JAKARTA, KOMPAS.com -
Teriakan itu tak pernah dilupakan oleh Ellia Sylviana Dewi. Meski sudah menunaikan tugasnya sebagai peserta program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T) di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), kalimat itu menginspirakan semangat yang tak pernah padam bagi dirinya.
Pengalaman pahit dan manis, tetapi menarik, dialaminya saat bertugas selama setahun di kawasan timur Indonesia itu. Namun, semangat anak-anak malah mengajarkan agar semangat mereka tidak surut dalam mengemban tugas ini.
"Membaur dengan warga adalah nyata. Waktu kami tiba di sana, ada murid yang teriak 'Guru, aku ingin membaca!'. Mereka begitu bersemangat, walaupun saya tahu tidak tersedia sarana pendidikan disana. Kami pun akhirnya menggunakan media seadanya," ungkap Ellia dengan logat Kupang yang masih khas.
Saat mengajarkan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), alumni Universitas Negeri Surabaya (Unesa) pun harus memutar otak untuk mencari barang-barang yang tersedia untuk menggantikan kebutuhan sarana mengajar.
"Untuk kegiatan laboratorium, kami tak punya gelas kimia untuk percobaan, maka kami pakai saja botol-botol bekas minuman ringan toh, ini semua bisa dipakai," tambahnya.
Rekan Ellia, Arsyah Prananda, juga berbagi kesan mendalam yang diperolehnya dari pengalaman di NTT dalam workshop 'Sarjana Mendidik Pelosok Negeri' di Hotel Prasada Mansion, Jakarta Selatan, Rabu (21/11/2012). Arsyah yang bertugas di Sumba Timur bahkan hampir menitikkan air matanya.
"Mengajar di pedalaman, memang keinginan kami sendiri. Saya bertugas mengajar di SMP Negeri 1 Paberiwai, Sumba NTT. Memasuki daerah ini sungguh sulit. Sempat kaget yang pertama kami lihat adalah begitu banyak bukit, masuk ke dalam pun medannya sulit dijangkau walau dengan kendaraan khas NTT, Otto, tapi kamu pun mampu melaluinya," tutur Arsyah.
"Meski demikian kami merindukan ketenangan mengabdi disana. Percayalah, guru-guru di sana dianggap sejajar dengan tokoh masyarakat terhormat," tambahnya kemudian.
Namun, alumni Unesa ini pun belajar semangat dari anak-anak didiknya. Perjalanan sulit untuk mencapai sekolah tak hanya dialami para calon guru seperti dirinya. Para siswa pun membutuhkan waktu berjam-jam untuk sampai di sekolah.
"Mengajar disana, perlu kesiapan mental dan fisik yang kuat. Bukan hanya kami tetapi murid-murid kami juga sama. Pernah kami ikut mengantar mereka dari rumah sampai sekolah. Di rumah orangtua sudah selesai mendandani anaknya, tapi apa mau dikata, dalam perjalanan, mereka tetap harus membuka celana dan sepatu mereka, karena harus menyebrang sungai," paparnya lagi.
Sangking sayangnya dengan murid-murid disana, Arsyah mengaku rela kembali menjalani tugas sebagai guru di daerah tersebut. Dia mengaku sangat terkesan dengan kebaikan warga yang ditemuinya.
"Setelah kami tiba di kota, kami benar-benar rindu mereka, kami rindu membaur dengan warga, rindu ketenangannya," ungkapnya.
Teriakan itu tak pernah dilupakan oleh Ellia Sylviana Dewi. Meski sudah menunaikan tugasnya sebagai peserta program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T) di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), kalimat itu menginspirakan semangat yang tak pernah padam bagi dirinya.
Pengalaman pahit dan manis, tetapi menarik, dialaminya saat bertugas selama setahun di kawasan timur Indonesia itu. Namun, semangat anak-anak malah mengajarkan agar semangat mereka tidak surut dalam mengemban tugas ini.
"Membaur dengan warga adalah nyata. Waktu kami tiba di sana, ada murid yang teriak 'Guru, aku ingin membaca!'. Mereka begitu bersemangat, walaupun saya tahu tidak tersedia sarana pendidikan disana. Kami pun akhirnya menggunakan media seadanya," ungkap Ellia dengan logat Kupang yang masih khas.
Saat mengajarkan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), alumni Universitas Negeri Surabaya (Unesa) pun harus memutar otak untuk mencari barang-barang yang tersedia untuk menggantikan kebutuhan sarana mengajar.
"Untuk kegiatan laboratorium, kami tak punya gelas kimia untuk percobaan, maka kami pakai saja botol-botol bekas minuman ringan toh, ini semua bisa dipakai," tambahnya.
Rekan Ellia, Arsyah Prananda, juga berbagi kesan mendalam yang diperolehnya dari pengalaman di NTT dalam workshop 'Sarjana Mendidik Pelosok Negeri' di Hotel Prasada Mansion, Jakarta Selatan, Rabu (21/11/2012). Arsyah yang bertugas di Sumba Timur bahkan hampir menitikkan air matanya.
"Mengajar di pedalaman, memang keinginan kami sendiri. Saya bertugas mengajar di SMP Negeri 1 Paberiwai, Sumba NTT. Memasuki daerah ini sungguh sulit. Sempat kaget yang pertama kami lihat adalah begitu banyak bukit, masuk ke dalam pun medannya sulit dijangkau walau dengan kendaraan khas NTT, Otto, tapi kamu pun mampu melaluinya," tutur Arsyah.
"Meski demikian kami merindukan ketenangan mengabdi disana. Percayalah, guru-guru di sana dianggap sejajar dengan tokoh masyarakat terhormat," tambahnya kemudian.
Namun, alumni Unesa ini pun belajar semangat dari anak-anak didiknya. Perjalanan sulit untuk mencapai sekolah tak hanya dialami para calon guru seperti dirinya. Para siswa pun membutuhkan waktu berjam-jam untuk sampai di sekolah.
"Mengajar disana, perlu kesiapan mental dan fisik yang kuat. Bukan hanya kami tetapi murid-murid kami juga sama. Pernah kami ikut mengantar mereka dari rumah sampai sekolah. Di rumah orangtua sudah selesai mendandani anaknya, tapi apa mau dikata, dalam perjalanan, mereka tetap harus membuka celana dan sepatu mereka, karena harus menyebrang sungai," paparnya lagi.
Sangking sayangnya dengan murid-murid disana, Arsyah mengaku rela kembali menjalani tugas sebagai guru di daerah tersebut. Dia mengaku sangat terkesan dengan kebaikan warga yang ditemuinya.
"Setelah kami tiba di kota, kami benar-benar rindu mereka, kami rindu membaur dengan warga, rindu ketenangannya," ungkapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar