Rabu, 18 Februari 2009

Menjadi Pemudik Hakiki

Oleh : Saiful Jihad
“Sungguh, benar-benar beruntunglah orang yang selalu berusaha untuk kembali pada hakekat kesucian dirinya” (Q.S. 91: 09)

Tidak terasa, Ramadhan 1428 H. akhirnya berlalu, seperti para kembara, ia datang dan menemani kita, lalu kembali pergi melanjutkan perjalananya. Kehadirannya menjadi dambaan setiap mu’min, dan kepergiannya menjadi “musibah” yang ditangisi. Ia didamba karena karena manfaat dan keberkahan yang dibawanya, dan ditangisi karena “kehausan” diri untuk meneguk kenikmatan dan keberkahannya.
Meski demikian, seorang mu’min harus rela dan ikhlas melepas kepergian ramadhan dengan membawa raport sikap, tindakan dan perlakuan para “ahl al-bait” yang disambangi sang tamu agung (ramadhan). Kerelaan dan keikhlasan tersebut dikarenakan ia telah merasa memperlakukan tamunya dengan baik, dan memberikan “jamuan” yang semestinya, serta mendapatkan beribu keberkahan dari keagungan sang tamu. Untuk melepas kepergiannya, hamba yang beriman betul-betul merasakan kelapangan dan keluasan hati, sehingga dengan ikhlas melepas kepergian ramadhan. Nampaknya keluasan dan kelapangan hati inilah, menjadi salah satu makna yang terkandung dari kata “lebaran” (lebar + an) yang dirayakan setiap tanggal 1 syawal.
Dalam istilah agama, perayaan lebaran ini dikenal dengan istilah ‘Iid al fithri, yang bermakna “kembali pada hakekat kedirian yang suci”. Kenapa disebut kembali? Tentu, karena di situ mengandung makna, bahwa kita bergerak dari satu posisi ke posisi yang lain, yaitu tempat dimana kita merasakan telah jauh dari fithrah kehidupan yang suci, tulus dan luhur, baik dalam hubungan dengan Allah maupun manusia, kemudian bergerak kembali pada posisi awal kejadian kita yang fithrawi tersebut.
Sebenarnya, simbol-simbol dari kecenderungan manusia untuk kembali kepada asal kejadiaanya dapat kita temukan dalam aktivitas di hari idul Fithri atau menjelang idul fithri. Kita melihat misalnya di setiap tahun orang-orang selalu menyempatkan diri untuk pulang kampung. Mereka bahkan rela berjejel dan berdesak-desakan di kereta, bus, kapal laut. Bahkan banyak yang sampai menginap di pelabuhan, terminal atau stasiun kereta karena mereka tidak kebagian tempat untuk mudik pada hari itu, dan besoknya ia berjuang lagi. Semua itu dilakukan untuk satu tujuan yang disebut dengan “mudik lebaran”. Nah, bukankah mudik itu sebenarnya berarti “kembali ke asal” (yaitu kampung halaman), atau “kembali ke fithrah” dalam aktualisasi antropolgis.
Para pemudik tersebut akan kembali ke kampung asal mereka, sama sekali bukan untuk pamer keberhasilan hidup di perantauan atau untuk kepentingan-kepentingan material lainnya. Tidak jarang di antara mereka bahkan hidup di rantau dalam kondisi yang memprihatinkan, tidak berkecukupan dalam arti yang sebenarnya. Jika kita amati, dengan mudah kita dapat menebak penghasilan para pendatang yang hidup di Jakarta, kawasan Industri di Jabotabek, Surabaya, Makassar sebagai pekerja pabrik, buruh bangunan, pedagang sektor informal, dan sebagainya. Jelas tujuan mereka pulang kampung atau mudik tersebut, sangat jauh dari kepentingan simbol-simbol material, keinginan mudik tersebut lebih didorong oleh kecenderungan spiritual, yaitu hasrat untuk kembali kepada orang-orang yang dekat, seperti orang tua, saudara, kerabat, handai taulan dan lain-lain, untuk meminta maaf, membersihkan diri dari dosa dan kekhilafan yang dilakukan, merajut kembali tali silaturrahim seperti sedia kala, bahkan ingin merasakan kembali “indahnya” hari-hari dalam kebersamaan, kemesraan dan ketulusan masa-masa lalu.
Sementara itu, kampung itu sendiri dapat dimaknai dengan asal kejadian atau titik star dari kehidupan kita. Di sanalah kita dilahirkan dan dibesarkan dengan kasih sayang orang-orang yang ada di sekeliling kita, orang tua, saudara, kerabat dan handai taulan. Dengan demikian, mudik atau pulang kampung, dapat dimaknai dengan kembali kepada asal dan awal dari kejadian dan kehidupan, yang penuh dengan kedamaian, kasih sayang, luhur dan suci. Dan inilah salah satu makna dari kata Idul Fithri itu sendiri.
Jika ritus mudik atau pulang kampung ini kita bawa ke dalam logika agama, dengan asumsi adanya dorongan spiritual, maka tidaklah keliru pendapat yang mengatakan, bahwa mudik lebaran sebenarnya merupakan pelaksanaan perintah ajaran agama, yaitu menjadikan “Idul Fithri” sebagai sarana untuk bersilaturahim, bermaaf-maafan setelah menjalani pertobatan pada bulan Ramadhan. Dengan kata lain, pentingnya pelaksanaan hak Allah yang berdimensi vertikal untuk diikuti oleh tindakan melaksanakan hak manusia yang berdimensi horizontal.
Tentunya, makna-makna di atas mestinya menjadi nilai dan subtansi dari keinginan kita untuk mudik (kembali), sehingga kita tidak terjebak dalam “ritual” mudik yang sifatnya formal, simbolik dan fisikal semata, tetapi kemestian utuk mampu menangkap makna dan pesan yang terkandung dalam kegiatan mudik tersebut. Mudik atau kembali ke kampung, berarti kita kembali pada asal dan awal kejadian kita yang suci, luhur, damai, kasih-sayang, dan harmoni sejati. Dengan makna ini, semua yang telah melaksanakan ibadah puasa dengan baik, serta membuka tangan, merangkai silaturahim antar sesama pada dasarnya telah mudik, meski tidak dalam ariti fisikal.
Jika kita semua telah menjadi pemudik dalam arti hakiki, maka tugas yang paling penting bagi kita selanjutnya, adalah menjaga nilai-nilai tersebut dalam kehidupan kita ke depan. Hakikat keindahan, kesucian, keluhuran, kedamaia dan kasih sayang yang kita raih dalam mudik, tentunya kita tidak ingin lenyap dan sirnah kembali dalam rentang waktu perjalanan hidup kita selanjutnya, dimana tidak ada jaminan kesempatan untuk mudik di tahun-tahun akan datang dapat kita raih.
Selamat kembali kepada hakikat kesucian, yang menjadi asal dan awal kejadian kita, semoga kita semua menjadi pemudik-pemudik yang hakiki. Wallahu ‘a’lam.

Catatan: Tulisan yang dipublikasikan di Tribun Timur Makassar (Syawal-1428H)

K.H. ABD. RAHMAN AMBO DALLE

(Kiprahnya Dalam Mencerdaskan Kehidupan Bangsa Lewat
Darud Da’wah Wal Irsyad)

1 Seputar Pribadi dan Keluarganya
K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle yang akrab dipanggil “Gurutta” oleh para santri dan masyarakat pada umumnya di wilayah Indonesia Timur, adalah sosok ulama kharismatik di Sulawesi Selatan, bahkan beliau tidak asing lagi bagi umat Islam Indonsia. Lembaga pendidikan yang didirikanya tersebar luas di hampir seluruh wilayah Indonseia. Waktu kelahirannya tidak dapat ditetapkan secara pasti, jadi hanya diperkirakan sekitar tahun 1900. Namun, dalam sebuah wawancara, Ambo Dalle berkisah, bahwa ia dilahirkan pada hari Selasa. Itu sekitar lima tahun sebelum kolonial Belanda mengubah sejarah di Sulawesi Selatan, menanam kekuasaan sebagai penjajah.
Ambo Dalle adalah putra semata wayang dari kedua orang tuanya. Ayahnya bernama Pung Ngati Daeng Patobo, dan ibunya bernama Andi Cendra Dewi, yang lazim dipanggil Puang Cendaha. Beliau dilahirkan di Desa Ujung”E, kecamatan Tanasitolo kabupaten Wajo, sekitar 7 km di sebelah utara kota Sengkang. Oleh orang tuanya diberi nama Ambo Dalle. Ambo artinya bapak, Dalle artinya rezeki. Dengan nama ini, terkandung harapan agar kehidupan sang anak senantiasa murah rezeki dari sisi Allah. Adapun nama Abdurrahman baru disandangnya ketika ia mulai belajar mengaji.
Pada masa kecilnya, Ambo Dalle sama halnya dengan anak-anak lainnya suka bermain-main dengan teman sebayanya dan disayangi oleh teman-temannya, apalagi memang perangainya sangat halus sebagai seorang anak bangsawan yang terpandang di kampungnya, lebih-lebih lagi kedua orang tuanya sangat menyayangi beliau sebagai anak semata wayang.
Kemudian pada masa remaja, Ambo Dalle dipenuhi dengan kesibukan belajar, menuntut ilmu pengetahuan terutama dikampung halamannya sendiri, dan kedua orang tuanya sangat menyanginya, sehingga keduanya senantiasa menjaganya dari pelbagai hal yang merusak perkembangan jiwanya di masa depan. Dari sini dipahami, bahwa kedua orang tua Ambo Dalle mempunyai hasrat agar putranya kelak menjadi orang besar atau ulama yang disegani dan dibanggakan. Dan ternyata setelah Ambo Dalle dewasa, profesi “keulamaan” itulah menjadi kawasan dimana Ambo Dalle menghabiskan waktunya dan umurnya dengan berbagai aktivitas, yakni sebagai alim ulama, mubaligh, pendidik, dan ilmuan, bahkan aktivis partai politik (PSII) yang akhirnya sebagai tokoh sentral organisasi Darud Da’wah Wal-Irsyad (DDI) yang didirikannya sampai akhir hanyatnya.
Dalam kehidupan berkeluarga, Ambo Dalle pernah mengawini perempuan sebanyak empat orang. Masing-masing isteri beliau bernama: 1) Andi Tenri; 2) Puang Sohora; 3) Andi Selo. Dari ketiga isterinya itu tidak satupun yang dikarunia anak, lalu Ambo Dalle menceraikannya. Kemudian isterinya yang keempat, Hj Sitti Marhawa, yang akrab dipanggil oleh santri “Puang Hawa”, dari isteri beliau inilah yang membuahkan keturunan sebanyak tiga orang putra, yaitu M. Ali Rusydi, Abd. Halim Mubarak dan M. Rasyid Ridah.
2. Pendidikan Yang Pernah Diikuti
Sebagai anak tunggal, Ambo Dalle tidak dibiarkan menjadi anak manja oleh orang tuanya. Sejak dini ia diserahkan kepada bibinya, Imaddi, lalu kepada kakeknya, La Caco, imam Ujung’E , maupun pada seorang haffiz Alquran, ustaz H. Muhammad Ishaq untuk belajar mengaji. Kemudian Ambo Dalle melanjutkan pendidikannya ke kota Sengkang, selain masuk ke Volk School (sekolah Rakyat) juga mengikuti kursus bahasa Belanda di (HIS) Hollandsch Inlandsch Sengkang.
Selepas itu, beliau melanjutkan pendidikannya di Sekolah Guru Syarikat Islam (SI) di Makassar. Disinilah ia berkenalan dengan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan terikat secara emosional dengan partai tersebut. Walaupun secara formal tidak terlibat dalam pergerakannya. Tampaknya Ambo Dalle tetap menjadikan PSII sebagai pilihan pribadinya selama partai ini eksis dan belum berfusi dengan partai lain. Menjelang Pemilu 1971—pemilu terakhir yang diikuti PSII sebagai partai independen—Ambo Dalle mendukungnya dengan membagi kartu keanggotaan partai tersebut kepada santri-santrinya, sekalipun tidak memaksa mereka mengikuti pilihannya.
Setelah menamatkan pendidikannya di Sekolah Guru Syarikat Islam, Ambo Dalle kembali ke Sengkang untuk melanjutkan dan memperdalam ilmu agamanya. Beliau memasuki sekolah Darul ‘Ulum pimpinan Sayyid Muhammad al-Mahdaliy, juga mengikuti pengajian kitab pada Syekh H. Syamsuddin, Syekh H. Ambo Amme, Syekh Abd. Rasyid Mahmud al-Jawwad, dan Sayyid Abdullah Dahlan, serta Sayyid Hasan al-Yamani.
Kemudian pada tahun 1928 K.H. Muhammad As’ad (1907-1952),—yang akrab disapa oleh santrinya “Gurutta Sade’”—pada waktu itu baru berusia 21 tahun, masih sangat muda, tetapi ilmu agamanya amat luas karena beliau lahir dan dibesarkan di kota Mekah serta menamatkan pendidikannya di Madrasah al-Falah di kota tersebut, kembali ke Sengkang dan membuka pengajian pesantren di rumahnya pada pertengahan 1930. Ambo Dalle, yang sangat antusias belajar agama, bergabung dengan pengajian tersebut. Karena memang Ambo Dalle sudah memiliki ilmu agama yang cukup, apalagi tekun mengikuti mengajian Kiai Muh. As’ad, walaupun usia gurunya lebih muda sekitar 7 tahun dibanding dengan usia Ambo Dalle, namun tidak lama kemudian Ambo Dalle diangkat oleh Kiai Muh. As’ad sebagai asisten yang memiliki tingkatan ilmu pengetahuan setaraf dengan gurunya.
Pengajian pesantren Kiai Muh. As’ad mendapat perhatian dan sambutan yang hangat dari masyarakat termasuk pemerintah setempat, sehingga santri-santrinya tidak saja berasal dari daerah Wajo, tetapi juga datang dari luar daerah. Atas saran dari pemerintah setempat, Kiai Muh. As’ad setuju untuk mendirikan lembaga pendidikan dengan sistem sekolah atau madrasah, seperti yang telah dirintis oleh Muhammadiyah. Sejak saat itu terbentuklah Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) yang terdiri dari empat tingkat, yaitu Awaliyah, Ibtidaiyah, I’dadiyah, dan Tsanawiyah. Ambo Dalle, salah satu pengajar madrasah itu, kemudian diberi kepercayaan oleh Kiai Muh. As’ad untuk mengelolahnya.
Akhirnya pada tahun 1935, Ambo Dalle berangkat ke tanah suci Mekah untuk pertama kalinya, selain untuk menunaikan ibadah haji, juga menetap beberapa bulan dengan maksud memperdalam ilmu agama yang telah dipelajarinya di Wajo. Pada masa belajar di Mekah itu, Ambo Dalle diberi sebuah kitab oleh seorang gurunya, yaitu kitab Hazinah al-Asrar al-Kubra. Menurut gurunya, di dalam kitab itu sudah tercantum semua yang ingin diketahui tentang masalah gaib. Dan ternyata dari kitab itulah, Ambo Dalle mendapatkan dan mengamalkan rahasia kehidupan para wali di masa silam. Dari situlah, sehingga Ambo Dalle memiliki sifat-sifat kewalian, yang tidak dimiliki oleh banyak ulama lain, apalagi orang awam. Dalam mengarang buku misalnya, berawal dari mimpi Ambo Dalle membaca kitab dan langsung dihafalnya, dan pada saat bangun dari tidurnya, hafalan itu kemudian ditulis dalam buku.
Setelah kembali ke Tanah Air, Ambo Dalle meneruskan pengelolaan MAI Sengkang, serta oleh santri-santrinya mulai dipanggil dengan penuh rasa hormat dan takzim sebagai Gurutta (guru atau guru kita), sebuah gelar yang setara dengan Kiai Senior di Jawa. Dari madrasah inilah, lahir ulama sekaligus tokoh pendidik Islam Sulawesi Selatan yang terkemuka, seperti K.H.M. Daud Ismail, K.H. Hobe, K.H. Muhammad Yunus Maratan, K.H. Muhammad Abduh Pabbajah, K.H. Muhammad Amberi said, K.H. Junaid Sulaiman, K.H. Muhammad Yusuf Hamzah, K.H. Abdul Muin Yusuf, K.H. Muhammad Amin Nashir, K.H. Marzuki Hasan dan tentunya Ambo Dalle sendiri, yang merupakan murid angkatan pertama Kiai Muh. As’ad.
3. Dari Sengkang ke Mangkoso
Popularitas MAI Sengkang dengan sistem pendidikanya yang modern (sistem madrasah) dengan cepat menarik perhatian masyarakat dari berbagai daerah. Salah seorang yang tertarik dengan sistem pendidikan MAI Sengkang adalah H.M. Yusuf Andi Dagong, Kepala Swapraja Soppeng Riaja yang berkedudukan di Mangkoso. Ia mengirimkan delegasi agar Kiai Muh.As’ad berkenan mengutus seorang guru yang dapat mendirikan dan memimpin madrasah yang sama di Mangkoso. Mulanya Kiai Muh. As’ad keberatan. Akan tetapi, setelah didesak berkali-kali, dan kebetulan isteri AmboDalle berasal dari Soppeng Riaja, akhirnya Kiai Muh. As’ad merelakan murid dan asisten terkasihnya itu berangkat ke Mangkoso.
Tanggal 11 Januari 1939 adalah hari yang paling berkesan bagi masyarakat Soppeng Riaja sebab pada hari itu Ambo Dalle beserta keluarganya tiba di Mangkoso. Pihak kerajaan telah menyiapkan tempat tinggal dan fasilitas pendidikan yang diperlukan. Semua calon santri telah menunggu, dan biaya hidup mereka, termasuk guru-gurunya, ditanggung oleh raja sendiri sehingga dengan cepat madrasah itu berkembang. Santrinya berdatangan dari berbagai tempat.
Malangnya, kehadiran penjajah Jepang di Indonesia ternyata merupakan penghalang bagi kemajuan madrasah tersebut. Jepang berusaha menghambat dan membatasi semua langkahnya. Namun, Ambo Dalle tidak kehilangan siasat. Ia menyuruh para santrinya agar tidak belajar di kelas-kelas, tetapi di kolong-kolong rumah penduduk. Ternyata, cara ini justru mengundang peminat yang kian banyak. Baru setelah Jepang menyerah, Ambo Dalle berhasil melanjutkan cita-citanya, mendirikan Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) di Mangkoso.
Dalam pengelolaan MAI Mangkoso, Ambo Dalle dibantu sejumlah tenaga pendidik yang cakap, seperti K.H.Burhanuddin, K.H. Makki Barru, K.H. Abd. Rasyid Ajakkang, K.H. Muhammad Yattang Sengkang, K.H. Hannan Mandalle, K.H. Haruna Rasyid Sengkang, K.H. M. Amberi Said, K.H.M. Qasim Pancana, K.H. Ismail Kutai, K.H. Abd. Kadir Balusu, dan K.H. Muhammdiyah. menyusul kemudian K.H.M. Aqib Siangka, K.H. Abd. Rahman Mattemmang, dan K.H.M. Amin Nashir. Berkat pengelolaannya yang baik, MAI Mangkoso berkembang pesat dan menjadi salah satu tujuan utama pencari ilmu agama Islam di Sulawesi Selatan. Santri-santrinya, yang pada mulanya hanya terbatas dari daerah Mangkoso dan sekitarnya, kini mulai berdatangan dari berbagai penjuru Sulawesi Selatan, bahkan dari Kalimantan dan Sumatera. Dalam perkembangan selanjutnya, pada 1941 dibuka tingkat Aliyah Lil-Banin untuk menampung lulusan santri putera yang berkeinginan melanjutkan pendidikan, menyusul tingkat Aliyah Lil-Banat untuk puteri yang dibuka pada 1944.
Secara organisatoris, MAI Mangkoso tidak ada hubungan dengan MAI Sengkang. Namun, dari segi kejiwaan ada hubungan batin yang akrab antara Ambo Dalle dengan mantan gurunya K.H. Muhammad As’ad. Terutama dalam membina nasionalisme dan kepahlawanan disamping keagamaan yang kuat. Buktinya, para santri banyak yang gugur sebagai kusuma bangsa pada zaman revolusi fisik. Malahan, daerah Paccekke, yang bersebelahan dengan kompleks MAI Mangkoso, merupakan basis gerilyawan republik yang berbaur dengan masyarakat umum dan santri.

C. DDI Wadah Perjuangan Mencerdaskan Bangsa
1. Musyawarah Alim Ulama Se-Sulawesi Selatan dan pengintegrasian MAI
Atas inisiatif K.H.M. Daud Ismail (Qadhi Soppeng), K.H. Abdurrahman Ambo Dalle (MAI Mangkoso), dan Syekh Abd. Rahman Firdaus dari Parepare bersama K.H. Abduh Pabbajah dari Allakuang beserta ulama lainnya, diadakanlah Musyawarah Alim Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah se-Sulawesi Selatan yang dipadukan waktunya dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., bertempat di Watan Soppeng pada 16 Rabiul Awal 1366 H. bertepatan dengan 17 Februari 1947 guna menghindari kecurigaan Westerling karena Soppeng termasuk afdeling Bone yang bebas dari operasi pembantaian Westerlin karena pengaruh Aruppalakka.
Salah satu keputusan penting dari musyawarah tersebut adalah perlunya didirikan suatu organisasi Islam yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah dan sosial kemaslahatan umat untuk membina pribadi-pribadi muslim yang kelak bertanggung jawab atas terselenggaranya ajaran Islam secara murni di kalangan umat Islam dan menjamin kelestarian jiwa patriotik rakyat Sulawesi Selatan yang pada waktu itu sedang bertarung mempertahankan jiwa raganya guan mengusir penjajah Belanda dan mempertahankan kemerdekaan proklamasi 17 Agustus 1945.
Namun dari organisasi yang akan dibentuk itu menjadi perdebatan dalam musyawarah dengan munculnya tiga nama, yakni al-‘Urwatul Wutsqa dari K.H.M Tahir Usman, Nasrul Haq oleh K.H. Abduh Pabbajah dan Darud Da’wah Wal Irsyad oleh Syekh Abd. Rahman Firdaus. Dengan melalui proses yang demokratis maka nama Darud Da’wah Wal Irsyad yang mendapat sepakatan forum musyawarah. Karena Ambo Dalle selaku pimpina MAI yang telah memiliki cabang dibeberapa daerah, maka oleh musyawarah alim ulama diamanatkan untuk memimpin organisasi DDI.
Menindaklanjuti amanat yang diembang oleh musyawarah alim ulama, Ambo Dalle segera mengadakan musyawarah dengan guru-guru MAI Mangkoso dengan utusan cabang lainnya dari berbagai daerah. Dalam musyawarah yang diadakan di Mangkoso ini disepakati pengintegrasian MAI Mangkoso beserta cabag-cabangnya ke dalam DDI. Dengan demikian, MAI Mangkoso yang semula merupakan lembaga pendidikan keagamaan, lewat proses integrasi ini berubah menjadi organisasi kemasyarakatan yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah dan usaha sosial.
Sebagaimana tertuang dalam Anggaran Dasarnya, DDI “beraqidah keagamaan Islam Ahlusunnah Wal Jama’ah” Istilah Ahlussunah Wal Jama’ah dalam hal ini lebih merupakan istilah idiologis yang merangkum gambaran menyeluruh tentang segala aspek kehidupan manusia. Dalam bidang teologi, sistem nilai yang dianut dan dikembangkan DDI adalah faham Asy’ariyah. Dalam bidang fikhi, sumber pengambilan hukumnya adalah Alquran, Hadist, Ijma’, dan Qiyas, serta lebih cenderung kepaham mazhab Syafi’iyah. yang dianut mayoritas umat Islam Indonesia. Sementara tujuan organisasi ini adalah: 1) Memajukan kecerdasan umum dan peradaban manusia; 2) Menyampaikan ajaran-ajaran Islam dan meyadarkan umat hidup bertaqwa; 3) menuntun umat ke arah pelaksanaan ajaran-ajaran Islam guna terwujudnya individu-individu yang berakhlakul karimah; 4) Memelihara persatuan dalam kaum muslimin dan perdamaian dalam masyarakat.

2. Parepare Sebagai Pusat Organisasi DDI
Pada 1950 pimpinan pusat DDI, yang sejak 1947 berkedudukan di Mangkoso, pindah
ke Parepare mengikuti kepindahan Ambo Dalle yang mendapat tawaran menduduki posisi Qadhi Swapraja Mallusetasi di Parepare. Letak kota ini memang cukup strategis serta lebih memadai dalam rangka peningkatan koordinasi dan pengembangan cabang-cabang DDI di Sulawesi Selatan.
Menjelang kepindahan Ambo Dalle ke Parepare, sebuah madarasah DDI dibangun di kota ini, yang berlokasi disebelah selatan Mesjid Raya Parepare. Belakangan, bangunan ini dijadikan Rumah Sakit Bersalin dan Apotik Addariyah DDI untuk merealisasikan cita-cita organisasi tersebut di bidang sosial. Pada 1957, juga dibangun kampus baru pondok pesantren di daerah Ujung Lare Parepare untuk mengakomodasi perkembangan DDI yang cukup pesat. Sejumlah cabang juga dibuka pada masa itu. Kampus baru ini luasnya sekitar 3 Ha dilengkapi dengan Kantor Pusat Pengurus Besar DDI disamping lokasi belajar para santri.
Sebagai gambaran berakarnya DDI di Kota Parepare dapat dilihat dari 29 madrasah yang ada dalam kota ini, 25 diantaranya adalah madrasah DDI yakni, 4 buah tingkat Raudhatul Athfal atau TK, 11 buah tingkat Ibtidaiyah/Diniyah, 6 buah tingkat Tsanawiyah, dan 3 buah tingkat Aliyah. Bahkan di kota ini pula berkedudukan Universitas Islam DDI (UI-DDI) yang membawahi fakultas-fakultas berikut: 1) Fakultas Tarbiyah di Pinrang; 2) Fakultas Syariah di Mangkoso; 3) Fakultas Tarbiyah di Pangkajene Sidrap; 4) Fakultas Tarbiyah di Polmas; 5) Fakultas Tarbiyah di Pangkep; 6) Fakultas Tarbiyah di Majene; 7) Fakultas Tarbiyah di Maros; 8) Fakultas Syariah di Pattojo; 9) Fakultas Tarbiyah dan Ushuluddin tingkat Doktoral di Parepare; 10) STKIP dan STIIP di Polewali dan Majene.
Namun hingga 1953, pendidikan yang diselenggarakan DDI masih terbatas pada imu-ilmu keagamaan dan bahasa Arab. Baru pada muktamar ke-5 yang diadakan di Parepare pada pertengahan 1953, pendidikan yang diselenggarakan DDI diperluas dengan menambahkan pengetahuan umum ke dalam kurikulumnya. Secara terprogram, upaya pengembangan ini dirumuskan dalam Konferensi Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan DDI, yang diadakan di Parepare pada 1954.
Pada tahap ini, DDI pimpinan Ambo Dalle telah mengembangkan sayapnya untuk mengelola lembaga pendidikan mulai dari tingkat permulaan (TK) sampai tingkat lanjutan atas, baik yang bersifat umum, kejuruan, serta keagamaan (madrasah dan pesantren). Sekolah-sekolah umum yang dikelola adalah Taman Kanak-kanak Islam (TKI), Sekolah Rakyat Islam (SRI), Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI), dan Sekolah Menengah Atas Islam (SMAI), yang perimbangan pelajaran agama dan umumnya mengikuti kurikulum yang ditetapkan Departemen P&K bagi sekolah-sekolah negeri yang sederajat.
Sementara sekolah Kejuruan yang dikelola DDI antara lain meliputi Sekolah Kemasyrakatan Islam (SKI), Kursus Dagang Islam (KDI), Sekolah Guru Islam (SGI), Sekolah Guru Taman Kanak-kanak Islam (SGTKI), dan Sekolah Kerumahtanggaan Islam (SKTI), yang kurikulmnya diatur sendiri. Belakangan , sekolah-sekolah kejuruan ini ditambahkan dengan Pendidikan Qurra’ wa al-Huffazh.
3. DDI dalam Masa Kekuasaan DI/TII
Pada masa kekuasaan gerombolan DI/TII yang mulai beroperasi sekitar 1950 di seluruh Sulawesi Selatan dan Tenggara di bawah pimpinan Kahar Muzakkar, posisi DDI mengalami kesulitan pengembangan disebabkan perbedaan idiologi yang dianut oleh DDI dengan idiologi keagamaan yang diperjuangkan oleh DI/TII. Karena itu, dalam Piagam Malakua sebagai landasan manifesto perjuangan DI/TII pada pasal 13 dinyatakan bahwa Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI) adalah organisasi kontra revolusioner yang harus/wajib di lenyapkan. Dan dari sudut pandang aparat (TNI), DDI dicurigai karena ada kemiripan nama dengan DI/TII, ditambah lagi keberadaan Ambo Dalle sebagai tokoh DDI dilingkungan DI/TII memperkuat dugaan itu setelah sekelompok pasukan DI/TII dibawah pimpinan Nurdin Pisok menculiknya di desa Belang-Belang, kabupaten Maros, pada tanggal 18 Juli 1955 sewaktu Ambo Dalle dalam perjalanan dari Parepare ke Makassar untuk mengurus persiapan pembentukan perguruan tinggi DDI.
Penculikan Ambo Dalle dilatarbelakagi keinginan Kahar Muzakkar untuk memperoleh dukungan rakyat Sulawesi Selatan terhadap perjuangannya dengan memanfaatkan kharisma kiai di kawasan ini. Pada tahun pertama penculikan, Ambo Dalle difungsikan oleh Kahar Muzakkar dan diangkat sebagai Ketua Dewan Penasehat DI/TII. Beberapa waktu kemudian ia dinobatkan sebagai Wakil Presiden merangkap Menteri Pendidikan, sehingga pedalaman Sulawesi Selatan dan Tenggara berada dalam kontrol DI/TII kecuali daerah yang dikuasai gerombolan TKR dibawah pimpinan Hamid Ali dan Usman Balo yang tidak memiliki idiologi politik yang jelas kecuali karena ketidakpuasan terhadap pemerintah.
Setelah datangnya seorang ulama dari solo, K.H. Maksum, yang berpengaruh terhadap kebijakan Kahar Muzakkar terutama fatwanya yang membolehkan seorang pria dapat menikah dengan sembilan wanita, ditolerir dan dikembangkan oleh Kahar Muzakkar sedangkan Ambo Dalle menolak fatwa ini, maka mulailah terjadi konflik idiologi keagamaan secara terbuka dalam internal DI/TII. Akibat dari konflik ini, terjadi peristiwa Penselonan—pembuangan tawanan dilingkungan DI/TII—terhadap Ambo Dalle ke desa Lambae Sulawesi Tenggara karena dianggap berbahaya secara idiologi keagamaan pada masa itu oleh kelompok K.H. Maksum dengan menggunakan kekuasaan Kahar Muzakkar.
Keberadaan Ambo Dalle dalam kekuasaan DI/TII membuat banyak madrasah DDI mengalami kevakuman. Apalagi banyak guru-guru yang dikirim mengajar ke daerah-daerah pengunungan menjadi korban, entah diculik oleh pasukan DI/TII atau dibunuh oleh pasukan TNI karena dicurigai sebagai anggota DI/TII. Memang pada saat itu, aparat (TNI) sempat mencurigai beberapa anggota organisasi Islam seperti Muhammadiyah, PSII, dan DDI telah memberikan dukungan, baik diam-diam maupun terang-terangan terhadap gerakan DI/TII di daerah. Kecurigaan tersebut berimbas kepada kegiatan madrasah-madrasah DDI. Meskipun demikian, secara organisasi DDI tetap berjalan dengan tampilnya K.H.M. Abduh Pabbajah sebagai Ketua Umum DDI mengantikan Ambo Dalle kemudian pada periode selanjutnya oleh K.H.M. Ali al-Yafie.
Kondisi seperti itu berlansung hampir sembilan tahun sampai Ambo Dalle berhasil keluar dari hutan pada 1963, saat Kodam XIV Hasanuddin dibawah pimpinan Brigjen M. Yusuf melancarkan operasi kilat. Saat berada kembali di tengah-tengah warga DDI, Ambo Dalle segera melakukan konsolidasi organisasi dengan mengadakan Musyawarah Pendidikan Pengurus Besar DDI di Mangkoso dan mendirikan Perguruan Tinggi DDI yang diberi nama Universitas Islam DDI (UI-DDI) dengan Ambo Dalle sebagai rektornya.
4. DDI dan Dinamika Politik Praktis
Secara kelembagaan, DDI tidak melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat politik praktis. Hal ini tercermin dalam pasal 2 Peraturan Dasar DDI yang pertama “Badan ini tidak mencampuri soal-soal politik”. Namun, untuk menyalurkan aspirasi politik warga DDI menghadapi pemilu pertama, Ambo Dalle selaku ketua umum Pengurus Besar DDI menyarankan agar warga DDI memberikan suara kepada partai Islam yang memasang orang-orang DDI sebagai calon legislatifnya. Bahkan, untuk optimalisasi suara partai Islam, Ambo Dalle memutuskan ikut Pemilu 1955 atas namanya sendiri. Hal ini dimaksudkan untuk mengumpulkan dan memperbanyak suara umat Islam kemudian disalurkan kepada partai politik Islam (PSII, NU, PERTI, dan Masyumi) yang kebetulan menempatkan warga DDI sebagai calon anggota legislatif.
Keterlibatan sejumlah tokoh DDI dalam ranah politik praktis tersebut—walau atas namanya sendiri—mulai terasa imbasnya kedalam DDI menjelang muktamar ke-11 tahun 1969. Saat itu muncul kesan adanya persaingan pengaruh diantara tokoh-tokoh DDI. Bahkan, DDI seakan-akan ingin diseret ke dalam naungan salah satu partai politik Islam yang ada.
Gejolak itu mencapai kulminasi dalam Muktamar ke-11 yang berlangsung di Watan Soppeng. Muktamar pun berlangsung cukup hangat, itu disebabkan adanya salah satu kekuatan dalam DDI yang ingin memasukkan unsur salah satu partai politik ke dalam lembaga DDI. Akibatnya, muktamar berakhir dengan menyisahkan masalah yang “menggantung”. Masalah itu muncul kembali pada muktamar berikutnya.
Pada perkembangan selanjutnya, gejolak politik kembali menerpa DDI saat menghadapi Pemilu 1977. Saai itu, partai-partai politik melakukan fusi dan yang tinggal hanya 3 partai (PPP, Golkar dan PDI).
Atas dasar untuk menyelamatkan DDI dari tekanan pemerintah yang cukup refresif, setelah melalui istikharah, akhirnya Ambo Dalle menyatakn diri bergabung dengan Golkar dan menjadi calon anggota legislatif. Meskipun keterlibatan Ambo Dalle atas nama pribadinya, bukan lembaga, namun tak urung sikap politik Ambo Dalle ditentang oleh beberapa tokoh DDI. Sikap itu dianggap sudah keluar dari tujuan perjuangan DDI. Akibatnya, hal itu berimbas pada pondok pesantren DDI Parepare yang dipimpin langsung oleh Ambo Dalle. Kampus DDI Ujung Lare dan Ujung Baru ditinggalkan oleh santri-santri. Imbas itu juga terasa sampai ke cabang-cabang DDI. Melihat kondisi itu, Ambo Dalle merasa frusttasi dan berniat pindah ke Kalimantan Timur. Tetapi dalam suasana ketidakpastian ini, datang tawaran dari Bupati Pinrang untuk hijrah ke kotanya, dan bagi Ambo Dalle telah disiapkan suatu areal yang bisa dibangun pesantren. Ambo Dalle segera menerima tawaran ini, kemudian pindah ke Pinrang dan mendirikan Pesantren DDI Kaballangan.
Peristiwa dan pengalaman pahit Pemilu 1977 memberikan kesadaran kepada warga dan tokoh-tokoh DDI untuk mempertegas kembali independensi DDI. DDI harus kembali ke Mabda’nya. Maka, dalam muktamar ke-14 1979 di Parepare dicetuskan Deklarasi Ujung Lare yang berisi indepensi DDI. Dalam deklarasi itu juga dicantumkan tentang pemakaian kembali lambang DDI yang diciptakan Ambo Dalle.
Upaya Ambo Dalle untuk mendekatkan diri kepada pemerintah demi perkembangan DDI kelihatannya tidak lagi mendapatkan oposisi yang keras dari warga DDI setelah itu. Indikasi tentang hal ini bisa dilihat pada Pemilu 1982, di mana pesantren DDI di Parepare maupun Kaballlangan, Pinrang, yang dikelola langsung oleh Ambo Dalle tidak lagi mengalami kegoncangan dalam pemilu tersebut. Demikian pula ketika rezim Soeharto memaksakan Pancasila sebagai “asas tunggal” bagi organisasi sosial, DDI tidak mengalami masalah untuk menerimahnya dalam muktamar ke-15 pada 1984 di Kaballangan. Dalam “Deklarasi Kebulatan Tekad” yang dikeluarkan di Kaballangan pada pertengahn Maret 1984, dinyatakan berlakunya asas tunggal Pancasila bagi DDI. Itulah sebabnya terdapat kesan kuat bahwa Ambo Dalle ingin rukun terhadap pemerintah.

D. Penutup
Sebagaimana lazimnya para kiai yang telah sampai pada derajat waliyullah, Ambo Dalle juga diyakini oleh murid-muridnya memiliki karamah. Banyak cerita supranatural yang beredar di kalangan warga DDI tentang hal ini. Bahkan di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan, ingatan mereka paling menonjol tentang Ambo Dalle adalah peristiwa-peristiwa supranatural. Banyak masyarakat datang untuk meminta “air penyembuh” darinya.
Tahun-tahun terakhir Ambo Dalle dijalaninya dalam keadaan lumpuh total. Setelah terjatuh di kamar mandinya dan terserang stroke, Ambo Dalle mengalami kelumpuhan dan penurunan kondisi fisik secara draktis. Semua aktivitas yang bersifat fisikal tidak lagi dapat dilakukan tanpa bantuan orang lain. Namun, dalam kondisi fisik semacam itu, Ambo Dalle masih tetap aktif mengelola DDI dan perguruannya, bahkan masih bertandang ke berbagai cabang DDI di daerah untuk berdakwah, mengunjungi murid dan mengembangkan perguruannya.
Setelah beberapa kali dirawat di rumah sakit lantaran usia, pada permulaan Nopember 1996 Ambo Dalle kembali dibawa ke RS Akademis Ujung Pandang untuk dirawat. Ini merupakan kunjungan terakhirnya ke rumah sakit, setelah tiga minggu dirawat, Kiai kharismatik ini dipanggil pulang oleh Khaliqnya seusai shalat Jumat, 29 Nopember 1996. Siang itu juga jenazahnya dibawa pulang ke kediamannya di Parepare.
Di pagi hari berikutnya—Sabtu, 30 Nopember 1996—jenazah Ambo Dalle diberangkatkan ke Mangkoso dan dimakamkan di bagian depan kompleks mesjid Pesantren DDI Mangkoso, berdampingan dengan dua makam rekannya, H. Andi Muh. Yusuf Andi Dagong dan K.H. Amberi Said, yang pada masa lalu sangat berjasa dalam mengembangkan pesantren tersebut.
Dan Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI), sebagai amanah yang diwarisankan Ambo Dalle kepada warga DDI, kini dalam perkembangannya telah tersebar di 20 propinsi dipelosok tanah air seluruhnya ditangani 6 Pengurus Wilayah, 53 Pengurus Daerah, 307 Pengurus Cabang dan 87 Pengurus Ranting dengan jumlah madrasah 1025 buah, 75 buah pondok pesantren dan 15 buah penguruan tinggi.

Senin, 09 Februari 2009

'Ashabiyah: Dari Filsafat Sejarah ke Filsafat Politik

(Telaah Atas Kitab Muqaddimah Ibn Khaldun)
Oleh : Saiful Jihad


I. Pendahuluan
Hingga akhir tahun 1970, menurut catatan A. Syafi’i Ma’arif, telah terbit lebih kurang 900 buah tulisan dari para sarjana Barat dan Timur tentang Ibn Khaldun dan pemikirannya, terutama yang tertuang dalam kitab al-Muqaddimah, sebuah karya klasik yang dinilai memiliki dimensi moderen dalam ilmu-ilmu social. Kitab tersebut telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Prancis, Turki, Perisa, Hindi, Portugal, Urdu dan lainnya. Dalam bahasa Indonesia sendiri, terjemahannya telah dilakukan, seperti yang diusahakan oleh Ahmadie Thoha, meskipun baru ukuran “memadai”, namun telah cukup membantu untuk pengkajian lebih lanjut kandungan kitab tersebut.
Pengkajian atas kitab ini memungkinkan dilihat dari berbagai sudut pandang, sesuai dengan spesifikasi dan kecenderungan keilmuan seseorang. Tulisan ini, diarahkan pada upaya untuk menyauk beberapa aspek yang terkandung dalam kitab tersebut, dilihat dari kajian politik.
Sebenarnya, telaah dari sisi ini telah banyak dijumpai dari tulisan dan buku-buku yang ada, bahkan secara khusus Mohammad Mahmud Rabi menulis teori-teori politik Ibn Khaldun dalam kitab al-Muqaddimah, dalam bukunya : The Political Theory of Ibnu Khaldun, demikian juga dengan tulisan-tulisan yang menyingung aspek tersebut, seperti yang ditulis oleh Dr.Zainab al-Khudairi, dalam Falsafah al-Tarikh ‘Inda Ibn Khaldun, Fuad Baali dan Ali Wardi dalam Ibn Khaldun and Islamic Thought Style, Oesman Raliby, dalam Ibnu Khaldun Tentang Negara dan Politik, J. Suyuti Palungan, dalam Fiqh Siyasah, Munawir Sadzali, dalam Islam dan tatanegara, dan masih banyak lagi tulisan yang menyangkut aspek ini.
Tulisan ini lebih diarahkan pada upaya memposisikan konsep ‘ashabiyah Ibn Khaldun sebagai sebuah analisah dan kajian sejarah yang memiliki konsekwensi pada ajaran dan falsafah politik. Dengan demikian pertanyaan yang akan menjadi titik sentral kajian ini adalah:
1. Bagaimana asal-usul dan pemaknaan konsep ‘ashabiyah Ibn Khaldun ?
2. Bagaimana Implikasi Konsep ‘Ashabiyah tersebut dalam wacana dan konsep Politik Ibn Khaldun ?
Dengan penjelasan singkat di atas, maka urgensi tulisan ini pada upaya telaah untuk melihat hubungan dan keterkaitan antara konsep ‘ashabiyah Ibn Khladun sebagai sebuah konsep dasar kajian sejarah dengan konsep dan filsafat politik. Oleh karena itu, tulisan ini tidak akan mengetengahkan tentang suatu kajian politik secara luas, tetapi lebih pada kajian atas konsep ‘ashabiyah dikaitkan dengan filsafat politik.

II. Riwayat Hidup Singkat Ibn Khaldun
Wali al-din Abu Zaid Abd rahman bin Muhammad bin Muhammad Ibn Khaldun al-Hadrami, yang lebih dikenal dengan Ibn Khaldun, lahir di Tunisia pada tanggal 27 Mei 1332 M, dan wafat di Kairo pada tanggal 17 Maret 1406 M. Nenek moyang Ibn Khaldun berasal dari Hadramaut yang kemudian pindah ke Seville (Spanyol) pada abad ke-8, setelah semenanjung tersebut dikuasai oleh Bani Umaiyah.
Selama berabad-abad keluarga Ibnu Khaldun menduduki posisi tinggi dan terhormat dalam pemerintahan Bani Umaiyah di Spanyol hingga mereka hijrah ke Afrika Utara beberapa tahun sebelum Seville jatuh ketangan penguasa Kristen tahun 1248, yang selanjutnya mereka menetap di Tunisia. Di kota ini keluarga Ibn Khaldun diperlakukan secara terhormat oleh pihak istanah, dan dalam lingkungan seperti inilah Ibn Khaldun lahir, berkembang dan memperoleh pendidikan. Kenyataan ini semua, tentunya memeberikan pengaruh dan corak bagi kehidupan dan karier Ibn Khaldun.
Dalam usia 20 tahun, Ibn Khaldun telah terlibat dalam berbagai intrik politik, persaingan yang keras antara penguasa yang saling berebut dan menghancurkan satu dengan yang lainnya. Semua itu bukan hanya disaksikan oleh Ibn Khaldun, tetapi dia sendiri mulai terlibat dalam intrik tersebut.
Mula-mula ia mengabdi pada Abu Muhammad Tafrakin, akan tetapi ketika Tafrakin ditaklukkan oleh Abu Zaid, Ibn Khaldun bergabung dengan Abu Inan. Namun karena ketidak puasa atas jabatan yang diberikan kepadanya, Ibn Khaldun kemudian bekerjasama dengan Amir Abu Abdullah Muhammad untuk menggulingkan sultan, namun belum berhasil, Abu Inan keburu mengetahui persekongkolan tersebut dan menyeretnya ke penjara (1357-1358). Keluar dari penjara, Ibn Khaldun mendukung Abu Muslim yang menjadi penguasa di Maroko pada waktu itu (1359). Oleh karena intrik politik pula, ia memutuskan untuk meninggalkan Maroko dan bergabung dengan pemerintahan Mohammad V di Granada. Kemudian ia menerima tawaran Abdullah Muhammad al-Hafsi yang berhasil merebut tahta Bijaya untuk menjadi Hijabah, jabatan yang sama dengan Perdana menteri.
Setelah pemerintahan Muhammad berakhir, dan direbut oleh Abul al-Abbas, Ibn Khaldun menerima Abul Abbas sebagai penguasa baru di Bijaya. Namun nampaknya penguasa baru Bijaya kurang respek pada Ibn Khaldun, yang dipandang berwatak aportunistik, yang berpaling dari tuannya karena tuannya tersebut mengalami kekalahan. Kekurang senangan Abul Abbas ini dirasakan sendiri oleh Ibn Khaldun, lalu ia memutuskan diri untuk melarikan diri ke Biskarah, menemui Ahmad bin Yusuf ibn Mazni, penguasa Biskara pada waktu itu. Di sini ia menetap lebih kurang enam tahun, selanjutnya ia ke Fez, lalu ke Granada menemui sultan Ibn Ahmar. Dari Granada ia kemudian kembali ke Tilimsan berkumpul kembali dengan keluarganya.
Nampaknya ia mulai merasa jenuh dan muak dengan kehidupan politik yang digeluti selama ini, ia merindukan kehidupan yang ebas dari keributan, kedamaian. Dan akhirnya ia memutuskan untuk hidup jauh dari intrik dan carut-marut dunia politik, dan memilih untuk lebih intens bergelut dengan dunia keilmuan, menulis dan menyusun karya-karyanya, diantaranya adalah kitab al-Ibar, dengan muqaddimah-nya itu di sebuah istanah Banu ‘Arif (1374-1378).
Oleh karena beberapa kebutuhan yang berkaitan dengan penelitiannya, serta kerinduan pada tanah kelahirannya, ia memohon kepada penguasa Tunisia untuk diperbolehkan kembali, namun keinginan untuk menikmati kebahagiaan di tanah kelahirannya tidaklah berlangsung lama. Karena itu, ia putuskan untuk meninggalkan Tunisia dengan alas an akan menunaikan ibadah haji, namun ternyata ia tidak langsung ke Makkah, terlebih dahulu Ibn Khaldun singgah ke Kairo, bahkan kemudian ia menetap di sana lebih kurang 20 tahun, hingga wafatnya. Di Kairo inilah dia secara khusus ia mengkonsentrasikan dirinya pada dunia keilmuan dan pendidikan.

III. Sekilas Tentang Kitab al-Muqaddimah
Kitab ini sebagaimana disebutkan oleh Syafi’i Ma’arif, merupakan suatu karya klasik yang mengandung dimensi modern dalam kajian ilmu-ilmu social. Ia merupakan puncak karya pemikiran kebudayaan Arab-Islam, pada masanya dari segi ketinggian pikirannya, kegamblangan uraiannya dan ketelitian hokum-hukumnya. Sebagai harta karun yang tidak habis-habisnya dan penuh dengan mutiara ilmu dan permata hikmah. Demikianlah beberapa komentar tentang “kebesaran” al-Muqaddimah, yang telah mengantar nama penulisnya menjadi sosok ilmuan yang mendahului masanya, dan pemikiran-pemikrannya tetap menarik untuk dikaji hingga saat ini.
Dalam kitab ini terkandung azaz-azaz teoritis-inovatif tentang filsafat sejarah, politik, ekonomi, ilmu pengetahuan dan agama. Kitab al-Muqaddimah ini terdiri dari :
Pertama : Kata pengantar yang menguraikan berbagai kelemahan yang terdapat pada karya-karya para sejarawan sebelumnya, dan uraian tentang metodenya yang inovatif serta bagian-bagian isi kitab al-Ibar.
Kedua : Muqaddimah, yang menguraikan tentang kelebihan ilmu sejarah, pengkajian atas aliran-alirannya, dan uraian tentang kekeliruan para sejarawan dan sebab-sebabnya.
Ketiga : Buku pertama, yang menguraikan tentang watak kebudayaan dan hal-hal yang berkenaan dengannya, seperti kaum nomadem (Badui), orang-orang kota, kekuasaan, penerimaan, penghidupan, industri, ilmu pengetahuan dan berbagai faktor yang menimbulkannya. Buku ini sebenarnya merupakan bagian pertama dari kitab al-Ibar, namun kemudian dipisahkan dari bagian lainnya dan disatukan dengan Muqaddimah buku ini, yang terdiri dari enam bab :
Bab Pertama, tentang kebudayaan umat manusia pada umummnya
Bab kedua, tentang kebudayaan masyarakat nomadem (Badui), bangsa-bangsa dan suku-suku yang beradab. Uraian tentang watak keprimitifan dan keberbudayaan serta perbedaan antara keduanya. Juga dibahas pada bagian ini prinsip-prinsip umum yang mengendalikan masyarakat, atau yang dikenal saat ini dengan sosiologi dan filsafat sejarah.
Bab Ketiga, menuraikan tentang negara-negara secara umum, kerajaan, khilafah dan jenjang-jenjang kekuasaan. Uraian tentang sebab yang menumbuhkan kekuasaan, cara mengukuhkannya dan sebab-sebab yang dapat membuatnya tetap tegak dan runtuhnya sebuah negara, atau yang dikenal dengan istilah sekarang ilmu politik praktis.
Bab Keempat, menguraikan tentang negeri-negeri, kota-kota dan segala aspek kebudayaan. Dalam bab ini Ibn Khaldun menguraikan system yang harus menjadi acuan dan hal-hal utama yang perlu diperhatikan, khususnya faktor meliter.
Bab Kelima, tentang penghidupan dan berbagai segi pendapatan serta kegiatan perekonomian. Penjelasan tentang bebagai bentuk perniagaan, perdagangan dan industri serta aneka kegiatan ekonomi dan profesi lainnya. Uraian ini dapat disebut sebagai uraian tentang ekonomi politik.
Bab Keenam, tentang jenis-jenis ilmu pengetahuan, system pengajaran dan metode-metodenya, serta seluruh aspek yang terkait dengannya. Uraian ini merupakan bagian dari sejarah kesusastraan Arab.
Dari bagian-bagian yang terkandung dalam al-Muqaddimah ini jelas terlihat bahwa karya ini mencoba membahas suatu pendekatan yang baru dalam kajian filsafat sejarah, ilmu politik dan sosiologi, yang secara khusus dapat disebut sebagai ilmu “umran” (kebudayaan manusia).
Pendekatan baru yang nampak dalam karya ini, jika dilihat dari karya-karya khazanah keilmuan yang ada pada waktu itu, menurut Gaston Bouthoul yang dikutip oleh Zainab al-Khudairi adalah :
1. Upaya di bidang kritik sejarah, seperti yang tyelah dipaparkan terdahulu.
2. Upaya untuk menginterpartisikan fenomena social secara umum.
3. Pengkajian hokum-hukum perkembangan social dan politik.
Kajian inilah yang menurutnya membuat Ibn Khaldun dapat dipandang sebagai penyeru pertama interpertasi materialistis dan dialektis dari sejarah.
Dan memang, inilah salah satu aspek yang memotivasi Ibn Khaldun menulis karya monumentalnya ini, di mana ia merasakan adanya kekurangan pada ilmu sejarah yang berkembang pada masanya, yang menurutnya lebih nampak menekankan pada pendeskripsian tentang peristiwa-peristiwa, nama-nama dan tahun-tahun. Ia berobsesi mendapatkan apa yang saat ini disebut dengan hokum-hukum sejarah, sehingga memungkinkan ia dapat menulis sejarh yang bebas dari khurafat, kekacauan dan kekeliruan.

IV. ‘Ashabiyah : Peralihan dari Filsafat Sejarah menjadi Filsafat Politik.
A. Asal-usul dan batasan pengertian ‘Ashabiyah
Kekhasan pemikiran Ibn Khaldun dari pemikir-pemikir lainnya adalah teori ‘ashabiyah-nya yang dikaitkan dengan negara dan agama. ‘Ashabiyah (perasaan satu kelompok, kekuatan kelompok atau solidaritas social), menurut Ibn Khaldun timbul secara lamiah dalam kehidupan manusia yang dikaitkan dengan adanya pertalian darah ataupun karena pertalian klan (kaum). Yang ia maksudkan dengan ‘ashabiyah adalah “rasa cinta” (nu’rat) setiap orang terhadap nasabnya atau golongannya yang diciptakan Allah di hati setiap hamba-hamba-Nya. Perasaan cinta kasih tersebut teraktualisasi dalam perasaan senasib dan sepenanggungan, harga diri, kesetiaan, kerjasama dan saling bantundiantara mereka dalam menghadapi berbagai ancaman terhadap mereka, ataupun musibah yang menimpanya. Pertalian yang demikian melahirkan persatuan dan pergaulan (al-ittihad wa al-iltiham). Namun pertalian semacam itu dapat juga timbul antara mawali dan maula, ataupun lahir dalam jalinan persekutuan-persekutuan. Menurut Abd. Raziq al-Makki, yang dikutip kembali oleh al-Khudairi, bahwa ada lima bentuk yang menjadi indikasi lahirnya ‘ashabiyah, yakni :
1. Kekerabatan datau keturunan (nasab);
2. Persekutuan yang terjadi karena keluarnya seseorang dari garis keturunannya ke garis keturunan yang lain;
3. Kesetiaan, karena peralihan dari satu keturunan ke keturunan lain karena kondisi social;
4. penggabungan, karena larinya seseorang dari stu kaum ke kaum lain;
5. karena adanya perbudakan.
`Dengan demikian, konsep ‘ashabiyah dalam pandangan Ibn Khaldun memiliki ruang lingkup pengertian yang sempit dan pengertian yang luas. Pengertian yang sempit terbatas pada suatu nasab yang ia sebut nasab khusus, karena mereka merupakan keluarga yang satu. Sedangkan pengetian luas adalah nasab-nasb lainnya yang disebut nasab umum, yang bergabung bersama nasab yang kuat sebagai suatu sekutu.
‘Ashabiyah berdasarkan perikatan keturunan, menurut Ibn Khaldun, adalah ‘ashabiyah yang sangat jelas dan nyata. Namun demikian kondisi ini tidaklah selamanya demikian, dapat saja anggota satu keturunan tidak lagi mengetahui asal-usul nasabnya, hanya tinggal dalam riwayat atau menjadi kajian ilmu pengetahuan. Maka ‘ashabiyah otomatis tidak efektif lagi.
Kondisi demikian dapat dan mudah terjadi di kota-kota dibandingkan di pedesaan. Telah menjadi watak manusia untuk senang bergaul dan berhubungan dengan sesamanya sekalipun teman bergaul tersebut berasal dari keturunan yang berbeda dengan asal keturunannya. Dan hal ini berkaitan pada terjadinya hubungan akrab, persekutuan dan perkawinan diantara mereka, yang pada akhirnya mereka juga membentuk kelompok-kelompok berdasarkan hubungan perorangan untuk mencapai tujuan bersama. Seperti pembauran antara orang-orang Arab dan Persia, Turki dan lainnya. Hal demikian menurut pengamatan Ibn Khaldun tidak nampak diwilayah pedesaan. Keturunan mereka, demikian pula struktur sosialnya masih murni, seperti yang terjadi pada kaum Badui di padang pasir.
Faktor lain yang menjadi indicator melemahnya ‘ashabiyah di perkotaan, adalah karena keterbuaian masyarakat kota pada limpahan kemewahan, kelezatan, kemudahan dan ketentraman hidup. Yang akibatnya, hilanglah kelugasan ala desa dan melemahlah ‘ashabiyah tersebut.

B. Peran Politik ‘Ashabiyah
Apresiasi Ibn Khaldun terhadap realitas umat islam yang ia saksikan pada zamannya, berkaitan dengan konsep pembauran dan integritas masyarakat multi-etnik dalam rangka menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa yang utuh. Jika proses tersebut berjalan secara efektif maka anggota masyarakat tidak lagi mempersoalkan asal-usul keturunannya. ‘Ashabiyah yang mereka kembangkan bukan lagi berdasarkan ikatan keturunan, akan tetapi lebih pada hubungan perdagangan, hubungan kerja dan usaha, profesi, idiologi serta faham.
Implikasi dari kesadaran ‘ashabiyah ini tentunya akan bermuara pada keharusan adanya suatu hirarki yang kuat, yang akan mengakomodir kepentingan-kepentingan kelompok ‘ashabiyah tersebut. Untuk itu secara kodratik manusia membutuhkan keberadaan pemimpin (wazir dan hakim) yang berperan menjaga dan mencegah terjadinya perpecahan atau permusuhan antara sesama kelompok. Oleh karena itu, pemimpin sebagai pemegang kekuasaan mesti memiliki superioritas (al-taghalluf) atas yang lain dalam hal ‘ashabiyah. Jika tidak, ia tidak akan dapat melaksanakan kekuasaannya secara efektif.
Superioritas di sini diartikan sebagai kedaulatan (al-mulk), yang melebihi cakupan pengertian kepemimpinan (al-riyasat). Al’Riyasat, adalah keadaan menjadi pemimpin atau kepala suku yang dipatuhi oleh sukunya, namun tidak ada kekuasaan untuk memaksa dalam memimpin mereka. Sementara al-mulk, adalah suatu superioritas yang memiliki kekuasaan untuk memaksa.
Dengan demikian, apabila salah seorang dari kalangan ikatan ‘ashabiyah telah memperoleh kepemimpinan suku dan baginya terbuka kesempatan menuju superioritas meski dengan jalan kekerasan, ia tidak akan menyia-nyiakannya. Oleh karenanya ia harus mendapat dukungan dari ikatan ‘ashabiyah-nya yang akan diikuti oleh lainnya.
Sebaliknya, jika salah seorang dari ikatan ‘ashabiyah telah memperoleh al-mulk tersebut, maka ia akan berupaya mengambil langkah-langkah untuk memelihara dan membentengi kekuasaannya dengan membatasi dan melemahkan ‘ashabiyah-’ashabiyah kelompok lainnya, sehingga mereka tidak lagi mempunyai kekuatan untuk merongrong kekuasaan si pemimpin yang memerintah. Dengan demikian, ia akan dapat menmenopoli seluruh kekuasaan tanpa memberikan peluang pada pihak lain.
Sebuah ikatan ‘ashabiyah yang kuat akan menguasai semua ikatan ‘ashabiyah yang ada dan membuatnya tunduk padanya, sehingga menjelma menjadi suatu koalisi ‘ashabiyah yang besar, memiliki superioritas atas rakyat golongannya, dan memungkinkan ia mencari superioritas atas rakyat dari ‘ashabiyah-‘ashabiyah lain yang tidak memiliki hubungan apa-apa dengannya. Sebaliknya, jika ‘ashabiyah yang satu sama kuatnya dengan ‘ashabiyah yang lain, maka masing-masing akan tetap menguasai daerah dan rakyartnya sendiri, sebagaimana halnya kabilah-kabilah dan bangsa – bangsa di seluruh dunia.
Akan tetapi, jika satu ‘ashabiyah menaklukkan ‘ashabiyah yang lainnya, dan diantara mereka terjalin hakrab, maka pihak yang menang akan memperoleh tambahan kekuatan dari pihak yang kalah. Namun sebaliknya pihak yang kalah pada suatu saat akan menuntut kekuasaan dan superrioritas yang lebih baik, sehingga kekuatannya akan dapat menyamai pihak yang menang dan berkuasa. Klimaksnya, jika ‘ashabiyah yang menang dan berkuasa sudah melemah, dan diantara mereka tidak ada yang mampu merekatkannya dan mempertahankan kekuasaan yang mereka raih, maka ‘ashabiyah yang baru akan muncul dan merebut kekuasaan. Disamping itu adapula kemungkinan ‘ashabiyah yang berkuasa merangkul ‘ashabiyah-‘ashabiyah yang lain yang memiliki kekuatan untuk mencapai tujuan politiknya.
Lalu bagaimana jika konsep ‘ashabiyah dikaitkan dengan agama ? menurut Ibn Khaldun, kekuatan suatu ‘ashabiyah tidak cukup hanya mengandalkan kekuatan fisik, ia juga harus memiliki kekuatan moral yang didasarkan pada agama dan akhlaq. Semangat keberagmaan merupakan sarana pemersatu dan peredam terjadinya pertentangan dan perpecahan internal suatu yang diikat oleh ‘ashabiyah. Karena itu suatu pemerintahan (daulat) akan dapat tegak dan menjadi besar karena ditopang oleh agama.
Al-mulk, tercapai karena superioritas; superioritas diperoleh karena ‘ashabiyah, serta bersatunya kehendak dan jiwa untuk mencapai tujuan; bersatunya kehendak dan jiwa karena tujuannya untuk menegakkan agama Allah. Demikianpula peranan da’wah dapat menambah kekuatan ‘ashabiyah yang menjadi dasar tegaknya daulah, sabab agama dapat mengendalikan persaingan dan permusuhan diantara pendukung ‘ashabiyah, dan membimbing mereka ke arah dan tujuan yang satu, sert menuntut persamaan diantara mereka. Sebaliknya, ‘ashabiyah pun dapat berperan untuk efektivitas da’wah agama, sehingga antara agama dan ‘ashabiyah sebagaimana keterangan dari Rasulullah, yang menyebutkan :

“ Allah tidak akan mengutus seorang nabi kecuali
mendapat dukungan dari kaummya”

Dengan demikian, jatuh bangunnya suatu daulah, dalam pemikiran Ibn Khaldun, sangat tergantung pada superioritas suatu ‘ashabiyah terhdap yang lainnya. Diantara ‘ashabiyah dan agama, keberadaannya saling mendukung dan membesarkan kedudukan dan peran masing-masing, keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu membimbing umat (rakyat) kepada kebenaran dan mewujudkan kemashlahatan bersama.
Demikianlah penjelasan singkat tentanmg konsep ‘ashabiyah yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun dalam kitab al-Muqaddimah. Sudah barang tentu, uraian singkat dan sederhana ini masih sangat jauh untuk dapat mengungkapkan kedalaman kandungan dan keluasan makna yang terkandung dalam konsep ‘ashabiyah itu sendiri yang difahami oleh Ibn Khaldun, namun kami yakin untuk menyauk lebih dalam makna tersebut, tidak akan terwujud jika kita tidak “memulai”, dan tulisan ini adalah upaya kearah tersebut.
Wallahu al-a’lam.

HUMAN TRAFFICKING DAN BURUH MIGRAN

(Refleksi Hari HAM se Dunia 10 Desember 2008)
Oleh: Saiful Jihad

Perdagangan orang (human trafficking), khususnya perempuan dan anak, merupakan permasalahan yang perlu mendapat perhatian semua pihak (komponen bangsa), disamping terkait dengan pencitraan bangsa Indonesia di mata dunia international, yang menurut data Dapartemen Luar Negeri Amarika Serikat, Indonesia adalah pemasok nomor tiga perdagangan perempuan dan anak di dunia. Juga berkenaan dengan kondisi korban human trafficking tersebut tidak mendapatkan jaminan perlindungan, sehingga mereka sangat rentan terhadap tindak kekerasan, penipuan, pelecehan, pemerkosaan, dan sebagainya.
Data dari kementrian Pemberdayaan Perempuan (Desember 2004), berkaitan dengan kasus pelecehan, penipuan, pemerkosaan dan kekerasan lainnya, di mana 1.079 TKI perempuan yang melarikan diri dari Singapura/melapor ke KBRI, 235 ksus bermasalah dari Arab Saudi, dan 219 kasus TKI yang dipulangkan karena tidak sesuai dengan prosudur yang berlaku dari Kuwait, Kuala Lumpur, Brunai, Jordania dan Kolumbia. Sementara itu data dari pemerintahan Malaysia menyebutkan, bahwa pada tahun 2001 sebanyak 4.268 perempuan dan anak yang dipekerjakan sebagai pekerja seks di wilayah Malaysia dan perbatasan Singapura (Kompas 10 Mei 2001), dan pada akhir tahun 2004, jumlahnya membengkak mencapai angka 30.000 orang (Fajar, 3 Desember 2004). Ini baru dari negeri jiran (tetangga) kita Malaysia, belum termasuk di negara lain.
Tidak dapat disangkal, mereka yang dipekerjakan sebagai pekerja seks tersebut, serta pekerjaan lain, adalah korban dari human trafficking, dengan berbagai modus operandinya. Dari data yang ada, rata-rata yang menjadi korban human trafficking adalah mereka yang ada di bawah garis kemiskinan, kemudian diiming-imingi dengan pekerjaan dan gaji yang besar, atau karena anak tersebut telah menjadi “agunan” orang tuanya untuk mendapatkan pinjaman atau “uang muka/jaminan” dari pihak-pihak yang memang terlibat dalam sindikat perdagangan orang.
Kasus semacam ini sudah menjadi rahasia umum, karena hampir terjadi diseluruh pelosok tanah air, namun susah terbongkar, karena orang tua korban takut melapor kepada pihak yang berwajib, pada hal dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah (banyak yang buta huruf), sudah dapat diterka bahwa pekerjaan yang mungkin mereka lakoni adalah menjadi budak seks, pembantu rumah tangga, bekerja di bar, restoran, pekerja perkebunan, bahkan tidak jarang dijadikan kurir pengedar narkotik. Dan ironisnya, mereka tidak memiliki posisi tawar untuk membela diri.
Meski secara difinisi human trafficking masih perlu kajian dan pemaknan yang lebih luas dan jelas, seperti yang dikemukakan oleh anggota Pansus Undang-undang Penanggulangan Tindak Perdagangan Orang beberapa hari yang lalu melalaui siaran Televisi, sehingga tidak hanya bermakna bahwa kasus human trafficking, terjadi seperti kasus yang disebutkan di atas, tetapi mungkin juga dapat mencakup tindakan pengiriman Tenaga Kerja yang tidak didukung oleh pemberian keterampilan kerja yang memadai, pengetahuan yang cukup tentang hak-hak mereka sebagai TKI, serta sistem perlindungan pada hak-hak tenaga kerja yang baik.
Disamping itu, kelahiran Undang-Undang tersebut (diharapkan rampung awal 2007), diharapkan dapat diikuti oleh sikap tegas dan langkah yang konkrit dari pemerintah untuk memberantas tindakan yang dikategorikan human trafficking. Sikap tegas dan langkah konkrit menjadi hal yang perlu digasibawahi, karena sebenarnya sudah banyak aturan perundang-undangan yang telah lahir, berkaitan dengan perlindungan dan jaminan hak bagi para pekerja, buruh, anak dan perempuan, tetapi berbagai tindakan yang mengarah pada tindak kekerasan, penipuan, pelecehan, pemerkosaan, gaji yang tidak dibayar, penetapan gaji dibawah upah minimun, pemerasan, tidak adanya jaminan sosial dan perlindungan asuransi dst., masih menjadi persoalan utama yang dihadapi oleh tenaga kerja kita, dan yang perlu digarisbawahi, bahwa hal ini bukan hanya dialami oleh mereka yang mengadu nasib dan bekerja atau dipekerjakan di luar negeri, tetapi juga banyak terjadi di sekitar kita.
Di daerah kita masing-masing, kami kira belum ada database tentang berapa jumlah perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, pelayan tokoh, restoran dan sektor pekerjaan lain; berapa jumlah anak-anak dibawah umur, yang dipekerjakan sebagai buruh bangunan, kuli, karnet mobil, dll. Dan merekapun belum mendapatkan jaminan perlindungan dan jaminan sosial seperti yang diamanatkan oleh undang-undang yang telah ada, sehingga kasus pemerkosaan dan kekerasaan lain terhadap pembantu rumah tangga, baru diketehui setelah korban telah meninggal.
Di sisi lain, Parepare sebagai salah satu gate out bagi human trafficking dan pengiriman Tenaga Kerja Indonesia ke negeri Tetangga (Malaysia), diharapkan menjadi garda terdepan dalam menanggulangi persoalan ini. Masyarakat kita dari Palopo, Enrekang, Sidrap, Polman, Pinrang, Barru, Soppeng dll. yang bermaksud mengadu nasib bekerja ke Malaysia, hampir pasti mereka tidak dilengkapi dengan bekal keterampilan kerja dan pengetahuan yang memadai, tentang perlindungan akan hak-hak mereka sebagai TKI. serta sistem perlindungan yang baik terhadap hak-hak mereka. Akibatnya, tindakan aksploitasi, pemerasan (termasuk yang dilakukan oknum imigrsi), penipuan (seperti yang dialami banyak TKI di ketika turun dari Kapal), kekerasan dan ketidak berdayaan untuk memperjuangkan hak-haknya menjadi hal yang sering terjadi.
Disamping problem-problem umum yang dihadapi oleh korban human trafficking dan para buruh migran, seperti yang telah dikemukakan di atas, persoalan lain yang hampir tidak (kurang) diperhatikan adalam masalah perlindungan terhadap penyakit seksual.
Dalam kaitan dengan atas perlindungan kesehatan bagi buruh migran, data menunjukkan terjadi peningkatan pelanggaran yang cukup signifikan, mulai dari pemberangkatan sampai kembali lagi ke daerah asal. Data yang ada di Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia (Kopbumi) tahun 2002 menunjukkan jumlah besar kasus pengabian perlindungan kesehatan bagi mereka, diantaranya 30 kasus pelecehan seksual, 27 kasus perkosaan 2.633 kasus prostitusi dan perdagangan perempuan, serta 2.478 kasus penelantaran.
Meski kasus-kasus ini tidak menunjukkan angka buruh migran yang terinfeksi penyakit seksual (HIV/AIDS dan yang lain), dan memang kita juga belum memiliki data tentang itu, tetapi dapat dipastikan bahwa kasus-kasus di atas memiliki hubungan erat dengan semakin tingginya resiko buruh migran terjangkit penyakit seksual.
Nampaknya, persoalan di atas baik terkait dengan human trafficking, maupun berkenaan dengan buruh migran (antar negara dan antar daerah) tersimpul pada persoalan kemiskinan, keterbatasan lapangan kerja, serta tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah dan kenyataan ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan usaha bisnis (keuntungan material) mereka, tanpa memperhatikan hak-hak kemanusiaan sebagai makhluk yang terhormat, yang mesti dilindungi. Hal ini diperparah oleh masih lemahnya sistem perlindungan dan kepedulian semua pihak untuk menjadikan masalah ini sebagai agenda yang mesti mendapat perhatian serius.
Untuk itu, upaya penanggulangan human trafficking dan perlindungan pada buruh migran (luar negeri ataupun dalam negeri) mesti menjadi perhatian dan agenda bersama. Pihak pemerintah diharapkan dapat memberikan jaminan hukum yang jelas dan tegas, serta diiringi dengan penataan mekanisme kerja yang tidak berbelit-belit dan pembinaan mentalitas aparat di lapangan perlu menjadi prioritas. Para lembaga Penyedia Jasa Tenaga Kerja (PJTK),diharapkan dapat membekali keterampilan kerja sesuai lowongan yang ada, dan pengetahuan yang cukup tentang perlindungan hak-hak dan jaminan sosial bagi tenaga kerja sebelum mereka diberangkatkan. Bersama dengan pemerintah, para stakcholder yang ada agar lebih intens mensosialisasikan hak-hak azasi manusia (HAM) dalam arti luas, dan lebih khusus terkait dengan masalah ketenaga kerjaan dan kasus human trafficking yng menjadi persoalan masyarakat bangsa secara bersama-sama.
Penghargaan patut kita berikan kepada pemerintah yang telah banyak mengusahakan aturan dan sistem perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia dalam berbagai produk aturan, khususnya terkait dengan ketenaga kerjaan dan penanggulangan human trafficking, tetapi --tanpa maksud mengecilkan usaha tersebut-- problematika di lapangan tidak dapat diselesaikan hanya dengan terbitnya undang-undang (aturan formal), tetapi aspek komitmen dan kesadaran untuk menempatkan masalah ini sebagai agenda utama oleh semua aparat dari tingkat pusat sampai ke daerah (petugas lapangan), dan kenyataannya, aspek ini yang masih dan sangat perlu diperhatikan.
Demikian juga dengan lembaga Penyedia Jasa Tenaga Kerja (PJTK), NGO, masyarakat, bahkan lembaga pendidikan dan keterampilan yang ada, bahwa disamping pemberian bekal keterampilan kerja kepada calon TKI, yang tidak kalah pentingnya adalah pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya perlindungan hak-hak dan jaminan sosial atas mereka. Hal ini perlu dikmpanyekan terus sebagai bagian dari upaya perlindungan terhadap hak-hak azasi manusia (HAM), yang sebagai bagian dari masyarakat dunia, hari ini kita peringati hari HAM se dunia, tangal 10 Desember 2006.
Upaya untuk mensosialisasikan dan mengkampanyekan hal-hal yang berkaitan dengan HAM tersebut, oleh masing-masing unsur dapat menggunakan medium dan bahasa yang dipandang tepat. Pendekatan dengan bahasa hukum formal mungkin tidak cukup, akan lebih baik jika pendekatan budaya dan agama terlibat serta dalam mensosialisasikan dan mengkampanyekan masalah HAM ini.
Masyarakat Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (komunitas suku Bugis, Mandar, Makassar dan Toraja), dengan budaya yang tumbuh dan berkembang di atas nilai-nilai religiusitas yang kuat, mestinya dapat menjdi medium yang efektif untuk agenda ini. Tidak satupun agama yang mentolerir sikap eksploitasi, pelecehan, kekerasan terhadap sesama manusia. Semua agama menempatkan manusia sebagai makhluk terhormat dan harus dihormati.
Dalam ajaran Islam, persoalan yang dikemukakan di atas, tidak hanya dilihat dari bagaimana pandangan Islam tentang hak-hak kaum pekerja (buruh), tetapi harus dilihat secara konprehensip. Mulai dari kedudukan manusia sebagai makhluk yang mulia dan dimuliakan (Q.S. 17:70; 95: 4), bahwa antara satu manusia dengan manusia lain memiliki kedudukan yang sama, harkat yang sama (Q.S. 49: 13; 46: 19), jaminan kebebasan dan kemerdekaan manusia (Q.S 17: 70; 4: 58, 105, 107, 135; dan 60: 8), penekanan pada hak untuk hidup bagi setiap individu dalam arti luas (QS. 5: 45; 17: 33), penegasan tentang hak setiap individu untuk memperoleh perlindungan (QS. 90: 12-17; dan 9: 6), pemeliharaan dan perlindungan atas kehormatan pribadi (QS. 9: 6), kesederajatan Pria dan Wanita (QS. 2: 228 dan 49: 13), berkenan dengan hak anak dari orang tua (QS. 2: 233; dan 17: 23-24), hak setiap manusia untuk memperoleh Pendidikan dan keterampilan (QS. 9: 122; dan 96: 1-5), kebebasan beragama dan berkeyakinan (QS. 2: 156; 18: 29; 109: 1-6), jaminan hak atas kebebasan bertindak dan mencari perlindungan (QS. 4: 97; 60: 9), hak untuk bekerja (QS. 9: 105; 2: 286; dan 67: 15), hak untuk memperoleh kesempatan yang sama (QS. 2: 275-278; 4: 161; dan 3: 130) terkait dengan hak milik pribadi yang mesti dihormati (QS. 2: 29; dan 4: 29), Hak Untuk Menikmti Hasil kerja (QS. 46: 19), serta Hak Tahanan dan Narapidana (QS. 60: 8).
Akhirnya, jika telah tumbuh kesadaran bersama untuk menanggulangi persoalan ini, maka agenda kita kedepan adalah bagaimana mensinkronkan gerakan yang kita lakukan dengan semua pihak yang mengusung agenda ini, meski dengan bahasa dan pendekatan yang berbeda. Semoga.

HAK ASASI MANUSIA PERSPEKTIF AL-QUR’AN

Oleh: Saiful Jihad

Allah SWT. Mengukuhkan bahwa diturunkannya al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk dan rujukan bagi manusia serta pembeda antara yang hak dan yang bathil (Q.S. 2: 185). Dalam ayat lain dijelaskan, bahwa al-Qur’an adalah sumber penerangan hidup bagi seluruh umat manusia, petunjuk dan pelajaran bagi orang-orang bertaqwa kepada jalan yang lurus (Q.S. 3: 18 dan 17: 9). Muhammad Asad mengatakan, bahwa al-Qur’an berperan untuk memberikan bimbingan konprehensif ke arah tingka laku manusia, baik secara individual maupun kolektif dalam upaya menciptakan suatu pola kehidupan yang selaras dan seimbang di dunia ini dengan tujuan akhir kehidupan abadi di alam akhirat (1980: 1).
Ajaran al-Qur’an, menggambarkan konsep integral yang organik antara aqidah, peribadatan, hukum, akhlaq dan moral serta mu’amalah merupakan prinsip dasar yang mengatur prilaku sosial manusia. Prinsip dasar di bidang sosial ini, bertujuan unutk menegakkan suatu tatanan masyarakat yang etis dan egaliterian. Dan petunjuk al-Qur’an yang bertujuan untuk memanusiakan manusia sehingga terwujud suatu tatanan masyarakat etis dan egaliterian, pada hakekatnya menjadi doktrin tentang prinsip-prinsip hak dasar manusia, yang kemudian dikenal dengan istilah Hak Asasi Manusia (HAM).
Hak Asasi Manusia adalah adalah jaminan akan hak yang dimiliki oleh setiap individu bersamaan dengan keberadaannya dalam kehidupan berasyarakat tanpa membedakan ras, bangsa, suku, agama, jenis kelamin dan seterusnya (Budiardjo, 1989: 120). Sedangkan esensi dari hak asasi manusia tersebut, terletak pada asas persamaan manusia, bahwa setiap individu terlahir sama dan harus memperoleh kesempatan yang sama untuk berkembang, beramal dan berkarya, baik dalam hal politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Manusia dalam pandangan al-Qur’an adalah sama. Falsafah dasar persamaan ini merujuk pada penciptaan manusia dari sumber yang satu (Tuhan Yang Maha Esa) dan proses penciptaan yang sama (Q.S. 4: 1; 7: 189; 39: 6; 49: 13; 35: 11; 75: 37-39; 86: 5-7; 71: 14; 23: 12-14; 32: 9), yang berakar pada konsep iman dan tauhid.
Iman bermakna bahwa manusia yang beriman mempunyai sikap hidup yang memandang Tuhan sebagai Yang Maha Esa dan Maha Benar dalam hidupnya, dan mengabdi hanya kepada-Nya. Sementara tauhid bukan hanya berarti mengesakan Allah dalam segala aktivitas hidup, tetapi juga mengandung makna meyakini adanya kesatuan penciptaan (perikemakhlukan), kesatuan kemanusiaan, kesatuan tuntunan hidup dan kesatuan tujuan hidup (J.Suyuti Pulungan, 2002: 159).
Tegasnya, dalam konsep al-Qur’an, Islam sebagai agama tauhid terdapat ide perikemakhlukan dan ide perikemanusiaan. Ide perikemnusiaan timbul dari konsep kesatuan penciptaan dan kesatuan kemanusiaan. Demikian pula dalam konsep tauhid, terkandung ide persamaan (Nasution dan Efendi, 1987: vii) dan persaudaraan seluruh manusia yang berlandaskan pada sikap dan pandangan teosentris.
Dengan persamaan penciptaan ini, membawa doktrin tentang faham persamaan manusia (egalitarianisme). Walaupun dalam kenyataan antara sesama manusia terdapat perbedaan jenis kelamin, warna kulit, watak, pola pikir dan sejenisnya, tetapi dari segi kemanusiaan seluruh manusia berhak mendapat perlakuan yang sama. Perbedaan-perbedaan yang nyata itu bukan ukuran keutamaan seseorang melainkan pada ketaqwaannya. bahkan dengan perbedaan itu mengandung hikmah agar mereka saling mengenal (Q.S. 49: 13). Karena itu esensi penegasan paham persamaan (egalitarianisme) manusia mengisyaratkan bahwa setiap manusia selain mempunyai tanggungjawab pribadi sekaligus memiliki tanggungjawab sosial sehingga tidak muncul sikap dan tindakan otoriter dalam kehidupan sosial. Implikasi prinsip persamaan dalam perspektif al-Qur’an bertujuan agar setiap manusia menemukan harkat dan martabat kemanusiaannya dan dapat mengembangkan potensinya secara wajar dan layak.
Faham persamaan, menghendaki adanya hak kebebasan manusia. Dan kebebasan manusia adalah salah satu hak dasar hidup setiap manusia, serta merupakan pengakuan atas persamaan dan kemuliaan harkat kemanusiaan orang lain.
Kebebasan akan semakin dibutuhkan oleh setiap orang yang hidup dalam masyarakat yang plural. Bila kebebasan dibelenggu, maka akan terjadi penindasan satu kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat lainnya. Dengan kebebasan membuat setiap individu atau kelompok merasa terangkat eksistensinya dan dihargai harkat kemanusiaannya di dalam kemajemukan umat.
Karena itu, prinsip kebebasan mutlak perlu dikembangkan dan dijamin pelaksanaannya dalam kehidupamn bermasyarakat. Kebebasan yang diperlukan manusia menurut al-Qur’an adalah kebebasan beragama, kebebasan menyatakan berpendapat dan berbicara, kebebasan dari rasa takut dan kemiskinan, kebebasan dari penindasan dan eksploitasi, kebebasan berpartisipasi dalam wilayah publik, politik dan sebagainya. Kebebasan-kebebasan ini menimbulkan adanya hak-hak asasi manusia. Hak-hak yang dibutuhkan setiap manusia sebagai hak-hak personal dalam bingkai persamaan dan kebebasan adalah hak atas hidup dan keselamatan diri, hak atas kehidupan yang layak, hak pendidikan, hak pekerjaan, hak kebebasan dalam menyatakan pendapat, beragama dan berkeyakinan, dan lain-lain.
Pelaksanaan hak-hak asasi manusia tersebut bertujuan untuk menumbuhkan keseimbangan dan keharmonisan pada perkembangan kehidupan dan penghidupan manusia. Dalam konteks ini, sesungguhnya al-Qur’an juga tidak menghendaki pengorbanan hak-hak individu untuk memenuhi kemashlahatan masyarakat tanpa diimbangi dengan hak lain, dan sebaliknya (Q.S. 2: 195). Faham hak asasi manusia dalam al-Qur’an adalah adanya keseimbangan antara hak-hak individu dan hak-hak sosial (kolektif). Falsafah yang mendasari faham hak asasi demikian adalah adanya sintesa antara hak dan kewajiban yang diperoleh dan dibebankan kepada manusia. Artinya, setiap hak yang dimiliki diikuti dengan adanya kewajiban. Hak atas hidup, misalnya, diikuti dengan kewajiban menghormati dan memelihara hak hidup orang lain dan tidak boleh melanggar haknya. Hak atas berusaha dan bekerja, disertai dengan kewajiban untuk tidak boleh menghalangi dan menyabotase usaha orang lain. Hak memiliki harta, disertai dengan kewajiban agar tidak memonopoli kemakmuran yang diperoleh dan tidak melakukan eksploitasi dalam bentuk apapun agar kemakmuran tidak hanya menjadi milik perorangan atau kelompok tertentu (Q.S. 95: 7). Pemilikan harta yang diperoleh secara tidak sah (seperti korupsi), berarti memperkosa dan menggerogoti hak orang lain (Q.S. 4: 29).
Demikian pula hak kebebasan individu tidak bersifat absolut, melainkan kebebasan individu --dalam konteks sosial— dibatasi oleh asas persamaan dan persaudaraan manusia. Seseorang dengan dalih demi hak kebebasan dan demokrasi tidak dibenarkan melakukan hak kebebasannya secara semena-mena dengan mengikuti kemauan sendiri, seperti mencela dan menghina pendapat, keyakinan dan pribadi orang lain, atau menggunakan kekuasaan secara bebas untuk tujuan kehidupan materialistik-hedonistik. Hak kebebasan yang bersifat absolut, dalam pandangan al-Farabi, berakibat pada timbulnya anarkisme (Sjadzali, 1990: 57).
Kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat misalnya, esensinya untuk mencari kebenaran, memberi nasehat dan saran kepada pemimpin dan masyarakat agar tidak terjerumus kepda perbuatan yang tidak baik. Kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat perspektif al-Qur’an dalam kerangka amar ma’ruf dan nahy munkar, dengan cara yang santun, arif, jujur dan adil (Q.S. 4: 158; 16: 125).
Walaupun manusia oleh Tuhan diberi hak bebas untuk memilih, bebas menyatakan pendapat dan melakukan sesuatu berdasarkan pilihan dan pendapatnya, namun harus diiringi dengan rambu-rambu (norma), tentang mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh. Dalam hal ini manusia diberi kesempatan untuk memilih alternatif-alternatif yang ada dalam merefleksikan kebebasan yang dimiliki (Q.S. 18: 29), tetapi masing-masing pilihan tersebut mempunyai konsekuensi yang jelas.
Demikianlah sebagian nilai-nilai universal yang diajarkan oleh al-Qur’an mengenai hak-hak asasi manusia, yang menmpatkan kepentingan hak asasi dan kebebasan individu dengan kemaslahatan umum secara seimbang. Wallahu A’lam.

REKONSTRUKSI FUNGSI DAN PERAN PESANTREN

Saiful Jihad

A. Pendahuluan
(Permasalahan pokok serta maksud dan tujuan penulisan)
Kalau kita mencari lembaga pendidikan yang indegenious (asli) Indonesia dan berakar dalam masyarakat, tentu kita akan menempatkan pesantren pada rangking pertama. Namun demikian, ironisnya pesantren kadang-kadang –untuk tidak mengatakan seringkali—dianggap oleh sebagian orang masih “diragukan” kemampuannya dalam menjawab tantangan zamannya.
Terlepas dari apakah memang demikian keadaannya, atau hanya sekedar “image” sebagian orang saja, namun yang jelas hal itu setidaknya merupakan satu tantangan bagi orang-orang pesantren, dan juga dapat dikatakan sebagai kritik konstruktif bagi kalangan pesantren sendiri. Oleh sebab itu sudah saatnya para pengasuh dan pembina pesantren serta orang-orang pesantren itu sendiri untuk berbenah diri. Kritik sepanjang itu dimaksudkan untuk kebaikan pesantren, adalah suatu hal yang positif dan layak didengarkan.
Persoalannya adalah dari manakah harus memulai ? Apa saja yang perlu dilakukan sehingga pesantren benar-benar dapat menjadi lokomotif perubahan ditengah-tengah masyarakat, baik sebagai agen dari perubahan itu sendiri, atau sebagai agen tranformasi nilai-nilai moral-religius serta berbagai pengetahuan dan keterampilan yang bermanfaat bagi masyarakat ?
Tanggung jawab ini sudah barang tentu tidak ringan, namun mesti diemban jika ingin mengembalikan peran dan fungsi pesantren itu sendiri pada konsep semula. Oleh karena itu, meskipun tulisan ini sangat singkat dan sederhana, namun penulis berikhtiar untuk memberikan kontribusi pemikiran dalam “meretas” dan menggagas sebuah tawaran guna menjawab persoalan di atas, sekaligus wacana untuk mengembalikan peran dan fungsi pesantren pada prinsip-prinsip dasar yang melekat padanya.

B. Rekontruksi Peran dan Fungsi Pesantren
Sebagai sebuah subkultur, Pesantren lahir dan berkembang seiring dengan derap langkah perubahan-perubahan yang ada dalam masyarakat global (mondial). Perubahan tersebut akan terus bergulir, ang cepat atau lambat, suka atau tidak suka pasti akan mengimbas pada komunitas pesantren sebagai bagian dari masyarakat dunia.
Ditinjau dari sejarah panjang keberadaannya, pesantren hadir untuk mengemban sebuah misi dan tanggung jawab yang besar. Ia dilahirkan untuk memberikan respon terhadap situasi dan kondisi social suatu masyarakat yang tengah diperhdapkan pada runtuhnya seindi-sendi moral, melalui transformasi nilai yang ditawarkan (amar ma’ruf dan nahy munkar). Dia diharapkan dapat membawa perubahan dalam tatanan social masyarakat (agent of social change), untuk itu, ia diharapkan dapat melakukan kerja-kerja pembebasan (liberation) pada msyarakat dari segala keburukan moral, penindasan politik, pengaburan hukum, pemiskinan ilmu, ekonomi, budaya, dan seterusnya.
Tanggung jawab lain yang mesti diemban pesantren, bahwa salah satu misi awal didirkannya adalah untuk menyebarluaskan informasi ajaran tentang universalitas Islam yang berwatak pluralis, baik dalam dimensi kepercayaan, budaya maupun kondisi social masyarakat. Hal ini nampak, dimana dengan institusi pesantren, para wali, ulama dan pemuka agama Islam terdahulu berhasil menginternalisasi nilai-nilai Islam dalam lingkungan masyarakat. Idealisasi bentu dri masyarakat yang diinginkan tersebut adalah masyarakat muslim yang inklusif, egaliter, patriotic, luwes serta memiliki gairah terhadap upaya-upaya transformatif. Misi kedua ini lebih menggambarkan peran pesantren sebagai sebuah institusi pendidikan.
Dalam perkembangan selanjutnya, institusi pesantren dengan dua misi besar di atas setelah dalam perjalanannya banyak bersinggungan dan bersentuhan dengan berbagai kenyataan global dalam masyarakat dan dunia, maka disadari bahwa dalam perkembangannya kemudian melahirkan berbagai persoalan krusial dan dilematis. Di satu sisi dia berperan sebagai penterjemah dan penyebar ajaran-ajara Islam dalam masyarakat, di sisi lain untuk mempertahankan jati dirinya sebagai lembaga atau institusi pendidikan Islam tradisional, pesantren harus melakukan seleksi ketat dalam pegaulannya dengan masyarakat luar, atau kenyataan luar yang tidak jarang menawarkan nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut dan digariskan oleh pesantren. Akibatnya terjadi semacam tarik menarik dua kekuatan, memilih salah satu sisi, berarti dia harus meninggalkan keutuhan missinya, terlebih lagi jika harus meninggalkan kedua sisi tersebut secara bersamaan.
Kondisi inilah yang kemudian memposisikan pesantren pada situasi dilematis, yang kemudian melahirkan sebuah kenyataan yang menggambarkan ketidak mampuannya lagi untuk memberikan kontribusi bagi masyarakatnya dalam melakukan transformasi social, bahkan kemudian menjadikan pesantren “jauh” dari masyarakatnya. Pesantren seolah-olah telah membentuk “komunitas eksklusif”, yang tidak mau lagi bersentuhan dengan masyarakat sekitarnya.
Situasi lain yang juga memiliki andil dalam menciptakan kondisi pesantren seperti di atas, adalah adanya berbagai kebijakan formal dalam masyarakat, baik yang dibuat secara sadar maupun tidak, telah menjadikan institusi pesantren menjadi sebuah institusi yang kehilangan sikap kemandirian dan elan vital yang dimilikinya. Kondisi ini kemudian menjadikan pesantren, disamping sulit mengemban peran dan fungsi (role and place) seperti yang dikemukakan di atas, juga membuat “hidupnya” diisi dengan mental ketergantungan.
Berangkat dari kondisi ideal yang dicita-citakan serta realitas yang terjadi dan dirasakan oleh institusi pesantren, maka ikhtiar yang mungkin dapat dilakukan untuk mengembalikan fungsi dan peran pesantren sebagai institusi yang diharapkan dapat berperan dalam upaya perubahan social (agent of social change), serta institusi kelimuan yang diharapkan dapat berperan dalam transformasi keilmuan baik untuk kalangan komunitas warga pesantren, maupun untuk masyarakat pada umumnya, adalah dengan mencoba mengkaji ulang secara kritis –menggugat-- kemapanan pesantren yang selama ini selalu dibanggakan sebagai institusi yang dinilai “paling orsinil” milik masyarakat Indonesia dengan segala macam predikat baik lainnya.
Studi kritik tersebut terutama di arahkan pada tiga aspek mendasar yang dipandang paling banyak menentukan arah dan masa depan pesantren, yaitu masalah Kurikulum Pesantren, Metodologi Pendidikan Pesantren serta Manajemen Pesantren.
Kemandegan berfikir di kalangan pesantren yang dirasakan hingga saat ini, secara tidak langsung –diakui atau tidak-- diakibatkan oleh pengembangan keilmuan dalam tradisi pesantren itu sendiri. Bila diruntut dari akar kesejarahannya, dapat dimaklumi bahwa tradisi intelektual pesantren terbentuk dari epistemologi keilmuan yang berlandaskan pada berbagai kitab klasik (kitab kuning) sebagai referensi utama. Kitab-kitab tersebut umumnya –untuk tidak mengatakan semuanya-- adalah yang lebih memfokuskan pada kajian nahwu-sharaf (ilmu alat), tasawuf, tafsir, hadits dan fiqhi, bahkan untuk yang terakhir ini nampaknya lebih mendominasi kajian-kajian yang dilakukan di pesantren, sehingga dapat dikatakan bahwa kurikulum pengajian pesantren lebih fiqh-minded (aspek legal-formal). Sedangkan kajian-kajian yang lebih bersifat subtansial, yang menggambarkan universalitas Islam, respon Islam terhadap dinamika dan kondisi sosial masyarakat di sekitarnya hampir sulit dijumpai. Di pihak lain, ketidak jelasan orientasi dan arah pengembangan pesantren juga turut mengaburkan, bahkan membuat kurikulum yang diberlakukan menjadi rancu, tumpang-tindih dan disorientasi.
Faktor berikutnya, yang mesti secara kritis perlu dikaji dan ditinjau, adalah dalam hal metode yang dikembangkan dalam system pendidikan pesantren. Tidak dapat disangkal, hingga saat ini pesantren yang ada masih banyak menekankan dalam proses belajar-mengajar yang dikembangkan berorientasi pada bahan atau materi, dan bukan pada tujuan. Proses pembelajaran dianggap telah berhasil, jika santri telah dapat menguasai betul (menghafal dengan baik) pengetahuan yang ditrasnfer dari kitab-kitab kuning yang dijadikan referensi keilmuan. Masalah apakah para santri kelak mampu menterjemahkan dan mensosialisasikan materi-materi pelajaran yang dikuasai tersebut ketika berhadapan dengan dinamika dan perkembangan masyarakat, sulit untuk dijawab. Solusi yang mungkin dapat dan perlu ditawarkan adalah upaya mengembangkan wawasan berfikir dan keilmuan di kalangan pesantren dengan memperkaya basis metodologi keilmuan (manhaj al-fikr), disamping basis materi yang selama ini telah dikembangkan.
Salah satu tradisi kajian keilmuan yang mungkin masih kurang dilakukan adalah pengembangan pemikiran analitis (nazhariyah) dan pemikiran kritis (naqd) dalam tradisi membaca teks kitab kuning, serta sulitnya memilah antara materi yang bersifat Wahyu yang diyakini shahih fi kulli makan wa zaman, dengan materi yang bersifat keilmuan, yang qhabilun li al-taghyir wa qhabilun li al-niqash.
Catatan berikutnya adalah aspek yang berkenaan dengan manajemen pendidikan pesantren. Catatan ini penting, mengingat proses keberhasilan system pendidikan pesantren sangat dipengaruhi oleh penataan manajerialnya. Dari kenyataan yang dapat disaksikan, bahwa pola manajemen pendidikan pesantren cenderung dilakukan secara insidental dan kurang memperhatikan acuan dan tujuan yang telah dirumuskan atau disistematisasikan secara hirarkis. Sistim pendidikan pesantren biasanya dilakukan secara alami dengan pola manajerial yang tetap (sama) dalam tiap tahunnya. Perubahan-perubahan mendasar dalam pengelolaan pesantren hingga saat ini belum nampak, mulai dari system penerimaan santri baru, hingga pada pengelolaan institusi pesantrennya.
Dewasa ini, sudah saatnya memang pesantren harus membuka mata untuk melihat dunia luar. Perkembangan yang terjadi di luar dirinya mesti diketahui dan diantisipasi. Keharusan ini meniscayakan kebutuhan pola kerjasama simbiosis-mutualistis antara pesantren dengan institusi-institusi yang dianggap mampu memberikan kontribusi serta menciptakan nuansa transformatif. Pola kerjasama ini dilakukan dalam rangka mengembangkan sumberdaya pesantren, agar dapat memberdayakan diri dalam menghadapi tantangan dinamika kehidupan yang semakin meng-global. Pola kerjasama ini pula akan menjadikan institusi pesantren memiliki sepenuhnya jiwa kemandirian, dan mampu meminimalisasi anggapan-anggapan negatif yang kadang dilekatkan pada pesantren, seperti : terisolasi, teralienasi, terkooptasi, eksklusif, konservatif, institusi pendidikan yang miskin serta cenderung mempertahankan status quo.
Upaya untuk membangun kembali atau mengembalikan fungsi dan peran pesantren pada misi awal yang diembannya, sebagai institusi yang diharapkan dapat menjadi agent transformasi keilmuan dan pencerdasan masyarakat menuju terciptanya perubahan sosial ke arah yang lebih baik, merupakan kondisi dan instrumen penting dalam upaya penguatan masyarakat sipil (civil society), masyarakat yang secara sederhana dapat difahami, sebagai bentuk masyarakat yang sadar akan hak dan kewajibannya, serta memiliki kepedulian dan kemampuan untuk memperjuangkan hak-haknya, serta menunaikan kewajibannya.

B. Penutup

Demikianlah pemahaman singkat dan sangat sederhana yang dapat kami sampaikan pada kesempatan ini, mudah-mudahan dapat menjadi acuan kita bersama, dalam mencoba mendiskusikan serta mengkaji lebih lanjut tentang tema “besar” yang kita bicarakan pada kesempatan ini.
Wallahu ‘alam bil al-sawab
Kanang, 26 Desember 2001

Saiful Jihad

Buku bacaan
1. Muslim Abdur Rahman, Islam Transformatif (Jakarta : Pustaka Firdaus)
2. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di era Post-Modernisme, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar)
3. --------, Studi Agama ; Normativitas dan historisitas (Yogyakarta : Pustaka Pelajar)
4. Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat( Bandung : Mizan)
5. Sahal Mahfud, “Pengembangan masyarakat oleh Pesantren : Antara fungsi dan tantangan”, dalam Jurnal Pesantren No. 3/Vol.IV/1987
6. Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren (CV. Darma Bhakti)
7. M. Dawam Rahardjo, Pergulatan dunia Pesantren Membangun dari Bawah (Jakarta:P3M)
8. --------, Pesantren dan Pemaharuan (ed) (Jakarta : LP3ES)
9. Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta : LP3ES)
10. K. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah ( Jakarta : LP3ES)

MEMAKNAI HIJRAH RASUL SAW.

(Sebuah Catatan Memasuki Tahun Baru Hijriyah 1430 H)
Oleh : Saiful Jihad


Peristiwa hijraturrasul telah berlalu empat belas abad lamanya, namun hakikat dan makna hijrah itu sendiri akan tetap actual dalam hidup dan kehidupan umat Islam. Hijrah dalam pengertian yang umum kita fahami berarti berpindah, yakni berpindah dari suatu tempat, sikap, perbuatan, pandangan, kondisi, dst. kepada yang dipandang lebih baik. Perpindahan itu sendiri berarti sebuah perubahan yang mengandung nilai-nilai kebaikan dan perbaikan.
Dalam konteks pengertian singkat di atas, pada kesempatan ini kita coba memaknai kembali peristiwa tersebut untuk menjadi acuan dalam melakukan perubahan-perubahan yang baik dan membawa kebaikan kepada kemanusiaan pada kkhususnya, dan seluruh makhluk (alam) pada umumnya (rahmatan lil’alamin). Hal ini menjadi urgen, jika dikaitkan dengan fenomena dan wacana kebangsaan dan kemasyarakatan kita yang lagi actual.
Perubahan kepada yang baik dan kebaikan (ishlah, reformasi), merupakan suatu keharusan agama (Q.S.Ibrahim : 1) yang menjadi kewajiban kita semua, baik sebagai individu muslim, maupun sebagai umat (kolektivitas). Untuk itu, menarik untuk kembali membaca peristiwa hijraturrasul untuk memaknai perubahan yang akan kita lakukan.
Dalam berbagai tulisan dan uraian para ulama, dikemukakan berbagai macam hikmah yang terkandung dalam peristiwa besar tersebut, peristiwa yang mampu merubah “wajah” dunia dari gelap (dhzulum) menjadi terang (nur), sehingga oleh kebijakan Umar ibn Khattab, dijadikan momentum awal peanggalan dalam dunia Islam. Karena “keterbatasan”, dalam tulisan ini hanya dikemukakan beberapa hal yang perlu menjadi perhatian kita, sebagai acuan dasar dalam melakukan perubahan.
1. Hijrah harus didasari oleh komitmen yang baik, benar dan suci (ikhlas).
Hijrah (baca:perubahan) mesti dilakukan di atas dasar komitmen dan niat yang baik/benar, di atas dasar keikhlasan. Untuk itu, Nabi menegaskan dalam salah satu Haditsnya :



Hadits di atas menegaskan bahwa manusia dalam melakukan perubahan dan perbaikan yang dilakukan oleh seseorang pasti mempunyai motivasi. Motivasi inilah yang menjadi “ruh” dari gerakan atau pekerjaan yang diwujudkannya. Untuk itu, pemaknaan kita yang pertama dan utama dari peristiwa hijrah, dikaitkan dengan upaya perubahan yang akan diwujudkan, adalah bagaimana membangun dan memurnikan komitmen dan motivasi kita, di atas dasar untuk mendapatkan ridhahan Allah swt. Dengan motivasi dan komitmen tersebut, apapun yang kita lakukan, mulai dari perencanaan, persiapan, pelaksanan, evaluasi di lapangan akan selalu mengacu untuk memperoleh ridha Allah.
2. Hijrah dilakukan di atas dasar semangat untuk rela berkorban
Ketika rasul menyampaikan rencana hijrah beliau kepada Abu Bakar dan mengajaknya untuk hijrah bersama, maka spontan Abu Bakar membeli dua ekor kuda yang kuat, lalu menyerahkan kepada rasul untuk memilih salah satunya sebagai hadiah (pemberian). Akan tetapi Nabi tidak mau, beliau tidak mau menerima pemberian atau hadiah, Nabi rela menerima dengan ketentuan Abu bakar mau mnrima harga tersebut dari Nabi.
Apa yang Nabi ingin ajarkan kepada kita dalam peristiwa tersebut, tidak lain adalah, bahwa dalam melakukan perubahan apa pun dan bagimana pun bentuknya, dibutuhkan pengorbanan yang besar. Kita tidak akan memperoleh suatu perubahan yang signifikan tanpa dibarengi oleh usaha keras dan pengorbanan.
3. Rasulullah saw. dalam melakukan Hijrah dibarengi dengan perhitungan dan strategi yang matang, dengan tidak m,engabaikan hal-hal yang sifatnya supranatural.
4. Setelah Rasul tiba di Yatsrib, beliau mengganti nama kota tersebut menjadi Madinah