jumrah, niatmu adalah untuk melempari Setan dan mengusirnya dari dirimu?
As-syibli : Tidak wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau mencukur rambutmu, niatmu adalah untuk membersihkan dirimu dari segala kotoran dan keburukan, serta melepaskan semua hak-hak orang lain yang ada pada dirimu, seperti ketika engkau baru terlahir dari ibumu dan engkau lepaskan dirimu dari dosa-dosa?
As-syibli : Tidak wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau salat di masjid Khaif, niatmu adalah engkau tidak takut dari sesuatupun kecuali takut dari Allah dan dosa-dosamu, serta tidak akan mengharapkan rahmat kecuali dari-Nya?
As-syibli : Tidak wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau menyembelih binatang korbanmu, niatmu adalah dengan wara’ (keterjagaan) dan ketakwaan engkau sembelih tenggorokan kerakusan dan ketamakan dirimu, dan untuk menghidupkan sunah Ibrahim yang telah mengorbankan anak dan belahan jiwanya?
As-syibli : Tidak wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau kembali ke Makkah dan telah melaksanakan tawaf, niatmu adalah dengan rahmat dan ketaatan kepada-Nya engkau telah kembali serta berpegang erat pada kecintaan-Nya. Dan engkau telah melaksanakan perintah-Nya serta telah dekat kepada-Nya?
As-syibli : Tidak wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau seperti itu engkau belum sampai ke Mina, belum melempar jumrah, belum mencukur rambutmu, belum mendirikan salat di masjid Khaif, belum berkorban, belum melaksanakan thawaf dan belum dekat dengan-Nya. Kembalilah engkau, karena engkau belum menunaikan haji.
Dengan rasa penuh penyesalan, As-syibli menangisi semua kekurangan yang terdapat pada ibadah hajinya, lantas ia pun berjanji akan berusaha untuk mempelajari dan menghayati seluruh rahasia haji, sehingga ia dapat melakukan haji selanjutnya dengan penuh makrifat dan dapat melaksanakan haji yang sebenarnya.
Pungkas kata, sembari bercermin dengan dialog irfani di atas, semoga para calon jamaah haji kita dapat mengaktulisasikan makna batin ibadah haji tadi secara nyata sehingga mampu menunaikannya secara sempurna dan mendapatkan haji mabrur yang diberkahi dan diridhai oleh Allah swt. Amin! [Islam Alternatif]
Haji bukan hanya bentuk ibadah ritual keagamaan belaka, namun ia pun memiliki muatan politis yang harus dimanfaatkan seoptimal mungkin oleh pelaksananya. Konsep bara’ah min al-Musyrikin (berlepas tangan dari kaum musyrik) yang ditekankan dalam al-Quran merupakan bukti akan ungkapan di atas. Oleh karena itu, imam Khomeini ra menyatakan bahwa haji adalah peribadatan yang bernuansa politik. Sebagaimana dalam hukum Islam, haji tanpa bara’ah dihukumi buntung dan tidak sempurna, maka benar jika dinyatakan bahwa ia adalah ritus peribadatan bernuansa politik.
Haji merupakan salah satu bentuk peribadatan terpenting dalam Islam. Secara tekstual, begitu banyak riwayat (hadis) yang menjelaskan tentang keutamaan haji, baik yang berasal dari kitab-kitab standar kalangan Ahlusunah maupun Syiah. Di sisi lain, terdapat banyak juga riwayat-riwayat yang berkenaan dengan ancaman bagi pribadi yang telah mampu melaksanakannya namun ia tidak melakukannya, dan meremehkan pelaksanaan ibadah haji.
Dalam banyak hadis disebutkan, al-Quran memiliki makna zahir dan batin. Sehingga dari situ dapat dipastikan bahwa semua ayat-ayat yang tercantum di dalamnya pun terkandung muatan zahir dan batin pula. Lantaran hukum haji juga tertera dalam beberapa ayat-ayat al-Quran, oleh karenanya, dapat diambil konklusi bahwa sebagaimana haji memiliki tata cara zahir yang jelas -seperti yang telah diajarkan oleh Rasulullah saww- haji pun memiliki pemaknaan batin yang sangat berpengaruh pada kesempurnaan batin manusia. Alhasil, ibadah haji bukan hanya sekedar melibatkan jasad zahir dan lahiriah manusia belaka, namun ia juga melibatkan batin manusia. Sehingga dari situ kesempurnaan zahir dan batin manusia seusai melaksanakan ibadah haji akan terwujud dengan sempurna. Ini jika ditinjau dari sisi ritual keagamaannya.
Sedang di sisi lain, haji bukan hanya bentuk ibadah ritual keagamaan belaka, namun ia pun memiliki muatan politis yang harus dimanfaatkan seoptimal mungkin oleh pelaksananya. Konsep bara’ah min al-Musyrikin (berlepas tangan dari kaum musyrik) yang ditekankan dalam al-Quran merupakan bukti akan ungkapan di atas. Oleh karena itu, imam Khomeyni ra menyatakan bahwa haji adalah peribadatan yang bernuansa politik. Sebagaimana dalam hukum Islam, haji tanpa bara’ah dihukumi buntung dan tidak sempurna, maka benar jika dinyatakan bahwa ia adalah ritus peribadatan bernuansa politik.
Untuk menyingkap lebih jauh tentang makna esoteris (batin) haji, berikut akan dinukil ungkapan irfani al-Imam sayyid as-Sajidin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib as dari kitab Mustadrak al-Wasa’il karya Muhaddits an-Nuri tentang rahasia haji yang dinarasikan secara dialogis. Dalam narasi itu, dituturkan bahwa Imam As-sajjad ketika berwasiat terhadap salah seorang sahabat beliau bernama As-syibli yang baru saja usai melaksanakan ibadah haji, menuturkan:
As-sajjad (as) : Wahai As-syibli, apakah engkau telah menunaikan ibadah haji?
As-syibli : Ya, kami telah menunaikan ibadah haji, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as): Apakah engkau telah beranjak di Miqat (tempat yang ditentukan untuk memakai baju ihram)? Sudahkah engkau lepaskan pakaian berjahit lalu mengenakan pakaian Ihram? Dan apakah engkau telah mandi?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah niat-mu ketika beranjak di Miqat adalah untuk melepaskan pakaian dosa, lalu menggantinya dengan pakaian takwa?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as): Apakah ketika engkau melepaskan pakaian berjahit, niatmu adalah untuk melepaskan baju riya (ingin pujian manusia), bermuka dua dan segala perbuatan yang menjadi penyebab keraguan?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau melaksanakan mandi dan membersihkan badanmu, niatmu adalah untuk bertaubat dari segala salah dan dosa, lalu mensucikan dan membersihkan dirimu dengan cahaya taubat?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau seperti itu, berarti engkau tidak melaksanakan miqat, tidak melepaskan pakaian berjahit dan tidak mandi. Sekarang katakanlah, apakah engkau telah membersihkan dirimu, memakai baju ihram dan berniat untuk melakukan haji?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau membersihkan badanmu dan menghilangkan daki dan kotoran dari badanmu, niatmu adalah melalui taubat, engkau pun turut hilangkan segala kotoran (batin) dari dirimu?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasululullah!?
As-sajjad (as) : Apakah sewaktu engkau berniat untuk pergi ke haji dan mengadakan perjanjian dengan Allah, niatmu adalah untuk membatalkan semua perjanjian dengan selain-Nya, lalu melepaskan diri dari segala ikatan dengan selain-Nya?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau seperti itu, berarti engkau belum membersihkan diri, berihram dan belum berjanji untuk berhaji. Sebenarnya apakah engkau telah masuk miqat? Apakah engkau telah melaksanakan salat dua rakaat dan telah mengucapkan talbiyah?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau masuk ke miqat, niatmu adalah untuk menziarahi-Nya?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau melaksanakan salat ihram, niatmu adalah melalui salat tadi –yang masuk kategori ibadah yang paling agung- engkau akan mendekatkan diri kepada-Nya?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau mengucapkan talbiyah, niatmu adalah hanya dalam ketaatan-Nya, engkau menggunakan lisan-mu dan tidak menggunakannya dalam kemaksiatan?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau begitu engkau belum masuk miqat, belum melaksanakan salat ihram dan belum mengucapkan talbiyah. Apakah engkau telah masuk Haram (pelataran suci)? Apakah engkau telah melihat Ka’bah dan melaksanakan salat?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau masuk Haram, niatmu adalah untuk mengharamkan dirimu dari ghibah (mengumpat) dari setiap pribadi muslim?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau sampai di Makkah, engkau mengingat bahwa engkau sedang menghadap-Nya?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau begitu engkau belum pergi ke Haram, belum melihat Ka’bah dan belum melaksanakan salat. Apakah engkau telah memutari Ka’bah? Apakah engkau telah mengusap semua sudut (rukun) Ka’bah? Apakah engkau telah melaksanakan sa’i (lari-lari kecil) dari Shafa menuju Marwah?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau melaksanakan sa’i, niatmu untuk berlari menuju Tuhan dan hidup di bawah naungan dan lindungan keamanan-Nya, dan Dia yang mengetahui rahasia menyaksikan hal ini?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!
As-sajjad (as) : Kalau begitu engkau belum melaksanakan thawaf, belum menyentuh semua sudut Ka’bah dan belum melaksanakan sa’i. Apakah engkau telah menyentuh dan bersalaman dengan Hajar Aswad? Apakah engkau telah berdiri di Maqam Ibrahim (bekas tapak kaki Ibrahim as) dan melaksanakan salat dua rakaat di tempat tersebut
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
Tiba-tiba Imam Sajjad as berteriak sampai-sampai kita merasa takut dengan teriakannya yang seakan dapat memisahkan ruh dari badan hingga mati. Lalu beliau (As-sajjad) berkata: “Ah, barangsiapa yang bersalaman (menyentuh) dengan Hajar Aswad berarti ia telah bersalaman dengan Allah swt. Wahai manusia lemah, sadarlah, jangan-jangan engkau telah menghancurkan kehormatan perihal yang besar ini. Melakukan dosa dengan tangan yang telah engkau berikan kepada Allah swt, dan melalui penentanganmu terhadap-Nya engkau telah menyia-nyiakan pahala dan balasan-Nya”.
Lantas imam as berkata lagi: “Apakah niatmu ketika mendirikan salat di Maqam Ibrahim adalah supaya engkau seperti Ibrahim, dan melalui salat itu berarti engkau telah memoles hidung Setan dengan tanah?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau seperti itu berarti engkau belum bersalaman dengan Hajar Aswad, belum berdiri di Maqam Ibrahim dan belum melaksanakan salat. Apakat engkau telah pergi ke sumur Zam-zam dan meminum airnya?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah niatmu ketika itu untuk mentaati-Nya, dan tidak akan menentang-Nya?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau begitu engkau belum pergi ke sumur Zam-zam, dan belum meminum airnya. Apakah engkau telah ber-sa’i antara Shafa dan Marwah?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah niatmu ketika ber-sa’i antara Shafa dan Marwah, adalah untuk memendarkan perasaan pada dirimu antara rasa takut dan pengharapan?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau seperti itu berarti engkau belum ber-sa’i antara Shafa dan Marwah. Lalu apakah engkau telah pergi ke Mina?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah niatmu ketika keluar dari Makkah, lalu pergi menuju Mina, adalah supaya orang-orang aman dari tangan, lisan dan hatimu?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau begitu engkau belum keluar dari Makkah, dan belum pergi ke Mina. Apakah engkau telah wuquf (berdiam diri) di Arafah, dan mendaki ke atas Jabal Rahmah? Apakah engkau telah mendatangi Wadi Numrah? Apakah engkau memohon kepada Allah di Mil dan Hamarat?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika wukuf di Arafah engkau mengetahui bahwa semua pengetahuan dan makrifah berasal dari-Nya, dan berada di sisi-Nya? Apakah engkau mengetahui bahwa keberadaan ada pada tangan-Nya, dan Dia mengetahui semua yang terdapat pada dirimu, baik yang nampak maupun yang tersembunyi?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah niatmu ketika menaiki Jabal Rahmah karena Allah akan memberikan rahmat kepada setiap mukmin lelaki dan perempuan, Dia mencintai setiap muslim lelaki dan perempuan, serta melindungi mereka?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah niatmu ketika di masjid Namrah supaya dirimu mentaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, serta tidak memerintah dan melarang kepada orang lain?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika berhenti di antara dua “tanda” (‘alam) dan masjid Namrah, engkau ingat bahwa semua itu merupakan saksi atas segala ketaatanmu dan senantiasa menjagamu bersama para penjaga Tuhan?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau begitu engkau belum wukuf di Arafah, belum menaiki Jabal Rahmah, belum mengenal masjid Namrah, belum tinggal di Namrah dan belum berdoa. Apakah engkau telah melewati antara dua tanda (alam), dan sebelum melewatinya engkau melaksanakan salat dua rakaat? Apakah engkau telah pergi ke Muzdalifah dan telah mengambil kerikil? Apakah engkau telah pergi ke Masy’aril-Haram?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah !?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau melaksanakan salat (pada malam ke sepuluh) niatmu adalah, bahwa salat ini merupakan salat syukur, karena Dia telah menghilangkan kesulitan darimu dan mendatangkan kemudahan?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika melewati dua ‘alam dimana engkau berusaha supaya tidak melenceng ke arah kanan dan kiri, niatmu adalah melalui hati, lisan dan badanmu supaya dirimu tidak melenceng dari kebenaran?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau mengambil batu dari Muzdalifah, niatmu adalah menjauhkan segala penentangan dan kebodohan dari dirimu. Lalu, mendatangkan setiap ilmu dan amal perbuatan bagi dirimu?
As-syibli : Tidak, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau pergi ke Masy’aril-Haram, niatmu adalah untuk menanamkan pada dirimu rasa sebagaimana orang yang bertakwa dan pribadi yang takut kepada Allah?
As-syibli : Tidak wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau begitu engkau belum melewati diantara dua alam, belum mendirikan salat, belum pergi ke Muzdalifah untuk mengumpulkan batu kerikil dan belum pergi ke Masy’aril Haram. Apakah engkau telah pergi ke Mina? Apakah engkau telah melempar jumrah? Apakah engkau telah mencukur rambutmu? Apakah engkau telah berkorban? Apakah engkau telah salat di masjid Khaif, lalu kembali ke Makkah dan melakukan tawaf?
As-syibli : Ya, wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau telah sampai di Mina dan telah melempar jumrah, niatmu adalah engkau telah sampai ke tujuanmu dan Allah telah memenuhi semua hajatmu?
As-syibli : Tidak wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau melempar jumrah, niatmu adalah untuk melempari Setan dan mengusirnya dari dirimu?
As-syibli : Tidak wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau mencukur rambutmu, niatmu adalah untuk membersihkan dirimu dari segala kotoran dan keburukan, serta melepaskan semua hak-hak orang lain yang ada pada dirimu, seperti ketika engkau baru terlahir dari ibumu dan engkau lepaskan dirimu dari dosa-dosa?
As-syibli : Tidak wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau salat di masjid Khaif, niatmu adalah engkau tidak takut dari sesuatupun kecuali takut dari Allah dan dosa-dosamu, serta tidak akan mengharapkan rahmat kecuali dari-Nya?
As-syibli : Tidak wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau menyembelih binatang korbanmu, niatmu adalah dengan wara’ (keterjagaan) dan ketakwaan engkau sembelih tenggorokan kerakusan dan ketamakan dirimu, dan untuk menghidupkan sunah Ibrahim yang telah mengorbankan anak dan belahan jiwanya?
As-syibli : Tidak wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau kembali ke Makkah dan telah melaksanakan tawaf, niatmu adalah dengan rahmat dan ketaatan kepada-Nya engkau telah kembali serta berpegang erat pada kecintaan-Nya. Dan engkau telah melaksanakan perintah-Nya serta telah dekat kepada-Nya?
As-syibli : Tidak wahai putra Rasulullah!?
As-sajjad (as) : Kalau seperti itu engkau belum sampai ke Mina, belum melempar jumrah, belum mencukur rambutmu, belum mendirikan salat di masjid Khaif, belum berkorban, belum melaksanakan thawaf dan belum dekat dengan-Nya. Kembalilah engkau, karena engkau belum menunaikan haji.
Dengan rasa penuh penyesalan, As-syibli menangisi semua kekurangan yang terdapat pada ibadah hajinya, lantas ia pun berjanji akan berusaha untuk mempelajari dan menghayati seluruh rahasia haji, sehingga ia dapat melakukan haji selanjutnya dengan penuh makrifat dan dapat melaksanakan haji yang sebenarnya.
Pungkas kata, sembari bercermin dengan dialog irfani di atas, semoga para calon jamaah haji kita dapat mengaktulisasikan makna batin ibadah haji tadi secara nyata sehingga mampu menunaikannya secara sempurna dan mendapatkan haji mabrur yang diberkahi dan diridhai oleh Allah swt. Amin! [Islam Alternatif]
Jumat, 02 November 2007
Menghakimi Aliran Sesat
Saiful Jihad
Masalah label "aliran sesat" bukan kali ini saja terjadi, tidak hanya menimpa Al Qiyadah al Islamiyah sebagaimana yang menjadi "berita" di media massa akhir-akhir ini. Tak lama sepeninggal Rasulullah SAW., muncul tuduhan "sesat" bagi kelompok yang berbeda paham dengan pemegang otoritas negara dan agama.
Mereka, antara lain, yang disebut Khawarij, yaitu golongan dalam pasukan Ali bin Abi Thalib ra dalam Perang Siffin yang menolak gencatan senjata dengan pasukan Mu'awiyah, sehingga mereka pun menentang Ali dan menganggap diri sebagai golongan yang paling benar. Khawarij yang memisahkan diri dari penguasa tersebut kemudian dianggap sesat.
Golongan lain yang juga dianggap sesat oleh penguasa adalah Syiah, golongan yang semula merupakan kelompok politik yang menghendaki Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pengganti Nabi Muhammad SAW, namun kemudian memiliki paham keagamaan yang berbeda dari penguasa (Sunni). Syiah pun menganggap Sunni telah sesat.
Saling menuduh sesat berlanjut pada tahun-tahun ke-120 H ketika Wasil bin Ata' menentang gurunya, Hasan al Basri. "Wasil telah memisahkan diri dari kita," demikian komentar sang guru, sehingga kelompok Wasil dinamai mu'tazilah yang berarti "telah memisahkan diri". Masing-masing menuduh yang lain sesat.
Patut dicatat pula "kesesatan" yang dilakukan Al Halaj di Iraq pada masa Negeri Seribu Satu Malam itu berada di puncak kejayaan di bawah kekuasaan sultan bersama para ulama salaf. "Akulah Tuhan," kata Al Halaj. Karena itu, untuk menebus "kesesatannya" tersebut, sang sufi harus dibunuh. Sejumlah sufi lainnya yang juga menyoal eksistensi Allah, antara lain, Al Farabi dan Ibnu Arabi.
Kasus Indonesia
Jika pada Syawal 1428 H, bertepatan dengan Oktober 2007, di Indonesia muncul kelompok yang dikategorikan sesat oleh otoritas keagamaan -dalam hal ini Majelis Ulama Indonesia (MUI), aparat penegak hukum, dan beberapa organisasi Islam-, tentu itu merupakan pengulangan sejarah kelompok-kelompok pada masa lalu. Tidak hanya pada masa khulafaur rasyidin (Abubakar, Umar, Usman, Ali), Al Halaj, dan lain-lain, melainkan juga pada awal penyebaran Islam di Indonesia, khususnya Jawa.
Wali Songo yang diberi wewenang penuh dalam urusan agama oleh Sultan Demak telah memberi label sesat pada seorang wali yang berseberangan paham dengan mereka, yakni Syekh Siti Jenar. Sebaliknya, Syekh Siti Jenar yang meyakini falsafah manunggaling kawula kalawan gusti menganggap Wali Songo berikut Sultan Demak juga sesat.
MUI, kendati tidak persis sama, bagai mengulang Wali Songo, tidak hanya menyeru pada ajaran Islam dan mencegah kemungkaran, melainkan juga bersama instansi terkait lainnya memberi "labeling" sesat atas paham-paham atau aliran keagamaan Islam.
Setidaknya, selama adanya MUI, terdapat sejumlah aliran yang telah dinyatakan sesat. Mulai Inkar Sunnah yang mengabaikan keabsahan semua hadis Nabi, Aliran Pembaru Isa Bugis yang antara lain mengajarkan bahwa Kakbah adalah kubus berhala yang dikunjungi turis asing setiap tahun, Darul Arqam pimpinan Syekh Ahmad Suhaimi di Malaysia yang mengaku dalam keadaan jaga bertemu Nabi Muhammad SAW, kemudian sang Nabi memberi wirid kepada dirinya.
Label sesat juga diberikan kepada Gerakan Lembaga Kerasulan yang meyakini bahwa Rasulullah Muhammad SAW tetap diutus sampai hari kiamat. Negara Islam Indonesia (NII) Komando Wilayah IX yang menyatakan bahwa Makkah sama dengan Negara Republik Indonesia, tidak menggunakan hukum Islam, warganya kafir. Biar shalat, zakat, puasa, tetap saja amalannya dihapus. Gerakan Ahmadiyah yang mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan rasul terakhir serta punya kitab suci sendiri bernama Tadzkirah.
Selain itu, label sesat diberikan pada Gerakan Baha'i yang dianggap sempalan Syiah. Kemudian, LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) yang mengajarkan bahwa orang di luar kelompok itu kafir. Juga, Gerakan Syiah di Indonesia, gerakan Lia Aminuddin yang mengaku jibril yang menerima wahyu, dan sebagainya.
Mengapa ada aliran baru?
Menurut kami, ada beberapa hal yang kemungkinan menjadi faktor munculnya kelompok-kelompok semacam itu. Pertama, tingkat pemahaman dan pengetahuan keagamaan umat (Islam) dalam masarakat sangat lemah, sehingga mereka dengan mudah dipengaruhi untuk menganut faham/keyakinan yang muncul kemudian. Maraknya organisasi keagamaan, forum khalaqah (diskusi), dakwah yang menggunakan berbagai macam media, ternyata tidak dapat memberikan pembelajaran yang baik dan benar kepada masyarakat. Bahkan media yang ada cenderung mencekoki masyarakat dengan ajaran yang berbau mistik dan klenik.
Kedua, pendidikan dan pengajaran agama yang banyak didengungkan oleh para pemuka agama, ulama, ustadz, muballigh, lebih cenderung pada ajaran yang bersifat formalitas dan simbolik. Seorang dapat dikatakan penganut agama (Islam) kaffah jika ia berjenggot, bersurban, memakai celana yang di atas mata kaki, meneriakkan kalimat “Allahu Akbar”, mendudkung dan memperluangkan aturan yang berlabel “syariat”, dan seterusnya, tetapi kehilangan makna dan subtansi. Shalat yang dilakukan, tidak mampu menjembatani rasa untuk dapat menikmati indahnya berkomunikasi dengan Tuhan, serta tidak dapat mencegah para mushallin untuk tidak berbuat mencaci, memandang dirinya lebih baik dan mulia dari yang lain, menciptakan ketakutan dan kekhawatiran umat dan orang lain, korupsi dan lain sdebagainya, yang pada hakikatnya merupakan bentuk dari perbuatan dosa dan kemungkaran.
Kehausan umat dan individu untuk merasakan indahnya berkomunikasi dengan Khaliq-nya, sementara agama formal yang difahaminya ternyata tidak mampu menjawab kebutuhan tersebut, menjadi salah satu faktor mengapa faham dan aliran yang baru tersebut mendapat respon dari mereka yang kehausan itu. Disisi lain, formalitas ajaran agama yang kehilangan subtansi dan makna, menjadi salah satu alasan dari tokoh penggagas aliran dan faham baru (contoh: Usman Roy di Malang dengan shalat dua bahasa, dengan alasan banyak orang rajin shalat tetapi prilakunya korup).
Jika munculnya aliran baru tersebut, karena faktor di atas, maka siapa yang mesti bertanggungjawab dan “difatwa” salah? Dan bagaimana menyikapinya. Pertanyaan ini penting dan harus dijawab sebelum lebih jauh menebar fatwa sesat. Tidak dapat disangkal, dampak pelabelan yang dibungkus atas nama "fatwa" itu adalah amuk massa terhadap para pemimpin dan pengikut "aliran sesat", yang berakhir pada penangkapan serta hukuman badan. Akhirnya, Islam yang seharusnya menebar damai telah dikotori oleh tangan-tangan umatnya yang kurang memahami ajaran yang dibawa Rasulullah Muhammad SAW.
bukankah kita semua mengetahui metode dakwah Nabi Muhammad bebas dari amuk massa, penangkapan, dan pemenjaraan. Sang Nabi tidak pernah memberi label "sesat" kepada pihak yang mencoba membunuh beliau. Justru, beliau memohon agar Allah membuka mata hati mereka.
Firman Allah dalam Alquran Surat Al Baqarah 256: "Laa ikraaha fid diin" (tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam) dipatuhi sepenuhnya oleh beliau. Sebagaimana diketahui, ayat itu diwahyukan Allah untuk menjawab pertanyaan seseorang kepada Nabi Muhammad SAW. "Saya punya dua anak beragama Nasrani, sedangkan saya muslim. Apakah diperkenankan jika saya memaksa kedua anak itu masuk Islam?" tanya orang tersebut.
Dengan demikian, Islam melarang umatnya untuk main paksa. Pendekatan dalam dakwah Islamiah adalah "persuasif". Tindakan main hakim sendiri atau membiarkan masyarakat menghajar mereka yang dianggap sesat. "Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya, Tuhanmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk," demikian terjemahan Alquran Surat An Nahl ayat 125.
Wallahu a’lam.
Masalah label "aliran sesat" bukan kali ini saja terjadi, tidak hanya menimpa Al Qiyadah al Islamiyah sebagaimana yang menjadi "berita" di media massa akhir-akhir ini. Tak lama sepeninggal Rasulullah SAW., muncul tuduhan "sesat" bagi kelompok yang berbeda paham dengan pemegang otoritas negara dan agama.
Mereka, antara lain, yang disebut Khawarij, yaitu golongan dalam pasukan Ali bin Abi Thalib ra dalam Perang Siffin yang menolak gencatan senjata dengan pasukan Mu'awiyah, sehingga mereka pun menentang Ali dan menganggap diri sebagai golongan yang paling benar. Khawarij yang memisahkan diri dari penguasa tersebut kemudian dianggap sesat.
Golongan lain yang juga dianggap sesat oleh penguasa adalah Syiah, golongan yang semula merupakan kelompok politik yang menghendaki Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pengganti Nabi Muhammad SAW, namun kemudian memiliki paham keagamaan yang berbeda dari penguasa (Sunni). Syiah pun menganggap Sunni telah sesat.
Saling menuduh sesat berlanjut pada tahun-tahun ke-120 H ketika Wasil bin Ata' menentang gurunya, Hasan al Basri. "Wasil telah memisahkan diri dari kita," demikian komentar sang guru, sehingga kelompok Wasil dinamai mu'tazilah yang berarti "telah memisahkan diri". Masing-masing menuduh yang lain sesat.
Patut dicatat pula "kesesatan" yang dilakukan Al Halaj di Iraq pada masa Negeri Seribu Satu Malam itu berada di puncak kejayaan di bawah kekuasaan sultan bersama para ulama salaf. "Akulah Tuhan," kata Al Halaj. Karena itu, untuk menebus "kesesatannya" tersebut, sang sufi harus dibunuh. Sejumlah sufi lainnya yang juga menyoal eksistensi Allah, antara lain, Al Farabi dan Ibnu Arabi.
Kasus Indonesia
Jika pada Syawal 1428 H, bertepatan dengan Oktober 2007, di Indonesia muncul kelompok yang dikategorikan sesat oleh otoritas keagamaan -dalam hal ini Majelis Ulama Indonesia (MUI), aparat penegak hukum, dan beberapa organisasi Islam-, tentu itu merupakan pengulangan sejarah kelompok-kelompok pada masa lalu. Tidak hanya pada masa khulafaur rasyidin (Abubakar, Umar, Usman, Ali), Al Halaj, dan lain-lain, melainkan juga pada awal penyebaran Islam di Indonesia, khususnya Jawa.
Wali Songo yang diberi wewenang penuh dalam urusan agama oleh Sultan Demak telah memberi label sesat pada seorang wali yang berseberangan paham dengan mereka, yakni Syekh Siti Jenar. Sebaliknya, Syekh Siti Jenar yang meyakini falsafah manunggaling kawula kalawan gusti menganggap Wali Songo berikut Sultan Demak juga sesat.
MUI, kendati tidak persis sama, bagai mengulang Wali Songo, tidak hanya menyeru pada ajaran Islam dan mencegah kemungkaran, melainkan juga bersama instansi terkait lainnya memberi "labeling" sesat atas paham-paham atau aliran keagamaan Islam.
Setidaknya, selama adanya MUI, terdapat sejumlah aliran yang telah dinyatakan sesat. Mulai Inkar Sunnah yang mengabaikan keabsahan semua hadis Nabi, Aliran Pembaru Isa Bugis yang antara lain mengajarkan bahwa Kakbah adalah kubus berhala yang dikunjungi turis asing setiap tahun, Darul Arqam pimpinan Syekh Ahmad Suhaimi di Malaysia yang mengaku dalam keadaan jaga bertemu Nabi Muhammad SAW, kemudian sang Nabi memberi wirid kepada dirinya.
Label sesat juga diberikan kepada Gerakan Lembaga Kerasulan yang meyakini bahwa Rasulullah Muhammad SAW tetap diutus sampai hari kiamat. Negara Islam Indonesia (NII) Komando Wilayah IX yang menyatakan bahwa Makkah sama dengan Negara Republik Indonesia, tidak menggunakan hukum Islam, warganya kafir. Biar shalat, zakat, puasa, tetap saja amalannya dihapus. Gerakan Ahmadiyah yang mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan rasul terakhir serta punya kitab suci sendiri bernama Tadzkirah.
Selain itu, label sesat diberikan pada Gerakan Baha'i yang dianggap sempalan Syiah. Kemudian, LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) yang mengajarkan bahwa orang di luar kelompok itu kafir. Juga, Gerakan Syiah di Indonesia, gerakan Lia Aminuddin yang mengaku jibril yang menerima wahyu, dan sebagainya.
Mengapa ada aliran baru?
Menurut kami, ada beberapa hal yang kemungkinan menjadi faktor munculnya kelompok-kelompok semacam itu. Pertama, tingkat pemahaman dan pengetahuan keagamaan umat (Islam) dalam masarakat sangat lemah, sehingga mereka dengan mudah dipengaruhi untuk menganut faham/keyakinan yang muncul kemudian. Maraknya organisasi keagamaan, forum khalaqah (diskusi), dakwah yang menggunakan berbagai macam media, ternyata tidak dapat memberikan pembelajaran yang baik dan benar kepada masyarakat. Bahkan media yang ada cenderung mencekoki masyarakat dengan ajaran yang berbau mistik dan klenik.
Kedua, pendidikan dan pengajaran agama yang banyak didengungkan oleh para pemuka agama, ulama, ustadz, muballigh, lebih cenderung pada ajaran yang bersifat formalitas dan simbolik. Seorang dapat dikatakan penganut agama (Islam) kaffah jika ia berjenggot, bersurban, memakai celana yang di atas mata kaki, meneriakkan kalimat “Allahu Akbar”, mendudkung dan memperluangkan aturan yang berlabel “syariat”, dan seterusnya, tetapi kehilangan makna dan subtansi. Shalat yang dilakukan, tidak mampu menjembatani rasa untuk dapat menikmati indahnya berkomunikasi dengan Tuhan, serta tidak dapat mencegah para mushallin untuk tidak berbuat mencaci, memandang dirinya lebih baik dan mulia dari yang lain, menciptakan ketakutan dan kekhawatiran umat dan orang lain, korupsi dan lain sdebagainya, yang pada hakikatnya merupakan bentuk dari perbuatan dosa dan kemungkaran.
Kehausan umat dan individu untuk merasakan indahnya berkomunikasi dengan Khaliq-nya, sementara agama formal yang difahaminya ternyata tidak mampu menjawab kebutuhan tersebut, menjadi salah satu faktor mengapa faham dan aliran yang baru tersebut mendapat respon dari mereka yang kehausan itu. Disisi lain, formalitas ajaran agama yang kehilangan subtansi dan makna, menjadi salah satu alasan dari tokoh penggagas aliran dan faham baru (contoh: Usman Roy di Malang dengan shalat dua bahasa, dengan alasan banyak orang rajin shalat tetapi prilakunya korup).
Jika munculnya aliran baru tersebut, karena faktor di atas, maka siapa yang mesti bertanggungjawab dan “difatwa” salah? Dan bagaimana menyikapinya. Pertanyaan ini penting dan harus dijawab sebelum lebih jauh menebar fatwa sesat. Tidak dapat disangkal, dampak pelabelan yang dibungkus atas nama "fatwa" itu adalah amuk massa terhadap para pemimpin dan pengikut "aliran sesat", yang berakhir pada penangkapan serta hukuman badan. Akhirnya, Islam yang seharusnya menebar damai telah dikotori oleh tangan-tangan umatnya yang kurang memahami ajaran yang dibawa Rasulullah Muhammad SAW.
bukankah kita semua mengetahui metode dakwah Nabi Muhammad bebas dari amuk massa, penangkapan, dan pemenjaraan. Sang Nabi tidak pernah memberi label "sesat" kepada pihak yang mencoba membunuh beliau. Justru, beliau memohon agar Allah membuka mata hati mereka.
Firman Allah dalam Alquran Surat Al Baqarah 256: "Laa ikraaha fid diin" (tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam) dipatuhi sepenuhnya oleh beliau. Sebagaimana diketahui, ayat itu diwahyukan Allah untuk menjawab pertanyaan seseorang kepada Nabi Muhammad SAW. "Saya punya dua anak beragama Nasrani, sedangkan saya muslim. Apakah diperkenankan jika saya memaksa kedua anak itu masuk Islam?" tanya orang tersebut.
Dengan demikian, Islam melarang umatnya untuk main paksa. Pendekatan dalam dakwah Islamiah adalah "persuasif". Tindakan main hakim sendiri atau membiarkan masyarakat menghajar mereka yang dianggap sesat. "Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya, Tuhanmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk," demikian terjemahan Alquran Surat An Nahl ayat 125.
Wallahu a’lam.
Langganan:
Postingan (Atom)