Oleh
Abd. Latif dan Saiful Jihad
Hadirin yang saya hormati
Hari ini, kita berkumpul di tempat ini untuk memperingati HAUL yang ke 11 Gurutta K.H. Abdurrahman Ambo Dalle. Mungkin ada pertanyaan, mengapa peringatan ini hanya kita tujukan kepada almarhum K.H. Abdurrahman Ambo Dalle. Pada hal, pada hari yang sama, bahkan mungkin pada jam yang sama, tepatnya tanggal 29 November 1996 ada ribuan, bahkan jutaan orang yang meninggal dunia, yang mungkin saja diantaranya adalah anggota keluarga kita, orang tua atau anak kita sendiri. Mengapa itu semua kita tidak peringati?
Ternyata, bukan suatu diskrimiasi, kalau sejarah membeda-bedakan terminologi kematian yang dilengketkan pada seseorang, berdasar pada proses historis yang pernah digeluti oleh seseorang itu selama hidupnya. Semua mahluk hidup akan mati, tetapi hanya kepada manusialah yang disantuni kematiannya dengan istilah meninggal, dan tidak semua yang meninggal disebut wafat atau mangkat. Lebih santun lagi adalah ketika agama tidak mengakui semua terminologi yang dipautkan dengan kata “mati”, karena “mati” adalah akhir dari semua alur proses. Ketika mesin mobil mati, maka proses mekanikanya telah selesai pada saat itu. Ketika seekor ayam mati, maka proses hidupnya pun telah selesai dan berakhir sampai di situ. Manusia mengalami proses tidak berhenti pada saat jazad dan rohnya berpisah. Peristiwa itu hanyalah sebuah terminal yang pasti dialami untuk sampai pada tujuan, perjalanan ”pulang” atau ”berpulang” ke yang azali, yakni ke ”rahmatullah”. Bukan hanya sepantasnya, tetapi seharusnya dan semestinyalah kita semua yang hadir di sini, dan semua murid-muridnya, mendoakan di kebeningan hati agar arwah almarhum Gurutta K.H. Abdurrahman Ambo Dalle sampai dan akan sampai ke ”negeri” rahmatullah, negeri di mana rahmat Allah tak terbataskan.
Hadirin yang kami muliakan
Tanggal 29 November 1996 Miladiah, bertepatan dengan tanggal 17 Rajab 1417 Hijiriah. Pada hari itu, Gurutta dipanggil ”pulang” untuk ”dininabobokkan” dalam buaian rahmat Allah, sang khaliq yang maha kasih dan mengasihi hambanya yang setiap detak jantungnya tak pernah berhenti memuji dan membesarkan nama Allah, Rabnya yang senantiasa menjadi pelabuhan cintanya, yang senantiasa memberinya petunjuk jalan mutlak nan lurus menuju ”pulang” ke pangkuan kasihnya.
Hadiran yang saya hormati
Kalau benar Gurutta lahir pada 1900 di Desa UjungE, Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo, itu berarti selama 96 tahun lamanya Gurutta dalam penantian kerinduan yang maha sangat untuk bertemu dengan ”kekasihnya”, Allah sang pencipta. Begitu cintanya terhadap ”kekasihnya”, maka selama 96 tahun, Gurutta mempelajari, mengkaji, dan menegakkan, sepenuh iman tentang apa pun yang diperintahkan oleh ”kekasihnya” itu. dan selama 96 tahun juga, Gurutta mempelajari, mengkaji, dan menghindarkan diri dari semua yang dilarang oleh ”kekasihnya” itu.
Mula-mula Gurutta dididik dalam lingkurang keluarganya sendiri, yang bukan hanya taat beragama, tetapi juga memiliki pengetahuan tentang bagaimana cara menjalankan ajaran agama yang diyakini kebenarannya itu.
Lautan ilmu adalah samudra yang sangat luas dan dalam, pengetahuan yang dimiliki oleh orang tuanya mungkin kurang dari setetas dari hamparan lautan ilmu tersebut. Hal inilah yang mendorong orangtuanya mengizinkan Gurutta berangkat ke Sengkang untuk belajar pada Volks School (Sekolah Rakyat), kemudian dilanjutkan ke Hollandsch Inlandsche School (Sekolah Lanjutan Pertama), dua sekolah yang diselenggarakan pada jaman kolonial Belanda. Volks School adalah sekolah tingkat dasar yang diperuntukkan bagi masyarakat non bangsawan, dan karenanya tidak diperbolehkan menggunakan Bahasa Belanda, melaikan hanya boleh menggunakan Bahasa Daerah dan Bahasa Melayu. Ada pun Hollandsch Inlandsche Shool adalah sekolah bumiputera yang mengharuskan penggunaan Bahasa Belanda di dalamnya.
Setamat dari HIS, Gurutta melanjutkan pengembaraan ilmunya ke Kota Makassar. Di kota ini beliau belajar pada Sekolah Guru, sebuah sekolah yang penyelenggaraannya berkaitan langsung dengan sebuah partai Islam, yakni Partai Syerikat Islam Indonesia.
Sebagai alumni HIS, adalah sangat mungkin Gurutta fasih berbahasa Belanda, akan tetapi Allah tidak berkenan membiarkan hamba terkasihNYA ini larut dalam pendidikan sekuler, pendidikan yang mungkin saja akan membuatnya congkak dan sombang di hadapan ”kekasihnya”, sekolah yang kadang membuat alumninya petantang-petenteng dengan celana panjang dan dasi hitam sebagaimana yang digambarkan oleh pelajar-pelajar di sekolah yang diselenggarakan pemerintah kolonial Belanda di Makasar.
Rupanya Allah, ”sang kekasih” Gurutta itu senantiasa menjaga kesucian hati hambaNYA yang satu ini, dengan membasuh jiwanya dengan mata air ilmu yang bersumber hanya dari ajaran wahyuNYA, al-Qur’an, dan hadist-hadist rasulNYA. Itulah sebabnya, setamat dari Sekolah Guru di Makasar, Gurutta lebih memilih kembali ke tanah Wajo menjadi pelajar ”sarungan” di Darul Ulum pimpinan Sayyid Muhammad al-Mahdaliy, juga mengikuti pengajian kitab pada Syekh H. Syamsuddin, Syekh Abd. Rasyid Mahmud al-Jawwad, Sayyid Abdullah Dahlan, dan Sayyid Hasan al-Yamani.
Pada tahun 1928 K.H. Muhammad As’ad (1907 – 1952), seorang putera beradarah Wajo, kelahiran Mekah, datang ke Sengkang membuka pengajian pesantren di rumahnya. Dan pada pertengahan tahun 1930-an. Gurutta yang haus pengetahuan itu pun ikut bergabung walau harus belajar di bawah kolong rumah. Di pengajian K.H. Muhammad As’ad, Gurutta yang senantiasa dalam belaian ”kekasihnya”, Allah SWT., dengan ikhlas menjadi murid dari seseorang yang tujuh tahun lebih muda darinya. Karena perolehan pengetahuan sebelumnya dianggap cukup, maka K.H. Muhammad As’ad memperkenankan Gurutta mengajar pada peserta didik tingkatan pemula.
Sistem pendidikan ”mengaji tuddang” yang diterapkan oleh K.H. Muhammad As’ad tindak menghalangi para peminat berdatang, termasuk mereka yang dari luar tanah Wajo. Memperhatikan banyaknya peminat, maka dengan bantuan pemerintah setempat K.H. Muhammad As’ad berkenan mendirikan madrasah dengan sistem kelasikal, yang terdiri dari empat tingkatan: Awaliyah, Ibtidaiyah, I’dadiyah, dan Tsanawiyah. Madrasah ini diberinya nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI).
Hadiran yang saya muliakan
Keharuman MAI Sengkang menyebar keseluruh pelosok, hal ini menarik minat Arung Malluse Tasi untuk datang meminta dan sekaligus meminang Gurutta K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle, agar direstui oleh K.H. Muhammad As’ad membuka dan memimpin Madrasah serupa yang akan didirikan di Mangkoso. dan akhirnya, pada tahun 1939 Gurutta beserta keluarganya berkenan pindah ke Mangkoso, dalam wilayah Swapraja Soppeng Riaja, Barru. Di sini, Gurutta dibantu beberapa orang tenaga pendidik mendirikan Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkaso.
Ketika bunga mulai mekar, ketika santri mulai berdatangan dari berbagai penjuru, Allah SWT. menguji ketabahan dan kesabaran Gurutta, dengan ditempatkannya kaigun atau Angkatan Laut Jepang sebagai penguasa militer di Indonesia kawasan Timur pada 1942. Indonesia kawasan timur, termasuk Mangkoso di dalamnya, diduduki oleh Angkatan Laut Jepang, satu sayap militer Jepang yang tidak dibekali pengetahuan dan keterampilan bergaul dengan masyarakat sipil, utamanya masyarakat penggiat agama, dan lebih utama lagi masyarakat penggiat politik. Hal ini berbeda dengan, Angkatan Darat Jepang yang menguasai Jawa dan Sumatera memiliki pengalaman yang cukup bergaul dengan masyarakat sipil, sehingga selama pendudukan mereka toleran dan memberi ruang gerak yang terbatas kepada ulama dan politisi. Angkatan Laut Jepang yang berkuasa di kawasan timur Indonesia justru mencurigai, menindas, bahkan memenjarakan beberapa ulama dan politisi.
Kemenangan tentara sekutu atas tentara Jepang pada Perang Dunia kedua seakan memeberi kesempatan kepada Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta dengan atas nama Bangsa Indoensia memproklamasikan kemerdekaan Bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945. Gurutta beserta murid-muridnya menyambut kemerdekaan dengan dada yang lapang.
Namun, tidak cukup dua tahun, pada bulan Desember 1946 para politisi kolaborator mengumukan berdirinya Negara Indoensia Timur (NIT) di Denpasar, Bali. Dan Makassar ditunjuk sebagai ibukota NIT. Oleh karena itu, Sulawesi Selatan pada umumnya harus aman dari gerakan-gerakan --ketika itu dikenal dengan istilah ekstrimis-- yang dapat meronrong wibawah penguasa tersebut. Untuk melakukan pengamanan itu, pada awal 1947 didatangkanlah sebuah pasukan khusus di bawah pimpinan Kapten Raymond Westerling untuk melakukan gerakan pembersihan dan bumi-hangus di daratan Sulawesi Selatan. Operasi militer yang dilakukan oleh Westerling bersama pasukannya berlangsung hingga akhir 1949, atau menjelang Konfrensi Meja Bundar di Belanda, suatu konfrensi yang membicarakan proses politik ”penyerahan” kedaulatan Indonesia dari Belanda.
Pada masa operasi militer yang dipimpin oleh Westerling itulah, atas prakarsa K.H. Muhammad Daud Ismail, maka Gurutta beserta beberapa ulama tercerahkan melakukan Musyawarah Alim Ulama se Sulawesi Selatan di Watansoppeng tepatnya pada 17 Februari 1947 Miladiah bertepatan dengan 16 Rabiul Awal 1366 Hijiriah. Dalam konfrensi inilah para peserta musyawarah menyepakati untuk mendirikan sebuah organisasi Islam yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah, dan sosial. Organisasi itu dikenal dengan Darud Da’wah wal-Irsyad.
Hadirin yang saya hormati
Musyawarah Alim Ulama di Watansoppeng itu juga dengan memperhatikan kharisma dan kepemimpinan, serta potensi lembaga pendidikan yang dibina gurutta, maka peserta musyawarah menyepakati memilih dan menetapkan Gurutta sebagai Ketua Umum DDI, suatu jabatan yang senantiasa diembannya hingga akhir hayatnya, kecuali selama Gurutta berada dalam lingkungan kekuasaan gerakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Upaya awal yang dilakukan Gurutta dalam mengembangkan organisasi yang baru terbentuk tersebut, adalah dengan melakukan musyawarah guru dan pengurus MAI Mangkoso dan cabang-cabangnya untuk menyepakati pengintegrasian MAI Mangkso ke organisasi baru yang DDI, yang kemudian diikuti oleh beberapa lembaga pendidikan lain, seperti Madrasah Al-Irsyad di Pattojo Soppeng, Nashrul Haq di Amparita, Tarbiyah Islamiyah di Allakuang Sidrap, dan Lembaga Pendidikan yang dikelola oleh Imam Lapeo di Campalagiang Polmas.
Memperhatikan proses sejarah berdirinya DDI, yang melibatkan banyak tokoh penggagas dan pendiri, maka sungguh tidak arif jika ada kelompok yang mengidentikkan DDI sebagai milik orang atau kelompok tertentu, dan seakan menafikan keberadaan dan andil orang lain. Gurutta telah banyak memberikan contoh kepada kita anak-anaknya, baik anak biologis mapun anak-anak idiologis beliau, tentang sikap dan pandangan yang arif dalam memaknai sebuah kebersamaan memperjuangkan cita-cita awal pendirian DDI.
Menjelang Pemilu 1955 Gurutta berkeinginan menggunakan hak politiknya dengan mendaftarkan diri sebagai calon legislatif dengan bendera calon perorangan, bukan dan tidak menggunakan bendera partai politik. Akan tetapi, nampaknya, Allah SWT yang senantiasa mengasihi beliau, belum membolehkan Gurutta memasuki belantara politik praktis ketika itu. Allah lebih menghendaki Gurutta masuk ke hutan belantara yang sesungguhnya untuk diposisikan sebagai salah seorang pimpinan DI/TII. Dua bulan sebelum Pemilu, tepatnya pada 18 Juli beliau ditangkap oleh pasukan DI/TII dibawah pimpinan Nurdin Pisok.
Walaupun Gurutta masuk dalam lingkungan elite DI/TII, tetapi karena kebijakan pucuk pimpinan DI/TII, Kahar Muzakkar, yang menetapkan harus dilakukan gerakan sabotase terhadap Pemilu 1955 dalam wilayah Sulawesi Selatan – Tenggara, maka tidak sedikit orang-orang DDI yang dicurigai terlibat dalam Pemilu yang kemudian diculik, bahkan ada diantaranya yang ditembak mati oleh pasukan DI/TII.
Rupanya di belantara gerakan Islam sekalipun sang kekasih Allah, tidak henti-hentinya diuji. Gurutta diperhadapkan pada beberapa kebijakan pucuk pimpinan DI/TII yang bertentangan dengan paham dan keyakinan yang dianutnya. Kebijakan yang diambil oleh pucuk pimpinan DI/TII tersebut banyak diintrodusir dari pendapat K.H. Maksum, seorang ulama yang didatangkan dari Jawa. Terhadap kebijakan-kebijakan tersebut, dengan tegas dan bijak Gurutta menentangnya.
Hadirin yang saya muliakan
Ketegasan Gurutta terhadap apa yang diyakininya bersumber dari al-Qur’an dan hadist-hadist Rasulullah menyebabkan beliau tersingkir dan disingkirkan dari struktur elite DI/TII. Beliau kemudian diasingkan ke daerah Sulawesi tenggara selama lebih-kurang dua tahun. Kurang dari dua tahun sebelum tertembak matinya Overste (Letnan Kolonel) Kahar Muzakkar di tangan Sadeli, salah seorang pasukan Divisi Siliwangi yang hanya berpangkat Kopral pada tahun 1965, Gurutta berhasil diloloskan keluar dari hutan oleh sepasukan TNI dibawah pimpinan Kapten Andi Patonangi.
Setelah keluar dari hutan, Gurutta kembali membina DDI dan bersama pengurus lainnya beliau mendirikan Perguruan Tinggi yang disebutnya Universitas Islam DDI pada 1963 itu juga. Tidak berapa lama kemudian, beberapa daerah meminta didirikan cabang, seperti: Pinrang, Barru, Sidrap, Pangkep, Soppeng, Polmas, dan Majene. Ini adalah sebuah terobosan baru yang tidak pernah dilakukan, bahkan mungkin tidak terpikirkan, oleh orang-orang DDI selama Gurutta berada dalam lingkungan DI/TII.
Kurang lebih 8 tahun Gurutta bergabung dengan DI/TII adalah waktu yang lebih dari cukup untuk memperoleh inspirasi bahwa penegakan syariat Islam tidak harus dilakukan dengan jalan kekerasan, sebagaimana yang dilakukan oleh DI/TII. Penegakan syariat Islam akan lebih bermakna dan membumi jika dilakukan melalui jalur pendidikan. Lewat pendidikan, Islam dapat dibumikan dalam kalbu setiap individu muslim, sehingga syariat Islam dapat mewarnai prilaku hidupnya sehari-hari.
Niat membumikan Islam secara damai melalui jalur pendidikan, dakwa, dan usaha-usaha sosial, kiranya mendapat restu dari Allah Taala, ”kekasihnya” yang selalu dirinduinya siang dan malam. Permintaan mendirikan cabang dan ranting DDI datang bukan hanya dari Sulawesi, tapi Kalimantan, Sumatera, Nusa Tenggara, dan Papua, mereka semua selalu berharap kehadiran Gurutta untuk meresmikan dan memberi tausiah, dengan harapan semoga cabang dan ranting DDI tersebut mendapat berkah dari Allah SWT.
Hadirin yang saya muliakan
Bersamaan dengan menjamurnya DDI bagai cendewan di musim hujan, rezim orde baru yang milteristik sejak awalnya berusaha menguasai dan kemudian mengendalikan semua bentuk pengelompokan masyarakat, mula-mula organisasi birokrasi, kemudian bergerak ke pengelompokan secara sosial, keagamaan, kepemudaan, profesi, wanita, tani, nelayan, organisasi sektor bisnis, sampai penyederhanaan partai politik, dan menampilkan Golkar sebagai satu-satunya Organisasi Peserta Pemilu dari unsur non partai politik. Dengan pilosofi ini, maka DDI yang memiliki kekuatan massa yang sampai ke akar rumput tidak dapat dipandang sebelah mata oleh rezim orde baru. DDI adalah pasar politik yang cukup menggiurkan, dan karenanya harus dikuasai dan dikendalikan.
Iklim politik rezim orde baru yang demikian itu diselami oleh Gurutta dengan tidak gegabah. Gurutta tidak mau sembarangan dalam menentukan sikap, karena sikap apa pun yang diambilanya pasti berisiko terhadap pengasuhan lembaga-lembaga pendidikan yang selama ini dipilihnya menjadi medan pengabdian dan perjuangan. Jangankan anti terhadap rezim orde baru, bersikap netral saja pasti akan dicurigai terus menerus, dan karenanya jangan pernah berharap akan ada dukungan pemerintah, baik materil maupun administratif. Dalam siatuasi seperti itu, Gurutta menyapa dan bertanya kepada ”kekasihnya”, Allah SWT. melalui sholat istihkorah. Petunjuk apa pun yang diberikan oleh ”kekasihnya” itu Gurutta pasti akan laksanakan, walau resikonya lebih pahit dari yang dibayangkan.
Menjelang Pemilu 1977 di keheningan malam, Gurutta menegakkan sholat istikhorah sebagai media berkomunikasi dengan ”kekasihnya”, Allah. Benar saja, petunjuk yang diterimanya kurang lebih dapat diverbalisasikan sebagai berikut, ”rezim orde baru adalah rezim yang militeristik dan hegemonik, serta tidak satu pun di antara kalian yang dapat memprediksi seberapa panjang usia rezim ini akan berkuasa”. Berdasar pada getaran hatinya yang demikian itu, maka dengan tegas Gurutta menyatakan bahwa dalam Pemilu 1977 ini dia berpihak pada Golkar. Keputusan ini begitu berat ditanggung oleh Gurutta. Dan akibat dari keputusan politik ini, tidak sedikit santri yang meninggalkan pondok, ruang-ruang kelas jadi lengang, masjid sepi dari pengajian, dan bahkan ada saja elite DDI yang tidak sejutu terhadap keputusan itu, berteriak di mimbar-mimbar umum.
Gurutta pun bersedih yang teramat dalam, bukan karena dicaci-maki oleh beberapa kawan dan muridnya sendiri, tetapi karena ditinggalkan oleh santri yang sudah demikian lama dididik dan dibinanya. Kesedihannya pun semakin menjadi-jadi ketika beberapa teman dekatnya, sesama pendiri DDI, mulai menjauhi Gurutta dengan mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang cukup menyakitkan di beberapa media massa.
Rupanya Allah SWT., tidak membiarkan Gurutta larut dalam kesedihan yang berkepanjangan. Segera, pasca Pemilu 1977 datang tawaran dari Kalimantan Timur, dari Arung Malluse Tasi, serta tawaran dari Bupati Pinrang, Andi Patonangi, tokoh yang mengarsiteki keluarnya Gurutta dari hutan, wilayah kekuasaan Kahar Muzakkar pada 1963. Andi Patonangi menawarkan suatu areal yang cukup luas dan strategis di Pinrang, dan agar Gurutta sudi pindah ke lokasi itu untuk memimpin pondok pesantren yang pembangunannya akan difasilitasi oleh pemerintah.
Tawaran dari Bupati Pinrang, segera direspon oleh Gurutta, beliau segera memindahkan pusat pengendalian organsasi DDI dari Parepare ke Kaballangang, Pinrang. Di sanalah Gurutta melanjutkan pembinaannya kepada umat dan pengabdiannya kepada negara.
Hadirin Sekalian.
Pada tahun-tahun terakhir sebelum meninggalkan dunia yang fana ini, kembali Gurutta diuji oleh Allah SWT. Mula-mula Gurutta diserang stroke, kemudian beliau diuji dengan lumpuhnya kekuatan fisiknya. Ujian dari ”kekasihnya”, yang demikian itu dijalani oleh Gurutta dengan tabah dan ikhlas. Bahkan dalam keadaan lumpuh itu, Gurutta masing sering ditanduh oleh santri-santrinya untuk bertandang ke beberapa cabang DDI di daerah untuk berdakwah, mengunjungi murid-muridnya, dan mengembangkan perguruannya.
Setelah bebeapa kali dirawat di rumah sakit lantaran usia yang semakin uzur, serta sakit yang dideritanya, maka pada awal November 1996 Gurutta kembali di opname di Rumah Sakit Akademis, Ujungpandang. Ini merupakan kunjungan terakhirnya ke rumah sakit, dan setelah tiga minggu dirawat di rumah sakit ini, pada Jum’at 29 November 1996 Gurutta yang sudah lama mempersiapakan dirinya untuk bertemu dengan ”kekasihnya”, Allah SWT. segera dipanggil oleh ”kekasihnya” itu agar Gurutta segera ”pulang” dan menemuiNYA di tempat yang telah dijanjikanNYA, dalam keadaan Ridha dan diridhoi olehNya.
Begitu besarnya keinginan Gurutta untuk segera bertemu dengan ”kekasihnya”, maka pada hari itu juga; keluarga, kerabat, pejabat pemerintah sipil dan militer, handai taulan, murid-muridnya berduyun-duyun mengantar Gurutta ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Tidak sedikit di antara mereka itu yang merasa heran, karena keranda yang mereka tandu itu terasa lebih ringan dari kapas. Mungkin saja, ada beberapa malaikat yang ikut menandu Gurutta dan sekaligus mendapingi Gurutta menghadap ke haribaan ”kekasihnya”, Allah SWT. yang sepanjang hidupnya dirindui dan dikangeninya sepenuh jiwa.
Hadiran yang saya muliakan.
Goresan Bakti dan khidmat Gurutta K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle, yang dilakukan melalui berbagai wujud dan aktivitas yang tidak pernah surut, akan tetap tertoreh di lembaran sejarah manusia yang tidak akan pernah lekang oleh panasnya matahari dan terpaan hujan; berbagai pengakuan dan penghargaan yang diberikan oleh masyarakat, gnegara dan pemerintah, menjadi bukti kebesaran jasa sang Pahlawan Nasional yang diwariskan untuk dijaga, dipelihara dan dimaknai oleh anak-anaknya, generasi muda Darud Da’wah wal Irsyad.
Akhirnya, kami yang berkumpul di tempat ini mengucapkan: ”Selamat jalan Guru dan Orang Tua Kami tercinta, semoga kami anak-anakmu dapat memegang teguh amanah yang engkau wariskan kepada kami.”
Minallahil Musta’an wa ’Alaihit Tiklan.
Dinarasikan Oleh: Saiful Jihad
Selasa, 18 Desember 2007
Rabu, 05 Desember 2007
Memaknai Pendidikan sebagai Kapital
Oleh : Aurelius Jehato
KabarIndonesia - Beberapa waktu lalu, reaksi pro-kontra muncul ketika DPR menyetujui alokasi dana untuk sektor pendidikan sebesar Rp 48 triliun atau sekitar 12 persen dari total APBN 2008. Itu berarti tidak ada penambahan anggaran signifikan bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pemerintahan SBY-Kalla, misalnya, hanya menganggarkan dana pendidikan dalam APBN 2005 sebesar 8,1 persen, APBN 2006 besarnya 10,6 persen, APBN 2007 sebesar 11,8 persen. Padahal, Undang-Undang Dasar 1945 dan UU No. 20/ 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) mengamanatkan anggaran untuk sektor pendidikan minimal 20 persen dari total APBN/APBD. Dengan anggaran 12% tahun ini berarti pemerintah masih memiliki utang untuk memenuhi defisit anggaran tersebut.
Dua pertanyaan penting patut kita ajukan di sini. Mengapa defisit anggaran sektor pendidikan selalu terjadi dari tahun ke tahun? Mengapa jumlah anggaran yang minim itu selalu diributkan banyak orang? Pertanyaan ini berangkat dari dan bersentuhan dengan dua hal. Pertama, krisis political-will pemerintah dan parlemen. Kedua, keprihatinan terhadap defisit anggaran muncul dari kesadaran akan urgensi pendidikan.
Lingkaran Krisis
Alokasi 12 persen APBN tersebut menjerumuskan sektor pendidikan kita ke dalam lingkaran krisis yang terus berlanjut. Banyak kalangan menilai bahwa pengalokasian anggaran yang tidak memadai akan berakibat langsung pada managemen pengelolaan pendidikan yang tidak bermutu. Mengapa? Peran anggaran itu begitu sentral dan krusial. Betapa tidak, anggaran pasti erat bersangkut paut dengan gaji, pelatihan, pengembangan kualitas guru, penyediaan buku-buku teks bagi para murid, pembangunan gedung sekolah serta sarana penunjang belajar mengajar lainnya.
Ini semua tentu menjadi faktor penting yang menentukan mutu dan kualitas pendidikan. Sayangnya, pemerintah tidak peduli dengan hal ini. Berbagai kalangan sejak lama mengecam dan menggugat miskinnya alokasi anggaran pendidikan. Mahkamah Konstitusi (MK) bahkan telah menetapkan bahwa pemerintah telah melanggar konstitusi bila tidak mengalokasikan dana 20 persen.
Masalahnya Mahkamah Konstitusi hanya memiliki wewenang untuk menilai legal-tidaknya kebijakan anggaran tersebut. Tetapi lembaga itu tidak memiliki hak untuk memberi tindakan atau sanksi. Alhasil, pemerintah tetap keukeuh dengan keputusannya.
Pemerintah bukan tanpa alibi ketika menjawab berbagai macam gugatan dan kritikan.
Alasannya selalu sama, negara tidak memiliki anggaran yang cukup. Masih ada sejumlah sektor kebutuhan non-pendidikan yang juga harus diperhatikan. Alasan klasik ini dibumbui retorika dan janji untuk tetap mengupayakan anggaran pendidikan secara bertahap, sehingga mencapai target seperti yang diwajibkan undang-undang.
Namun, alasan pemerintah terkesan mengada-ada. Minimnya alokasi anggaran lebih disebabkan oleh rendahnya itikad politik untuk menempatkan pengembangan sektor pendidikan sebagai prioritas utama. Banyak pengamat menilai ini terjadi karena pemerintah tidak memiliki visi yang jelas dalam mengelola pendidikan.
Sebenarnya, kita masih bisa berharap kepada peran DPR, sebab APBN membutuhkan persetujuan lembaga ini. Namun ternyata parlemen tidak bertindak apa-apa dan seakan tak berdaya. Hingar - bingar kalkulasi politis pragmatis parlemen selalu mengamini usulan APBN pemerintah. Itu berarti DPR gagal menjalankan fungsi dan peran intermediasinya.
Mereka hanya bisa garang bila keputusan dan kebijakan pemerintah merongrong kepentingannya sendiri atau kepentingan parpol yang menjadi basis kekuasaannya. Mereka baru menggeliat dan berani unjuk gigi ketika ada wacana reshuffle kabinet. Tetapi, bila kebijakan itu menyangkut kepentingan rakyat banyak, suara dan nyali parlemen melempem.
Jadi, ketika kita menganggap minimnya anggaran untuk sektor pendidikan sebagai sebuah krisis, maka kita secara tidak langsung menegaskan bahwa elit politik, baik pemerintah maupun parlemen, juga sedang berada dalam krisis. Gerogotan lingkaran krisis ini tentu akan membuat bangsa ini tidak bisa berkembang ke arah yang lebih baik.
Pemberdayaan Kapital
Keprihatian terhadap rendahnya APBN untuk sektor pendidikan sebenarnya muncul dari kesadaran bahwa sektor pendidikan, dalam takaran tertentu, merupakan modal atau kapital. Bagaimana ini bisa dijelaskan?
Dari perspektif normatif, seperti dikatakan John Dewey, pendidikan merupakan keniscayaan hidup (necessity of life). Sebab, ketika struktur masyarakat semakin berkembang dan kompleks, kebutuhan akan pengetahuan dan pemberdayaan manusia ikut meningkat. Pendidikan menjadi sarana untuk membarui, memperkaya, serta mengembangkan kualitas diri baik secara kognitif maupun afektif.
Dalam perspektif ekonomis, peran sentral pendidikan merujuk pada dua hal. Pertama, sektor pendidikan mampu menyediakan, dalam tuturan Habermas, tenaga kerja refleksif, seperti ilmuwan, pemikir, guru, intelektual, dan peneliti.
Mereka memang bukan termasuk tenaga kerja yang digunakan untuk tujuan meningkatkan produktivitas kerja yang langsung. Namun, pada era globalisasi ini mereka merupakan bagian dari lingkaran ekonomi, sebab negara atau perusahaan benar-benar membutuhkan mereka. Tenaga kerja refleksif memang tidak produktif kalau dilihat dari aspek produksi langsung nilai lebih.
Namun, mereka memberi dampak berantai (net effect) terhadap produksi nilai lebih sesuai dengan bidang yang digeluti masing-masing. Kedua, sektor pendidikan bisa menyediakan tenaga produktif terlatih, misalnya, untuk tenaga kerja langsung bagi pabrik-pabrik, perusahaan pemroses makanan, otomotif, tekstil dan juga berbagai jenis perusahaan jasa.
Skill dan kemampuan mereka akan memberikan nilai lebih atau nilai produktif langsung kepada perusahaan. Mereka inilah yang merealisasikan apa yang telah dirintis dan dihasilkan oleh tenaga kerja reflektif. Jadi, peran pengetahuan dan pemberdayaan sumber daya manusia itu sangat penting. Kemajuan sebuah negara, salah satunya sangat ditentukan oleh mutu pengelolan sektor pendidikan.
Oleh karena itu, pemerintah harus mulai berpikir untuk mengorganisir dan menata secara sistematis sistem pendidikan kita. Ini menjadi tuntutan niscaya sebab pengorganisasian dan ekspansi sistem pendidikan yang ditata secara sistematis dan berkualitas akan memproduksi informasi, teknologi, organisasi, dan sumber daya manusia yang mumpuni.
Dalam konteks ini, pendidikan sebagai kapital atau sumber daya negara harus diberdayakan. Penataan dimulai dengan mengalokasikan anggaran minimal 20 persen dari total APBN/APBD.
Pemerintah hendaknya menetapkan sektor pendidikan sebagai sektor yang sedang krisis. Bagi masyarakat tuntutannya adalah terus mendesak elit politik, baik pemerintah maupun DPR, agar memiliki sense of cricis, sehingga nurani mereka tergerak dan mau membebaskan sektor pendidikan dari keterperangkapan krisis.
KabarIndonesia - Beberapa waktu lalu, reaksi pro-kontra muncul ketika DPR menyetujui alokasi dana untuk sektor pendidikan sebesar Rp 48 triliun atau sekitar 12 persen dari total APBN 2008. Itu berarti tidak ada penambahan anggaran signifikan bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pemerintahan SBY-Kalla, misalnya, hanya menganggarkan dana pendidikan dalam APBN 2005 sebesar 8,1 persen, APBN 2006 besarnya 10,6 persen, APBN 2007 sebesar 11,8 persen. Padahal, Undang-Undang Dasar 1945 dan UU No. 20/ 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) mengamanatkan anggaran untuk sektor pendidikan minimal 20 persen dari total APBN/APBD. Dengan anggaran 12% tahun ini berarti pemerintah masih memiliki utang untuk memenuhi defisit anggaran tersebut.
Dua pertanyaan penting patut kita ajukan di sini. Mengapa defisit anggaran sektor pendidikan selalu terjadi dari tahun ke tahun? Mengapa jumlah anggaran yang minim itu selalu diributkan banyak orang? Pertanyaan ini berangkat dari dan bersentuhan dengan dua hal. Pertama, krisis political-will pemerintah dan parlemen. Kedua, keprihatinan terhadap defisit anggaran muncul dari kesadaran akan urgensi pendidikan.
Lingkaran Krisis
Alokasi 12 persen APBN tersebut menjerumuskan sektor pendidikan kita ke dalam lingkaran krisis yang terus berlanjut. Banyak kalangan menilai bahwa pengalokasian anggaran yang tidak memadai akan berakibat langsung pada managemen pengelolaan pendidikan yang tidak bermutu. Mengapa? Peran anggaran itu begitu sentral dan krusial. Betapa tidak, anggaran pasti erat bersangkut paut dengan gaji, pelatihan, pengembangan kualitas guru, penyediaan buku-buku teks bagi para murid, pembangunan gedung sekolah serta sarana penunjang belajar mengajar lainnya.
Ini semua tentu menjadi faktor penting yang menentukan mutu dan kualitas pendidikan. Sayangnya, pemerintah tidak peduli dengan hal ini. Berbagai kalangan sejak lama mengecam dan menggugat miskinnya alokasi anggaran pendidikan. Mahkamah Konstitusi (MK) bahkan telah menetapkan bahwa pemerintah telah melanggar konstitusi bila tidak mengalokasikan dana 20 persen.
Masalahnya Mahkamah Konstitusi hanya memiliki wewenang untuk menilai legal-tidaknya kebijakan anggaran tersebut. Tetapi lembaga itu tidak memiliki hak untuk memberi tindakan atau sanksi. Alhasil, pemerintah tetap keukeuh dengan keputusannya.
Pemerintah bukan tanpa alibi ketika menjawab berbagai macam gugatan dan kritikan.
Alasannya selalu sama, negara tidak memiliki anggaran yang cukup. Masih ada sejumlah sektor kebutuhan non-pendidikan yang juga harus diperhatikan. Alasan klasik ini dibumbui retorika dan janji untuk tetap mengupayakan anggaran pendidikan secara bertahap, sehingga mencapai target seperti yang diwajibkan undang-undang.
Namun, alasan pemerintah terkesan mengada-ada. Minimnya alokasi anggaran lebih disebabkan oleh rendahnya itikad politik untuk menempatkan pengembangan sektor pendidikan sebagai prioritas utama. Banyak pengamat menilai ini terjadi karena pemerintah tidak memiliki visi yang jelas dalam mengelola pendidikan.
Sebenarnya, kita masih bisa berharap kepada peran DPR, sebab APBN membutuhkan persetujuan lembaga ini. Namun ternyata parlemen tidak bertindak apa-apa dan seakan tak berdaya. Hingar - bingar kalkulasi politis pragmatis parlemen selalu mengamini usulan APBN pemerintah. Itu berarti DPR gagal menjalankan fungsi dan peran intermediasinya.
Mereka hanya bisa garang bila keputusan dan kebijakan pemerintah merongrong kepentingannya sendiri atau kepentingan parpol yang menjadi basis kekuasaannya. Mereka baru menggeliat dan berani unjuk gigi ketika ada wacana reshuffle kabinet. Tetapi, bila kebijakan itu menyangkut kepentingan rakyat banyak, suara dan nyali parlemen melempem.
Jadi, ketika kita menganggap minimnya anggaran untuk sektor pendidikan sebagai sebuah krisis, maka kita secara tidak langsung menegaskan bahwa elit politik, baik pemerintah maupun parlemen, juga sedang berada dalam krisis. Gerogotan lingkaran krisis ini tentu akan membuat bangsa ini tidak bisa berkembang ke arah yang lebih baik.
Pemberdayaan Kapital
Keprihatian terhadap rendahnya APBN untuk sektor pendidikan sebenarnya muncul dari kesadaran bahwa sektor pendidikan, dalam takaran tertentu, merupakan modal atau kapital. Bagaimana ini bisa dijelaskan?
Dari perspektif normatif, seperti dikatakan John Dewey, pendidikan merupakan keniscayaan hidup (necessity of life). Sebab, ketika struktur masyarakat semakin berkembang dan kompleks, kebutuhan akan pengetahuan dan pemberdayaan manusia ikut meningkat. Pendidikan menjadi sarana untuk membarui, memperkaya, serta mengembangkan kualitas diri baik secara kognitif maupun afektif.
Dalam perspektif ekonomis, peran sentral pendidikan merujuk pada dua hal. Pertama, sektor pendidikan mampu menyediakan, dalam tuturan Habermas, tenaga kerja refleksif, seperti ilmuwan, pemikir, guru, intelektual, dan peneliti.
Mereka memang bukan termasuk tenaga kerja yang digunakan untuk tujuan meningkatkan produktivitas kerja yang langsung. Namun, pada era globalisasi ini mereka merupakan bagian dari lingkaran ekonomi, sebab negara atau perusahaan benar-benar membutuhkan mereka. Tenaga kerja refleksif memang tidak produktif kalau dilihat dari aspek produksi langsung nilai lebih.
Namun, mereka memberi dampak berantai (net effect) terhadap produksi nilai lebih sesuai dengan bidang yang digeluti masing-masing. Kedua, sektor pendidikan bisa menyediakan tenaga produktif terlatih, misalnya, untuk tenaga kerja langsung bagi pabrik-pabrik, perusahaan pemroses makanan, otomotif, tekstil dan juga berbagai jenis perusahaan jasa.
Skill dan kemampuan mereka akan memberikan nilai lebih atau nilai produktif langsung kepada perusahaan. Mereka inilah yang merealisasikan apa yang telah dirintis dan dihasilkan oleh tenaga kerja reflektif. Jadi, peran pengetahuan dan pemberdayaan sumber daya manusia itu sangat penting. Kemajuan sebuah negara, salah satunya sangat ditentukan oleh mutu pengelolan sektor pendidikan.
Oleh karena itu, pemerintah harus mulai berpikir untuk mengorganisir dan menata secara sistematis sistem pendidikan kita. Ini menjadi tuntutan niscaya sebab pengorganisasian dan ekspansi sistem pendidikan yang ditata secara sistematis dan berkualitas akan memproduksi informasi, teknologi, organisasi, dan sumber daya manusia yang mumpuni.
Dalam konteks ini, pendidikan sebagai kapital atau sumber daya negara harus diberdayakan. Penataan dimulai dengan mengalokasikan anggaran minimal 20 persen dari total APBN/APBD.
Pemerintah hendaknya menetapkan sektor pendidikan sebagai sektor yang sedang krisis. Bagi masyarakat tuntutannya adalah terus mendesak elit politik, baik pemerintah maupun DPR, agar memiliki sense of cricis, sehingga nurani mereka tergerak dan mau membebaskan sektor pendidikan dari keterperangkapan krisis.
Langganan:
Postingan (Atom)